Quantcast
Channel: Cerpen Koran Minggu
Viewing all 933 articles
Browse latest View live

Kontemplasi di Tepi Campuhan

$
0
0

Cerpen Adi Ekopriyono (Suara Merdeka, 11 November 2012)

DI teras bungalow itu. Di sela-sela bunyi serangga malam. Lolong anjing di kejauhan. Pada semilir angin sepoi-sepoi basah. Gemericik air sungai.

Di sela dingin yang menggelayut. Di kesunyian yang mendera.

Mataku nanap, menatap samar-samar kelebatan pepohonan yang ditelan gelap.

Inikah keteduhan yang Engkau kirim kepadaku lewat keheningan malam di tepi Sungai Campuhan?

Jiwaku bergejolak. Antara ada dan tiada. Antara fenomena dan nomena. Apakah Engkau sedang mengajariku tentang makna kehidupan sesungguhnya, yang sama sekali lain? Seperti kata Krishnamurti, manusia harus melewati sekat-sekat pikiran, karena pikiran hanyalah langit-langit yang membatasiku untuk mencapai-Mu?

Jiwaku terus bergejolak. Bergetar di antara kepastian dan ketidakpastian. Apakah Engkau sedang memberi terang? Tentang kekeliruan-kekeliruan pikiran dan tindakan? Tentang nurani yang lebih sering terkalahkan oleh pikiran yang tak berujung? Sak dawa-dawane lurung, isih luwih dawa gurung [1]. Bahwa, nurani itu menenteramkan, tapi pikiran mengacaukan karena tak pernah puas.

Bunyi serangga malam bak mengetuk-ngetuk jiwa.

Dengarlah wahai manusia, kami hidup dalam kedamaian, dalam keteduhan, yang jauh dari kegelisahan dan keangkaramurkaan. Rasakan wahai manusia, bahwa jiwamu lebih bermakna daripada pikiran-pikiranmu yang tak berujung pangkal.

Jiwaku bertanya-tanya, apakah Engkau sedang menarikku memasuki keseimbangan jiwa dan semesta? Menyelaraskan jiwaku, yang sering terantuk dan terjerembab dalam kenistaan hawa nafsu?

Dingin udara dan angin Campuhan yang semilir menerabas masuk pori-poriku. Menggapai-gapai jiwaku yang tertunduk lesu. Om swastiastu, Allahu Akbar, haleluyah…. Di mana Engkau, Sang Hyang Widhi Wasa? Jiwaku memanggil-manggil-Mu, tapi Engkau diam seribu bahasa. Tanyaku berkepanjangan. Tak berjawab.

Haruskah aku mencari jawab sendiri, seperti sering Engkau katakan bahwa manusia harus memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan-persoalannya sendiri? Mungkin benar kata Rendra, Engkau adalah “seniman tak terduga” yang hanya memperhatikan hal-hal yang besar saja. Selebihnya adalah tanggung jawab manusia. Atau benar kredo humanisme, adalah tidak bermoral kalau manusia menyerahkan semua urusan kehidupan kepada-Mu.

***

DI tengah kegelapan malam, jiwaku antara ada dan mengada.

Tanyaku berkepanjangan. Tak berjawab. Pikiranku menerawang entah ke mana. Tuhan, bicaralah, berikan petunjuk padaku, apa arti semua ini? Tentang kejadian-kejadian yang saling bertautan. Tentang nilai-nilai yang saling berhubungan dalam relasi kejadian-kejadian itu.

Tadi pagi, baru saja aku dengar ucapan Pak Made, bahwa leluhur mereka adalah orang-orang dari dataran tinggi Dieng. Itu sebabnya, balai kampung di Bali dinamakan banjar; dari kata “Banjarnegara”, nama kabupaten di kaki Dieng. Budaya Hindu Bali adalah budaya Hindu Jawa yang sampai saat ini menjadi panutan masyarakat di Pulau Dewata. Keseimbangan pikiran, jiwa, dan semesta adalah intinya. Maka, semua benda punya jiwa. Rawatlah, damailah dalam hidup yang berkelanjutan. Santi, santi, santi….

Tadi pagi, Pak Sunarsa bercerita tentang perlunya manusia berdamai dengan makhluk-makhluk lain di alam lain. Makhluk-makhluk lain itu juga ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa, yang harus kita hormati. Sayang, katanya, sekarang banyak manusia yang sudah lupa pada nasihat-nasihat leluhur. Orang sudah menghamba pada keduniawian dan menjadikan harta benda sebagai tuhan. Manusia tidak lagi bisa mendengar kata nurani. Nurani sudah bangkrut.

Malam makin larut. Dingin makin menggelayut. Tanyaku tetap tak berjawab. Jiwaku makin terperosok ke dalam kehampaan. Pikiranku makin tak berujung pangkal. Di mana Engkau, Sang Hyang Widhi Wasa; Tuhan yang Mahamengetahui, Mahapengasih dan penyayang, yang menguasai hidup dan matiku?

***

BAYANGAN itu tiba-tiba berkelebat. Bukan bayangan orang lain. Kakang kawah adhi ari-ari [2]. Aku ingat nasihat nenekku, bahwa hidup semua orang selalu ditemani oleh “saudara kembarnya”, yang berasal dari air ketuban (kawah) dan plasenta (ari-ari).

Suaraku seperti bergema. Gema itu kembali memasuki relung-relung jiwaku. Ya, manusia memang harus bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri.

Pelan-pelan pikiranku mulai tertata. Jiwaku mulai terisi. Bayangan itu merasuki tubuhku, yang sudah sangat letih setelah seharian mengayuh sepeda berkilometer-kilometer, menyusuri jalan-jalan yang dilalui Julia Robert dalam film Eat, Pray, Love, yang diambil dari novel karya Elizabeth Gilbert.

Tubuhku letih, tidak sepadan dengan keteguhan fisik Ketut Liyer, yang tadi aku temui di Banjar Pengosekan. Meski sudah menginjak umur 99 tahun, Ketut Liyer masih mampu membaca garis tangan orang-orang yang datang kepadanya. Fisiknya memang sudah kelihatan agak rapuh, tapi sorot matanya menandakan keteguhan dan keseimbangan jiwa.

Aku mulai menemukan spirit Pulau Dewata. Spirit yang sama dengan spirit Jawa yang selama ini aku jalani. Aku mulai menemukan ketenangan dalam keharmonisan antara otak dan hati.

Manusia memang harus mengembalikan segala sesuatu pada keharmonisan itu. Aku mulai menyatu dengan suara serangga-serangga malam, dengan gemericiknya air, dengan keheningan dan kegelapan Campuhan.

Kemanusiaanku mulai menyatu dengan alam di sekitarku. Jiwaku tak lagi terlepas dari pikiranku. Perlahan, bahkan menguasainya.

Daun-daun yang samar-samar dalam gelap itu menyeruak. Pelan-pelan, satu per satu, seperti menari-nari memasuki ragaku. Angin malam yang dingin menghinggapiku penuh kasih. Suara-suara serangga dan gemericik air, menyiramiku penuh keteduhan. Langit yang semula gelap, membiru dan mewarnai jiwaku. Teduh dan damai. Alam adalah sumber ilmu. Kata-kata itu yang sering aku dengar dari orang-orang bijak. Aku mulai belajar ilmu maklum. Memaklumi diri sendiri, memaklumi sesama manusia, memaklumi alam semesta.

***

SEKARANG aku ada dan mengada. Kekinian, ke-di-sini-an. Seperti kata Ki Ageng Suryamentaram, “saiki, neng kene, aku gelem [3]. Sekarang, di sini, aku mau. Bahwa, aku harus ikhlas dan pasrah menerima apa pun yang harus aku alami, kapan pun, di mana pun.

Aku bercengkerama dengan alam. Aku merasakan kasih-Mu tiada tara. Mikrokosmos sudah menyatu dengan makrokosmos. Nuraniku berkata-kata. Kata-kata itu bukan lagi kata-kataku. Aku ada, tapi aku tidak ada. Seperti gelombang dan samuderanya; tidak lagi terpisahkan.

Tapi, aku bukan Syeh Siti Jenar yang berkata, “Ora ana Syeh Siti Jenar sing ana Allah, ora ana Allah sing ana Syeh Siti Jenar.” Aku bukan Al Halaj yang berkata, “Ana al haq.” Aku juga bukan Yesus yang berkata, “Siapa melihat aku, maka ia melihat Bapaku di surga.”

Aku adalah manusia yang berada dalam proses “menjadi”. Manusia yang belum lepas dari keduniawian. Manusia yang masih takut pada kematian. Manusia yang masih sering berhitung untung-rugi dalam relasi dengan Yang Mahahidup. Aku sadar, tidak ada yang absolut di dunia ini, karena yang absolut hanyalah Yang Mahaabsolut.

Dalam pertautan nurani dengan Sang Mahaagung aku menemukan kemanusiaanku. Dalam keheningan Campuhan, bukan dalam keingarbingaran kehidupan. Eksistensiku ada dan mengada. Aku ada karena Engkau, bukan sekadar cogito ergo sum-nya Rene Descartes. Bukan pula sekadar superego-nya Sigmund Freud.

Aku ada karena Engkau. Tapi, aku ada juga karena diriku sendiri.

Mulutku terasa kelu, ketika alam semesta memenuhi jiwaku. Pikiranku bak kuda-kuda liar yang patuh pada sais pedati. Nurani adalah pemimpin yang sesungguhnya; yang harus tidak tunduk pada pikiran, apalagi hawa nafsu.

***

MALAM makin larut. Selarut semesta ke dalam jiwaku. Dunia menjadi tanpa batas. Bukan sekadar menjadi datar seperti kata Thomas Friedman. Bukan pula menjadi desa global seperti kata Kenici Ohmae. Alam sungguh mencair, seperti mencairnya air Sungai Campuhan. Segar, menyehatkan. Kesegaran itu bukan hanya menyehatkan ragaku, melainkan juga pikiran dan hatiku.

Dunia tanpa batas. Satu-satunya batas adalah diriku sendiri. Batas antara semesta dan jiwa, batas antara nafsu dan nurani, batas antara keakuan dan Engkau.

Pilihan ada di tangan manusia. Nur Ilahi, roh kudus, atau apa pun namanya, ternyata hanya cahaya seperti sinar bulan di malam purnama, yang memantulkan cahaya matahari ke bumi. Bumi adalah manusia, bulan adalah nur Ilahi, matahari adalah Sang Mahacahaya.

Eksistensi kemanusiaanku menggebu-gebu. Tuhan pun berfirman, tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kalau kaum itu tidak berusaha mengubah nasibnya sendiri. Tuhan merencanakan, manusia memilih. Tuntunlah aku Sang Hyang Widhi Wasa, agar pilihanku adalah juga pilihan-Mu.

Matur nuwun, Gusti. Engkau tetap setia bersinggasana di dalam hatiku. Aku tidak perlu lagi memanggil-manggil-Mu dengan suara yang lantang. Engkau Mahamendengar, Mahapeduli.

***

BAYANGAN itu berkelebat lagi. Bukan bayangan orang lain. Kakang kawah adhi ari-ari.

Perlahan aku lipat kakiku. Bersimpuh dalam keheningan malam. Jiwaku. Pikiranku. Imanen dan transenden. Engkau dekat. Lebih dekat dari urat leherku. Tapi, Engkau jauh, bukan karena Engkau jauh, melainkan karena aku menjauh.

Lirih aku alunkan kidung “Rumeksa ing Wengi” [4]. Aku membayangkan, betapa hening dan khusuk ketika Kanjeng Sunan Kalijaga dulu mencipta kidung yang sangat meneduhkan itu.

Tiba-tiba jendela kamar sebelah terbuka. Seorang perempuan bule menyapaku, “Hello… what are you doing, Sir?”

Sejenak aku terdiam, lalu melanjutkan kidungan. Suaraku lirih sekali, menyeruak di sela-sela keheningan malam Campuhan. Daun-daun itu seolah ikut mengalunkan kidung. Gemericik air seperti mengiringi kidunganku.

Perempuan bule itu menatapku penuh tanya.

Pada bait terakhir, aku mengatupkan kedua telapak tangan ke wajahku. Aku ada dan mengada.

Good night,” kataku. “Good night,” jawab perempuan itu, sambil menutup jendela dan mematikan lampu. (*)

 

Ubud, akhir Oktober 2012

 

Catatan:

[1] Sak dawa-dawane lurung, isih luwih dawa gurung: Sepanjang-panjangnya jalan, masih lebih panjang pikiran. Artinya, pikiran itu tidak terbatas, selalu mengejar segala sesuatu dan tidak pernah puas.

[2] Kakang kawah adhi ari-ari: air ketuban, plasenta. Orang Jawa memercayai bahwa hidup manusia selalu didampingi oleh kakang kawah adhi ari-ari.

[3] Saiki, neng kene, aku gelem: ajaran Ki Ageng Soerjamentaram, bahwa hidup harus pasrah, kapan pun, di mana pun.

[4] Rumeksa ing Wengi: konon kidung ciptaan Kanjeng Sunan Kalijaga yang berupa doa (mantra) untuk menjauhkan manusia dari segala godaan, roh jahat, roh kegelapan.

 

 


Filed under: Adi Ekopriyono Tagged: Suara Merdeka

Perempuan Padi

$
0
0

Cerpen Azizah Hefni (Jawa Pos, 11 November 2012)

Perempuan Padi ilustrasi Budiono

ARA, di hamparan sawah itu, aku selalu ada; ikut bersemai bersama padi-padi dan lenguh sapi.

***

Sepanjang hari, aku selalu menantimu duduk di pinggir selokan itu. Tubuhmu yang mungil berlari keluar dari rumah berbata merah, sembari menebar senyum ke arah padi-padi. Pada mulanya kau hanya akan memandang jauh pada hamparan sawah yang hijau, kemudian matamu yang bening akan menatap ke awan. Awan-awan yang selalu bergumpal. Awan-awan yang membentuk hewan-hewan atau wajah-wajah khayalan. Kau akan berteriak, “Tuu waaannn!! Tuu waann!” (Itu awan! Itu awan!).

Kau seperti burung kenari yang berdendang menyambut pagi. Bau badanmu pasti sangat kecut dan kau belum sikat gigi. Betismu yang kering tampak semakin pecah-pecah karena kau selalu bercelana pendek—kulitmu memang langganan alergi. Pada selokan itu, kau memasukkan dua kakimu. Kakimu lantas berkecipak memainkan air selokan. Aih, jorok betul. Di sana banyak bakteri. Mereka akan bisa dengan mudah masuk ke sel-sel kulitmu dan menari-nari di dalam tubuhmu.

Jika sudah terlalu girang, kau pasti merasakan sesuatu yang aneh dalam perut dan duburmu. Dengan lincah, kau jongkok, lantas bertopang dagu. Kau mengejan, dengan sepasang mata berkaca-kaca dan mulut tertarik ke bawah. Wajahmu yang tomat rebus itu membuat aku, padi-padi dan awan-awan, selalu terbahak bersamaan.

Kau berlari begitu saja, membiarkan berak itu jatuh dari celanamu.

Ara, segeralah mandi, hari sudah terlalu siang. Jangan berteriak seperti orang kesakitan saat nenekmu mengguyur badanmu dengan air dingin. Sesungguhnya, air itulah yang akan menyelamatkanmu dari gerah dan lelah. Nikmatilah setiap tetes air dari gayung seperti kau menikmati hujan, genangan becek, dan air selokan. Sejatinya, semua air menggembirakan. Termasuk air di rahimku dulu, yang juga menjadi pelindung keberadaanmu.

Dan, waw… betapa tampannya kau dengan rambut basah dan bulir-bulir air menetes bergantian di sekujur kulitmu! Apalagi jika kau kenakan pakaian merah dan celana hitam. Sandalmu berdecit-decit, dan bedak di sekujur badanmu loreng-loreng menyegarkan. Kau tertawa memperlihatkan gigi-gigimu yang gigis. Bau kayu putih dan minyak rambut bayi terasa awet. Kau terlihat seperti boneka salju.

Tapi wajahmu yang polos itu, yang selalu membuatku ingin menggigit hidungmu itu, tidak pernah berhenti memanggil-manggil perihku. Bagaimana bisa kau terlahir begitu serupa dengan laki-laki itu?

***

“Bagaimana bisa?” Suaranya parau. Tangannya mencengkeram bahuku dengan sangat kuat. “Apa kau sengaja tidak minum pil?”

“Ini sudah kehendak Tuhan,” tukasku cepat.

“Halah, persetan!” ia mendorong tubuhku hingga jatuh dan membentur meja rias. “Enyahkan dia!”

“Tidak!”

“Cuh !” ludahnya mengenai lututku. Aku terus mempertahankan kerutan alisku.

Kemudian ia pergi begitu saja, sesukanya saja. Tanpa kembali menoleh, sekalipun sekadar memantapkan amarah.

Tapi, aku sama sekali tidak menangis. Hanya saja, napasku memburu dan peluh terus luruh. Dalam kamar yang sempit namun terang itu, aku mematung. Di kepalaku banyak bayangan masa depan digantung. Perihal pekerjaan, kesebatangkaraan, perut yang terus membesar, dan kepulangan.

Pulang?

Tidak, tidak, aku tidak akan pulang. Pulang hanya akan membuatku bodoh dan dibincangkan banyak orang. Pulang hanya akan membuatku menelan belati sendiri di depan muasalku. Yang menurutku benar adalah, aku harus bekerja. Lebih keras dan lekas. Sedang diriku yang sebatangkara tidak perlu menjadi persoalan yang mengerikan. Sebab dalam rahimku, jabang itu terus melihat dan merasa. Ia harus melihat dan merasakan hal-hal yang tidak mengerikan dan meragukan. Ia harus merasa tenang dan tidak menyesal.

Terkutuk benar pernikahan ini, batinku. Susah payah aku lari dari rumah yang sudah membesarkanku, menembus gelap jalan persawahan, serta duduk berjam-jam di gudang belakang sebuah pabrik krupuk guna menunggu laki-laki keriting itu menjemputku. Sambil menunggu, aku terus saja menggeleng-gelengkan kepala, menepis bayangan ibu yang tadi tampak pulas di ranjang. Aku terus menepuk dada sambil berbisik, “Inilah yang paling benar!”

Hatiku yang sekam itu terus menguntai bayangan kisah bahagia. Tentang sebuah pernikahan yang sakral dan menjanjikan. Tentang seorang laki-laki yang tangguh dan bertanggung jawab.

Yang ditunggu memang datang pada akhirnya. Ia membawa sebuah mobil sedan hitam. Segera aku melompat, seperti seekor kutu yang melihat rambut kotor dan lebat. Kami lalu pergi menembus jalan-jalan yang kuharap bisa membuatku lupa jalan pulang.

Segalanya ternyata serba-rahasia. Pengucapan janji pernikahan yang rahasia, pelepasan keperawanan yang rahasia. Bukan hanya itu, laki-laki yang menikahiku itu pun ternyata sangat rahasia. Perihal muasalnya saja, aku tidak begitu tahu. Perihal kepergiannya dari rumah, aku pun tak banyak tahu. Ia hanya berkata ia bekerja, dan ia akan pulang untuk segera tidur denganku. Ia hanya meletakkan uang sepuluh ribu tiap pagi di meja rias, lalu pergi. Kemudian ia datang tengah malam, dan menindihku dengan kejam.

Laki-laki itu memang selalu memberiku uang. Laki-laki itu juga selalu menyebutuhiku. Tapi laki-laki itu tidak pernah bertanya kenapa begitu lama aku tidak menstruasi.

Aku menangis dalam gamang. Aku terus membaca masa lalu; selalu senang duduk menenggelamkan kaki di selokan sawah. Aku selalu senang bercerita pada udara, tentang kisah perempuan miskin yang pada akhirnya menjadi putri kerajaan yang cantik. Aku juga selalu membayangkan gumpalan awan seperti kepala-kepala kurcaci atau hewan-hewan ajaib. Aku selalu bergoyang mengikuti goyangan padi dan orang-orangan sawah. Aku selalu menirukan suara sapi dan menyapa petani yang berkulit kasar.

Aku, juga selalu berak di tepi selokan.

***

Dan malam ini, hujan rintik membasahi pelataran rumah yang masih bambu. Aku melihat rumah itu masih begitu bersahaja dan hangat. Dulu, di sana aku membunuh usia, menghabiskan waktu dengan bermain dan berkahayal, juga mempelajari hidup yang sejatinya masih sepotong.

Di pelataran yang kesepian itu, aku melihat Ara ditimang ibu yang pesakitan. Air matanya mengental, seperti begitu lama terendap di kantung matanya yang hitam. Bertahun-tahun ia memanggil namaku yang tak kunjung pulang, bertahun-tahun ia mencurahkan doa cinta di atas namaku yang tak kunjung datang.

Ibu, anggap saja aku ini benalu dalam dahan hidupmu. Anggap saja aku ini tumbuhan yang gagal, layak tebang, dan pantas dibakar. Aku selalu menutup mataku ketika kau datang di hadapanku dan menggandeng tangan Ara dengan tulus. Aku selalu gemetar setiap kali melihat kau membersihkan berak Ara yang bercecer di dekat selokan. Aku selalu mengutuk penciptaanku setiap kali kau menyanyikan lagu-lagu untuk Ara agar ia tak takut pada air saat mandi. Rasanya, aku terlalu malu menjadi benih muasalmu.

Tapi Ara hidup sejak dalam rahimku, Bu. Tanpa duka dan tanpa ratap. Aku mengayominya dengan kerja keras dan kemandirianku. Aku merasa begitu tangguh saat bekerja mencari uang di kota, sebatangkara. Aku nilai diriku sangat perkasa tatkala aku merelakan pilihan yang salah. Aku jadi batu yang menopang tumbuh kembangnya sampai ia menjadi pohon yang sangat kuat dengan akar-akarnya yang menjalar ke tanah. Aku rela meremukkan diriku di atas kekuatannya.

Kelak, bila ia lahir, ia akan jadi pribadi yang kokoh, seperti pohon Ara. Ia tidak akan mudah percaya pada hal yang masih rahasia. Ia juga tidak akan mengambil keputusan yang salah, apalagi untuk masa depan yang rahasia. Sekalipun ia tidak tahu jika muasalnya itu adalah sebentuk kegagalan hidup dan kematian. Anggaplah ia adalah pengulangan kecintaanmu yang tak putus-putus padaku.

Kerinduanku mengurai, bergerai bersama hujan menderai; mencari muaranya.

Seketika, aku melihat Ara keluar, memandang ke arah hamparan sawah yang gelap lagi muram. Matanya yang bening tertuju padaku. Aku melihatnya dalam-dalam, lalu melambai, melambai, terus melambai. Ia tersenyum, kemudian berlari mendekat, menembus hujan.

“Araaa!!”

Suara itu melesat sangat cepat seperti kilat yang menyayat. Bocah kecil itu menghentikan kakinya dan menatap ke belakang.

“Jangan pergi!! Jangan pergiiii!!!” Ibu berteriak lantang di tengah rinai hujan. Air mukanya gemetar dan pucat. Ia seperti orang yang kembali tertawan luka lama. Ibu berlari menembus hujan, meraih tangan mungil Ara dan menariknya dalam pelukannya yang lama hampa.

Ara bergeming. Ia menatap ke arah goyangan padi-padi. Aku tidak lagi ingin menyakiti perempuan itu.

Setelah ini, tak akan ada lagi yang bisa ia lihat di sana. Seterusnya, sampai musim panen benar-benar binasa. (*)

 

 

Jogjakarta, 20 Juni 2012

Azizah Hefni, lahir di Surabaya, 03 April 1987. Cerpen dan puisinya dimuat di media massa lokal dan nasional. Pernah memenangkan sejumlah kompetisi menulis sastra lokal dan nasional. Kini tinggal di Jogjakarta sambil menulis buku-buku anak, sastra, maupun populer.


Filed under: Azizah Hefni Tagged: Jawa Pos

Kereta Kematian

$
0
0

Cerpen Leopold Indrawan (Koran Tempo, 11 November 2012)

Kereta Kematian ilustrasi Yuyun Nurrachman

TAK pernah kubayangkan bagaimana rasa kematian itu. Ingatanku tentang hidup berakhir ketika sebuah peluru menembus keningku. Seragam prajuritku kembali bersih dan licin seperti sebelum aku berangkat ke Normandia. Tak ada bekas koyak ataupun resapan darah. Luka-luka di sekujur tubuhku sirna seakan kulitku belum sempat menghirup udara perang. Namun kurasa tak banyak yang hilang. Padahal kukira kematian akan melenyapkan ingatan.

“Kau punya kekasih?” tanya Magnus (kami sama-sama memandang ke luar jendela). Ia melahap dua kursi untuk tubuhnya yang terlampau besar. Pria itu mengenakan baju zirah rantai, celana linen cokelat muda kusam, dan sepatu bot kulit bertemali. Ia memangku helm baja berwarna perunggu. Sebuah perisai kayu bundar bercat biru-merah miliknya disandarkan di punggung kursi depan.

“Aku sudah menikah,” jawabku.

Magnus berpaling ke arahku. Ia mengangkuk-angguk, lantas menepuk pundakku. Jemariku mengetuk-ngetuk helm timah di pangkuanku, mencoba mengalihkan sedikit kecanggungan pada sosok akrab yang baru kukenal itu.

“Kau merindukan istrimu?” Ia melepaskan genggamannya. Senyumnya tampak tipis di bawah lebat kumis jingganya.

Aku tersenyum mengiyakan. Dan aku mungkin perlu bersedih sekaligus berlega hati, karena kematian tak menghapuskan kenangan. Barangkali hati kecilku sudah menduga datangnya saat ini. Ketika akan berangkat perang, aku berpesan pada Peggy untuk tidak menantiku kembali. Pelukanku, pelukan kami, pada waktu itu pun menjadi pelukan terakhir.

“Kau akan menemuinya lagi di Valhalla!” ujar Magnus dengan yakin.

Aku mendengar nama gaib itu lagi: Valhalla. Valhöll.

Sejak perjalanan baru dimulai, Magnus bercerita tentang mitos-mitos yang ia yakini. Menurutnya, setiap orang yang mati secara heroik di medan perang akan diantar para valkyrja, kelompok batari yang bertugas memilih para ksatria yang telah tumpas, menuju Valhalla—sebuah balai agung berdinding tombak-tombak dan berpagu perisai-perisai emas. Valhalla terletak di Asgard, alam para dewa yang dikuasai Odin, sang penguasa Kerajaan Sorga dalam saga-saga Skandinavia. Setiap ksatria yang terpilih untuk memasuki Valhalla dipersiapkan untuk menghadapi Ragnarök—perang akhir zaman para panteon yang mengingatkanku pada wahyu Santo Yohannes tentang Pertempuran Armageddon. Magnus mengaku, tadinya ia percaya bahwa hanya pendekar-pendekar Viking seperti dirinyalah yang berhak memasuki Valhalla, tetapi karena aku satu gerbong dengannya di kereta kematian ini, ia pun yakin aku diantarkan menuju tempat yang sama. Kendati aku tak paham bagaimana ia meyakini bakal bertemu istrinya di Valhalla. Istrinya dan istriku kecil kemungkinan akan mati karena bertempur demi memenangkan perang. Ia tak menjelaskan, aku pun tak bertanya.

Kereta terus melaju dan entah akan berhenti di mana. Pemandangan di luar menampilkan bintang-bintang berjatuhan—putih, bercahaya, dan melesat-lesat. Indah, namun sesaat saja sirna tanpa makna. Ombak-ombak besar bergulung-gulung di bawah jembatan—mustahil ada yang selamat jika tergulung di dalamnya. Hal lain yang memikatku adalah jalur kereta ini: sebuah jembatan amat panjang yang berpendar seperti pelangi. Magnus menyebutnya Bilröst atau Bifröst. Warna merahnya adalah api, diciptakan supaya para raksasa es tak dapat menyeberang ke sorga. Warna birunya adalah udara dan warna hijaunya adalah air. Ketiga warna itu berpendar dan berkobar menjembatani sorga dan bumi.

“Kita menuju entah,” kataku.

“Asalkan kita tidak dibawa ke Niflheim saja! Hahaha!” seloroh Magnus. Aku kurang paham letak kelucuan candaannya. Ia pikir aku turut mengenal nama-nama asing yang disebutkannya sejak tadi: Æsir, Urd, Himinbjörg, Niflheim, Muspelheim, dan banyak nama lain yang mudah kulupakan.

Aku khusyuk memandangi planet-planet dan bintang-bintang bertaburan di angkasa hitam. Magnus, yang merasa paling paham mengenai konsep kosmogoni bangsanya, menjelaskan padaku perihal benda-benda langit itu. Menurut dia: akar-akar dan ranting-ranting dari pohon semesta Yggdrasil bertambah banyak berlipat-lipat ganda, menghubungkan berbagai dunia baru di celah Ginnunga, hamparan luas kehampaan. Magnus memercayai keberadaan Yggdrasil; pohon ash mahabesar yang menjadi pusat kosmos, pokok sembilan dunia. Ah, teorinya akan sangat fantastis untuk menjadi dongeng anak-anak.

Di kursi seberang aku berkenalan dengan James Buchanan. Ia memintaku memanggilnya Bucky. Ia masih sangat belia dan senyumnya masih sepolos kuntum daffodil. Kedua matanya pun nampak terlalu jernih untuk merasakan kesedihan akan kematian. Bucky mengenakan seragam khaki tamtama Amerika Serikat—ini yang membuatku tak segan menyapanya. Ia seorang prajurit yang tewas dalam ledakan ketika hendak menjinakkan bom dalam pesawat di pangkalan angkatan darat European Theater of Operations. Kejadian itu berlangsung pada masa perang yang juga kualami—Perang Dunia Kedua.

“Bumi kita mungkin sama, tapi aku berasal dari kemungkinan yang lain,” kata Bucky. Tak tergurat kesedihan pada parasnya. Bisa jadi aku menilainya terlalu dini.

Dari barisan seberang depan, ia berpindah kursi ke samping kiriku. Aku kemudian menjabat tangannya. Kami dibatasi oleh jalur pejalan. Kami banyak bercerita tentang Perang Dunia Kedua yang kami alami. Bucky juga berkisah tentang sahabat karibnya, seorang pahlawan perang yang menyembunyikan identitasnya dan bertarung tanpa peluru mengalahkan pasukan Jerman. Aku pun memperkenalkan Bucky pada Magnus yang tak memahami pistol dan peluru. Ia juga tidak mengenal Nazi dan Adolf Hitler. Kami bertiga berasal dari semesta yang berbeda—aku dan Bucky berasal dari tempat yang agak berdekatan. Magnus lebih bangga bercerita tentang pertempurannya melawan naga bersisik perunggu di perjalanannya menuju Islandia. Peperangan dan pertempuran akan menjadi bahan cerita yang menggairahkan, ketika semua itu sudah berlalu dan luka-luka kami telah sembuh.

“James Buchanan.” Sekonyong-konyong terdengar suara berdengung memotong pembicaraan kami. Sesosok makhluk yang tak jelas perempuan atau lelaki, hitam legam dan tinggi besar, berjalan tegak menghampiri kami. Wajahnya tersimpan dalam bayang-bayang pekat.

“Ada apa, Azrael?” sahut Bucky.

“Ikutlah denganku. Ada yang telah mendobrak takdir dan menyambung usiamu.” Suara Azrael terdengar begitu tak manusiawi, serupa dengung lebah yang keras dan tegas. Bunyi abstrak itu begitu masuk ke dalam benak tiap pendengarnya menjadi bahasa yang dapat dimaknai.

“Aku hidup kembali? Bagaimana mungkin?”

Azrael mengangguk hening.

Aku dan Magnus hanya menyaksikan keduanya dalam diam.

Bucky bangkit berdiri. Ia melambaikan tangannya pada kami dan berjanji untuk tidak melupakan kami. Azrael menuntunnya ke pintu gerbong di depan baris kursi terdepan. Pintu itu membuka dan menampakkan laut lepas dan puing-puing pesawat. Pemandangan di jendela pun berganti serupa. Bucky melangkah ke dalam ruang itu dan kembali melebur bersama waktu. Azrael melenyap menjadi kepulan asap hitam. Planet-planet dan bintang-bintang kembali bermunculan. Ingatanku beralih pada peristiwa sebelum kematianku.

 

Omaha, 6 Juni 1944

Pagi itu batas antara hidup dan mati begitu dekat dan sengit. Desau angin seolah tak henti-henti merapalkan syair kematian. Dan tiap lesatan peluru mendaraskan firasat buruk.

Langkah-langkah serdadu berkecipak di pantai menyatu dengan letupan-letupan mesiu. Lontaran-lontaran proyektil berdesing-desing seumpama puluhan kereta api melintas di atas ubun-ubun. Pasir-pasir berloncatan dihunjam peluru-peluru senapan mesin. Ombak-ombak berdebur membasuh tubuh-tubuh yang terkapar di batas pantai. Pagar-pagar baja raksasa berdiri kokoh menjadi nisan bagi tiap jenazah. Kayu-kayu runcing terpancang congkak menantang angin laut.

Sekian orang terkapar, bersisa separuh tubuh—pinggul sampai telapak kaki mereka hancur oleh ledakan ranjau. Sekian orang remuk kepalanya terhantam proyektil-proyektil meriam. Sekian orang lainnya kehilangan satu atau sepasang lengan mereka yang terputus oleh bermacam jebakan dan serangan tak terduga. Kucuran darah memerahkan ombak-ombak yang menjilati pesisir. Banyak di antara kami yang pasrah menerima peluru. Banyak di antara kami yang mau berhenti saja. Tapi, jika kami berhenti, kekacauan ini tak akan berhenti.

Jerit kesakitan dan kumandang perintah timbul tenggelam dalam kur kematian. Demikian pula petikan-petikan mazmur dan caci maki. Tak ada yang mampu kudengar jelas di ambang hidup dan mati. Derit pintu kematian tak kalah berisik daripada riuh kehidupan.

Aku mengendap di undakan pasir kering berkerikil dekat sebuah meriam Howitzer. Sengitnya baku tembak menyempitkan luasnya medan. Kawan-kawan sereguku memencar ke arah yang tak kuketahui dan mungkin juga mereka sudah mati. Selebihnya aku hanya membidik ke depan bersama regu yang tak kukenal. Peluh mengucur di wajah dan sekujur badanku. Ada lonjakan panas tak wajar yang membersit dalam badanku. Di saat yang kurang tepat, aku memikirkan Peggy dan ayah-ibuku. Sungguh menggelikan. Batinku malah cengeng di saat yang tak pantas. Aku masih belum boleh pulang!

Kelengahanku membikin perutku terserempet peluru. Aku terjatuh dan seragamku tercabik-cabik kawat berduri. Aku terjerat dalam semak kawat itu. Sementara senapanku terlempar ke pasir dan tak mampu kuraih. Bunyi berdesing-desing sekonyong-konyong mengalir deras tepat di atas kepalaku. Aku berguling ke balik tumpukan karung pasir dalam keadaan masih terjerat. Aku terpaksa menahan perih tertusuk kawat untuk berlindung sementara.

Things are really fucked up!

Perutku tertancap sejumlah duri dan berlumuran darah. Aku mencabuti duri-duri itu secepatnya untuk menyingkat perih. Namun, perih tak secepat itu meninggalkanku. Dan tahu-tahu aku sudah sendirian di antara pertempuran yang berlangsung. Aku memandang ke arah pantai yang melengkung. Tank-tank amphibi berdatangan. Sejumlah pesawat dan kapal sekutu masih sibuk meledakkan pantai untuk membuat lubang-lubang perlindungan.

Saat suasana kurasa cukup memungkinkan, aku memutuskan untuk memanjat tebing pendek di hadapanku menuju tembok besar di atas bebatuan itu. Penembak senapan mesin di balik tembok itu tengah keasyikan menembaki prajurit-prajurit di pinggir pantai. Aku berjaga-jaga membidik ke kiri-kanan. Tahu-tahu seregu prajurit berseru: “FIRE IN THE HOLE!”

Aku secara refleks berlari dan melompat ke area yang kosong. Ledakkan besar merontokkan sehamparan pasir berkerikil di atasku. Ledakkan itu berasal dari susunan pipa-pipa hijau yang lekas kusadari adalah rangkaian pelontar torpedo Bangalore.

“Dasar tolol! Kau bisa mati konyol!” seru prajurit dari balik undakan pasir yang lebih rendah dari posisiku. Ia berniat membersihkan daerah di atasku itu.

Aku yang lengah kini berada di posisi yang berbahaya. Di atas bekas ledakan torpedo Bangalore, penembak Jerman sudah membidik tepat ke kepalaku. Aku bersiaga di luar kesadaranku untuk menembak balik. Tetapi kecepatan telah sirna. Ketika kau akan mati, kau akan merasakan kematianmu begitu perlahan.

Peluru-peluru tampak membeku di udara. Di ambang kematian seperti ini, takdir membiarkan kita untuk melihat sekeliling dalam kejernihan. Aku pun menyadari tubuhku tak lagi berharga. Pikiranku seolah tahu persis apa yang mesti kuperbuat. Aku berlari dalam kecepatan yang tak terhitung lagi oleh waktu. Aku menghadang peluru-peluru yang mengambang beku di udara itu dengan tubuhku yang kelak tertembus. Kuempaskan bogem ke arah serdadu Jerman yang menembakku. Sebagian giginya terpelanting. Kuhunjamkan sebilah pisau panjang tepat pada jantungnya. Aku bersimpuh di samping mayatnya dan aku mulai terisak meski akal sehatku tidak mempersilakanku untuk bersedih. Dari sudut yang tak lagi kuwaspadai, sebuah peluru tepat menembus keningku dan tubuhku terlempar dengan sendirinya ke pasir berbatu.

Tubuhku tak merasakan apa-apa lagi sesudahnya.

Sebuah tangan nan hitam meraihku, membangkitkanku. Aku melihat sosoknya tanpa keterkejutan yang berarti. Entah, rasanya firasatku sudah menduga akan hadirnya sosok itu. Ia hitam—lebih pekat daripada bayang-bayang malam sekalipun—dan tinggi besar, serta memiliki suara berdengung tegas bagaikan skuadron lebah. Ia Azrael, atau Izrail, malaikat pencabut nyawa. Ia bagaikan aura hitam tak berbentuk.

Azrael menggiringku pada sebuah lubang portal yang menganga lebar di antara medan pertempuran. Di saat yang sama, lubang-lubang serupa tampak di sepanjang Omaha, dan sosok-sosok Azrael berhamburan di sepanjang pantai, menggiring tiap serdadu yang telah tumpas ke dalam lubang-lubang itu.

Di balik lubang-lubang yang tampak bercahaya putih cerlang tampaklah sebuah stasiun kereta api yang panjangnya mencapai cakrawala. Stasiun itu ramai oleh orang-orang yang berkerumun mengantri pada tiap peron. Tiap petak lantai memantulkan rupa di atasnya bagaikan cermin paling jernih. Pilar-pilar pemisah peron menjulang tinggi sampai ke langit-langit yang berkubah-kubah. Pilar-pilar putih mengilap itu tampak megah oleh cincin-cincin emas yang mengitarinya. Di seluruh permukaan dinding stasiun tertambat jutaan jam tengah berdetak menunjukkan waktu-waktu yang berbeda. Sebuah kereta perak dengan ribuan jendela yang memantulkan langit cerah dari tingkap-tingkap kaca pada kubah telah siaga menanti penumpang. Relnya adalah pelangi yang membara.

Azrael membawaku pada satu gerbong di mana aku bertemu dengan beberapa orang yang kurang lebih senasib. Mereka adalah pendekar-pendekar yang mangkat dari berbagai sudut ruang dan waktu alam semesta. Ada seorang samurai muda yang meninggal dalam pertempuran Sekigahara di Jepang. Ada seorang aktivis pembela hak asasi dari Indonesia yang meninggal diracun di pesawat menuju Amsterdam. Di sinilah aku berkenalan dengan Magnus, pria Viking yang terbunuh di sebuah pertempuran di Paris. Gemetar aku ketika mendengar ia dibunuh kawannya sendiri saat mencegah kawannya itu membunuh seorang pendeta. Akan tetapi, Magnus adalah pria yang gembira dan bukan perompak bengis seperti dalam bayanganku tentang orang-orang Viking. Kami berbincang dalam bahasa yang berbeda, tetapi kematian—atau keabadian—telah meleburkan belenggu bahasa sehingga kami dapat memahami satu sama lain. Magnus sempat cerewet sewaktu ia tak menemukan perahu panjang yang dalam bayangannya akan mengantarnya menuju Asgard. Ia malah menemukan sebuah kereta metalik yang panjangnya melebihi jarak pandang. Kereta itu memiliki bagian dalam yang luas dengan dinding-dinding abu-abu keperakan berguratkan puisi-puisi tentang asal-muasal alam semesta. Itu tulisan futhark, kata Magnus memberi tahu jenis aksara geometris yang tergurat pada dinding. Mirip lambang Waffen-SS, pasukan bersenjata Nazi, pikirku.

Tak lama setelah aku duduk di salah satu kursi nan empuk berbordir pohon Yggdrasil bersepuh emas, kereta pun melaju mengarungi pelangi. Sunyi tanpa gemuruh mesin dan lengking siulan lokomotif. Magnus pun lantas bercerita panjang lebar tentang mitos-mitos bangsanya, mulai dari kisah penciptaan raksasa pertama sampai riwayat-riwayat para dewa. Aku menjadi pendengar yang baik (meski tak selalu setia) sembari menekuni apa yang tengah terjadi dalam kematianku. Aku terpikir tak sempat pulang untuk pamit. Aku memandang ke luar jendela yang penuh dengan awan dan berucap dalam hati: mungkin hanya kerinduan yang tak mampu kita tuntaskan dalam kematian. Sebab hidup memiliki kisahnya sendiri untuk dituntaskan. (*)

 

 

17|10|2012

 

 


Filed under: Uncategorized Tagged: Koran Tempo

Perempuan yang Selalu Menggelitik Pinggangku

$
0
0

Cerpen Martin Aleida (Kompas, 18 November 2012)

Perempuan yang Selalu Menggelitik Pinggangku ilustrasi Mahendra Mangku

QUEENARAKU, kuingat benar. Jauh sebelum Ibu-Bapakmu memperkenalkan dunia luar dengan mendaftarkanmu ke playgroup, berkali-kali kau memintaku lagi untuk mendongeng. Kau menarik-narik lengan bajuku, membelai jenggotku. Merengek meminta aku memulai. Tapi, aku tak pernah bisa, kecuali mengulang cerita Si Kancil yang cerdik dan buaya yang besar kuat tetapi dungu. Pendiam, pemalu, acapkali salah tingkah, itulah takdir kakekmu ini. Aku bukan si pencerita yang baik untuk kau, cucu semata loyangku. Yang kupunya hanya kaki yang selalu enteng menghampirimu, dan tangan, yang acapkali semutan, untuk mengecup kening dan rambutmu. Mengagumi matamu….

Manakala pelupuk matamu sudah kuyu, sementara dongengku belum sudah, sadarlah aku sesungguhnya kau sudah bosan. Ya, jangankan kau, Si Kancil yang cemerlang dan buaya yang bebal itu pun mencibirku sebagai seorang yang majal daya khayalnya.

Aku bukan seorang pencipta. Lebih sebagai pengelana. Dari pengembaraanku aku ingin memetikkan sebuah kisah untukmu.

Kemarin, setelah bertahun tak pernah dicium kamoceng, aku bersih-bersih di kamar. Kutata kembali buku-buku yang sudah renta dan berdaki kulitnya. Di celah buku ketemukan ini. Guntingan koran L’Unita yang terbit di Roma setengah abad lampau. Kertasnya sudah kusam. Kalau jatuh ke tangan pemulung, dia hanya layak untuk pembungkus terasi. Kliping itu mengingatkan aku pada pengalaman yang menceriakan hati, tetapi juga meninggalkan luka lantaran kecewa.

Tataplah guntingan koran ini. Lihat. Di bawah fotoku, yang sedang melambaikan tangan (dengan peci yang membuat aku kelihatan dungu) setiba di stasiun kereta-api Stazione Termini Roma, mengalir sebaris keterangan: Seorang mahasiswa Indonesia berkunjung ke Italia sebagai tamu resmi L’Unita.

Foto dan kata-kata di guntingan koran ini seperti kerlip rama-rama yang datang mengantarkan terang, memancing fantasiku untuk menguntai cerita untukmu, sekarang. Golekkanlah kepalamu di lenganku. Akan kupejamkan matamu dengan belaian kisah tentang bagaimana kekaguman pada seorang perempuan, yang telah menenung Kakekmu ini, sehingga dia menjadi begitu pandir dalam kesetiaan. Aku percaya, kau akan sakit perut terpingkal-pingkal dikocok tawa. Bagaimana mungkin aku bisa jadi sebodoh itu, seperti buaya yang dikadali sang kancil.

Nanti, pengalamanku itu akan kutuliskan baik-baik dengan tulis-tangan tebal-tipis di atas kertas bergaris halus-kasar. Gaya menulis orang “jadul,” sebagaimana kata Ibumu. Dan akan kuselipkan di antara buku-bukuku. Kalau kau sudah dewasa, dan aku mungkin sudah tiada, bacalah! Saat itu kau tentu sudah memahami arti ketulusan hati dan kesetiaan seseorang yang pandir. Dan orang itu adalah Kakekmu ini, ketika dia masih seorang mahasiswa di sebuah negeri bersalju.

Beruntung, hampir lima puluh tahun lalu, aku dapat beasiswa belajar teknik kapal selam di Moskow. Sungguh mati, Uni Soviet waktu itu bukan surga di bumi. Tetapi, aku sudah merasa seperti berdiri di pintu masuk sebuah taman yang menjanjikan. Setiap bulan aku menerima stipendiya (beasiswa) 90 rubel, dipotong dua rubel untuk bayar obsyezitie (asrama). Dengan uang itu, setiap akhir bulan aku leluasa ngluyur di tokok-toko buku, yang menjual bacaan dengan murah. Dalam bahasa Rusia, aku membaca The Call of the Wild dan The White Fang, yang mencitrakan anjing, binatang kesayangan kita, sebagai lambang pencari kebebasan, karangan novelis Amerika Serikat, Jack London. Novel-novel itu laris seperti kerupuk di Uni Soviet.

Gara-gara buku aku jadi tak bisa menabung. Padahal, aku sudah lama berangan-angan melihat Italia, negeri di mana catatan peradaban masa lalu bisa dibaca dalam berbagai peninggalan berbatu pualam. Alamnya menawan. Cuma ada beberapa kawan yang coba mementahkan hajatku itu. “Jangan pernah ke Italia! Orang-orang tak bersahabat di sana. Banyak pelancong yang tertipu. Penjambret di mana-mana, seperti lalat yang tak pernah kenyang. Karena itu Takhta Suci dibangun Tuhan di sana.”

Tapi, aku keras kepala. Kuturuti kehendak hatiku. Tak punya duit, aku tak kehabisan akal. Di kios-kios penjualan surat kabar di Moskow hanya ada koran partai komunis dari berbagai penjuru dunia. Kubeli L’Unita, dan dengan bahasa Italia yang terbata-bata, dibantu kamus, aku mengadu nasib. Kulayangkan surat pembaca ke koran itu.

“Signore,” nekat aku menyapa. “Saya mahasiswa Indonesia di Moskow. Sejak kecil mimpi mau ziarah ke Italia. Tapi, tabungan saya hanya cukup untuk membeli tiket kereta-api. Saya siap bekerja apa saja untuk membiayai hidup beberapa hari di sana.”

Kiambang bertaut. Surat itu dimuat dan dapat tanggapan. Beberapa keluarga bergairah ingin menjadi tuan rumahku. Namun, belum sempat aku menyurati mereka, tiba-tiba datang telegram dari L’Unita yang mengambil-alih semua kebaikan hati orang-orang yang bersimpati padaku. Koran itu menyatakan siap menyambutku sebagai tamu resmi.

Begitulah, ke mana saja singgah aku disambut. Tak kulupakan bagaimana hangatnya aku didaulat di kantor koran tersebut. Juga anak-anak muda yang menerimaku dengan tulus. Tetapi, bukan itu benar yang ingin kukisahkan kepadamu. Pun tidak tentang kota maupun wanita Italia berambut jagung yang memang cantik jelita.

Musim panas, Sabtu sore, minggu ketiga Juli 1962. Kutinggalkan stasiun kereta-api Bellorusskii Wokzal menuju Belarus, terus menyeberang ke Polandia. Aku menempati coupe paling ujung untuk dua penumpang. Temanku satu coupe seorang perempuan berusia 60-an. Melihat perawakannya yang tidak begitu tinggi untuk rata-rata orang Rusia, dan gerak-geriknya yang gesit seperti marmut, kukira dia berasal dari Asia Tengah. Dia mendapat tempat-tidur sebelah bawah, aku di atas. Kalau siang, tempat-tidur bertingkat itu kami lipat jadi tempat duduk.

Uni Soviet diperintah orang-orang bertangan besi, tetapi mencintai musik. Di sana, perempuan tak bisa meninggalkan negerinya seorang diri. Karena itu, saya terheran-heran melihat perempuan teman sekeretaku itu yang mengelana sebatang kara. Mungkin dia seorang pejabat, kupikir. Tetapi, yang kudengar, pejabat yang bepergian ke luar negeri, harus ada yang mengawal. Khawatir kalau-kalau membelot mencari kebebasan ke negara musuh. Atau memang ada pengawal yang mengawasinya dari gerbong lain?

Ah, itu urusan dalam negeri di mana aku hanya sekadar menumpang. Tapi, perempuan ini memang unik. Selama perjalanan dua malam, sebelum sampai di perbatasan Polandia, di Brest-Litovsk, aku sering dia bangunkan dengan sikap yang kaku, agak kasar malah. Mencolek pinggangku dari bawah.

Molodoi celowek [Anak muda], tolong tanya kondektur, sudah sampai mana kereta kita?”

Seperti seekor tupai yang terusik, turunlah aku mencari kondektur ke gerbong lain sambil ngedumel di dalam hati: “Cerewet amat Ibu Rusia ini, kayak suaminya saja aku dia perlakukan, sesuka hatinya menggelitikku di tengah malam begini.”

Senin siang rangkaian kereta berhenti di Brest-Litovsk. Di perbatasan itu kereta tertahan dua jam lebih, karena harus mengganti roda, dari yang lebar (di Soviet rel kereta-api lebih lebar) ke yang lebih sempit di Polandia. Selama ganti roda, kami memilih tetap berada di dalam gerbong. Aku duduk menghadapnya seperti seorang anak yang sedang menanti nasihat dari ibunya.

“Anda datang dari mana?” Senyum, tanpa menatap mataku, dia memantik percakapan.

Iz Indanezii [Dari Indonesia].”

Selama ngobrol hampir dua jam lebih, wajahnya yang semula mengesankan seorang yang tertutup, tidak supel, lama-lama mencair, dan menampakkan jati diri seorang ibu yang berhati terbuka.

“Setiap tahun saya mengunjungi tiga makam orang yang saya cintai.” Kontan pikiranku yang nakal berbisik, tentulah waktu mudanya dia cantik sekali sehingga dia punya banyak kekasih. “Yang pertama di Ukraina, yang kedua di sekitar Moskow, dan yang ketiga di Polandia,” sambungnya lagi.

Cinta pertamanya adalah suaminya, seorang komandan pasukan tank, yang gugur dalam Perang Dunia II. Yang kedua, putra pertamanya, seorang perwira infantri, yang tewas di sekitar Moskow. Ketiga, putra bungsunya, yang sirna di Polandia sebagai penerbang pesawat tempur.

Saat berbicara kelihatan dia bersusah-payah menyembunyikan kesedihan di wajahnya. Katanya, dia menghabiskan beberapa tahun untuk mencari makam putra bungsunya yang tewas di Polandia itu. Semua biaya perjalanan selama mencari anaknya itu, katanya, ditanggung pemerintah. Sampai akhirnya dia menemukan makam putra bungsunya itu di Katowice, Polandia. Kalau sebelumnnya saban tahun dia mengadakan perjalanan ziarah ke kedua makam di negerinya sendiri, maka untuk perjalanan duka yang ketiga dia harus melintasi perbatasan.

Kereta bertolak kembali. Tiap setengah jam dia menggelitik pinggangku dari bawah, memintaku menemui kondektur, menanyakan sudah sampai di mana kami. Senin sore, kereta berhenti di Katowice. Ibu yang telah memberikan tiga yang terbaik dalam hidupnya untuk Patrioticeskaya Woina, perang patriotik habis-habisan dalam Perang Dunia II, di mana jutaan tentara maupun rakyat biasa Soviet terbunuh, menunjukkan kebaikan hatinya kepadaku. Kuanggap sebagai imbalan untuk gelitik dan kerepotanku mondar-mandir mencari kondektur. Kedua pojok mulutnya tersungging, dia senyum menatap mataku, dan dengan enteng tangannya memberikan semua bekalnya kepadaku: roti hitam, apel, keju serta sosis. “Salamku untuk Emakmu,” katanya mengelus kedua pipiku. Dia juga meninggalkan alamat, dan berharap aku berkenan mengunjunginya suatu ketika.

Desember 1962. Bingkai tingkap asramaku memutih dibalut es. Kujenguk keluar. Hanya ada warna putih. Seluruh alam berselimut salju. Pada saat seperti itu terasa benar bahwa aku berada di perantauan yang jauh, di mana batang kelapa, pohon singkong maupun akar bakau adalah mimpi di balik dunia yang lain. Aku teringat Emakku. Dengan siapa aku cinta dan hormat begitu tinggi. Perempuan Rusia teman segerbongku itu tertawa seperti dikocok perutnya ketika kuceritakan bahwa aku tidak hanya mencium Emakku menjelang tidur. Aku juga kerap menggumulnya, mencium pipinya, merenggut kakinya untuk kucium, hingga dia merasa malu melihat kebiasaanku yang berlebihan itu.

Pahit rasanya kalau rindu tak terpuaskan. Entah bagaimana, lamunanku pada kampung halaman mendorong hatiku untuk melangkahkan kaki ke luar asrama. Berdesak-desakan dengan angin yang perih membekukan pipi, aku menguak butir-butir salju menuju Ceremuskinskaya Ulitsa, tempat tinggal perempuan Rusia, kawan seperjalananku.

Begitu tiba, buru-buru kuketuk pintu. “Ibu! Ini aku, mahasiswa Indonesia. Kawanmu!” kataku mantap. Beberapa kali kuulangi ketukan dan kuucapkan kembali kata-kata itu. Diam. Hanya butir-butir salju yang menyahut, menumpuk di sepatuku.

Aku terpacak di bendul pintu. Sesaat kemudian, tiba-tiba pintu terkuak. Dia berdiri dengan anggun. Kujulurkan tanganku. Cepat dia tangkap dan genggam kuat-kuat. Tanpa canggung-canggung kudekap dia. “Aku rindu negeriku, kangen Emakku, maka aku ke sini,” ucapku tanpa malu-malu.

Melihatku kedinginan, dia langsung mempersilakan aku masuk. Dia sibuk menyiapkan minuman, nyamikan, dan menghidangkannya. Sebagai balasan kuberikan majalah Druzhba, sekalipun kusangka dia sudah membacanya. Di situ aku menulis kisah pertemuanku dengannya, terutama upayanya bertahun-tahun mencari jiwa manusia ketiga yang telah dia sumbangkan untuk tanah airnya. “Hatimu Seputih Salju”.

Begitulah aku memujanya yang kuungkapkan dalam judul tulisanku itu.

Dia letakkan album foto di pangkuanku, membukakan halaman di mana dia kelihatan sedang berdiri di samping suaminya. Di lembar foto yang lain, dia tampak begitu hangat dengan kedua putranya. Mereka tertawa lepas, saling beradu pipi.

“Liliana meninggal musim gugur lalu,” katanya seperti menggigil sambil mengusap airmatanya. “Kecelakaan lalu lintas.”

“Yang di dalam foto-foto ini adalah Ibu.”

“Bukan. Bukan. Saya saudara kembar Liliana.”

“Apa salah saya, sehingga Ibu harus berbohong. Kalau Ibu tak mau saya kunjungi, katakan terus terang. Saya datang dari negeri yang jauh. Mengapa Ibu memperdaya?”

Dia gugup, menghampiri pangkuanku, mengatupkan album foto yang terbuka di pangkuanku, dan membawanya ke dalam kamar.

“Saya tahu saudara mengasihi, mengagumi, Liliana. Terima kasih. Saya tak bisa berbuat apa-apa untuk membalas kebaikan saudara,” katanya bergetar.

Aku mematung di sofa. Tak percaya dengan apa yang terjadi di ruang tamu itu. Perlahan aku bangkit dan beringsut mau pergi. Dari belakang terasa tangannya memegangi bahuku. “Maafkan…” ucapnya lembut tersendat. Aku tak memalingkan muka, terus melangkah menerabas bulir salju. Merasa sedang dipermainkan.

Seminggu kemudian, aku datang kembali. Ketika bersalaman, kuperhatikan baik-baik jarinya, terutama telunjuknya yang suka menggelitikku. Aku mematut-matut diri di depannya. Aku tak salah ingat, tinggi kami sama. Kutatap matanya lama-lama. Juga kening dan kerut di lehernya. Aku tak pernah salah, dialah perempuan itu. “Maaf, Liliana sudah tak ada….” Begitulah dia terus mengulang-ulang kata yang menyakitkan itu. Dia membiarkan aku masuk. Membiarkan aku termangu.

Minggu berikutnya aku datang lagi. Dan datang, datang lagi, dengan keyakinan persahabatan tak boleh mati. Hatiku kecut ketika menerima surat dari dosenku, yang meminta aku supaya berhenti berkunjung ke rumah perempuan itu. Dasar kepala batu, aku tetap saja datang bertandang. Mengapa persahabatan harus dibungkam dengan cara licik begitu, pikirku. Sampai pun ketika sepasang Tentera Merah mencegatku di pintu, mencekal leher bajuku. “Durak…!” Sinting! Maki mereka berbareng, meludahi mukaku. Aku beranjak, menepiskan ludah yang membeku di pipiku. (*)

 

 

(Kepada Djoko Sri Moeljono, ilham cerita ini)

 

 


Filed under: Martin Aleida Tagged: Kompas

Sepanjang Jalan Cinta

$
0
0

Cerpen Irwan Kelana (Republika, 18 November 2012)

Sepanjang Jalan Cinta ilustrasi Rendra Purnama

SEORANG lelaki tak bisa lari dari takdirnya sendiri. Ia tak bisa menolak manakala takdir cinta menghampirinya.

Delapan  tahun lalu, saat Tuhan  memanggil Rindu kembali ke haribaan-Nya, Bayu merasa amat terpukul. Mengapa Dia  mencerabut wanita yang sangat dikasihinya–seorang istri yang sangat lembut dan penyayang–dari kehidupannya? Mengapa secepat itu wanita yang merupakan cinta pertamanya sejak SMA  meninggalkannya dengan menitipkan dua orang putra yang baru duduk di bangku kelas I SMP dan kelas V SD?

Suatu malam, seusai menunaikan tugas suami-istri yang sangat indah, istrinya berbisik di telinganya.

“Mas percaya kepada Allah?”

Bayu tertawa kecil. “Ya iyalah.”

“Betul-betul percaya kepada Allah?” tanya istrinya lagi.

Bayu tersenyum, tapi instingnya mengatakan, ada sesuatu. “Betul, sayang, saya percaya kepada Allah, dan benar-benar percaya kepada-Nya. Ada apa sih?”

Rindu  tidak langsung menjawab. Wanita yang mulai berjilbab sejak masuk SMP Al-Azhar  itu  mengukir segurat senyum indah.

“Kalau Mas betul-betul percaya kepada Allah, ketahuilah bahwa Rin  didiagnosis dokter terkena leukemia. Secara hitung-hitungan dokter, umur Rin  tinggal empat bulan.”

“Apa?” Bayu terhenyak. Ia seakan tak percaya apa yang baru saja didengarnya dari mulut  istrinya.

Namun sang istri lagi-lagi tersenyum. Ia tidak sedikit pun memperlihatkan rona kekhawatiran.

“Mas jangan cemas. Masih ingat ‘kan ceramah Ustadz Yusuf  di televisi bulan lalu: kematian tidak ada hubungannya dengan  penyakit. Kematian datang ketika Allah SWT memanggil hamba tersebut untuk kembali kepada-Nya. Berapa banyak orang yang sakit parah, bahkan sangat parah, dan menurut  dokter umurnya hanya tinggal hitungan minggu atau bulan, namun ternyata bisa sembuh? Sebaliknya, tidak sedikit orang yang segar bugar tiba-tiba meninggal, misalnya karena tabrakan atau pesawat yang ditumpanginya tercebur ke laut?”

“Tapi, Cantik….” Bayu selalu senang memanggil istrinya dengan panggilan kesayangan “Cantik”.

Sang istri meletakkan jari telunjuk di bibir suaminya. “Mas, dalam keadaan bagaimanapun, tiada yang lebih baik bagi kita selain bersyukur kepada-Nya. Bersyukur atas segala karunia dan ketentuan-Nya.” Suaranya mengalun begitu lembut, menembus langit malam.

Sejak itu hari-hari Bayu selalu diliputi kesedihan dan kekhawatiran. Batinnya tidak tenang. Namun sang istri–yang sama-sama aktivis Rohis saat kuliah di IPB Bogor, selalu menghiburnya.

“Mas takut ya, kalau Rin meninggal?”

“Tentu saja. Lelaki mana yang tidak khawatir ditinggalkan istri secantik bidadari seperti kamu?

“Ah, Mas ini suka melebih-lebihkan.”

“Saya serius. Dulu saat remaja saya sering bertanya-tanya tentang hadis Nabi yang mengatakan bahwa wanita yang salehah itu lebih berharga dari dunia dan seisinya. Apakah betul demikian? Namun setelah menikah denganmu, saya mengakui bahwa apa yang Rasul katakan memang benar adanya.”

Rindu menggenggam tangan suaminya, lalu menciumnya.

“Tak usah khawatir, sayang. Kalaupun Allah memanggil Rin lebih dulu, Allah pasti telah menyiapkan pengganti yang lebih baik. Lebih segala-galanya dibanding Rin yang selama ini mungkin masih sering membuat Mas kesal dan kecewa.”

“Kamu ini ngomong apa sih?”

“Kita ini  makhluk Allah, tidak bisa lari dari takdir Allah. Dan Rin tidak akan lari dari takdir Allah. Kapanpun Allah memanggil Rin untuk pulang, Rin sudah siap. Mas pun tidak mungkin lari dari takdir Allah. Kalau Allah telah menyiapkan wanita lain yang akan menemani hari-hari Mas, tidak usah ditolak.”

Lagi-lagi Rindu tersenyum. Membuat Bayu jadi keki sendiri.

“Hati kamu terbuat dari apa sih? Kok tidak ada takutnya sama sekali?”

Kali ini Rindu tertawa kecil. Matanya berbinar-binar. Ia memeluk suaminya. “Yang membuat Rin tenang dan ikhlas menyambut setiap takdir Allah, karena Rin  percaya kepada-Nya, dan di sisi Rin ada seorang suami yang luar biasa: Mas.”

Enam bulan kemudian, Rindu meninggal dunia dengan senyum menghias bibirnya.

***

Kepergian Rindu membawa separuh hidupnya. Hanya dua anaknya itu–yang padanya Bayu menemukan guratan dan jejak-jejak istrinya tercinta–membuatnya mampu bertahan menjalani kehidupan.

Hingga suatu hari, dua tahun kemudian, ada seorang karyawati baru di kantornya. Ia terhenyak melihat gadis itu seakan mewarisi segala kelembutan dan keanggunan almarhumah istrinya. Bahkan ia memiliki nama yang sama: Rindu.

Kehadiran gadis itu mengguncang hatinya. Ya, Tuhan, apa maksud-Mu dengan semua ini? Rencana apa yang telah Engkau siapkan untukku? Aku mencintai almarhumah istriku dan selalu mencintainya. Apakah Engkau telah menyiapkan sebuah takdir lain bagiku?

Namun begitu ingat usianya yang sudah kepala empat, dia pun segera tersadar. Ia bangkit  dari perasaan sentimentilnya kepada logika. Tidak pantas aku yang sudah berusia 40-an, seorang duda beranak dua, mengharapkan cinta dari seorang gadis muda berusia 20-an, yang cantik dan salehah dan dengan mudah  bisa mendapatkan suami yang sebaya dengannya dan saleh pula. Apalagi aku pun belum bisa memisahkan, apakah aku mencintainya karena kesalehannya atau karena kemiripannya dengan almarhumah istriku.

Ia selalu berusaha bersikap sewajar mungkin kepada Rindu. Namun ternyata ia tak bisa membohongi perasaannya. Ia benar-benar jatuh cinta kepada Rindu. Betapa menyiksa manakala kita setiap hari bertemu dengan seseorang yang kita cintai, namun kita harus mengatakan kepada hati kita bahwa kita tidak boleh mencintainya.

Ketika ia tak tahan lagi memendam perasaan cinta itu, maka ia memutuskan menerima tawaran untuk menjadi direktur sebuah perusahaan tambang di Kalimantan. Ia ingin menjauh dari Rindu. Menjauh sejauh-jauhnya. Agar matanya tak pernah lagi melihat kelebatan sosok yang anggun itu.

Siapa sangka, ternyata gadis berdarah Bandung-Cirebon itu pun menyimpan perasaan yang sama terhadap Bayu? Hal itu diketahuinya setelah setahun dia bekerja di Banjarmasin. Maka dia memutuskan datang ke Jakarta untuk  menemui Rindu. Namun pesawat yang ditumpanginya gagal mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Hanya keajaiban Tuhan yang membuatnya selamat dari kecelakaan maut tersebut. Menjelang Shubuh, Rindu dengan sorot mata rindu dan penuh kekhawatiran menjenguknya di rumah sakit tempat ia dan sejumlah korban lainnya dirawat.

***

Hanya tiga hari setelah pulang dari RS, Bayu memutuskan untuk melamar Rindu ke rumah orang tuanya di Bandung. Dia diantar oleh anak-anaknya yang tengah libur kuliah seusai ujian semester. Andre semester tujuh fakultas kehutanan UGM Yogyakarta. Indra semester tiga fakultas ilmu budaya UI Depok.

Hyundai H-1 warna putih susu yang mereka tumpangi melaju tenang di jalur tol Cikampek. Sepanjang kiri-kanan jalan, pemandangan didominasi oleh kawasan industri, pabrik dan sawah.

Mereka  mampir di rest area km 57. Shalat Dhuha di Masjid At-Taubah.  Kemudian menikmati kopi di salah satu kedai yang ada.

Mereka melanjutkan perjalanan, dan mengambil jalur tol Cipularang menuju Bandung. Sepanjang rute Dawuan, Sadang hingga Purwakarta di KM-86 hingga KM-97, pemandangan di kiri kanan jalan didominasi oleh aneka pohonan, terutama akasia, sengon dan lamtorogung. Di sekitar Sadang, lebih jauh ke belakang, masih tampak pohon-pohon jati. Mulai KM-98 sampai KM-110 berganti dengan pemandangan kebun teh yang sangat indah.

Sepanjang perjalanan, hati Bayu campur aduk antara bahagia dan terharu, menjemput takdir cinta yang telah Allah persiapkan untuknya.

“Kok melamun, Yah?” tanya Andre yang menyetir mobil.

“Ayah teringat mama. Sejujurnya, Ayah tidak ingin menduakan cintanya.”

“Jangan khawatir, Yah. Ayah ‘kan tidak menduakan cinta mama. Aku yakin, mama di sana pun pasti ikhlas kok,” Indra menimpali.

Menjelang keluar tol Pasteur, di kiri jalan banyak billboard factory outlet dan hotel, siap menyambut para turis yang datang ke Bandung.

Mereka  keluar di KM-123 pintu tol Pasteur. Kemudian mobil melintasi Jalan Pasteur (sering juga disebut Jalan Junjunan), naik ke atas melewati Jembatan Paspati, turun di depan lapangan Gazebu. Sekitar setengah kilometer kemudian, mobil masuk ke kompleks perumahan Sukaluyu, salah satu kompleks perumahan kelas menengah atas di Kota Bandung.

Rindu dan Tyas mengintip dari balik jendela.

Tyas berbisik, “Itu orangnya? Ganteng juga. Teteh pintar memilih.”

“Husss, kamu,” Rindu mencubit lengan adiknya.

“Guratan ketampanan masih tampak di wajahnya. Dan perutnya pun rata, tidak buncit seperti kebanyakan lelaki kalau sudah berusia 40 tahun ke atas.”

“Dia rajin olahraga jogging dan bulu tangkis. Dia juga rajin puasa Senin-Kamis. Bahkan sejak SMA dia sudah puasa Senin-Kamis.”

“Kok Teh Rindu banyak tahu tentang Pak Bayu? Jangan-jangan Teteh naksir dia udah lama ya?” Tyas terus menggoda kakaknya.

“Kamu ngomong apaan sih? Awas ya!” Rindu berniat mencubit adiknya, namun sang adik keburu lari.

Suasana lamaran awalnya rada kikuk, terutama saat orang tua Rindu memanggil Bayu dengan panggilan “pak” atau “mas”. Tapi akhirnya suasana cair.

Apalagi ketika Andre berkata, “Pak Haji Surya dan Bu Hajjah Haryati, kami mohon semoga Bapak dan Ibu mengizinkan ayah kami melamar dan menikahi Teh Rindu. Seperti ayah, kami juga yakin Teh Rindu akan menjadi istri yang salehah bagi ayah, dan ibu yang baik bagi kami.”

Rindu meneteskan air mata mendengar ucapan Andre. Kedua orang tuanya pun sangat terharu.

Bu Haryati bertanya kepada suaminya, “Bagaimana, Pak?”

Haji Surya meneguk teh sejenak, kemudian berbicara, “Apa lagi yang bisa dilakukan orang tua ketika seorang lelaki yang baik datang melamar anaknya? Bukankah Rasulullah menegaskan, jika datang seorang lelaki yang saleh hendak melamar anak perempuanmu untuk dijadikan  istrinya, hendaklah engkau menerimanya. Sebab, kalau tidak, akan terjadi fitnah. Namun, sebagai orang tua, kami  menyerahkan keputusan hal ini kepada anak kami, Rindu, sebab dialah yang akan menjalani bahtera rumah tangga tersebut.”

Rindu tepekur menatap karpet warna ungu.

“Bagaimana, Rin?” Tanya Haji Surya.

“Iya, bagaimana, Rin? Papa dan Mama sih terserah kamu. Kamu sudah dewasa dan tahu mana yang terbaik untukmu.”

Bayu dan anak-anaknya menunggu dengan harap-harap cemas.

Rindu mendongakkan wajahnya, tepat ketika  Bayu melirik ke arahnya. Ada kilatan indah melesat dari matanya dan tepat menghunjam di jantung Bayu. Betapa indah. Bayu berharap dia dapat selamanya menikmati sorot mata bening itu.

“Mama dan Papa. Rin sudah istikharah dan minta kepada Allah SWT dalam Tahajud dan doa-doa Rin seusai shalat fardhu. Rin yakin Mas Bayu insya Allah merupakan jodoh yang telah Allah SWT siapkan untuk Rin.”

“Kalau begitu, berarti kamu menerima Pak eh Mas Bayu?” Tanya papanya meminta kepastian.

Rindu mengangguk. “Ya, Pa, Insya Allah, ini keputusan yang dibimbing Allah SWT.”

“Alhamdulillah,” kata Haji Surya dan istrinya bersamaan.

Bayu dan anak-anaknya pun menggumamkan kalimat yang sama. Lega hati mereka, terutama  Bayu.

Bayu menatap  Rindu  lekat-lekat. Belum pernah dia berada sedekat ini dengan gadis bermata indah itu. Baru dia sadari ternyata gadis itu jauh lebih cantik. Sama sekali tidak kelihatan kalau usianya sudah 28 tahun. Subhanallah, dia kelihatan empat tahun lebih muda dari usianya. Wajahnya begitu segar, dan kerudung putih yang dikenakannya membuat aura kesucian memancar begitu indah. Selama ini Bayu tahu ada lesung di pipi kiri Rindu. Namun baru sekarang dia menyadari ternyata lesung pipi itu begitu jelas dan membuatnya makin memesona.

“Terima kasih ya Allah. Aku kehabisan kata-kata untuk mensyukuri nikmat-Mu ini,” bisik Bayu perlahan.

Rindu merunduk. Hatinya begitu sarat perasaan bahagia. “Terima kasih, Mas,” ujarnya perlahan. Wajahnya merona merah jambu.

Acara pernikahan diputuskan bulan depan. Hari Jumat. “Kita mencari keberkahan menikah di hari Jumat. Rasulullah menganjurkan demikian,” kata Haji Surya.

***

Pulang dari Bandung, Bayu dan anak-anaknya mampir di rest area Terusan Pasteur. Menikmati hangatnya somay Situ Indah. Lalu membeli oleh-oleh khas Bandung di Toko Jaya Rasa: keripik tempe, keripik oncom, sale pisang basah, sale pisang kering, dan rengginang.

Mereka melanjutkan perjalanan pulang ke Depok. Kali ini Indra yang menyetir. Andre duduk di samping sopir, sedangkan Bayu duduk di barisan  tengah.

Hujan turun sangat deras. Di kilometer 96, tiba-tiba ada mobil yang mengerem mendadak. Indra tak bisa menguasai mobil tersebut, sehingga terguling ke samping. (*)

 

 

Jakarta, Juni 2012

Irwan Kelana, seorang jurnalis yang juga cerpenis dan novelis. Sejumlah novel dan buku antologi cerpennya sudah diterbitkan, antara lain Kelopak Mawar Terakhir, Kemboja Terkulai di Pangkuan, dan Meniti Jarak Hati. Saat ini ia bekerja di harian Republika.

 

 


Filed under: Irwan Kelana Tagged: Republika

Kura-Kura Sungai Kamo

$
0
0

Cerpen Akira Adhisurya (Suara Merdeka, 18 November 2012)

Kura-kura Sungai Kamo ilustrasi Suara Merdeka

PERNAHKAH terselip keinginan pada diri kita untuk, betapa pun kecilnya, kembali ke masa lampau, menghidupinya lagi seperti masa kini? Tanpa kita sadari itulah yang sebenarnya terjadi ketika kita melangkah ke dunia maya. Itulah salah satu esensi Facebook yang sekarang nyaris dimiliki siapa saja asal dia tidak buta internet. Bukankah jejaring sosial ini mempertemukan kembali para pelaku masa lampau? Selain teman masa kini dan teman yang belum pernah ditemui, seorang pemilik profil Facebook pasti juga kembali bersua dengan teman masa lalunya. Tidak jarang pula perjumpaan di alam maya Facebook berlanjut dengan pertemuan yang sebenarnya: para pelaku masa lampau akhirnya kembali bergaul di masa kini.

Layak kutegaskan, pertemuan yang berikut kututurkan bukanlah gagasanku. Itu ide Wati tak lama setelah kuberitahu tentang kedatanganku. Dalam salah satu pesannya, dia sudah kirim ratusan pesan sejak satu setengah tahun bergaul lewat Facebook denganku, adik kelas bekas asistenku ini mendesak-desak untuk bertemu secepatnya, karena 10 hari kemudian dia akan pulang kampung dan itu berlangsung selama sebulan lebih.

“Aku datang sama-sama Yumi ya, masih kenal kan?” Wati akhirnya menghubungiku lewat telepon antarbenua.

“Masih dong, bagaimana bisa melupakan Yumi?” Aku pura-pura tetap tenang, walau darah tersirap dan jantung riuh berdegup mendengar nama itu disebut.

Baru belakangan kutahu, walau tak seangkatan, Wati ternyata kenal, bahkan bersohib kental dengan Yumi. Setelah menikah dengan Sawamura Yoshio, tapi tetap memilih bernama Dyah Sekarwati, ia tinggal mengayuh sepeda kalau ingin bertemu Yumi. Mereka tidak hanya sekota tapi juga selingkungan di wilayah Kansai, Jepang Barat.

Lebih dari itu, ini mungkin yang mendekatkan mereka, keduanya (pernah) punya hubungan dengan pria asing, Wati dengan Sawamura dan Yumi dengan aku, walaupun akhirnya jalan hidup masing-masing berbeda. Betapa tidak? Mereka naik ke pelaminan. Sedangkan aku? Yumi yang begitu cantik dan cerdas itu kutinggal saja, karena ketika pindah ke Amsterdam sebagai akademikus pemula, kupilih orang lain. Baiklah akan kututurkan kisahnya. Dalam perkara Yumi, pena ini selalu ingin menggoreskan banyak cerita.

Setelah pembicaraan telepon dengan Wati, aku tak pernah lagi secara khusus berupaya bertanya soal rencananya ke Kyoto untuk menjengukku. Dia berharap bisa cepat-cepat ketemu Yumi yang baru saja kembali ke Jepang setelah satu setengah tahun bekerja di luar negeri. Kontak dengan Wati, seperti yang sudah-sudah, hanya melalui Facebook.

Aku sendiri tenggelam dalam pelbagai kesibukan kerja dan mengurus keberangkatanku. Mulai dari soal visa, tiket pesawat, sampai masalah izin tinggal di Belanda yang ternyata akan harus diperbaharui supaya aku bisa kembali ke Amsterdam. Belum lagi urusan flat di Kyoto yang butuh penanganan khusus, karena flat di perumahan internasional Oubaku sudah penuh.

Dalam keadaan seperti ini, aku hanya menjawab beberapa pertanyaan Wati. Tak pernah kuajukan satu pun pertanyaan padanya. Padahal betapa banyak yang ingin kutahu soal Yumi: siapa pasangan hidupnya, berapa anaknya, bekerjakah dia, seperti yang selalu dia inginkan dan masih banyak lagi. Wati pasti bisa memuaskan dahaga yang satu ini.

Menyusul pembicaraan telepon itu, kuduga Wati cuma berolok-olok ketika bertanya adakah diriku masih kenal Yumi. Tapi beberapa hari kemudian pikiranku berubah. Sama sekali tak terdengar nada sindiran pada cara Wati bertanya, tak pula kudengar isyarat nakal bahwa ia tahu aku pernah begitu dekat dengan Yumi.

***

KALAU kupikir-pikir, Wati sendiri juga baru pindah ke Kobe tahun 1992, beberapa tahun setelah hubunganku dengan Yumi kandas. Layaklah untuk disimpulkan: Wati memang tak tahu aku dan Yumi nyaris menikah. Yang lebih penting lagi, ini berarti Yumi, walaupun begitu dekat dengannya, tidak pernah memberi tahu Wati betapa dulu dia sempat begitu dekat denganku.

Maukah Yumi menerima ajakan Wati menemuiku di Kyoto? Soal ini aku sering tercenung. Kalau memang tak ingin memberitahu hubungan yang pernah ada antara dia dengan aku, Yumi pasti akan menerima ajakan itu, kecuali kalau dia ada urusan lain. Itu pertimbangan optimistisku. Bukan tanpa alasan, satu setengah tahun bersanding dengannya, aku yakin Yumi selalu optimis dan pragmatis.

Yang jelas pada suatu malam, ketika sedang menyusuri profil dan foto-foto baru Wati pada Facebook, mataku tertancap pada nama Kitada Yumi, salah satu teman facebookWati. Kembali jantungku ribut berdegupan. Kubuka profil itu, tapi tentu saja tak bisa, karena aku tak berteman dengannya.

Yumi jelas tidak menggunakan Facebook untuk unjuk diri, apalagi nampang. Ia tak akan mengizinkan orang lain—yang bukan sahabat—untuk menjenguk profilnya. Lain sekali dengan orang Medan kenalanku yang sekarang tinggal di Groningen itu. Dia bentangkan profilnya untuk umum, teman atau bukan, termasuk semua fotonya. Pada profil Yumi hanya tampak satu fotonya. Itu pun tak bisa dibesarkan. Walau begitu bisa terlihat Yumi sudah berubah dari yang pernah kukenal, nyaris 25 tahun silam. Sekarang raut muka dan sorot matanya lebih memancarkan wibawa dan rasa percaya diri.

Haruskah kukirim permintaan menjadi teman? Atau mungkin kirim pesan dulu? Dalam bahasa apa? Bahasa Inggris atau bahasa Indonesia? Pernah kudengar, ketika hubungan kami berakhir, Yumi pergi ke Indonesia, menjadi guru bahasa Jepang pada sebuah SMA. Entahlah, tak bisa langsung kuputuskan. Malam sudah larut dan kantukku sudah terlalu berat untuk bisa mengambil keputusan pelik ini. Dengan meraba-raba, karena mata sulit dibuka lagi, kumatikan komputer untuk melangkah terhuyung-huyung ke tempat tidur, tanpa kurasa perlu gosok gigi dulu. Aku langsung terlelap, tak ditegur lagi karena dia yang terbaring di sisiku juga sudah di alam mimpi.

***

YUMI memanggil-manggil, sementara aku telungkup dalam selokan dengan tangan terikat ke belakang dan mulut tersumbat. Bagaimana bisa menjawab panggilan itu? Aku hanya bisa bergerak-gerak dan berupaya mengeluarkan suara dari mulut yang tersumbat. Tentu saja Yumi tak bisa mendengarku.

Mimpi seperti itu membulatkan tekatku: begitu bangun segera kukirim permintaan pertemanan pada Yumi. Diterima syukur, tidak juga tak apa. Begitu pikirku, seraya bergegas mengayuh sepeda ke tempat kerja. Mimpi membuatku kesiangan. Hari itu aku sibuk seharian di laboratorium, sehingga tak ada waktu lagi bagi internet apalagi Facebook. Ketika malamnya sampai di rumah, itulah yang pertama-tama kulakukan, melihat Facebook. Bisa jadi senyuman lebar menyungging di bibirku mendapati permintaanku diterima oleh Yumi.

Belum lagi lepas sepatu atau ganti pakaian, langsung kubenamkan perhatianku membuka-buka profil Yumi. Sendirian setiap Rabu malam, aku bisa terus asyik tanpa ada desakan berbuat lain. Dari foto-fotonya tampak ia banyak bergaul dengan orang Indonesia, yang perempuan sebagian berjilbab, yang pria biasa-biasa saja, tidak berbaju koko atau berjanggut. Siapakah mereka? Jumlah temannya tidak banyak, tidak sampai seratus orang. Satu-satunya teman berbarengan kami adalah Wati. Pada bagian info juga tidak banyak keterangan, kecuali alamat emailnya. Dugaanku terbukti: Yumi bukan orang yang menggunakan Facebook untuk nampang dan unjuk diri. Kesanku, jejaring sosial ini hanya digunakannya untuk berhubungan dengan kenalannya, terutama orang Indonesia.

Apalah mesti kuperbuat? Haruskah kugoreskan pesan pada dindingnya, haruskah kukirim pesan pada kotak suratnya? Bagaimana sebaiknya menyapa Yumi? Untung kulihat dua hari sebelumnya dia ulang tahun, beberapa pesan yang ada di dindingnya berisi ucapan selamat. Betapa bodoh diriku tak ingat lagi hari ulang tahunnya! Segera kutulis ucapan serupa, ditambah terima kasih karena sudah mau berteman, dalam bahasa Inggris. Kami memang bertegur sapa dalam bahasa itu. Aku tak bisa bahasa Jepang, dia, waktu itu, tak bisa bahasa Indonesia, kami tergantung pada bahasa ketiga. Inggrislah jadinya.

***

DUA hari kunanti, tak ada jawaban. Aku mulai resah: jangan-jangan ini balas dendamnya karena dulu, ketika belum ada surat elektronik atau fax, dia sering lama menanti suratku. Memang sering kutunda-tunda membalas suratnya. Kalau kulihat-lihat profilnya, dan ini sudah berkali-kali kulakukan, sebenarnya Yumi memang tidak membalas pelbagai ucapan selamat yang terpampang pada dinding facebook-nya. Jadi sulit dikatakan itu merupakan balas dendamnya terhadapku.

Kebetulan hari itu kuterima alamat flat yang akan kuhuni kalau, dalam beberapa hari, aku tiba di Kyoto. Flat itu terletak di Jyodoji, bilangan Sakyo, dekat kuil perak Ginkaku-ji, Kyoto Barat. Ini memang masih di sekitar kampus pusat, artinya jauh dari Kampus Uji, tempat kerjaku. Terbiasa dengan keramaian  Leidseplein di jantung Amsterdam, aku ogah menyepi ke pinggiran Kyoto. Ke kampus Uji tidak terlalu sulit, sejam sekali ada bus bolak-balik ke sana dari kampus pusat. Bagaimana kalau kukirim pesan berisi alamat itu kepada mereka berdua, Yumi dan Wati? Bahkan alamat asli dalam aksara Kanji? Tanpa pikir panjang lagi itu kulakukan.

Ketika bangun esok paginya, sebelum ke kamar kecil, komputer kunyalakan dulu. Pancingan mengena! Yumi bereaksi, dalam bahasa Inggris ia berterima kasih atas pemberitahuan itu, dan kepada Wati, dalam bahasa Indonesia, dia menyatakan hanya bisa tanggal 3 Juni. Sekembali dari kamar kecil, kudapati pesan Wati, setuju dengan tanggal itu. Tentu saja itu soal rencana pertemuan denganku, jadi Yumi akan datang! Kali ini jantungku serasa melonjak, mungkin karena bosan harus terus berdegup. Kurasa aku harus bertindak sopan, jadi kutanyakan dulu ada apa tanggal 3 Juni itu.

Sejak saat itu mulai terjalin kontak dengan Yumi, tidak secara pribadi, tapi selalu bersama Wati. Aku tak berani menyapanya sendiri, misalnya dengan mengirim pesan langsung padanya. Apa yang mesti kugoreskan? Sesuatu tentang masa lampau? Darinya juga tak kuterima pesan khusus. Semua pesan yang dikirimnya selalu ditujukan pada Wati (Wati-sama, sapaan pembuka surat dalam bahasa Jepang) dan aku (Dewa-sama).

Ketika kuberi tahu alamat Kyoto itu, Wati langsung menjawab dengan memberitahu nomor telepon genggamnya. Kemudian kujawab pula dengan nomor ponsel Belandaku serta alamat kantorku, Kagaku Kenkyu-Jo, artinya Institut Penelitian Kimia, Universitas Kyoto. Aku berjanji akan memberitahu nomor telepon kantor, begitu kuketahuinya.

Jujur saja, kepada Yumi dan Wati aku juga ingin pamer: bukan sembarangan kalau seseorang bisa diterima sebagai peneliti tamu pada salah satu lembaga penelitian tertua (didirikan tahun 1926) dan bergengsi Jepang ini. Apalagi di masa lampau salah seorang penelitinya pernah meraih Hadiah Nobel Kimia. Memang belum ada orang sebangsa yang memperoleh kehormatan ini, tapi terus terang itu juga bukan ambisiku. Mana mungkin aku yang meniti karier di luar negeri ini bisa meraih kehormatan setinggi itu? Aku cuma berharap pengalaman Jepang ini akan sedikit mengobati rasa bersalah karena sepanjang karier aku terus-terusan membelakangi Tanah air. Dengan kesempatan melanjutkan penelitian spektometri massa, aku berharap bisa memperbesar peluang pulang kampung. Di Tanah Air, orang mulai melihat makna dan manfaat spektometri massa, paling sedikit sebagai tolok ukur dalam indentifikasi isotop atau molekul.

Yumi ternyata diam saja. Semula aku berharap dia akan juga memberitahu nomor ponselnya, sehingga aku bisa kirim SMS. Harapan kandas, karena Yumi tak melakukannya. Seolah mengelus dada, aku hibur diri sendiri dengan berkata, kita akan bertemu tanggal 3 Juni, dan sekarang sudah tanggal 31 Mei. Waktu itu aku tengah melangkah masuk pesawat di Bandara Schiphol, Amsterdam, yang membawaku ke Bandara Internasional Kansai di Osaka.

***

TANGGAL 1 Juni, sore hari, aku datang ke kantor baruku. Beberapa urusan administrasi perlu kubereskan, mulai dari kartu identitas, kode masuk komputer sampai kontrak dengan Kyodai, Universitas Kyoto, singkatan bahasa Jepang. Sekitar jam empat aku punya waktu untuk duduk di kursiku, menyalakan komputer. Tentu saja tujuan utamaku adalah Facebook, kuberi tahu nomor telepon kantorku.

Jawaban mereka berdua tak perlu lama kunanti, Wati maupun Yumi mengucapkan selamat datang beserta harapan-harapan lain. Yang membuatku terkejut adalah pesan khusus Yumi untuk Wati. Isinya: kalau ingin tahu nomor telepon genggamnya, harap kirim surat elektronik, lalu ditulisnya alamat elektroniknya seperti yang tertera pada profil Facebook.

Kembali jantungku riuh berdegup. Kenapa ini dilakukannya? Bukankah ini provokasi frontal terhadapku? Aku mesti berbuat apa? Haruskah kukirim surat elektronik untuk juga minta nomor ponselnya? Di tengah rentetan pertanyaan itu,  bagiku tindakan Yumi ini cuma bermakna satu: ia tak mau aku tahu nomor telepon genggamnya. Jadi buat apa memaksa-maksa? Begitu dadaku kuelus, begitu diri kuhibur. Dua hari lagi dia akan datang, itu yang penting. Kalau sekarang sudah memaksa-maksa bisa jadi dia malah tidak akan datang. Alhasil provokasi telanjang ini kudiamkan saja.

Malam harinya aku sulit tidur. Entah kenapa. Sulit dipercaya ini karena jet lag, karena biasanya jet lag baru menghantamku kalau balik Amsterdam. Pasti antisipasi bertemu Yumi telah membuat kantuk tak jua menjelang. Aku terhentak mendengar bel, rupanya ada tamu. Maeda-san, si pemilik flat, pagi itu memang berjanji datang untuk memberesi administrasi sewa.

Hari kedua berlalu seperti aku tidak menjejakkan kaki di bumi. Tidur tetap tak nyenyak, sering terbangun. Mungkin ini karena permukiman dan kasur baru. Tak henti-hentinya kupandangi flat tiga ruangan itu, terutama kamar tidurnya. Semuanya mungil, aku ragu tempat tidur ini akan cukup untuk dua orang kalau pada bulan terakhirku nanti dia tiba dari Amsterdam. Akhirnya, ketika fajar merekah, kuputuskan bangun saja. Pagi itu, aku ingin cepat hadir di kampus, tak sabar menanti Yumi dan Wati.

***

DI luar dugaanku ternyata Yumi dan Wati tidak datang bersamaan. Semalam Wati mendadak harus ke Nara, besuk mertuanya yang dirawat di rumah sakit. Jadi dia datang dari Nara sedangkan Yumi dari Kobe. “Yumi duluan, aku menyusul,” Wati mengakhiri pesannya pada kotak surat profil facebook-ku.

Seperti disepakati, jam 12 kurang beberapa menit telepon di mejaku berdering, kuangkat, kuucapkan moshi-moshi (cara orang Jepang menerima telepon), maka terdengar kembali suara itu, suara yang terakhir kali masuk telingaku hampir seperempat abad silam. Nyaring, walau ada sedikit getaran, nyaris seperti isakan. Sebenarnya dia hanya mengatakan sudah ada di resepsionis. Dalam bahasa Inggris, kukatakan aku segera menjemputnya.

Yang tampak di hadapanku adalah seorang perempuan matang separuh baya lengkap dengan wibawanya. Itu tidak tertutup oleh pakaian musim panas santai yang dia kenakan. Jelas beda dengan Yumi yang dulu sempat kusandingi. Waktu itu dia masih malu-malu dan ragu-ragu, walaupun sudah tampak cerdas karena sering bertanya. Aku ingat benar ketika bibir mungilnya untuk kali pertama kali (untung hanya lututku yang gemetaran, bukan bibirku), keesokan harinya, mungkin sebagai tanda perhatian khusus, Yumi ingin menambatkan tali sepatuku. Kaget atas tindakan seperti pembantu ini, segera dia kularang. “Bukan itu tanda kasih yang kuharapkan darimu”, pasti aku terdengar ketus mengucapkannya. Sejak itu kami selalu berupaya duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Walau begitu, kadang-kadang, mungkin karena pembawaan atau adat istiadatnya, ia masih ingin melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip bersama itu. Sekarang, tak perlu diragukan lagi, prinsip bersama itu telah mematangkannya. Yumi yang semampai, menawan, penuh pesona, dengan lekukan bibir yang membangkitkan gairah kini kembali berdiri di hadapanku.

Tergulat gugup, aku nyaris gagap, salah tingkah tak keruan, tak tahu mesti berbuat apa. Membungkuk seperti orang Jepang, atau menjabat tangannya, tangan yang dulu sering kukecupi itu. Akhirnya dua-duanya kulakukan. Dia juga begitu, tanganku dijabatnya seraya membungkukkan punggungnya. Matanya terlihat berkaca-kaca, dan sejenak ia seperti tak bisa berkata-kata. Tenggorokanku sendiri serasa tersumbat oleh sebongkah gumpalan dan mati-matian kutahan supaya mataku tidak berontak. Kalau di Belanda pasti sudah terjadi persentuhan tubuh, paling sedikit cium pipi, kalau tidak peluk. Tapi di sini kurasa lebih pantas untuk menjaga jarak, dia segera kuajak ke kamar kerjaku.

Beberapa langkah menuju lift berlalu tanpa terucap sepatah kata pun. Di dalam lift juga begitu, kata-kata raib entah ke mana. Untunglah tak berlangsung lama, ketika pintu lift terbuka, segera kuisyaratkan ke mana mesti melangkah, dan teringat pada asal usul semua ini, segera kulontarkan Facebook. Ia mengulanginya dan berterima kasih karena aku masih ingat padanya. Aku tidak setuju, (apalagi kalau ingat kasus nomor ponselnya) akulah yang harus berterima kasih karena dia sudi menerimaku sebagai sahabat.

Di depan pintu kamar kerjaku dia menunjuk papan namaku, di situ tertera Sadewa Saputra, baik dalam aksara Katakana maupun huruf Latin, kemudian peneliti tamu, dalam aksara Kanji. Yumi tersenyum lebar, senyuman yang selalu meluluhkan hatiku. Sejak saat itu cairlah ketegangan, apalagi ketika kepadanya kuulurkan hadiah paket Nijntje, yang di Jepang dikenal sebagai Miffy. Orang Jepang tergila-gila pada karya Dick Bruna, penulis cerita anak-anak Belanda. Darinya kuterima sepasang pena dan pensil, hadiah untuk seorang ilmuwan, katanya.

Pembicaraan berkisar pada kedatanganku ke Kyoto, ke Kagaku Kenkyu-Jo, institut bergengsi itu, sampai ke masa lampau, ketika berlangsung pertukaran mahasiswa antara universitasku dengan universitasnya. Itulah awal perjumpaan kami, saat perhatian khususku tercurah hanya pada Yumi. Wati ini tak datang-datang juga, pikirku, mungkin untuk mengalihkan pikiran, karena begitu pembicaraan menyentuh masa lampau suasana kembali kaku.

Telepon Yumi berdering, “Wati”, katanya. Segera berlangsung pembicaraan dalam bahasa Jepang. Raut Yumi menarik wajah tegang, memancarkan kekagetan. Telepon yang tak kuketahui nomornya itu lalu diulurkannya padaku. Wati mengabarkan mertuanya gawat, koma, sehingga dengan menyesal ia tak bisa ke Kyoto. Kuucapkan kata-kata pelipur lara, harapan mertuanya segera terbangun dari koma, sehingga kami bisa ketemu secepatnya, sebelum dia ke Indonesia.

Maka kami tetap berdua, tidak berdampingan, tapi berhadapan, berseberangan tepatnya. Jadi bagaimana? Tetap makan siang seperti yang direncanakan? Yumi setuju, sudah lama dia ingin ke Norihisa, restoran langganannya kalau datang ke Kyoto. Letaknya di Kawaramachi Dori (Jalan Kawaramachi), di Kyoto pusat. Diusulkannya naik metro ke sana. Baru tiga hari di Kyoto, apalah pilihanku kecuali menurutinya?

Yumi menjelaskan dari Stasiun Oubata dengan kereta Keihan, kami akan turun di Stasiun Marutamachi. Jarak itu ternyata cukup jauh, tapi pembicaraan tidak kunjung mendalam. Paling banter tentang orang tua yang sakit, tidak beranjak dari keadaan mertua Wati; dan dia tengah mencari pekerjaan setelah sekian lama di luar negeri, bekerja untuk JICA, organisasi bantuan pembangunan Jepang. Jelas dibutuhkan keberanian untuk menerobos rangkaian topik yang cuma setebal kulit ari ini, tapi itu tak ada padaku dan tampaknya juga tak ada pada Yumi.

Turun di Stasiun Marutamachi, kami menyeberangi Sungai Kamo, menyusuri Kojinguchi Dori, jalan yang juga berfungsi sebagai jembatan. Mendadak Yumi menunjuk kura-kura batu yang terbentang di sepanjang Sungai Kamo. Katanya kura-kura itu untuk orang yang ingin menyeberang sungai dengan melompat-lompat, jumlahnya 11. Semasa kanak-kanak, kalau diajak orang tua ke Kyoto menjenguk kakek-nenek, ia sering meloncati kura-kura itu.

Pada titik ini kurasa seperti ada keberanian yang menyeruak dari dalam, tanpa pikir panjang terlontar pertanyaan siapa pendampingnya. Yumi hanya menggeleng, matanya kembali terlihat berkaca-kaca. Roman mukanya juga dipenuhi tanda tanya. Adakah dia ingin tahu siapa pendampingku? Tiba-tiba aku sadar, betapa diriku sendiri sebenarnya pengecut belaka, tidak berterus terang padanya soal siapa pilihanku, juga orang yang menggantikannya di sisiku. Kepalanya terlihat terus bergeleng.

“Bukan itu, Dewa-san,” katanya, tetap dalam bahasa Inggris. “Aku mengenalmu sebagai seorang kekasih sejati, kekasih idaman setiap perempuan. Masih ingatkah saat-saat intim kita? Betapa kau Dewa-san, selalu tekun menuntunku mendaki puncak kenikmatan. Kau bukan egois, tak pernah hanya kaukejar kenikmatanmu sendiri. Sadarkah kau Dewa-san, betapa aku tak bisa mengerti kenapa akhirnya kau pilih sesama pria.’’

Bukan hanya jantungku, tapi seluruh isi rongga tubuh dan kepalaku serasa berontak mendengar ucapan Yumi. Tak kuasa lagi kutahan pergolakan dalam mataku. Bongkahan dalam tenggorokanku juga makin membesar saja. Tak bisa lagi aku berujar, tak hendak pula aku berkata-kata. Pandangan kulempar pada 11 ekor kura-kura yang berderet-deret membelah Sungai Kamo. Entah mana yang harus kusesali: meninggalkannya dulu atau bertemunya lagi sekarang. (*)

 

 

(For Ben, my first reader and critic who makes it all possible)

Kyoto, 10 Juni 2011


Filed under: Akira Adhisurya Tagged: Suara Merdeka

Gumading Peksi Kundur

$
0
0

Cerpen Sanie B. Kuncoro (Jawa Pos, 18 November 2012)

Gumading Peksi Kundur ilustrasi Jawa Pos

LAKI-LAKI itu datang padamu di suatu sore yang bercahaya. Musim kemarau ketika itu, terik kulminasi matahari masih tersisa di sekitarmu. Debu tipis melekat pada reranting dan dedaunan. Saat angin menghampiri, akan kau dengar gemerisik dedaunan yang seolah membisikkan dahaganya kepadamu. Tak hendak kau abaikan bisikan itu, namun kunjungan seorang tamu di beranda rumah tentulah harus dipedulikan terlebih dahulu. Siraman air untuk mereka haruslah menunggu.

Kau letakkan canting dan meredupkan nyala api pada wajan berisi malam cair. Tanpa meneliti ulang, gerak tanganmu telah mengatur nyala sumbu kompor itu pada ukuran yang tepat. Redup yang pas untuk menghangatkan malam dengan titik api yang aman, sekadar untuk menjaganya tetap berupa lelehan tanpa akan membakar apalagi menghanguskan.

Berkepul samar malam cair warna jelaga itu saat kau beranjak. Aromanya melekatimu, menguar kentara serupa jejak pada setiap gerakmu. Kau seka peluh di dahi dengan punggung tangan sesaat sebelum langkahmu menjejak ambang pintu terbuka, menyambut sang tamu. Bergerak lembut tanganmu mempersilahkannya duduk.

Monggo pinarak.” [1]

Mengangguk laki-laki paruh baya itu membalas salammu. Jalinan rotan pada kursi tua peninggalan orangtuamu, berderak lirih saat menerima beban tubuh sang tamu.

“Kudengar kau pembatik yang mumpuni,” begitu tamu itu mengawali niat kedatangannya. Pujian awal yang tidak membuatmu tersanjung apalagi tersipu. Perjalanan waktu telah membawamu melewati hal-hal semacam itu, tidak membuatmu terbiasa melainkan justru memberimu kemampuan mendeteksi sebagai basa-basi atau umpan tekak.

“Kabar tentang mumpuninya pembatik, acapkali menyesatkan,” katamu santun.

“Memahami batik sebagai karya, tidak serupa mengenakannya. Apa yang tampak hanyalah tampilan, yang justru kerap menjadi ukuran keindahan, sementara makna rohani yang tersirat pada coraknya justru terabaikan.”

“Kuinginkan keduanya. Elok tampilan dan indah rohaninya. Karena itulah aku datang padamu. Wujudkanlah dua keutamaan itu bagiku, maka akan kutahu apakah pilihanku padamu ini karena tersesat atau kaweruh ing panuju.” [2]

Lurus mata laki-laki itu padamu. Tidak demi menelusurimu, melainkan itulah gerak sebuah niat yang tak tergoyahkan. Seketika kau tahu bahwa kau telah terpilih untuk mewujudkan sesuatu. Seringkali langkah awal tetamu baru adalah langkah yang gamang. Beberapa di antaranya berbalik langkah membawa niat yang urung. Sebagian yang lain teryakinkan oleh wastra yang tersimpan di almarimu. Kali ini kau dapati pilihan yang tak goyah kepadamu.

Namun bukan rasa kemenangan yang mengendap di dalammu, melainkan beban yang samar. Akankah ternyatakan nanti bahwa reputasi mumpunimu bukan kabar angin belaka?

Bukan hal mudah mewujudkan keinginan. Tidak selalu tepat melakukan penafsiran dari hasrat tersirat. Perbedaan rasa keindahan selalu bisa terjadi. Ada yang bersimpang jalan untuk kemudian saling menghindar tanpa beban satu sama lain. Beberapa di antaranya memilih untuk menjadikan rasa keindahan pribadi sebagai sesuatu yang sama mutlaknya bagi orang lain. Kini, akankah karya wastramu sanggup menafsir dan memenuhi hasrat keindahan laki-laki itu dengan jitu?

“Wastra apakah yang dikehendaki?” pelan kau bertanya, melangkah awal pada penelusuran sebuah keinginan. Diperlukan kehati-hatian mengungkap pertanyaan demi menjadikannya tidak sebagai penyelidikan yang nyinyir.

“Kukasihi seorang perempuan, baginya ingin kuberikan tanda mata yang akan mengikat hatinya kepadaku.”

Nuwun sewu, apakah berupa batik sarimbit [3] yang akan dipakai berdua?”

“Tidak,” menjawab laki-laki itu tanpa menggeleng. “Busana sarimbitku dengan yang lain.” Datar suaranya, bernada sangat biasa. Menandakan makna tersirat yang gamblang. Siapa pun mampu menafsirkan dengan persis isyarat itu.

“Kuinginkan sutera terbaik berkualitas utama, dengan serat terlembut yang pernah ada. Harga tidak masalah, berapa pun itu akan kubayar tunai, lunas kapan pun kehendakmu.”

“Maka wujudkanlah dengan sempurna wastra tanda mata itu. Temukanlah corak batik nan elok serta bermakna rohani terindah, yang niscaya sanggup mengikat hati kekasih kepadaku, tanpa hendak berpaling.”

Demikianlah laki-laki itu menitipkan hasrat pemujaannya kepadamu. Diakhirinya kunjungan sembari menaruh harapan seutuh bulan purbani kepadamu untuk mewujudkannya.

Kau bergeming dalam duduk. Tampak tenang serupa permukaan dataran air. Sementara di dalammu ada yang melepuh diam-diam. Itulah hatimu. Sebentuk hati lembut, yang seharusnya terjaga justru diguyur air mendidih pada suatu ketika. Didih air itu menggenangimu, melepuhkan hingga serabut saraf tersembunyi di benakmu.

Terjaga utuh dalam ingatanmu yang satu itu.

“Tak kupunya lagi kesetiaan yang utuh kepadamu,” kata suamimu pada suatu hari, “ada padaku seorang perempuan lain, yang kepadanyalah hendaknya kau berbagi hati dan keberadaanku.”

Mendidih darahmu seketika. Meluap didihan itu mengguyur hatimu lengkap dengan uap panas yang melepuhkan.

“Tak hendak aku berbagi,” begitu katamu dengan nada lurus seturut keteguhan hatimu.

“Kalau begitu, aku akan menceraikanmu,” gumam suamimu serupa ancaman.

“Kuterima talakmu,” kau mengangguk tanpa rasa gentar.

Benar kau tak gentar. Serupa burung-burung yang tak pernah kawatir pada hari esok, demikian kau jalani perceraianmu tanpa rasa gamang. Tapi luka itu tak bisa kau ingkari. Bukan karena rapuh hatimu melepuh, melainkan oleh kenyataan bahwa dirimu telah ditinggalkan. Bahwa janji yang seharusnya teguh telah diingkari.

Kini, kau menerima amanah untuk membuat wastra yang akan menjadi ‘perayu’ perempuan lain. Tanda mata yang akan menandai gerak awal terbaginya sebuah kesetiaan…..

Lama kau merenung di beranda. Mengabaikan reranting dan dedaunan yang bergemerisik mengabarkan dahaganya. Tak kau pedulikan pula semburat matahari sore yang telah meredup dan membuat rumahmu remang tanpa cahaya.

***

Entah berapa hari kemudian¾yang kau lalui dengan perasaan gamang yang menggelisahkan¾kau temukan sebuah pilihan pola batik yang sekiranya tepat untuk tanda mata yang diinginkan laki-laki itu.

Pagi masih muda ketika itu, embun belum mengering dari dedaunan di kebun saat sebuah sarang burung tergeletak di pelataran. Kau letakkan sapu lidi, demi memungut sarang itu dan menduga-duga asal mulanya. Barangkali berasal dari pohon belimbing yang ada di dekatmu. Sarang dari jalinan reranting dan daun kering itu kosong, tak ada telur sebutir pun tertinggal. Sarang yang telah ditinggalkan.

Kau tak hendak membuang sarang itu. Kau membersihkannya dari debu dan sampah yang tak perlu, meletakkannya pada sebuah dahan dengan beberapa tangkai bulir padi. Kau berpikir barangkali burung-burung itu akan memerlukan kembali sarang darimana mereka berasal dan gabah itu akan menjadi santapan yang melegakan, sepulang mereka dari perjalanan yang melelahkan.

Demikianlah sarang itu mengilhami sebuah corak batik. Teguh pilihanmu, tanpa gamang meski setitik cecek [4]. Adalah pola buketan untuk mewujudkan rancanganmu. Setiap buketan terdiri dari seekor burung dengan sayap berlapis. Sebagai klowongan, yaitu ragam hias utama, kau tampakkan detil setiap helai sayap burung-burung itu. Seolah gerak melayang ujung sayap itu berkepak terbang. Sebagai ragam hias latar pola, terpilihlah ceplok bunga seruni yang kau posisikan serupa taman. Sengaja tak kau pilih jenis unggas, entah kupu-kupu atau capung sebagai latar hias, karena kau ingin sosok burung itu menjadi yang utama. Kau tata pola buketan itu dalam satu jajaran, seolah burung-burung itu berbaris menuju pada satu arah.

Gabah sinawur [5] untuk isen-isen [6], pengisi bidang kosong latar pola utama. Tangkai-tangkai padi itu seolah menjadi rangkaian gabah yang saling menyambung. Setiap tangkainya menampakkan bulir-bulir padi perlambang kemakmuran.

Ada ketelatenan yang tidak biasa saat kau mengerjakan wastra pesanan itu. Ketekunanmu menggoreskan canting melukis corak batik itu, tidak demi mengejar tenggat waktu semata-mata. Melainkan lebih karena kesungguhan hatimu yang menjadi penggeraknya. Lincah gerakmu, sesungguhnya karena jemari itu hanyalah perantara dari ungkapan rasa yang mengendap di benak. Sekian lapis endapan tak terungkap, yang nyaris tak tertanggungkan. Ada gelisah yang mereda, ada risau yang menjauh seiring wastra itu menuju pada tahap akhir penyelesaiannya.

***

Laki-laki itu datang menjemput tanda mata pesanannya pada sebuah pagi menjelang siang yang teduh. Pagar bambu yang membatasi kebunmu dengan jalan kampung, berderak pelan saat bergerak terbuka menandakan kedatangannya.

Kau bentangkan wastra kuning lembut sewarna gading. Melayang sesaat sutera itu tanpa suara, sebelum kemudian rebah pada sandaran kursi panjang. Kau temukan sepasang mata yang berpendar takjub. Menampakkan hasrat yang seolah meletup demi menelusuri wastra panjang itu dari ujung ke ujung.

“Lebih indah dari bayanganku semula, ternyatalah reputasi mumpunimu tidak menyesatkan.”

Kau diam, membiarkan udara tak bergerak di sekitarmu. Sama sekali tidak tergesa untuk tersanjung. Sejatinya kau menunggu laki-laki itu menyelesaikan kekagumannya.

“Alangkah tepat corak pilihanmu. Kuingat kekasihku pernah menginginkan batik bercorak burung hong.”

“Burung-burung itu sedang terbang menuju pulang,” katamu pelan dengan nada yang sangat terjaga.

Laki-laki itu menoleh padamu.

Gumading Peksi Kundur [7], demikianlah kunamakan wastra ini.”

“Apa maknanya?”

“Burung-burung yang terbang menuju pulang pada sarangnya, itulah Peksi Kundur. Akan melambangkan makna yang berbeda andai diserahkan pada dua orang yang tak sama.”

“Maksudmu?”

Kau berhenti sejenak. Seolah jeda sebelum melanjutkan sesuatu.

“Dia akan menjadi tanda mata pamit untuk mengakhiri sesuatu. Telah selesai persinggahan sang burung, dan inilah tanda mata untuk melepaskan kepulangannya menuju sarang bermulanya. Pada pihak lain, ia adalah perlambang yang menandai sebuah kepulangan dari perjalanan panjang. Entah sejauh apa perjalanan itu, namun inilah saatnya untuk menemukan kembali sarang yang ditinggalkan. Adalah gabah sinawur yang menjadi isen-isen, itulah tebaran biji padi di masa awal musim tanam, menandakan bermulanya sebuah musim baru. Demikianlah sebuah musim dimulai, dengan taburan benih untuk menumbuhkan kehidupan baru menggantikan apa yang telah terlalui.”

Lurus mata laki-laki itu padamu. Pendar takjubnya telah berubah menjadi kilauan tajam serupa kelewang terasah. Kau tak gentar, apalagi terhenti.

“Mengapa kuning?”

“Gumading, itulah warna kuning selembut gading. Dengan teknik pewarnaan batik wonogiren, warna dasarnya seolah retak, terkena rembesan warna soga. Karena serupa itulah gading, senantiasa retak. Demikian juga kehidupan, terutama kasih sayang, selalu tak sempurna. Namun selama tak patah, yang retak itu tetaplah berharga.”

Kau berhenti kemudian. Lalu menunggu. Tak ada debaran tak normal di dalammu, melainkan ketenangan yang teguh. Seteguh pilihan-pilihanmu sejauh ini.

Di hadapanmu, laki-laki itu bergeming dalam hening yang panjang. Entah sedang menjalani masa suwung, demi menelusuri ulang jejak terlalui untuk menemukan jalan kembali. Ataukah tak hendak beralih dari lorong-lorong labirin, yang setiap lekuk kelokannya menjanjikan adrenalin nan menggairahkan?

Kau tak hendak bertanya. (*)

 

 

Keterangan

[1] Monggo pinarak       : silahkan duduk

[2] Kaweruh ing panuju : memahami tujuan

[3] Sarimbit                    : berpasangan, busana bercorak sama yang dipakai suami istri.

[4] Cecek                       : ragam hias berupa titik-titik pada pola batik

[5] Gabah sinawur        : taburan gabah

[7] Isen-isen                   : ragam hias yang terletak di dalam latar pola batik

Gumading                : kuning gading

Peksi                        : burung

Kundur                    : pulang


Filed under: Sanie B. Kuncoro Tagged: Jawa Pos

Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi

$
0
0

Cerpen Eka Kurniawan (Koran Tempo, 18 November 2012)

Perempuan Patah Hati ilustrasi Yuyun Nurrachman

MAYA tak pernah menceritakan kepada Sayuri bahwa ia ditinggalkan kekasihnya tepat di malam sebelum mereka menikah. Itu tak hanya membuatnya patah hati, tapi juga membuat keluarganya merasa malu. Terutama ketika keesokan harinya, tamu-tamu berdatangan (mereka tak sempat mencegah hal ini), dan harus menjelaskan bahwa pernikahan itu dibatalkan.

Lebih menyakitkan, kekasihnya pergi meninggalkannya untuk seorang perempuan yang sangat ia kenal. Sahabatnya sendiri. Ia baru menyadari belakangan hari, selama ia mempersiapkan pernikahan, kekasih dan sahabatnya telah jatuh cinta satu sama lain. Cinta mereka tumbuh dan terus berkembang, hingga di malam pernikahannya, mereka memutuskan pergi hanya meninggalkan sepucuk surat pengakuan.

Maya sempat mengiris pergelangan tangannya dengan pisau dapur, tapi seorang adiknya berhasil membawanya ke dokter dan mereka menyelamatkan hidupnya. Setelah itu ia harus berada dalam pengawasan tanpa henti. Adiknya, kakaknya, sepupunya, ayahnya, ibunya, semua bergantian menjaganya di tepi tempat tidur. Mereka juga harus memastikannya untuk tidak terlambat meminum obat.

Ia juga harus mengambil cuti dari pekerjaannya, sebagai penjaga perpustakaan di universitas.

Di waktu-waktu itulah, mimpi tersebut mulai datang. Mimpi bahwa suatu hari ia akan memperoleh kekasih. Tak hanya kekasih yang tampan dan mencintainya, tapi mimpi itu juga menjanjikan kehidupan yang bahagia untuk mereka berdua.

Awalnya ia mengabaikan mimpi tersebut. Menganggapnya sekadar reaksi obat semata. Tapi malam berikutnya mimpi itu datang kembali. Persis seperti mimpi sebelumnya. Dan malam ketiga, mimpi itu berulang. Seperti rekaman video yang diputar kembali. Maya ingin menceritakan mimpinya kepada seseorang. Mungkin kepada adiknya, atau ibunya. Tapi melihat raut wajah mereka yang senantiasa cemas melihat ke arahnya, Maya mengurungkan niatnya. Ia yakin apa yang akan mereka pikirkan jika ia menceritakan mimpi tersebut: “Ah, akhirnya gadis ini memperoleh mimpi yang baik. Ia akan sembuh. Ia akan melupakan lelaki brengsek itu dan membangun kembali harapan bertemu lelaki lain.”

Ia tak menyukai hiburan basa-basi semacam itu. Maya lebih suka tak mendengar hiburan macam apa pun.

Satu minggu berlalu. Dua minggu berlalu. Satu bulan. Keadaannya tampak membaik. Dokter menyarankannya untuk mengurangi dosis obat-obatan, dan orang-orang tak lagi selalu menjaganya siang dan malam tanpa henti. Tentu saja kadang ia mengingat insiden itu, dan ia akan menangis. Kadang menjerit-jerit histeris, membuat seisi rumah menjadi gaduh oleh kepanikan. Kemudian ia akan meminum obat lagi, dan tidur lelap seolah tak ada sesuatu yang terjadi.

Meskipun tidak selalu datang setiap malam, mimpi itu terus muncul. Selalu sama, bahkan makin hari makin jelas.

Ia mulai merasa, mimpi itu memang sejenis pesan. Entah dari mana. Ia yakin tak akan ada yang memercayainya jika ia menceritakan mimpi itu. Ia harus menjalaninya sendiri. Ia tak mungkin berkata kepada ibunya, “Aku perlu liburan. Aku akan ke Pangandaran, sendiri.” Keluarga tak akan mengizinkannya. Ia harus pergi diam-diam, kabur dari rumah.

***

Mimpi itu memberitahunya bahwa ia akan memperoleh seorang kekasih. Dalam mimpinya, si kekasih tinggal di kota kecil bernama Pangandaran. Setiap sore, lelaki yang akan menjadi kekasihnya sering berlari di sepanjang pantai ditemani seekor anjing kampung. Ia bisa melihat dadanya yang telanjang, gelap dan basah oleh keringat, berkilauan memantulkan cahaya matahari. Setiap kali ia terbangun dari mimpi itu, ia selalu tersenyum. Jelas ia sudah jatuh cinta pada lelaki itu.

Ia tak tahu siapa namanya, tapi pesan mimpi itu jelas, ia harus menemui lelaki itu, dan lelaki itu cinta masa depannya.

Setelah mempelajari sejenak bagaimana caranya pergi ke Pangandaran (ia pernah mendengar nama kota itu, tapi tak terlalu yakin di mana tempatnya), Maya memantapkan hati untuk menemui lelaki di dalam mimpinya tersebut. Di satu sore, ketika keluarganya lengah, ia keluar rumah melalui jendela. Menghentikan taksi di depan kompleks perumahan dan memintanya dibawa ke Kampung Rambutan. Ada bis malam yang akan membawanya langsung ke kota itu. Di sana ada banyak penginapan, ia bisa mengurus soal itu sesampainya di sana.

Sepanjang jalan, sebenarnya ia mulai berpikir, gagasan mengikuti apa yang ada di dalam mimpinya merupakan kesintingan. Pernikahan yang batal itu benar-benar membuatku sinting, pikirnya. Ia kembali menangis.

“Jangan menangis, Nak. Pangandaran tempat orang mencari cinta dan kebahagiaan,” kata si kondektur tua, mencoba menghiburnya.

Maya tak membalasnya. Membayar ongkos bis dan menghapus airmatanya dengan tisue. Semoga yang dikatakan kondektur itu benar, gumamnya. Ia memang sedang menuju kota itu untuk mencari cinta dan kebahagiaan.

Mimpi itu mungkin bukan pertanda apa pun. Mungkin lelaki yang berlari di pantai berteman anjing itu hanya khayalannya belaka, sekali waktu ia mungkin pernah melihat adegan semacam itu di televisi atau bioskop. Dan meskipun ia belum pernah pergi ke kota itu, ia yakin seorang temannya pernah mengatakan nama kota tersebut di satu hari selepas satu liburan panjang, hingga nama itu menyelinap ke dalam mimpinya. Mimpi itu bisa jadi sekadar omong-kosong, dan kota itu tak menawarkan harapan apa pun. Tak ada cinta, tak ada kebahagiaan.

Bagaimana pun, ia hanya bisa membuktikan keragu-raguannya jika ia tiba di kota itu. Ia memejamkan mata dan tertidur di bawah dengung pendingin. Mimpi itu datang kembali. Kali ini di dalam mimpinya, ia melihat dirinya berjalan bergandengan tangan dengan lelaki itu di pantai. Anjing mereka mengikuti di belakang. Mimpinya seterang pemandangan di siang hari.

***

Kota itu kecil saja, dengan dua pantai yang saling berhadapan. Pantai Barat dan Pantai Timur. Maya memutuskan untuk menginap di satu penginapan Pantai Timur yang lebih sepi. Dalam mimpinya, si lelaki berlari di pasir Pantai Barat. Tak masalah. Kedua pantai hanya dipisahkan oleh jarak sekitar seratus meter.

Di sore hari pertama, ia pergi ke pantai dan menunggu. Memperhatikan setiap orang yang berlari-lari. Ada bocah-bocah yang bermain bola. Ada remaja yang berenang. Ada bule yang berlari. Tapi ia tak melihat lelaki di dalam mimpinya. Ia menunggu hingga matahari tergelincir ke balik laut. Lelaki itu tak juga muncul.

“Mungkin hari ini ia tidak berlari,” pikirnya.

Hari kedua ia pergi ke pantai lebih siang, berbekal makanan kecil dan air mineral. Hingga malam datang, lelaki itu tak juga muncul. Di hari ketiga, ia tak juga melihatnya.

Maya merasa kunjungannya ke kota itu sia-sia belaka. Mimpi itu hanyalah mimpi biasa. Ia kembali ke penginapannya, mengunci dirinya di dalam kamar dan kembali teringat malam pernikahannya. Ia menangis sendirian. Ia menggigit bibir, menahan diri agar tidak menangis. Tapi airmata deras mengucur. Ia mulai membayangkan orang-orang di rumah panik mencarinya. Mereka barangkali sudah melaporkan ketiadaan dirinya ke polisi.

Sepanjang malam ia tak tidur. Ketika ia merasa lapar, ia memutuskan untuk ke luar kamar. Ada satu toko serbaada tak jauh dari penginapan. Ia pergi ke sana membeli makanan ringan dan beberapa botol minuman. Tak tertahankan, ia kembali menangis di depan kasir. Ia merasa malu, tapi ia tak bisa menahan diri. Untunglah penjaga kasir berbuat baik kepadanya. Ia dipeluknya dan diajaknya bicara. Bahkan perempuan itu menghiburnya dengan berbagai cerita, yang membuatnya sedikit tersenyum.

Ia memutuskan untuk berhenti mencari lelaki di dalam mimpinya. Ada sebuah hutan lindung tak jauh dari penginapan. Ia berpikir, ia bisa menghilang selamanya ke sana. Tanpa terlihat penjaga hutan, hanya berbekal belanjaan dari toko serbaada, ia menyelinap pagar pembatas hutan. Selama dua hari ia menjelajah hutan itu, berharap mati di sana. Tapi jelas kematian susah diperoleh di dalam hutan. Ketika ia menyadari hal itu, Maya keluar dari hutan. Saat itu lewat tengah malam, dan hanya cahaya bulan menjadi penunjuknya. Ia memutuskan untuk melakukan gagasan yang sempat muncul di malam sebelum menyelinap ke hutan: pergi ke ujung beton pemecah ombak dan menceburkan dirinya ke laut.

Ia harus buru-buru, sebab pagi sebentar lagi datang.

***

Si gadis patah hati masih hidup. Mereka membebaskannya dari jaring ikan, dan seorang penjaga pantai memberinya napas buatan. Mereka menjadikannya tontonan, saling berdesakan. Gadis itu tampak linglung, tatapannya kosong. Hingga seorang perempuan tua menyeruak di antara orang-orang dan menyentuh tangannya.

“Ia bukan tontonan, aku akan mengurusnya.”

Perempuan tua itu bernama Sayuri. Semua orang di pantai mengenalnya. Ada yang bilang ia telah tinggal di Pantai Timur Pangandaran jauh sebelum kebanyakan orang yang berkeliaran di sana dilahirkan. Mereka menghormatinya sebab ia panatua yang dipercaya untuk memberikan sesajen kepada penjaga laut, yang sanggup membujuk ratu penjaga jika sedang marah. Mereka membiarkannya memapah gadis itu meninggalkan kerumunan, ke arah rumah kecilnya. Seseorang membawakan pakaian gadis itu dari penginapan, dan Sayuri mengganti pakaian basah si gadis.

Selama dua hari setelah itu, Maya masih tinggal di rumah Sayuri dan si perempuan tua mengurusnya dengan baik. Sekali waktu Sayuri berkata kepadanya, “Ratu Kidul tak menghendaki kamu mati. Kamu harus hidup sampai tua.”

Maya tak mengatakan apa pun.

“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Sayuri.

Sebenarnya Maya tak ingin menceritakan apa pun. Ia terlampau sedih dan putus asa. Ia tak tahu untuk apa lagi hidup di dunia. Tapi perempuan itu sangat baik kepadanya, dan menceritakan sesuatu yang tak pernah diceritakan kepada orang lain, barangkali merupakan hal baik terakhir yang bisa ia lakukan. Hari itu, akhirnya Maya menceritakan kenapa ia datang ke Pangandaran. Bahwa ia datang ke kota itu karena satu mimpi.

Sayuri tiba-tiba tertawa, memperlihatkan gigi ompongnya dan bergumam, “Kalian memang tolol.”

“Kalian?”

“Ya, kalian.”

Sayuri kemudian bercerita. Ia punya seorang cucu lelaki, bernama Rana. Rana punya kekasih dan hendak menikah, tapi menjelang pernikahan, si gadis pergi dengan lelaki lain. Rana sangat putus asa, dan pernah hendak menceburkan diri ke laut. Lalu suatu hari ia datang menemui Sayuri, dan bilang dirinya memperoleh mimpi. Dalam mimpinya, ada seorang gadis di Jakarta yang akan menjadi kekasihnya dan memberinya kebahagiaan. Seorang gadis yang setiap hari duduk di meja di antara rak-rak buku.

“Kalian orang-orang tolol yang percaya pada mimpi. Ia pergi ke Jakarta seminggu yang lalu.”

Saat itu pintu terbuka dan seekor anjing kampung masuk. Maya, untuk pertama kali, tersenyum lebar. Airmatanya mengucur, bukan karena sedih, tapi karena bahagia. Ia yakin, ia tak mau pergi dari rumah itu. Ia telah menemukan lelaki itu. Ia telah melihat anjing mereka. (*)

 

 

2012

 

Catatan:

Judul dan cerita ini berutang kepada kisah “The Ruined Man Who Became Rich Again Through a Dream”, bagian dari The Arabian Nights, terjemahan Sir Richard F. Burton. Jorge Luis Borges mendaur-ulangnya menjadi “The Story of the Two Dreamers” dalam A Universal History of Iniquity. Paulo Coelho mengembangkannya menjadi novel The Alchemist.

 

 


Filed under: Eka Kurniawan Tagged: Koran Tempo

Hatarakibachi

$
0
0

Cerpen Awit Radiani (Kompas, 25 November 2012)

Hatarakibachi ilustrasi Zico Albaiquni

BAHASA Inggris dengan pengucapan payah petugas bandara membuat aku semakin sakit kepala. Sebenarnya aku enggan datang ke negeri ini. Tapi Satoshi-san mengirim undangan kehormatan kongres seni budaya Asia, yang mewajibkanku hadir. Atau aku dianggap tak menghargai hubungan baik antar negara.

Angin musim semi mengibarkan ujung rambutku. Kesejukan Tokyo ramah menyambut. Sebuah airport limousine menghampiri, membuka pintu dan membawaku ke Tobu Levant di Sumida-ku. Daerah pinggiran kota itu ditempuh dalam waktu satu setengah jam. Aku sedikit mual, mabuk perjalanan. Penyakit kampungan yang menunjukkan asal-usulku. Seniman kampung yang tiba-tiba menjadi duta seni mewakili negaraku. Sebenarnya aku tak siap dengan perjalanan ini.

Di sepanjang jalan kulihat banyak kedai makanan yang membuatku sumringah. Aku ingin mencoba semuanya. Mencicipi sushi asli di tempat asalnya. Pengalaman yang tak bisa dinikmati setiap hari. Dari jendela kamar 1820, Tokyo Sky Tower berdiri menusuk langit. Ah, lagi-lagi sebuah menara landmark kota yang pamer ketinggian. Aku selalu menemukan bangunan seperti itu di setiap negara yang kukunjungi. Menara-menara yang saling adu tinggi, semuanya menyuguhkan pengalaman yang sama. Pemandangan kota dari tempat tinggi atau bentuk khas dari menara itu sendiri.

Bila berdiri di bawahnya takkan terlihat ujungnya, bila naik ke puncak tak terlihat pangkalnya. Terasa angkuh tak tersentuh, butuh waktu lama untuk memahami seluk-beluknya. Tahun lalu saat liburan ke China, aku tersesat di Shanghai TV Tower saat mencari toilet. Hal memalukan yang tak mungkin terjadi di Tugu Yogya. Landmark yang lugu, sederhana, akrab, dan merakyat. Dalam sekali pandang akan terlihat pangkal dan ujung sekaligus. Bisa dipeluk, dicium, diusap sebagai kenangan.

Aku meluruskan kaki di ofuro. Air hangat beraroma bunga merendam lelahku. Di depan cermin kulihat sabun bermerek sama dengan yang di toilet bandara. Aku geleng kepala. Merek Jepang memang ada di mana-mana. Di seberang hotel aku pun melihat papan nama restoran dengan brand yang sama seperti di Jakarta. Produk Jepang benar-benar menguasai dunia. Lalu apa yang akan kunikmati di sini? Semuanya ada di Indonesia.

Selesai mandi aku jalan-jalan seorang diri. Berbekal peta dan buku percakapan bahasa Jepang. Tak lupa kartu nama hotel terselip di saku. Berani bertanya tetap sesat di jalan. Karena orang Jepang sulit berbahasa Inggris. Daripada bingung tak bisa kembali ke hotel, aku berjalan hanya sampai Kinshi-co, stasiun kereta. Lima menit jalan santai dari hotelku. Kaki-kaki manusia Jepang begitu cepat berjalan. Semuanya menyalip langkahku. Tak ada wajah yang bisa kuamati dengan jelas karena semuanya begitu bergegas. Sebentar saja tinggal punggung yang semakin menjauh. Keluar masuk gerbang stasiun seperti kerumunan hatarakibachi di mulut chikatetsu, kutu pekerja yang keluar masuk lorong kereta bawah tanah.

***

“Benar-benar seperti menyeret kambing ke air membujuk Endo menemuimu.” Satoshi menuang sake ke gelasku. Lalu mengangkat gelasnya, “Kampai!” Mengajak seluruh peserta kongres minum. Kuteguk sedikit saja, sekadar penghormatan pada tuan rumah. Tak lama rasa hangat naik ke muka. Wajahku memerah. Tapi tak semerah Satoshi, ia menenggak sakenya sekaligus. Orang Jepang minum untuk menghilangkan lelah dan stres karena pekerjaan. Minum sampai mabuk diperbolehkan asal tak mengganggu orang. Beda di kampungku, orang minum karena tak ada pekerjaan lalu mengganggu orang.

“Ikki! Ikki!” Teriakan mengajak kosongkan gelas terlontar. Tawa dan omongan ngawur mulai terdengar. Aku merasa tak nyaman. Perempuan dalam kumpulan lelaki mabuk tidaklah aman. Diam-diam kutinggalkan bilik restoran hotel tempat jamuan makan malam, hendak kembali ke kamarku. Pintu lift terbuka sebelum aku memencet tombol. Sosok yang sangat kukenal keluar dari dalam kamar angkut itu. Lalu kami saling bertatapan hingga pintu lift menutup. Aku tak jadi naik dan lelaki itu terpaku di depanku. Endo!

“Apa kabar? Aku mencarimu di atas.” Endo berkata dalam bahasa Indonesia berlogat Jepang. Melakukan ojigi, membungkuk dalam-dalam. Yang segera kubalas dengan gerakan yang sama. Lalu ia mengajak duduk-duduk di lobby. Setelah obrolan basa-basi kami sepakat jalan keluar hotel.

“Kau harus merasakan dengan kulitmu sendiri udara malam kampung halamanku, Nina-chan.” Aku tersenyum, dulu aku pun pernah mengajakmu semalam suntuk menjelajah Malioboro sampai Prawirotaman. Boncengan dengan sepeda onthel tua yang disewa dari rental sepeda. Makan di lesehan, lalu bercengkerama di perempatan titik nol. Di antara Benteng Vredeburg, Gedung Agung, kantor pos, dan bank negara, bangunan tua peninggalan Belanda yang masih kokoh hingga kini. Endo menggombal bahwa ia punya cinta seawet gedung-gedung itu. Aku sedikit mengejek. Mengawetkan cinta butuh formalin seberapa? Sementara memelihara kasih yang ada pun malas-malasan.

“Kenapa kau tak ikut makan malam?” Tanyaku dalam langkah pertama di luar hotel. Lelaki muda itu menunduk. Poni lurus hitamnya jatuh menutupi mata. “Kau merekomendasikan namaku pada Satoshi agar aku bisa mengikuti kongres budaya ini, tapi kau sendiri tak hadir.” Sejak awal aku merasa kurang layak berada di dalam kumpulan seniman-seniman besar Asia itu. Karyaku belum ada apa-apanya. Aku curiga Endo melakukan rekayasa. Entah bagaimana sehingga namaku terpilih. Begitu banyak nama besar dengan jam terbang tinggi yang lebih pantas diundang daripada aku. Di kotaku aku masih dianggap anak kemarin sore. Rasanya aneh dihormati dengan segala fasilitas kelas satu. Sementara di negeri sendiri belum diakui.

“Aku merekomendasikan beberapa nama, mereka yang memilih. Aku tak punya kuasa untuk mempengaruhi mereka. Tapi menurut Satoshi karena kau cantik. Dan aku setuju.” Endo tetawa sambil meraih tanganku. Kutepis dengan segera. Baru bertemu sudah merayu! Aku tak suka kata-kata Endo. Jika tak memenuhi kualifikasi tak perlu dipaksa. Apalagi bila dinilai dari fisik semata. Aku tak mau jadi wanita pemenuh kuota! Sebuah hinaan atas karya perempuan. Di negara semaju ini kesetaraan pun masih berjalan timpang. Mana ada karya diukur dari tampang!

“Jangan cemberut, kau seniwati muda berbakat. Tak perlu inferior pada yang lebih berumur. Lebih tua belum tentu lebih bagus. Hanya lebih dulu eksis saja. Soal pengalaman bisa dipelajari. Kau sangat produktif dan pantas dipertimbangkan. Asal tahu saja kami memiliki kurator terbaik di dunia. Dan mereka takkan mendengarku walau aku berteriak dari menara Tokyo.” Aku merasa lega dengan penjelasan Endo.

Kami memasuki shokudo, memesan semangkuk ramen. Endo mengambil dua pasang hashi. Diberikan sepasang padaku. “Ayo makan berdua seperti di angkringan.” Endo tertawa, tawa yang seperti boneka. Menguak kenangan lama. Kuakui pernah ada saat indah bersamanya. Saat kami masih saling cinta. Tapi aku tak yakin mampu hidup rukun beradu kulit dengan orang asing. Endo menuangkan soyu banyak-banyak. Aku tak suka kecap asin itu. Lidahku terbiasa dengan kecap manis sejak kecil. Ah, selalu saja ada bahan pertentangan di antara kami.

Pemuda Machida itu lahap menyeruput mi. Ia tampak begitu lapar. Keheranan aku bertanya, “Kalau kau selapar itu mengapa tak makan malam bersama yang lain?” Endo pun peserta kongres, ia punya jatah makan malam yang sama dengan kami. Kuletakkan sumpit bambu yang tak kubuka kertas pembungkusnya di meja. Tak kuterima tawaran makan Endo. Aku masih kenyang dan tak punya minat untuk beromansa dengannya.

“Aku tak suka keramaian, kumpulan orang-orang membuatku berdebar-debar dan emosional. Lebih baik aku tak datang daripada bertingkah memalukan.” Kuhela napas, setelah sekian lama kukira ia sudah sembuh. Endo adalah seorang perupa muda yang jenius. Namun, menderita Asperger Syndrome. Penyakit orang kreatif yang penyendiri dan eksentrik. Korban tuntutan keadaan. Kemajuan zaman menciptakan kemunduran mental. Hari-hari sibuk dan persaingan ketat tak menyisakan ruang untuk menarik napas. Menciptakan kaum hatarakibachi. Kutu pekerja yang tak mengenal diam, justru merasa bersalah jika harus istirahat. Bahkan menganggap tidur adalah kesia-siaan.

“Kau lebih suka berkumpul dengan serangga-seranggamu kan?” Sejak kecil Endo memiliki ketertarikan luar biasa pada serangga. Hampir seluruh karyanya terinspirasi dari makhluk kecil itu. Ia pun terus mencari cara dan lokasi baru untuk menangkap serangga. Perburuan serangga pula yang membawanya ke Indonesia. Dan mempertemukan kami.

“Ya, dan sekarang aku sedang merancang perangkap canggih untuk menangkap serangga langka. Satu-satunya di dunia.” Aku mengangguk. Paham akan etos kerjanya. Orang Jepang bila ingin naik ke puncak gunung dengan sepeda takkan memotong gunung memperpendek puncaknya atau membangun jalan super mulus hingga ke pucuk gunung. Tapi berinovasi dengan sepeda itu. Tekun mengotak-atik hingga tercipta sebuah temuan baru. Mungkin sebuah sepeda yang bisa merayap di tebing, atau sepeda yang mampu berjalan di atas pohon. Siapa yang tahu? Hidup di tanah penuh tantangan bencana, membuat selalu berpikir bagaimana membuat potensi kecil menjadi besar. Sedangkan tanah negeriku begitu memanjakanku, tongkat kayu pun bisa menjadi lagu.

“Serangga apa itu?” Tanyaku dengan polos tanpa menyadari perubahan wajah Endo. Ia menggeser tubuh merapat padaku. Lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku. Berbisik. Manja dan bernada mesum.

“Seekor kutu buku, berkaca-mata, cantik, dan baik hati.” Seketika di mataku Endo berubah menjadi seekor laba-laba yang sedang menebar jaring penangkap mangsa. Sepintas teringat sakit hati di masa lalu. Ia mengaku cintanya padaku hanya sementara, selama di Indonesia. Bila pergi ke negara lain, ia akan mencintai yang lain. Baginya perempuan tak lebih dari serangga. Selama masih tergila-gila ia akan memuja dan terus memburu. Lalu bila menemukan jenis baru yang lama tinggal serangga mati terpigura, tersimpan dalam lemari koleksi. Cintanya seperti kutu loncat. Menjadi hama pengganggu kesuburan sawah yang baru saja hendak membulirkan kasih sayang.

Ah tidak, bagiku ia hanyalah seekor kutu pekerja yang terburu memburu dunia. Aku meninggalkan Endo. Dengan anggun seperti seekor kupu-kupu yang lolos dari jebakan jaring laba-laba. (*)

 

 

Tokyo, 2011

 

Ofuro                 : bak mandi

Hatarakibachi    : kutu pekerja

Chikatetsu          : stasiun bawah tanah

Shokudo             : kantin kecil

Hashi                 : sumpit

Machida             : kota kecil di pinggiran Tokyo

Soyu                   : kecap Jepang

 

 


Filed under: Awit Radiani Tagged: Kompas

Penyesalan

$
0
0

Cerpen Teguh Afandi (Republika, 25 November 2012)

Penyesalan ilustrasi Rendra Purnama

KALAU dihitung sudah hampir delapan tahun aku sendirian. Istriku meninggal terkena kanker kandungan. Anak-anakku sudah beranjak sukses dan bermukim di perkotaan. Mereka sudah bukan lagi anak kecil yang harus diawasi. Mereka punya jalan hidup yang dipilih sendiri. Sudah berhasil kutuntaskan pendidikan mereka sampai sarjana. Luhde menjadi kontraktor di Surabaya, seminggu sekali dia dan keluarganya menelepon. Gedeh, anakku yang kedua, berhasil mengikuti jejakku sebagai dokter, dia mengambil pendidikan spesialis kulit dan kelamin di Belanda. Anakku yang satu ini sudah berkali-kali mengajakku ke Belanda, tetapi kaki tuaku gugup saat harus boarding ke sana. Dan, si bungsu, Junde, baru selesai sarjana perminyakan dan bersiap bekerja di Papua. Junde memang mencita-citakan bekerja di Papua.

Kuusap foto keluarga belasan tahun lalu, saat istriku masih hidup. Dalam foto mereka tersenyum.

“Pak, ke Surabaya saja sama Luhde.”

“Bapak kepingin masa tua di sini.”

“Kalau ada apa-apa, Bapak nggak ada yang merawat.”

“Semoga saja tidak. Kalau ada apa-apa biar langsung kutelepon kalian.”

Percakapan itu membuat Luhde pulang sendirian tanpa aku. Aku sebenarnya ingin sekali bersama mereka, di Surabaya, di Belanda, atau ikut Junde di Papua. Kesepian menyayat luka dalam perasaan. Setiap kenangan yang tersimpan di rumah ini menetesi cuka pada pedih luka masa tua. Masa tua adalah masa yang ingin dimanja, masa ingin diperhatikan anak-cucu, masa menikmati secangkir kopi di teras rumah. Beternak dan bercocok sayuran di kebun belakang. Lebih dari itu, aku ingin mati di sini, tanah kelahiranku.

Waktu seharian kuhabiskan dengan membaca dan menulis memoar-memoar dalam rumah ini. Aku hanya ditemani Lina, kemenakan jauh, yang mendapat tugas membantuku dalam urusan rumah: memasak, menyapu, dan mencuci baju. Selain itu, kupergunakan waktu untuk berzikir kepada Allah. Siapa tahu Izrail sedang mengintai kapan aku lengah dari mengingat Allah. Aku berusaha untuk tidak masbuk dalam shalat. Kusempatkan shalat dua rakaat sebelum berdiam di masjid, kemudian melihat muazin menaikkan nada saat azan. Dalam diam aku lebih suka memutar-mutar tasbih dan berdiri ketika sudah sampai iqamah. Aku selalu duduk di baris paling depan. Sengaja kupasang kursi plastik warna hitam di pojokan. Aku shalat sambil duduk, kakiku sudah bergoyang-goyang tak sanggup lagi berdiri.

Apalagi yang dicari oleh orang setua aku, selain kedamaian pada pengujung usia? Aku mengharap dalam setiap doa agar dimatikan dalam keadaan yang paling baik. Kebaikanku memang tidak seberapa, tetapi benar kuingin adalah kematian yang dijanjikan Allah surga, yang mengalir sungai seputih susu, semanis madu, seharum kasturi, dan sekali teguk tak ada dahaga dan lapar selamanya. Mengingat itu, aku teringat syair Abu Nawas, aku tidak pantas di surga, tetapi apa mampu aku hidup selamanya di neraka? Aku menitikkan tangisan, yang kuharap itu tangisan yang memadamkan api neraka.

“Pak Nazar, panjenengan sudah sepuh. Tapi, masih shalat lima waktu di masjid. Takzim saya sama panjenengan,” kata Kamil, muazin muda yang sudah lama mengumandangkan azan di masjid.

“Ibadah harus tuntas. Sudah tua, memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk menyiapkan bekal akhirat.” Kalimatku terbata, napasku Senin-Kamis.

“Pak Nazar kok tidak ikut anak-anaknya saja? Biar tenang?”

“Lebih tenang di sini. Dekat dengan masjid. Lebih giat ibadah. Kalau di sana cuma merepotkan.” Meski dalam hati, sebenarnya aku menangis. Aku sebisa mungkin mengingkarinya dan berusaha tetap tegar di hadapan Kamil. Aku tak ingin dia tahu bahwa aku rapuh.

“Mari Pak, sebentar lagi iqamah.”

Aku dituntun perlahan menuju kursi. Sudah ada belasan orang yang ingin shalat Ashar. Kamil mundur dan imam masjid bergerak ke depan, meluruskan barisan, dan takbiratul ihram.

***

Sambil menyiapkan makan, Lina selalu bercerita bagaimana teman, tetangga, dan rekan kerja seusiaku meninggal. Entah apa maksud Lina bercerita demikian, tetapi itu cukup menjadi pengingat bahwa usiaku adalah usia yang menunggu giliran kematian. Dalam cerita, Lina berkisah tentang Hamudi, temanku semasa SD yang berprofesi sebagai anggota dewan, meninggal kecelakaan di Sidoarjo ketika kunjungan kerja. Lina juga bercerita, teman pembantunya yang kerja di Malaysia pulang menjadi mayat, yang lebih menghebohkan kabarnya beberapa organ dalamnya menghilang. Ada yang meninggal karena tersedak makanan saat rapat jajaran direksi. Ada juga yang meregang nyawa ketika sedang “jajan” di panti pijat. Ada yang meninggal karena sakit dan menyedihkan banyak orang. Yang membuatku miris mengelus dada adalah orang yang meninggal karena penyakit. Mula-mula terbujur kaku karena stroke, kemudian semua urusan harus dibantu orang sekitar, tidak bisa bicara, tidak bisa mendengar, dan akhirnya tidak bisa bernapas lagi. Kucermati, aku tidak ingin dimatikan dengan cara demikian.

Lalu, bagaimana kematian yang diam-diam kuinginkan? Kematian yang tenang. Aku tidak mau merepotkan. Aku tidak ingin mati di atas ranjang kesakitan dan tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak mau mati yang menjadi pergunjingan. Beberapa kali kudengar bisik-bisik tetangga yang berkira-kira bahwa ini adalah usaha untuk menutupi segala dosa. Benar? Aku sadar hal itu. Sebagai seorang dokter kandungan, aku memang berulang kali dengan sengaja menerima honor lebih untuk menggugurkan kandungan. Menutupi borok sebuah perzinaan. Tetapi, aku bertaubat. Aku sudah insaf dari perbuatan, yang sekarang kusadari, sangat keji itu.

Aku tidak ingin dosaku kubawa sampai mati. Keengganan ikut bersama anak-anakku bermotif agar aku bisa lepas dari merepotkan mereka. Aku tidak mau menyisakan kekesalan bagi perawat, pembantu, atau menantu. Aku ingin mati yang bebas.

“Lina, makananku simpan saja dulu. Nanti kumakan setelah selesai Maghrib. Aku puasa. Sekarang aku mau ke masjid.”

“Masih terang ke masjid?”

“Di rumah nggak ada pekerjaan, mending zikir di masjid.”

Oooo.”

Lina menjawab singkat dan bergerak cekatan memasukkan nasi liwet, sayur asam, dan beberapa lauk ke dalam tudung saji. Kutinggalkan Lina di rumah, kucangking sajadah dan tongkat yang biasa membantuku berjalan.

Masih terang. Aku shalat dua rakaat dan menanti Kamil menyerukan azan. Tetapi, yang ditunggu tak kunjung datang. Masjid lain sudah mulai iqamah, tetapi di sini belum azan. Aku mulai gelisah. Aku sempat mengumpat, di mana Kamil? Anak muda itu lupa pekerjaannya adalah memanggil jamaah untuk shalat di masjid. Kalau sampai azan tidak berkumandang, betapa banyak orang yang akan kehilangan pahala dua puluh tujuh rakaat. Kutengok kanan-kiri, benar tidak ada jamaah lain yang bisa kumintai azan.

“Mungkin giliran yang tua untuk azan.”

Akhirnya kudekati toa dan mulai kulafazkan azan.

Suaraku parau bergetar karena tua. Sudah tidak jelas lagi kalimat azan yang terucap. Sayup mungkin yang terdengar hanya kalimat takbir dan cengkok asal-asalan yang kumainkan. Seumur hidup, ini adalah azanku pertama yang dipublikasikan. Baru sampai kalimat syahadat, aku kehabisan napas dan suaraku tidak keluar. Keseimbanganku hilang. Aku roboh sebelum azan usai dikumandangkan. Kepalaku menghantam lantai yang dikuliti dengan karpet hijau.

Aku merasa seperti ada benda mahaberat menghantam badan. Mendadak gelap. Gelap sekali. Ada sesuatu yang lain. Ya, aku merasa tercerabut dari jasadku pelan-pelan, kemudian semuanya terasa ringan. Aku seperti melayang-layang di udara. Kulihat, orang-orang mulai ramai mengerubungi sebujur jasad, jasadku sendiri. Aku sekarang telah mati. Izrail telah datang menjemputku. Rohku dibawanya berputar-putar. Aku mati saat sedang mengumandangkan azan. Betapa mulianya? Semoga ini kematian husnul khatimah.

Sampailah aku di tempat yang banyak orang impikan. Surga! Tempat yang sejuk dan mendamaikan. Aku melihat istriku dan wanita-wanita cantik muda dan segar. Mereka melambaikan tangan. Aku dipertontonkan rumah-rumah yang megah dari keramik dan permata yang indah. Berwarna-warni. Ada pohon yang terbalik. Ada sungai yang sangat jernih. Ada lautan susu. Ada fasilitas yang kadang belum sempat diminta.

Tanpa kuduga perjalananku tak berhenti di sana. Aku masih terus dibawa. Aku diberhentikan di jurang yang begitu dalam dengan api berkobar menyala-nyala. Berkali-kali kudengar lolongan dan rintihan orang yang disiksa. Sungguh! Aku sangat takut. Meski beberapa suara tidak asing kudengar, tetapi aku tidak mau bersama mereka di sana.

“Mengapa aku di sini? Aku tidak mau di sini?”

“Tempatmu di sini!” Izrail menjawab datar.

“Tidak bergunakah darmaku sebagai dokter? Tidak cukupkah pahalaku selama hidup?”

Aku meronta ingin lari. Tapi, lari ke mana? Aku tak kuasa. Aku lemah. Aku menengadah. Kuakui aku salah.

“Aku memang salah. Aku memang mengaborsi ratusan bayi, tetapi bukankah aku sudah bertaubat. Aku shalat lima waktu tepat di masjid. Aku puasa sunah. Aku shalat malam. Aku berderma. Aku tidak menyusahkan banyak orang. Aku tidak pelit. Bahkan, aku mati saat sedang berazan. Melantunkan panggilan Tuhan. Apa itu masih kurang untuk menebus kesalahanku?”

Aku menangis. Aku benar-benar ketakutan. Api itu bisa langsung melelehkan tulang dan mendidihkan isi kepala.

Aku memohon kepada malaikat agar aku segera dipindahkan ke tempat yang pertama.

Aku berharap untuk segera bangun. Aku berharap ini hanya mati suri seperti adegan sinetron. Aku ingin segera kembali ke kehidupan nyata. Banyak orang yang harus aku mintai maaf. Banyak uang yang harus aku kembalikan dari aku menilap berbagai proyek di rumah sakit. Duh Gusti, aku ingin kembali ke dunia. Duh Gusti, aku ingin benar-benar taubat. Duh Gusti, kenapa belum juga terbangun. Tubuhku mulai meleleh dan bergabung dengan semua kawan-kawanku semasa di rumah sakit. (*)

 

 

Yogya, September 2012

Untuk simbah sepuh yang selalu setia datang ke masjid.

Penulis kelahiran Blora, 26 Juli 1990, ini tercatat sebagai mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Beberapa cerpennya telah terbit di sejumlah media massa, baik lokal maupun nasional. Prestasi menulisnya terakhir adalah Juara 1 dan Harapan 1 Lomba Menulis Cerpen FLP Bekasi.


Filed under: Teguh Afandi Tagged: Republika

Kota Abu-Abu

$
0
0

Cerpen Maggie Tiojakin (Kompas, 2 Desember 2012)

Kota Abu-Abu ilustrasi Nunung Rianto

TERLETAK di ujung dunia, di mana hujan turun tanpa henti dan matahari terus bersembunyi di balik awan gelap, kota ini menelan, mengunyah dan melepehkan segala macam warna hingga kusam tanpa nyawa. 

Merah, kuning, biru, hijau, jingga, ungu–semua tampak sama saja jika dibalut sendu. Hanya ada satu warna yang konstan di sini; yaitu abu-abu. Bahkan air laut yang mengelilingi tepian kota tampak keabuan. Begitu juga dengan langit yang memayungi serta tanah yang jadi pijakan kami.

Sesekali ada saja warga kota yang pergi melanglang buana, mengelilingi dunia, dan kembali membawa segenggam tanah merah atau daun kering yang telah kemuning. Cerita petualangan mereka selalu beragam dan sangat menarik untuk dijadikan anekdot penghibur di saat berkumpul. Ada satu kota di garis lintang ini dan bujur itu yang sarat akan lampu-lampu berwarna, di mana salju turun seputih kapas dan empat musim datang dan pergi silih-berganti. Ada pun kota lain yang didominasi hanya oleh warna emas–di mana matahari bersinar terik sepanjang hari dan para penduduknya berkulit hitam legam. Atau kota lain lagi yang menampakkan warna-warna agraris, datangnya dari hijau rerumputan, kuning jerami, merah bunga mawar serta birunya langit.

Suatu malam, aku dan istriku, Greta, tak sengaja papasan dengan seorang kawan lama di sebuah bar pinggir kota. Namanya Temuji. Ia mengaku baru saja kembali dari sebuah kota yang diselimuti warna hitam, tidak jauh dari belantara hutan es di Kutub Selatan.

Semasa sekolah, Temuji dikenal sebagai seorang atlet yang gemar main bola kaki serta mahir memanjat pohon. Kakinya gesit. Langkahnya tak pernah ragu. Hampir dua puluh tahun lamanya kami tak berjumpa, namun ia masih sama seperti dulu. Berbeda dengan aku dan Greta yang sudah mulai menunjukkan kerut-kerutan usia.

“Seperti apa Kota Hitam yang kau kunjungi, Muji?” tanyaku. Kami duduk di salah satu meja kayu dengan kursi panjang yang saling berhadapan. Greta duduk di sampingku, pundaknya merapat ke dinding.

“Gelap dan panas,” jawab Muji. Ia menuang isi botol anggur ke dalam gelas yang telah kering. “Rasanya seperti masuk ke dalam perut bumi.”

“Kau pakai pemandu? Ikut tur khusus?” tanya Greta. Di hadapannya ada segelas kopi hangat yang belum disentuh. “Kudengar banyak sekali paket murah yang ditawarkan oleh agen-agen perjalanan.”

“Kota Hitam adalah tempat sakral yang hanya boleh dikunjungi oleh orang-orang tertentu,” jelas Temuji. “Kota itu bukan tempat wisata seperti kota-kota lain. Tidak, tidak. Kau takkan bisa pergi ke sana dengan paket tur murah. Tempat itu letaknya tak tertera di atas peta. Hanya Tuhan yang tahu.”

“Lantas bagaimana kau bisa ke sana?” desak Greta.

“Aku punya caraku sendiri,” ujar Temuji.

“Aku tak percaya.”

“Terserah.”

“Oke, hentikan,” kataku. “Kalian membuat kepalaku sakit.”

“Aku yakin kalian tidak pernah ke mana-mana,” ujar Temuji seraya menghabiskan isi gelasnya. “Kalian tidak tahu ada apa di luar sana. Keindahan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.”

Kami berpisah dengan Temuji di depan bar pada pukul sebelas malam ketika para pengunjung yang lain juga mulai berhamburan keluar. Dia berjanji untuk mengirimkan kartu pos dari kota-kota yang akan dia kunjungi dalam waktu dekat ini–agar kami bisa melihat apa-apa saja yang kami lewatkan dengan berdiam diri di satu kota, kota kelahiran kami, tempat kami mengubur dan memuja leluhur kami. Selama bertahun-tahun, hanya kota ini yang kami kenali.

“Menurutmu kita harus keluar dari kota ini?” tanya Greta saat malam menyambut subuh. Di luar langit kelam tampak pucat disinari cahaya bulan yang keperakan. “Melihat keindahan dunia?”

“Duniaku sudah indah,” sahutku. “Karena ini dunia yang kutahu.”

“Kau tidak penasaran terhadap dunia lain di luar sana?”

“Tidak.”

“Masa?”

“Tidak.”

“Aku penasaran.”

“Tidurlah, Greta.”

“Aku ingin melihat warna lain selain abu-abu.”

“Apa yang salah dengan abu-abu?”

“Tidak ada. Aku hanya ingin melihat sesuatu yang berbeda.”

“Tak usah kau pusingkan hal-hal yang berbeda,” kataku. “Jalani saja apa yang ada.”

“Itu pemikiran orang kuno,” sahut Greta. “Bagaimana hidupmu mau senang kalau kerjamu hanya menjalani apa yang ada?”

Aku tidak menjawab, membalikkan tubuh, pura-pura tidur.

“Remos,” panggilnya. Kurasakan tangannya meraba punggungku, hangat. “Apa kau akan membenciku kalau aku pergi darimu demi memuaskan rasa penasaranku?”

Aku bungkam.

“Tidak lama, tentunya,” lanjut Greta. “Paling satu atau dua bulan. Kalau kau tidak sudi menemaniku, aku ingin minta restumu untuk melihat dunia lain seorang diri.”

Aku masih bungkam.

“Remos—”

“Tidurlah, Greta.”

“Kau takkan merasakan kepergianku, aku janji,” sambungnya. “Aku akan kembali sebelum kau sempat merindukanku.”

Greta pergi berbekal uang seadanya dan tekad bulat. Ia menumpang kereta dan kapal laut. Ia ingin menikmati perjalanannya. Ia tidak mau buru-buru. Satu atau dua bulan, katanya. Janjinya dia akan kembali sebelum aku sempat merindukannya. Tapi itu mustahil. Aku merindukannya setiap saat. Ia tak kirim kabar. Kartu pos yang dijanjikan Temuji pun tak kunjung datang. Hari-hariku semakin kelabu. Awan bergumul memanggul hujan. Ke mana-mana aku jalan kaki, mengusir sendu, mengeluh bisu. Aku pergi ke pantai dan duduk menatap laut keabuan. Kutatap dinding semen tanpa warna. Tak tahu harus mencari Greta ke mana.

“Sudah berapa lama?” tanya Puma, seorang bartender yang sudah lama mengenalku. Ia menuangkan bir ke dalam gelasku yang beku. “Setahun?”

“Setahun, delapan bulan,” kataku. “Hampir dua tahun.”

“Dan tak ada sedikit pun kabar dari istrimu?”

“Tidak ada.”

“Mungkin dia tersesat,” ujar Puma.

“Dia terlalu pintar,” kataku. “Dia takkan pernah tersesat.”

“Diculik?”

“Siapa yang hendak menculiknya tanpa minta uang tebusan?”

“Kecelakaan?”

“Aku juga sempat pikir begitu,” desahku. “Tapi perasaanku mengatakan ia baik-baik saja.”

“Lantas kenapa?”

“Kurasa dia suka apa yang dia temui dan merasa enggan kembali kemari.”

“Kalau gitu dia bodoh.”

“Dia istriku,” kataku. “Jaga mulutmu.”

“Aku justru membelamu.”

“Aku hargai itu, tapi sebaiknya jangan.”

“Kalian berdua sama anehnya.”

Kupagut bibir gelas dan kuteguk bir yang ada di dalamnya. “Mungkin.”

Seperti yang kutakutkan—dan kuantisipasi—Greta tak pernah kembali. Aku sempat bertemu lagi dengan Temuji, beberapa tahun kemudian, di bar yang sama saat dia tengah dalam perjalanan ke sebuah kota di kaki gunung yang padat dengan kabut. Kota tersebut terkenal sejuk dan merupakan salah satu kota wisata paling ternama di dunia. Kabut yang menggantung selalu berganti warna mengikuti interval kalender kuno. Dan setiap kali warna kabut berganti, warga kota selalu merayakannya dengan mengadakan festival seni. Temuji bilang dia sempat bertemu Greta di atas kereta menuju Kota Tropis di mana matahari memancarkan sinar keemasan tanpa henti. Aku tanya apakah istriku tampak bahagia. Temuji mempertimbangkan jawabannya.

“Tidak,” kata teman lamaku. “Dia sedih karena kau tak ada bersamanya. Tapi ia puas karena telah mengambil langkah pertama untuk keluar. Perjalanan panjang seperti itu lebih baik dilakukan berdua; tapi kalau salah satu di antara kalian tak melihat poin dari perjalanan tersebut—sebaiknya dilakukan sendiri.”

“Aku tak ada masalah dengan kota ini,” kataku. “Aku nyaman di sini.”

“Bagus,” kata Temuji. Ia menepuk pundakku berkali-kali. “Memang sudah seharusnya begitu. Tak ada apa-apa untukmu di luar sana.” (*)

 

 


Filed under: Maggie Tiojakin Tagged: Kompas

Surau Kaki Bukit

$
0
0

Cerpen Dafriansyah Putra (Republika, 25 November 2012)

Surau Kaki Bukit ilustrasi Rendra Purnama

SURAU mendadak ramai. Biasanya, meskipun waktu shalat wajib tiba, hanya seorang Gaek Puai yang senantiasa menjaga sujudnya di hamparan sajadah surau ini. Entahlah, apakah masyarakat di sekitar banyak melaksanakan shalat di masjid-masjid besar bersajadah harum di sana, atau malah mereka mungkin lupa untuk shalat. Akan tetapi ramainya surau kali ini bukanlah untuk beribadah.

Aku terpaku menyaksikan orang-orang bertopeng dan berpakaian aneh sibuk memorak-porandakan surau. Bahkan, mimbar tempat biasa meletakkan kitab dan mik bagi penceramah kini tak tentu bentuk lagi. Ukiran “itiak pulang patang” yang biasa mengelilingi panggung kecil tempat berkhutbah itu sudah hancur sehancur-hancurnya. Di luar surau, excavator berjejer.

Aku tak bisa berbuat apa-apa terhadap perlakuan mereka. Sempat, sekali, mereka arahkan bongkahan tinju ke hadapan Gaek Puai, kala lelaki tua berjanggut itu mencoba menghalang-halalangi langkah mereka saat akan menghempaskan kaligrafi berlatar hijau muda yang terpajang indah di dinding.

***

Lelaki itu ringkih lagi renta. Langkahnya hampir sama dengan laju kura-kura. Lekuk tulang belakangnya kurang sedikit empat puluh lima derajat. Karena itu, ia sangat berharap banyak kepada sebatang kayu sejenis basung berdiameter dua kali ibu jari yang selalu ada di mana ia melangkah. Meski demikian, orang tua itu rajin melaksanakan shalat di surau. Tak akan ia mau melubangi barang serakaat pun.

Seluruh tubuhnya keriput dan legam tak ubahnya aspal. Akan tetapi tidak pada wajahnya, seperti ada cahaya yang memancar dengan teramat terang. Barangkali air wudhu telah mempersembahkan sepercik nur alam nirwana teruntuknya.

Lelaki tua itu khusyuk mematuk sujud. Ia tengah melaksanakan shalat dhuha. Mulutnya bergerak-gerak mengeja bacaan shalat. Selepas salam, ia lanjut memainkan butir-butir tasbih hijau mudanya. Jemarinya pulas mengecup tiap bulatan seirama dengan lafaz zikir yang ia utarakan. Matanya memicing, menjadi wujud kian menghayati tiap kalimat yang dilisankan lirih.

Setelah diakhiri dengan munajat, kemudian ia beranjak meninggal surau. Dibantu tongkat ia perlahan tegak untuk mengayunkan tubuhnya kembali setapak demi setapak menuju gubuk kecilnya. Setelah agak lama melangkah, terdengar desah nafas lemah setara usianya.

Gaek Puai, begitu orang memanggilnya. Mungkin ia adalah sedikit dari orang asli perkampungan Indaruang yang masih hidup dan menetap. Sebab, seiring perjalanan waktu, makin banyak saja masyarakat yang menyuruh anak-anak mereka pergi merantau. Entah ke pulau seberang, atau ke negeri seberang. Hingga matilah generasi penegak kampung seiring dengan matinya orang-orang tua mereka. Namun, tanpa disangka, tanah yang dulunya sepi penduduk dan dianggap tak punya potensi, tiba-tiba saja membentuk barisan pabrik di mana-mana seperti sederet batu domino.

Seperti sekarang ini, takkan tuan dan puan temui lagi sawah menghijau, sebab semua disulap menjadi lahan industri. Tiada lagi nyanyian pipit-pipit kecil menyambut pagi, semua berganti suara mesin pabrik yang kian menggelegar. Wajar memang, terlebih daerah ini terletak di kaki bukit yang notabene sangat layak untuk didirikan lahan industri.

Setiba di gubuk sederhananya yang beratap rumbia dan bertonggak batang kelapa itu, Gaek Puai merebahkan badan tuanya ke atas dipan peninggalan yang jauh lebih tua darinya. Hampir seluruh perkakas yang terletak di dalamnya adalah barang-barang kuno. Lampu misalnya, itu bukan sejenis bohlam atau neon. Namun, sangatlah terang. Dan, juga kursi di dekat pintu masuk itu, terbuat dari rotan pilihan. Di zamannya, kursi itu sangatlah mahal, namun sekarang dijual murah sekalipun tak ada yang minat.

Konon, mendiang orang tua Gaek Puai adalah orang kaya raya. Bapaknya dulu kaki tangan Belanda. Ya, orang pribumi yang dijadikan mata-mata. Tak dipungkiri, Meneer Belanda akan boros membagi kepeng kepada siapa saja agar kepentingannya terlaksana.

Lelaki tua itu terkelap. Sepertinya ia begitu lelah. Tenaganya habis setelah berjalan sepulang dari surau. Ukuran setengah kilo bagi orang setua itu adalah perjalanan yang sangat berat. Namun, niat kuat mengalahkan keadaan.

Pernah, sekali, aku menemukan Gaek Puai kala sedang berjalan menuju surau.

“Gaek, ayo naik motorku saja, kebetulan ambo (saya) pintas, lewat muka surau,” pintaku menawarkan.

Ndak usahlah, Gaek jalan saja. Kau doakan saja tiap langkahku menjadi pahala agar aku masuk surga,” katanya yakin.

Tak tahu apa yang harus kulakukan setelah mendengar jawabannya. Salut aku melihatnya. Jika membandingkan dengan diri sendiri, malu aku rasanya; kepada dia, lebih-lebih kepada Tuhan. Lelaki tua itu memang benar-benar mengidam-idamkan surga.

Asal kau tahu. Menurut cerita, dulu Gaek Puai adalah manusia yang bermandikan dosa. Ia orang paling bagak (berani), kuat dan tak mempan senjata. Semua itu didapatnya setelah berguru pada Mak Tamam, dukun sakti di perkampungan Indarung.

Bahkan, ketika terjadi pembunuhan besar-besaran, sewaktu Jepang masuk dulu, ia seorang yang selamat. Semua keluarganya mati di tangan serdadu-serdadu sipit itu. Setelah hidup sebatang kara, sifat Gaek Puai pun berubah. Ilmu kebatinan yang dulu diajarkan untuk memperkecil kesombongan serta medekat diri ke Yang Kuasa, malah kemudian digunakannya untuk unjuk gigi dengan terus membuat keonaran di tengah pasar.

Pernah ia coba kupak toko emas milik Ajo Azwar. Meski polisi datang, namun tak ada yang bisa mereka lakukan. Peluru yang ditembakan mental, lalu jatuh ke lantai. Setiap mencoba menjerat, tubuh muda Gaek Puai selalu lincah mengelak. Pukulan yang dilayangkan pun serasa kosong belaka baginya. Habislah daya bagi pihak kepolisian.

Bahkan, polisi sengaja mencoba menabrak tubuhnya dengan mobil bersirine, namun apalah daya, dengan sebelah tangan Gaek Puai mampu menaikan kedua roda depan mobil kemudian membalikkannya, hingga matilah seorang dari anggota kepolisian akibat tertimpa. Tenaga Gaek sebanding inyiak balang (harimau belang).

Mungkin lantaran itu pula Gaek Puai ingin berserah kepada Sang Kuasa, sebisa mungkin menghapus dosa-dosa masa lalunya. Memang tak ada kata terlambat untuk bertaubat. Hampir pukul dua belas siang, Gaek Puai terbangun dari tidurnya. Setelah membasuh muka, ia raih kopiah lusuhnya yang tergantung di belakang pintu. Segera ia kenakan sarung sulam Pandai Sikek-nya. Tak lupa sebatang tongkat kayu, penopang langkahnya.

Seperempat jam lagi waktu azan masuk. Ia cepatkan langkahnya (meski terlihat masih sangat lambat). Seperti biasa, ia yang akan mengumandangkan adzan. Meskipun sedikit, bahkan terkadang tak ada jamaah yang datang, namun Gaek Puai rajin memanggil orang dengan mik yang di bulatan kepalanya dikebat kain berlapis-lapis, supaya lebih nyaring katanya.

Terkadang aku turut serta menjadi makmum. Entah mengapa aku merasakan sesuatu yang berbeda setiap kali shalat bersamanya. Suara Gaek dengan nafas terbata-bata membaca ayat dan sering dipenggan-penggal, namun menjadi yang terindah bagiku. Sering aku menangis saat ia membacakan doa, dari dalam hati ia meminta.

Suasana surau di kaki bukit ini memang seadanya. Sajadah shalat hanyalah tikar plastik yang bolong di sana-sini akibat gigitan tikus. Jarum panjang jam dinding tak pernah bergerak sebab setiap kali diganti dengan baterai baru, selalu saja hilang dimaling anak-anak untuk mobil-mobilan. Wajar saja hal itu terjadi, surau ini tak berpenghuni, sedang pintunya tak pernah dikunci, “Mana tahu ada hendak shalat,” kata Gaek ketika kutanya perihal pintu surau. Atap surau pun banyak yang bocor. Bila hujan tiba, Gaek akan sibuk mengusir air tergenang dengan apa saja.

Pernah aku memberikan sebuah lukisan kaligrafi buatanku kepadanya untuk setidaknya memberikan hiasan pada ornamen surau yang kosong. Gaek Puai sangat senang menerimanya kala itu. Langsung tubuh tuanya mengambil kursi untuk segera memakukannya karyaku di dinding surau. Mana mungkin akan kubiarkan tubuh renta itu kesulitan memanjat kursi. Tanpa pikir panjang aku bantu ia memasangkan lukisan, aba-aba ia berikan agar letaknya tidak miring.

***

Sudah hampir tiga kali subuh Gaek Puai tidak ke surau. Ada apa dengannya? Aku cemas. Tak biasanya begini. Bahkan selebat apa pun hujan ia tetap menjaga shalat jamaahnya, walaupun ketika hujan lebat sebenarnya diperbolehkan untuk shalat sendiri.

Selepas kemudian, kuputuskan untuk menemui Gaek di rumahnya. Hatiku risau, takut terjadi apa-apa dengannya. Meski aku baru tinggal di sini, selepas diangkat menjadi pegawai di salah satu pabrik, aku sudah menganggapnya seperti orang tuaku. Aku banyak belajar tentang kehidupan darinya, meski tak langsung dilisankan.

Setiba di gubuknya, aku mendapati tak ada kecemasan atau rona pucat dari muka Gaek Puai. Seperti biasa, ia senang menggemeretakkan giginya seperti orang sedang makan kacang. Pun tongkat di tangannya masih setia mengawaninya.

“Ada apa dengan Gaek, sudah beberapa hari ini ambo tak nampak Gaek di surau?

“Gaek tak bersurau lagi.”

“Maksud Gaek?”

“Besok, surau itu akan dirobohkan. Benar-benar roboh. Beberapa hari ke belakang, orang kota mendatangi Gaek. Mereka akan menjadikan lahan surau untuk ditegakkan pabrik.”

“Lantas, tidak Gaek cegah?”

“Sudah, namun dia berkata: ‘akan kuganti surau burukmu dengan masjid semegah apa pun dan di manapun kau mau,’ begitu.

Nah, kalau begitu bolehlah, Gaek bisa mendapat tempat ibadah yang lebih megah bukan?”

“Megah itu bukan bersebab temboknya tinggi atau lantainya keramik. Tak akan nampak kemegah-mewahnya rumah ibadah apabila tak ada umat yang mau meramaikannya. Sekalipun itu surau lapuk, jika selalu ramai di saat waktu ibadah tiba, itulah kemegahan yang tak terkira.” (*)

 

 

Padang, 2012


Filed under: Dafriansyah Putra Tagged: Republika

Janji Laut

$
0
0

Cerpen Mahwi Air Tawar (Suara Merdeka, 2 Desember 2012)

 Janji Laut ilustrasi Achmad Basuki

TAREBUNG terus menerka-nerka, di laut manakah sebenarnya, ia, istri dan lima pengungsi itu berada. Ya, semenjak tiga hari lalu, ketika kali pertama ia menaiki perahu hingga berangkat, ia bersama lima pengungsi itu tak pernah keluar di siang hari. Hanya sesekali, keluar di malam senyap, dan sesudah itu, ia segera masuk kembali, ngelangut di atas geladak yang dikelilingi kayu-kayu papan.

Tapi, ada yang aneh, batin Tarebung. Kerisik langkah kaki terdengar dari atas dek. Desau angin juga asin garam. Tarebung mengulum senyum ketika sayup-sayup ia mendengar suara azan dari kejauhan, mengalun, mungkin dari sebuah masjid tempat ia mengajari anak-anak mengaji. Begitulah ia menerka. Dan, ah, gumamnya dalam hati. Ragu mulai membelit pikirannya. Bukankah selama beberapa tahun sejak ia tinggal di rantau, tak pernah ia mendengar senandung azan seindah itu, begitu merdu?

Tarebung luruh dalam irama azan. Perlahan, bibirnya bergerak mengikuti senandung itu, pelan, dan serak. Dan diam-diam, matanya berlinangan. Sejenak ia kembali mengulum senyum. Ada desir bahagia. Ia pun acuh saat lima orang yang duduk tak jauh darinya, menatapnya dengan raut antara ketakutan, benci, dan muak. Ya, mereka benci sebab Tarebung membawa serta istrinya, Ne’Tatri, yang tak lain adalah penduduk asli daerah babunuhan, tempat pembantaian berlangsung.

Tarebung kian luruh. Ia seperti tengah berada di suatu tempat yang tidak asing lagi baginya. O, masa kanak-kanak yang jauh, teramat jauh. Ia, terkenang, terutama jelang Lebaran, saat ia dan teman-temannya berlomba untuk tiba paling awal di masjid, lalu mengumandangkan azan. Tarebung tak gentar saat kedua orang tuanya mengancam, menyuruhnya lekas pulang. Seusai sembahyang, bersama teman-temannya, Tarebung keliling kampung, mengunjungi rumah yang sudah direncanakan sebelumnya, juga melihat-lihat rumah siapa saja yang akan dikunjungi esok harinya. “Siapa kira-kira yang lebih banyak ngasih uang?” tanyanya pada Surapak. Ya, warga yang murah hatilah yang bakal mereka kunjungi. Mereka asyik menyebut nama-nama yang akan dikunjungi esok hari, seusai shalat. Tarebung geli, ingat saat itu, betapa bangga bisa memamerkan baju baru yang dibelinya di Pasar Banyuates.

O, sial, lamunannya seketika buyar. Tarebung meradang. Dari anjungan, tiba-tiba, seseorang berteriak, “Urang-urang, siap. Turun!” perintah awak perahu pada Tarebung dan Ne’ Tatri, juga lima pengungsi lainnya.

Tarebung menarik napas panjang. Kenangan masa kanak-kanak itu memakunya. Lantunan azan terus menggema di hatinya. Tapi, ah, betapa ia tersayat, dan paras sayu Ne’ Tatri, merontokkan keping-keping kenangan yang dirajutnya itu. Dalam sekejap, gema azan yang syahdu, menjelma pekik tangis, mendera udara. Jerit panjang kesakitan orang-orang yang menjadi korban babunuhan.

Ditatapnya wajah Ne’Tatri. Kebahagiaan menyambut hari besar yang direnggut petaka. Sementara lima orang pengungsi dari daerahnya, masih menatap muak pada istrinya.

***

NE’ Tatri yang tengah hamil tua, sejak naik perahu dari pelabuhan, hanya menunduk, antara menahan tubuh yang payah dan menanggung ngilu, sadar akan posisinya di antara sisa pengungsi yang selamat dari babunuhan. Ia benar-benar tak berani menatap wajah mereka. Ketika ia, tak sengaja bersitatap, yang terlintas dalam benaknya hanya kematian. Melintas bayang tanah kelahirannya, yang kini penuh dengan bangkai manusia. Barangkali dirinya akan turut dibantai setelah tiba di tempat lain. Ia dicekam rasa ngeri.

Sepanjang perjalanan, Ne’Tatri tak henti-hentinya mengutuk peristiwa babunuhan, antara orang-orang tanah kelahirannya dan orang-orang tempat suaminya berasal, Madura. Oh, Hattala… Buhen ikau malulus taluh papa tuh?

Dari balik pintu yang sudah miring, samar-samar, ia melihat kepulan asap membubung. Gundukan puing-puing, reruntuhan rumah, kios, pasar. Dan jalanan yang mendadak jadi jelapang bangkai manusia, tubuh-tubuh tercacah, berserak. Lalat-lalat mendesing, berkerubung. Langit pucat. Guruh ombak di pelabuhan bagai erangan pilu ribuan korban, menyayat, dari serpihan teratak-teratak rumah sehabis dibakar. Ne’Tatri bergidik. Miris.

Tarebung tak kuasa beranjak. Ia terus mendesiskan kalimat-kalimat zikir. Angin mendesirkan bau bangkai, anyir kepala-kepala yang remuk dan digelindingkan, dilempar jauh ke pelabuhan. Burung-burung gagak menukik, mematuk usus yang terburai. Buncahan buih, merah. Kepala-kepala tanpa tubuh mengapung diseret arus. Perahu-perahu, kalotok, kapal, bergerak lambat. Sekumpulan orang setengah telanjang dari arah reruntuhan bergerak beringas, berteriak, mengacungkan mendung, mandu. Dan, dari arah lain beberapa lelaki mengayunkan celurit. Kelebatan parang maya menebas selapis napas kaum pendatang.

Sejarak pandang dari tempat Tarebung bersembunyi, kurumunan orang berteriak penuh gegap-gempita, menendang dan mengumpat, jijik! Peristiwa babunuhan yang sudah berlangsung berhari-hari itu membuatnya tak berani keluar, begitu juga Ne’Tatri, istrinya.

Palangabak!” ratap Tarebung.

Beberapa tentara yang berjaga di sekitar tenda pengungsi, menoleh, tak senang. Mata mereka merah, semerah riap api dari gundukan mayat, yang sengaja dibakar. “Hai, Mandura. Jangan bikin gara-gara lagi!” bentak seorang tentara dengan pandangan nyalang, mengancam. “Mau kepalamu dijadikan bola pingpong. Hah?” gertaknya sambil mengisap rokok, sementara yang lain memandang Tarebung dan istrinya, dengan sinis.

Patek!”

“Apa katamu, Bajing?” Tentara itu memasuki tenda, tempat Tarebung bersama Ne’Tatri bersembunyi. “Katakan lagi!” bentaknya sambil menodongkan ujung laras senapan ke kepala Tarebung. “Macam-macam. Kupisahkan kepalamu!” ancamnya, sambil melayangkan tendangan pada pasangan suami istri itu.

Tentara-tentara berjalan tegap, menggiring para pendatang ke pelabuhan.

“Apa tak sebaiknya kembali, Kak?” Ne’Tatri mendesah ragu.

Ahbo… kembali katamu?” Tarebung memelototi istrinya.

“Tidak. Kita musti ikut rombongan. Ngungsi!”

“Ke mana?” Ne’Tatri melangkah pelan, mendekati Tarebung yang semakin gelisah.

“Ke mana saja. Asal anak kita selamat.” Sahut Tarebung seraya memandang perut istrinya.

“Saya takut, Kak. Nanti apa tidak dibunuh orang Manduramu?” Ne’Tatri bertanya cemas.

“Kamu tak pikir keselamatanku kalau aku di sini?” sela Tarebung. “Cepat atau lambat aku akan mati kalau tetap di sini!”

“Nyatanya kita tidak diapa-apakan.”

“Iya, tidak diapa-apakan kecuali ditendang!”

Ne’Tatri tak menanggapi ucapan suaminya, ia gemetar. Air matanya menggenang. “Oh, Hattala… Buhen ikau malulus taluh papa tuh,” ratapnya tanpa mengalihkan pandang.

Air mata Ne’Tatri terus meleleh, menuruni lesung pipinya yang sembab. Tapi aneh, sesekali Ne’Tatri tertawa sendiri. Dan ketika Tarebung bertanya menertawai siapa, ia hanya menggeleng sambil merapatkan tubuh ke suaminya. Diraihnya tangan suaminya, ditempelkannya di perutnya, mengusap-usap perut buntingnya.

“Ia bergerak,” bisik Tarebung. “Tapi… addo, palangabak,” keluhnya. “Bagaimana kalau anak kita lahir di atas perahu?”

“Tak usah pulang, Kak,” Ne’Tatri merajuk.

“Tidak. Kita harus turun. Ikut reng-oreng!”

“Ia nendang-nendang, Kak,” Ne’Tatri, menghibur diri.

“Siapa?”

“Anakmu, Mandura….”

“Ah, cem-macam saja!”

Dari arah pelabuhan guruh mesin kalotok menderu-deru, ombak pecah. Buih beserpihan di udara. “Lebih cepatlah, Kunyuk!” teriak seorang tentara.

“Apa sebaiknya kita ikut serta mereka, Kak?” usul Ne’Tatri dengan suara getir.

Addoh. Tak mungkin, Dik. Tak mungkin!” Tarebung menjawab, parau.

“Maksudmu ke Madura?” tanyanya.

“Ke mana saja, sebelum anak kita lahir.”

Wajah Ne’Tatri semakin kuyu, dua bibirnya mengatup, menahan sakit. Sudah delapan bulan setengah usia kandungannya. Tubuhnya terus menggelinjang menahan gerakan-gerakan kecil di dalam perutnya. Dan, lantunan zikir Tarebung, terdengar pilu.

Oh, Hattala… Buhen ikau malulus taluh papa tuh.

Guruh mesin kapal menderu. Dentam ombak membantum. Langit pucat. Burung-burung gagak menukik, menyesap jelapang tubuh yang terserak di sepanjang jalan, pelabuhan. Wajah-wajah dirundung kelam, sepekat asap yang membubung.

Tarebung meratap lirih sambil melirik pada para pengungsi Madura yang duduk tegang di atas dek kalotok. Pun istrinya yang tengah hamil tua itu. Ne’Tatri merasa diawasi ribuan mata orang-orang Madura. Sungguh, ia benar-benar tak berani balas menatap. Mata-mata itu seakan terus mengancamnya. “Duh, Gusti,” ratapnya sambil menghindari tatapan orang-orang itu.

***

PELABUHAN Tanjung Perak tampak semarak. Orang-orang berjejal berebut jalan masuk ke kapal, berebut tempat. Kemeriap lampu sepanjang jalan ke arah pelabuhan seolah kunang-kunang, menjelma riap bara dari gundukan bangkai manusia, reruntuhan rumah-rumah yang habis dibakar, jauh di tempat asal Ne’Tatri, tempat Tarebung merantau.

Sampan-sampan yang hanya diterangi damar sumbu bergerak lambat. Dari jauh, sayup-sayup terdengar senandung azan itu lagi. “Oh… Tidak, tidak!” keluh Tarebung, sambil mendekap erat Ne’Tatri. “Azan itu mengingatkan Kakak pada masa kecil,” Tarebung melangkah mundur lalu berpaling. “Dan, kadang, suara-suara itu Ne’Tatri, seperti jeritan saudara-saudaraku di tanah leluhurmu yang mati, jadi bangkai….” Tarebung tercekat.

Ne’Tatri bergeming. Entah apa yang terbesit dalam benaknya. Wajahnya bertambah pucat, kakinya gemetar. Sementara lima orang itu masih saja memandangnya, jijik, lalu beranjak, menjauh. Hingga seseorang datang, petugas penjemput, hendak membawa mereka ke Madura.

“Orang-orang turun,” gumam Tarebung, menerawang jauh ke kerumunan orang-orang yang berjejal masuk di pelabuhan Tanjung Perak.

“Kak,” panggil Ne’Tatri. “Aku tidak mau ke Madura.” Tarebung tak menyahut. Ne’Tatri terisak. Memandang jauh ke Selat Kamal, ke Tanjung Perak. Dan ketika perahu yang hendak membawa mereka ke Selat Kamal menepi, lima pengungsi itu nampak ragu-ragu, ketika seorang petugas memberi perintah agar mereka lekas naik. “Naiklah. Mau turun, tidak?” tanya seorang yang bertugas menjemput Tarebung bersama pengungsi lainnya itu. “Mereka tak suka kalian pulang. Tak ada tempat bagi kalian di sana!” teriaknya pada Tarebung.

Tarebung memandang istrinya, lalu pada lima orang yang sudah menaiki perahu kecil yang sudah siap membawa mereka ke tanah kelahirannya. “Ke mana kalian akan pulang?” tanya petugas itu lagi.

Tarebung menatap sayu. Ia peluk Ne’ Tatri, erat. “Kita tak akan ke Madura,” bisiknya, menahan isak. Lalu ia menoleh pada petugas dan memintanya segera pergi, membawa lima orang pengungsi.

“Mereka akan diungsikan di sebuah masjid!” kata petugas itu sebelum beranjak meninggalkan Tarebung dan istrinya.

Perahu yang memuat lima pengungsi itu bergerak menjauh, kian menjauh. Tarebung dan Ne’Tatri masih berdiri. Sambil mengelus perutnya, Ne’Tatri bertanya sendu, “Ke mana kita akan pulang, Kak?” Tarebung berpaling, memandang nyalang ke arah pelabuhan Tanjung Perak, Selat Kamal, yang dijejali pendatang.

“Akan tinggal di mana kita, Kak?” desak Ne’Tatri.

“Tak ada tempat tinggal,” jawab Tarebung, nyaris tak terdengar.

“Ke Madura?”

“Tak ada tempat bagi kita di sana.”

Dari arah pelabuhan Tanjung Perak, bunyi sirine kapal dan senandung takbiran malam lebaran membahana di udara, mengiringi orang-orang yang hendak pulang ke tanah asal, tanah leluhur. (*)

 

 

Yogyakarta, 2012

Catatan:

Oh, Hattala… Buhen ikau malulus taluh papa tuh: Ya, duh… Ya, Tuhan, kenapa begini kejam mereka saling tikam.

Palangabak: malangnya saya

Patek: anjing

 

Mahwi Air Tawar, lahir di Pesisir Sumenep, Madura, 28 Oktober 1983. Sejumlah cerpen dan puisinya dipublikasikan di pelbagai surat kabar. Kini, di samping sebagai editor lepas, ia mengelola komunitas sastra Poetika dan Kaleles, kelompok Kajian Seni Budaya Madura, di Yogyakarta.

 

 


Filed under: Mahwi Air Tawar Tagged: Suara Merdeka

Semua Perempuan Berselingkuh

$
0
0

Cerpen Clara Ng (Koran Tempo, 2 Desember 2012)

Semua Perempuan Berselingkuh ilustrasi Yuyun Nurrachman2

SEMINGGU sebelum Pia menikah, Mama mengumpulkan sembilan anak perempuannya untuk makan malam ciaciu di restoran Fajar Baru. Pernikahan selalu membuat keluarga yang tercerai-berai kembali berkumpul.

“Tapi, Tuasok tahu kan,” kata Lanny dengan nada sabar kepada Wawa, kakak iparnya yang pertama, “ini bukan makan malam biasa saja. Mama sudah memesan set menu ciaciu untuk sepuluh orang.”

“Nggak apa-apa, Lan. Nanti si Yola saja yang datang mewakili saya.”

Yola adalah anak pertama Wawa. Gadis dengan tubuh yang mekar di usia tujuh belas tahun dan deretan jerawat di pipi tambunnya. Lanny menutup telepon dengan perasaan tidak enak. Dia selalu curiga Wawa sengaja tidak datang buat menghindari Mama.

Mama masuk ke dalam mobil, tertatih-tatih dipandu Nancy, adiknya yang nomor enam. Setelah bercerai, Nancy pulang kembali dan menempati kamar tidur di lantai atas. Tak lama Pia menyusul, membuka pintu dan duduk di sebelah Lanny. Lanny melajukan mobil setelah semuanya lengkap.

“Lebih baik begini, Tuasok nggak usah datang,” kata Nancy begitu mendengar berita dari Lanny tentang Wawa. “Dia harusnya tinggal di rumah saja, menjaga Ko Alex supaya Ko Alex nggak main mata sama sekretarisnya.”

“Hus! Saci selalu berpikir jelek melulu.” Pia mendelik dari kursi depan. Dia benci dengan kakaknya yang satu ini. Setelah Nancy bercerai karena suaminya berselingkuh, Nancy selalu punya opini buruk tentang lelaki. Dia pukul rata semuanya. Semua lelaki berselingkuh!

Nancy menggumamkan beberapa kata yang tidak jelas.

“Tuaci,” panggil Pia, mengalihkan perhatian. Dia terjepit di antara dua kakak perempuannya. Yang satu janda, yang satu lagi perawan tua. “Sudah lihat menu katering buat kawinan besok?”

Lanny mengangguk singkat, lalu mendongak ke kaca spion, memandang Mama dari pantulannya. “Pesawat Evi dari Surabaya delay selama dua jam, Ma, kayaknya tidak mungkin Evi mengejar makan malam ini. Tapi supaya genap sepuluh, tadi saya mengajak Akim datang. Nanti kita jemput dia dulu. Oya, Pia, tolong ambilkan tisu dong.”

 

PIA memandang wajah-wajah yang mengelilinginya, setengah melamun. Di hadapannya, seorang pelayan meletakkan satu piring besar berisi aneka salad dingin, makanan pertama sebagai penanda dimulainya makan malam ciaciu mereka. Sepuluh perempuan dari tiga generasi duduk bersama. Taplak meja dan sumpit berwarna merah menyala, seperti baju yang dikenakan Riana.

Dari semuanya, dia paling suka mengobrol dengan Riana. Perempuan ini sebenarnya lebih muda daripada usianya, tapi dia diwajibkan memanggilnya dengan panggilan ‘kakak’ yaitu Sasok, yang artinya kakak ipar nomor tiga. Kakak lelakinya, Ben, menikah lagi setelah istri pertamanya meninggal karena kecelakaan. Ben menikahi Riana ketika gadis itu masih berusia dua puluh empat.

Restoran ini tidak terlalu penuh. Sebagian meja terisi, sebagian lagi kosong. Para pelayan berdiri tegak dengan tatapan mata yang siaga, bersiap mengulurkan bantuan jika dibutuhkan. Duduk di sebelahnya, Dewi sedang sibuk dengan hapenya.

Dia tertegun memikirkan dirinya yang akan menikah minggu depan. Sebagai anak bungsu dari sembilan bersaudara, dia tidak pernah mengira akhirnya gilirannya menikah tiba. Satu per satu kakaknya menikah (kecuali Lanny kakak nomor dua), seakan-akan dia terus menerus menjadi yang paling kecil dan tertinggal dalam segala-galanya. Ketika dia masuk SMP, dia menjadi pengiring pengantin Dewi. Ketika dia SMA, Siane pacaran dengan lelaki bule, yang tidak disetujui Mama, tapi tetap saja dilanggar. Ketika dia kuliah, para perempuan semakin banyak di keluarga ini, beranak-pinak.

Beberapa tahun lalu, sewaktu Mama masih sehat dan kuat, dia sering melihat para perempuan duduk mengelilingi meja makan di dapur. Lanny, Dewi, Nancy, Siane. Setelah kakak-kakak lelakinya menikah, para ipar perempuan bergabung. Wawa (dia paling jarang), Katie, almarhum Mala yang digantikan Riana, dan Evi. Belakangan, Mama semakin letih dan tua. Dia malas memasak untuk sepuluh perut, maka perkumpulan para perempuan berubah tempat. Tidak lagi di dapur, tapi di restoran Cina.

Dia tidak ingat sejak kapan dia terbiasa melihat pemandangan para perempuan berkumpul untuk makan malam dan bercerita. Mungkin ketika dia masih TK, saat Wawa sering dibawa Alex untuk diperkenalkan kepada seluruh keluarga. Atau mungkin ketika Papa lebih sering berada di tokonya daripada di rumah. Dia melihat kekuatan perempuan di dalam rumah semakin mendesak para lelaki keluar.

Semakin para perempuan berkumpul, semakin banyak obrolan yang terjadi. Seringkali tidak semua perempuan hadir, tapi tidak apa-apa. Mama selalu menyiapkan makanan berlimpah untuk sepuluh perut perempuan yang senang berceloteh riuh. Di antara sumpit yang silang menyilang, di antara ludah dan picingan mata, lengkingan cempreng “hah?” atau pekikan kata-kata tak jelas, kunyahan gigi dan bibir berminyak, jeritan tawa, dia menemukan rumah yang hangat. Tempat di mana dia bisa mendengar pelbagai kasus kehidupan tanpa basa basi.

Papa masih bersama Mama di rumah, satu-satunya lelaki yang semakin diam dari hari ke hari. Nancy bilang Papa punya pacar baru; janda cantik yang punya toko emas, tapi Lanny tidak percaya. Dua kakaknya paling sering berselisih pendapat soal ini. Lanny berlebihan memercayai kesetiaan lelaki, sementara Nancy berlebihan memercayai kesetiaan perempuan. Dia sendiri mencari kebenaran.

Nancy pernah membuntuti Papa seharian, mencoba menemukan bukti kalau Papa punya perempuan lain. “Gila, pekerjaan nggak ada gunanya!” dengus Siane. “Lebih baik Saci nggak usah pacaran sama Ko Ah Beng. Cowok brengsek dia. Matanya jelalatan melulu kalau lihat cewek. Apalagi sama si Jici Dewi tuh. Ya kan, Jici?”

Dewi, yang paling pendiam dari semuanya, nggak suka sama Ah Beng. Menurutnya Ah Beng naksir dia, tapi karena dia nggak balas naksir Ah Beng, maka Ah Beng melarikan perasaannya kepada Nancy. Walaupun sudah dinasehati berkali-kali oleh kakak-kakak, kakak ipar, dan adik-adiknya, Nancy tetap menikahi Ah Beng. Dua tahun setelah menikah, Nancy menemukan Ah Beng berselingkuh dengan perempuan dari Pontianak, lalu berturut-turut perempuan-perempuan lain, tak terhitung jumlahnya. Nancy berusaha sabar. Dia sedang hamil empat bulan saat Ah Beng ketahuan tidur sama anak SMA berusia tujuh belas tahun. Langsung saja dia minta diceraikan dan pulang ke rumah Mama.

Di balik tembok-tembok dapur ini, para perempuan berbicara dengan suara tinggi; tidak ada bedanya kalau berkumpul di restoran. Apalagi waktu Dewi tidak kunjung hamil setelah tujuh tahun menikah, gonjang-ganjinglah celotehan tentang itu.

“Jici keseringan kerja jadi capek. Apalagi bosnya suka grepe-grepe. Dikit-dikit peluk. Dikit-dikit cipika cipiki. Apa-apaan.”

“Tapi bosnya baik sama Jici. Sentuhan itu kan bukan grepe-grepe. Biasa aja dong.”

“Cowok kegatelan sih ada di mana-mana.”

“Jici harus resign. Biar bisa punya momongan.”

Dia menjadi saksi bahwa para perempuan mengobrol adalah resep cespleng untuk berbagai masalah. Setelah diomongin terus menerus, Dewi akhirnya resign dari perusahaan itu. Sebulan kemudian dia hamil. Mulanya Nancy mempertanyakan siapa bapaknya si bayi, tapi semua marah dengan komentar Nancy sehingga Nancy tidak lagi berani berkata satu kalimat pun. Bayi Dewi lahir Ceasar karena sungsang, perempuan. Wajahnya memang mirip si bos, tapi tidak ada yang mengungkit-ungkit. Bayi itu menjadi anak satu-satunya pasangan Dewi dan suaminya.

 

MAKANAN nomor empat dihidangkan, udang goreng dengan saos mayo dan madu. Dia suka sekali dengan udang. Calon suaminya sering mengajaknya makan udang galah goreng yang gurih di daerah Ancol. Makanan itu tampak mengilat-ngilat dimandikan cahaya lampu. Dengan sigap, seorang pelayan membersihkan dan mengangkat piring-piring kotor bekas makanan nomor tiga, sayur brokoli tumis bumbu Oyster dengan tahu sutra Jepang.

“Nanti kalau sudah kawin, Pia, jaga lakimu supaya dia nggak main serong,” kata Nancy sok menasehati.

Dia merengut. “Idih, pengalaman pribadi Saci jangan dibawa-bawa dong. Tiap lelaki kan beda-beda.”

Mungkin tiap lelaki memang beda-beda, tapi yang paling benar adalah insting para perempuan. “Pokoknya, Pia, kalau lakimu kelihatan nggak peduli lagi, mending cari tau sebabnya. Biasanya sih karena WIL.”

“Kamu nggak boleh berhenti bekerja, Pia. Kalau lakimu bajingan, tendang aja keluar rumah.”

“Cerai itu hukumnya halal, Pia. Nggak usah takut bercerai.”

“Ingat Pia, semua lelaki berselingkuh.”

Makanan nomor lima keluar, dilanjutkan dengan nomor enam. Berturut-turut nomor tujuh, delapan. Makanan nomor sembilan adalah nasi goreng seafood ala Hongkong. Dia biasanya sudah sangat kenyang ketika makan malam ciaciu mendekati nomor delapan. Yola, yang termuda, masih sanggup menyendok nasi goreng.

“Yola, jaga tuh pinggang. Jangan melar sebelum waktunya.” Katie terkikik, mengomentari Yola. “Biar pacarmu tetap setia.”

“Ah, Jicim….” Yola tersipu, tapi tetap saja menikmati nasi goreng di mangkuknya.

Dia tahu, Mama tidak banyak berbicara, bahkan lama setelah makanan terakhir nomor sepuluh keluar, puding tahu dengan buah longan dan fortune cookie, Mama tetap diam. Raut wajahnya terlihat letih. Dia adalah anak Mama terakhir yang akan  menikah. Mama sudah melakukan ini selama delapan kali – Ben menikah dua kali dan Lanny tidak pernah menikah.

Malam sudah larut. Ketika pulang ke rumah, dia menemukan Papa sedang duduk di kursi goyang memandang kosong ke jendela. Tidak ada suara apa-apa kecuali sayup-sayup bunyi televisi dari kamar tidur pembantu. Mama tidak berkata apa-apa kepada Papa, demikian juga Papa. Dia terbirit ke kakus, lalu muntah sejadi-jadinya. Rumah terasa sangat sunyi. Sangat, sangat sunyi.

 

SEGALANYA berjalan lancar setelah pernikahan. Di hari Sabtu yang sepi ketika suaminya bertugas di Kupang, dia sedang mencuci baju. Seekor cicak merayap di tembok, mengejar-ngejar nyamuk. Dia menemukan bon hotel di kantung celana suaminya. Dibacanya nama hotel itu. Dia pernah melewatinya dulu, bersama suaminya. Suaminya berkata sambil bercanda, “Itu hotel esek-esek buat cowok-cowok yang lagi ngebet.”

Tiba-tiba tangannya gemetar. Dia meninggalkan tumpukan baju-baju di mesin cuci, lalu pergi ke pekarangan rumah. Dia melamun, memandangi tangannya yang terletak di pangkuan. Seorang lelaki datang dari belakang. “Ada apa?” tanyanya pelan, “kamu sedang apa di sini sendirian, Sayang?” Dia menunjukkan bon hotel kepada lelaki itu. Lelaki itu tertawa.

Mesin cuci mendengung-dengung, membanting baju-baju. Terdengar suara air mengucur dari dalam mesin. Lelaki itu merangkulnya, rapat. Mereka tak berkata apa-apa seperti Papa tak berkata apa-apa kepada Mama dan Mama tak berkata apa-apa kepada Papa. Rasa ngilu yang menusuk mekar dengan liar. Dia membayangkan rumah yang riuh diisi orang-orang di kepala masing-masing. Suaminya dan hotel esek-esek. Dia dan lelaki yang berada di depannya.

Dia memandang pekarangan yang kosong, tiba-tiba merasa ingin tersenyum. Kenang-kenangan dan gelak tawa para perempuan kembali lagi, menjebaknya di mana-mana. Dia tersenyum semakin cantik, memikirkan makan malam ciaciu terakhir sebelum pernikahannya dan rasa mual yang pelan-pelan merayap naik ke tenggorokan. Ada hal kecil yang lupa dia pikirkan, sesuatu yang disesalinya tentang perkataan kakak-kakaknya, namun semuanya sudah terlambat. Lelaki itu mengusap-usap punggungnya ketika dia membungkuk, muntah berkali-kali. Di belakang, yang terdengar hanya kucuran air dari dalam mesin cuci. (*)

 

 

Catatan:

Ciaciu    : pesta makan-makan sepuluh menu (biasanya untuk sepuluh orang) ala Cina yang disajikan satu per satu

Tuasok   : panggilan untuk istri kakak lelaki pertama

Tuaci      : panggilan untuk kakak perempuan, nomor satu

Sici         : panggilan untuk kakak perempuan, nomor empat

Saci        : panggilan untuk kakak perempuan, nomor tiga

Akim      : panggilan untuk tante, istri dari adik Mama.

Jici         : panggilan untuk kakak perempuan, nomor dua

Jicim      : panggilan untuk tante, istri dari adik Papa


Filed under: Clara Ng Tagged: Koran Tempo

Golok Berdarah di Tanganku

$
0
0

Cerpen Sunaryono Basuki Ks (Jawa Pos, 2 Desember 2012)

Golok Berdarah di Tanganku ilustrasi Budiono

TIBA-TIBA golok berdarah itu sudah berada di tanganku. Aku tidak tahu dari mana datangnya, namun orang-orang menunjuk ke arahku dan mulai bergerak setelah terdengar teriakan:

“Itu jambretnya! Tangkap!”

Gelombang orang-orang merangsek ke arahku. Tanpa kuinginkan, tangan kananku yang memegang golok terangkat ke atas. Darah makin melumuri tanganku, sesaat rombongan orang yang tadinya merangsek maju terhenti, namun seseorang berteriak:

“Jangan takut! Ayo maju bersama. Ambil tongkat besi, ambil!”

Mereka mulai mencari-cari di tong sampah, di got, di halaman toko, apa saja yang bisa mereka pakai sebagai senjata. Tapi lelaki yang tadi berteriak malah sudah memegang pedang panjang. Dari mana dia mendapatkannya? Aku tak sempat berpikir panjang sebab mereka mulai merangsek maju dan mulai mencapai tubuhku, dan memukuliku dengan tongkat, dengan apa saja yang bisa dipakai memukul, dan tangan kiriku meraba kepalaku yang bersimbah darah, dan kemudian aku tidak tahu apa aku pingsan atau mati. Kulihat tubuhku terjatuh di tanah, mereka tetap memukuliku bertubi-tubi, walau aku tidak melawan. Kemudian, kukira aku berbisik:

“Apa salahku? Aku tidak berbuat apa-apa.”

Jangankan bisik, andaikata aku mampu berteriak pun pasti mereka tidak mampu dan tidak mau mendengarku. Yang penting mungkin bagi mereka melampiaskan rasa kesal mereka pada tubuhku, pada diriku yang memegang golok berdarah.

Tapi, bukankah aku tidak tahu dari mana golok berdarah itu berada di tanganku? Tiba-tiba dan begitu saja. Pasti mereka jengkel, hampir setiap hari terjadi penodongan, penusukan, pemerkosaan, dan semuanya menjadikan masyarakat resah kehilangan rasa aman. Polisi tidak mampu mengatasi hal ini, selalu kecolongan aksi-aksi para penjahat itu. Tetapi, aku bukan penjahat. Hanya saja, aku memang tidak punya pekerjaan tetap. Kalau ada kesempatan, aku memulung sampah-sampah kardus yang dapat kujual pada pengepul. Namun aku tak pernah punya niat atau keberanian buat membunuh orang dengan golok berdarah yang tiba-tiba berada di tanganku.

Sekarang entah tubuhku terbaring di jalan atau mengambang di awang-awang. Aku tidak yakin. Apakah aku berada di rumah sakit, tetapi siapa yang peduli membawa tubuhku ke rumah sakit? Atau aku berada di kamar je nazah dan mati sebagai Mr X sebab aku memang tidak punya KTP.

***

Aku lihat seorang lelaki yang baru melakukan penusukan dengan cepat mengalihkan golok berdarah itu ke tangan seorang lelaki berpakaian kumuh yang sedang mengorek-korek tong sampah mencari sisa-sisa yang masih dia bisa kais. Peristiwa itu berlangsung cepat, aku hampir tak mampu mengawasinya andaikata aku tidak berada di depan jendela lantai dua bangunan itu. Dengan jelas aku lihat lelaki yang menusuk seorang perempuan tua dengan golok, entah apa yang dikehendakinya. Ya, baru jelas, dia menjambret kalung perempuan yang berteriak itu yang segera dibungkam dengan sabetan golok yang membuatnya berlumuran darah. Kulihat perempuan itu rebah ke tanah, namun lelaki yang mengais tong sampah itu tiba-tiba memegang golok berdarah di tangannya, dan menjadi sasaran amuk massa.

Aku ingin meneriakkan dari atas sini bahwa dia tidak bersalah, dan bahwa lelaki yang berteriak rampok itulah pelaku sesungguhnya. Namun, andaikata aku berteriak pun akan sia-sia dan takkan mampu menahan gelombang amarah massa. Apalagi kalau pelaku sesungguhnya marah dan menuduhku sebagai komplotan pembunuh. Oh, tidak. Aku tidak mau membahayakan diriku sendiri dengan menerima ancaman golok sewaktu-waktu. Siapa yang bisa memastikan bahwa pelaku penjambretan itu hanya seorang diri saja? Aku yakin mereka tidak pernah beroperasi sendirian. Pasti, paling tidak bertiga atau berempat. Kalau kelihatannya pelaku hanya seorang, maka yang lain berjaga-jaga, dan sewaktu-waktu bisa menghunjamkan golok atau pisaunya ke perut orang yang membayakan nasib mereka sebagai kelompok. Bahkan polisi pun bisa menjadi korban penusukan. Mungkin itu sebabnya petugas polisi tidak sembarangan bertindak. Dia selalu awas dan mengawasi situasi, siapa tahu di antara kerumunan massa ada yang membawa sajam, dan kemudian menerkamnya dari belakang.

Aku terpaku bagai patung kayu di depan jendela, tak bisa menggerakkan lidahku untuk meneriakkan ketidakbenaran dan ketidakadilan itu. Aku hanya bisa menyaksikan ketidakbenaran dan ketidakadilan dari jendela rumah bertingkat dua itu tanpa berbuat apa, bagaikan saksi situasi yang menimpa negeriku. Berbagai peristiwa hanya bisa disaksikan tanpa bisa terlibat untuk meluruskannya. Yah, sekarang ini siapa yang mampu meluruskan jalannya sejarah, atau apakah memang sejarah punya jalan yang harus diluruskan? Aku benar-benar tidak tahu dan tidak mampu.

***

Aku berada di keramaian kota yang sudah biasa kujalani, dan aku juga sudah biasa waspada, memperhatikan orang-orang di sekelilingku yang gelagatnya mencurigakan. Sebagaimana biasa aku pergi ke pasar untuk membeli keperluan sehari-hari buat keluargaku. Aku bukanlah orang kaya. Suamiku hanyalah seorang PNS kecil dari departemen yang mustahil melakukan korupsi, apalagi sampai menggelapkan pajak. Namun aku bersyukur telah diberi kehidupan walaupun secara sederhana. Karena suami dan anak-anakku belajar dan diajari hidup jujur, maka sering pula aku beranggapan bahwa semua orang seperti kami, yang hidup dengan bersyukur dan berjalan pada jalur yang benar. Namun, hari ini mungkin hari sialku, atau mungkin sudah merupa kan buah dari perbuatanku, atau perbuatan orang tua ku, atau perbuatan leluhurku yang harus kupetik. Orang Bali percaya pada hukum karma pala, hukum buah perbuat an. Dan, walaupun aku bukan orang Bali, aku juga percaya pada hukum ini. Bukanlah esensi agama mengajari manusia untuk berbuat baik? Benih yang ditebar tidak akan tumbuh sebagai tanaman yang berbeda. Menebar benih padi akan menuai padi. Biji salak akan menumbuhkan tanaman salak yang kulitnya bersisik namun buahnya masam manis.

Entah dari mana, tiba-tiba sebuah tangan terjulur dan menjambret kalungku. Kudengar bisik keras: “Jangan berteriak!” Namun mulutku terbuka, dan sebelum sepatah kata keluar, sebilah golok menyambar leherku. Darah muncrat, namun aku masih mengenali lelaki yang menyambarkan golok itu. Lalu, orang-orang memburu seorang lelaki yang tangannya memegang golok berdarah dan menghajarnya. Aku ingin meneriakkan bahwa bukan dia yang menjambret kalungku, namun aku tak berdaya, dan kemudian aku mungkin jatuh pingsan. Kasihan lelaki malang itu, yang mungkin juga sedang menanggung buah perbuatannya. Aku tak berdaya.

***

Aku sedang berpatroli dengan sepeda motor HD sebagai petugas polisi lalu lintas. Kulihat orang bergerombol menghajar seseorang, dan aku segera menelepon petugas lain untuk datang membantu. Walaupun aku bukan polisi antihuru-hara, sebagai polisi pelindung rakyat aku turun dari sepeda motorku dan meniup peluit untuk menarik perhatian massa yang mengamuk. Namun, nampaknya mereka tak peduli. Kulihat seorang lelaki sudah terkapar di atas jalan aspal. Tangannya memegang golok berdarah. Jalanan macet. Kemudian juga, seorang perempuan tergeletak di jalanan. Mungkin dialah korban dari golok berdarah itu.

Aku segera mengatur lalu lintas agar tidak macet.

Ambulans yang kupanggil segera datang, bunyi sirenenya meraung-raung dan dua orang korban itu segera diangkat pergi, dikawal petugas polisi yang datang. Entah bagaimana nasib mereka. Mudah-mudahan mereka baik-baik saja dan persoalannya dapat diurus secara hukum. Beberapa orang sudah ditanyai sebagai saksi oleh rekan-rekan polisi yang datang.

Setelah melapor melalui telepon, aku memacu motorku menuju rumah sakit, memburu ambulans yang meraung lebih dahulu. (*)

 

 

Singaraja, 17 Maret 2012


Filed under: Sunaryono Basuki Ks. Tagged: Jawa Pos


Seperseribu Detik Sebelum Pukul 16:00

$
0
0

Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 9 Desember 2012)

Seperseribu Detik Sebelum Pukul 1600 ilustrasi Jeihan

SEBETULNYA mereka berdua tidak ingin melihat jam tangan masing-masing, juga tidak ingin melihat jam dinding, karena hanya akan memperlihatkan kenyataan menyakitkan.

“Aku tidak mau berpisah.”

“Aku juga.”

“Aku tidak mau.”

“Aku juga tidak mau.”

‘Tidak mau. Pokoknya tidak mau.”

“Jangan mau. Pokoknya jangan mau.”

Mereka saling memandang. Tidak ada waktu. Mungkinkah waktu 60 menit menggantikan waktu 60 tahun? Tidak ada waktu.

Tidak adakah waktu?

Tidak ada yang pernah tahu apakah waktu ada awal dan ada akhirnya. Tidak ada. Tidak pernah. Tidak mungkin. Tidak perlu.

Tidak ada waktu lagi. Mereka berdua melihat jam tangan. Deru pesawat terbang melintas di kejauhan.

Masih ada waktu!

“Lima menit lagi.”

“Hanya lima menit!”

Detak jam dinding bagai dentum yang bergaung di langit.

“Aku tidak mau, aku tidak mau, aku tidak mau….”

Lelaki tua itu menggeleng-gelengkan kepala. Perempuan tua itu tertunduk, selalu tertunduk, seperti yang selalu dilakukannya sejak belia. Bukankah memang dia, pikir lelaki tua itu, yang wajahnya kelam seperti lubang hitam di langit yang membuatku terhisap sejuta pusaran? Dalam 60 tahun, segalanya memang sudah berubah, tetapi setelah 60 tahun mata mereka masing-masing masih berbicara dengan bahasa yang sama.

“Aku juga tidak mau…,” kata perempuan tua itu setengah berbisik, “tapi bagaimana?”

Bagaimana. Itulah soalnya. Bagaimana.

Waktu lima menit itu pun berjalan. Pesawat terbang mendarat. Pesawat terbang lepas landas. Kolam renang biru muda. Taman di bawah matahari. Orang-orang makan dan minum dan tertawa-tawa dalam berbagai bahasa. Pramugari menyeret kopornya.

“Aduuuuuhhh,” kata lelaki itu lagi dengan kedua tangan memegang kepalanya, “kenapa ini mesti terjadi.”

Perempuan itu mengangkat kepalanya yang tadi selalu tertunduk.

“Pertemuan ini?”

“Perpisahan ini!”

Perempuan itu tertunduk lagi. Itulah kenyataannya. Mereka telah berpisah 60 tahun yang lalu tanpa pernah bertemu kembali, tanpa pernah mengucapkan sepatah kata sama sekali, tetapi kini harus berpisah lagi.

“Padahal selama itu aku selalu mengingatmu.”

“Aku juga.”

Mereka telah saling mengingat tanpa saling mengetahui isi hati masing-masing meski hati mereka telah bersua. Mereka telah mendengar kata hatinya masing-masing yang telah menyampaikan segalanya tanpa bahasa apa pun selain rasa, hanya rasa, dan tiada lain selain rasa tanpa pernah mendapat terjemahan nalarnya dalam kepala.

“Kenapa aku bisa begitu bodoh waktu itu ya?”

“Aku juga bodoh.”

Kini keduanya sama-sama tertunduk. Mereka telah bertemu kembali 60 tahun kemudian dan merasa tidak perlu berpisah lagi apa pun yang terjadi bahkan ketika hal itu sama sekali tidak mungkin.

“Tapi bagaimana?”

Itulah soalnya! Bagaimana!

“Satu menit lagi!”

Perempuan tua itu mengusap matanya. Lelaki tua itu memegang tangannya.

“Tidak! Kita tidak perlu berpisah lagi! Tidak usah!”

Tidak ada waktu lagi!

Tangan mereka saling menggenggam dengan erat, sangat amat erat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih erat.

“Aku tidak mau, aku tidak mau, aku tidak mau!”

Hanya seperti bisikan, tetapi dalam dunia mereka semesta berdentam-dentam. Dengan segala daya mereka renggangkan detak-detak dari detik ke detik sehingga detak yang satu bertambah jauh jarak waktunya dari detak yang lain, dan begitu jauh jaraknya, makin lama makin jauh, begitu rupa jauhnya membuat setiap detak bagaikan bergaung sendirian dalam semesta waktu nan sunyi begitu sunyi bagaikan tiada lagi yang lebih sunyi sampai jarak yang begitu jauh membuat gaung tak menemukan sarana bunyi sama sekali karena waktu seperti telah tertahan!

***

Di restoran itu terlihat jarum jam bergetar dengan dahsyat, begitu dahsyat sampai tak bisa dilihat karena jika waktu yang tak tertahankan telah tertahan tentulah mengakibatkan tolak menolak yang dahsyat pada jarum jam!

Seperseribu detik sebelum pukul 16 waktu setempat, jarum jam di seluruh dunia bergetar dahsyat dalam waktu setempatnya masing-masing! Waktu telah tertahan! Orang-orang berhenti berjalan. Sendok berhenti di muka mulut. Minuman tak jadi tertuang. Airnya mengambang karena waktu memang berhenti. Busyet!

Namun meski segala pergerakan tertahan, bergetar dahsyat dalam dorongan waktu yang tak tertahankan tetapi dalam kenyataannya tertahan, pikiran orang-orang yang gerakannya terhenti masih berjalan dan mereka masih dapat berkata-kata untuk menyalurkan kepanikan! Ibarat bendungan raksasa yang menahan air bah, waktu yang sesungguhnyalah mengalirnya tak tertahankan dalam ketertahanannya mengalir juga di sana-sini dengan sangat tidak beraturan….

“Busyet! Ada apa ini? Ada apa ini?”

Mobil-mobil berhenti melaju, tetapi radionya tetap berbunyi, karena penyiar yang tangannya terhenti ketika memegang mikrofon masih bisa berbicara dan melaporkan pandangan mata yang didengarnya lewat perangkat-suara di telinganya.

“Para pendengar di segala penjuru tanah air yang dapat dicapai oleh siaran ini, mohon perhatian sejenak atas peristiwa luar biasa yang dilaporkan para wartawan kami di lapangan, yang sementara tubuhnya takbisa lagi bergerak maju, masih bisa menyampaikan pandangan mata lewat mikrofon yang katanya kebetulan terangkat di depan mulutnya. Para pendengar sekalian, di jalanan mobil-mobil berhenti dengan mesin masih hidup, seperti bersama waktu tetap mau berjalan tapi takberdaya karena waktu tertahan. Bahkan pesawat terbang berhenti di udara dan tidak jatuh saudara-saudara, karena memang rupa-rupanya adalah waktu yang tertahan dan takbisa berjalan bersama segala sesuatu yang bergerak dalam waktu! Namun takseluruh waktu tertahan saudara-saudara, waktu yang arus dan alirannya taktertahankan merembes dan mengalir di sana-sini sehingga kami masih bisa bicara saudara-saudara! Orang-orang tertahan takbisa maju di jalanan, tetapi masih bisa saling berbicara dengan panik karena mengira akhir dunia telah tiba! Ahhhh, ada-ada saja bukan saudara-saudara? Hehehehe!”

Seperseribu detik sebelum pukul 16:00 waktu telah tertahan. Seperseribu detik yang tersisa menjadi sejuta tahun semilyar tahun setrilyun tahun takterhitung! Apalah artinya 60 tahun yang terpadatkan dalam waktu yang terhenti, tertahan, berkutat maju dengan penuh perjuangan dan daya di luar perhitungan manusia? Angin berhenti, mega-mega berhenti, sungai berhenti, samudera diam takberombak, burung elang takberkepak, semesta dan segala langitnya menjadi gambar.

Dalam dunia yang terhenti seperti gambar, tetapi gambar yang tergetar-getar dengan daya semesta yang waktunya tertahan ketika seharusnya taktertahankan, kata-kata dan hanya kata-kata yang bertebaran di luar ruang dan di luar waktu sebagai gagasan. Inilah gagasan yang menembus lembaran-lembaran ruang dan lembaran-lembaran waktu dan mempertanyakan.

“Ada apa ini? Ada apa ini?”

“Aneh-aneh saja waktu berhenti! Mengapa tidak kiamat saja sekalian? Dasar kurang pekerjaan!”

“Memangnya ada yang ngerjain? Memangnya siapa yang kurang pekerjaan sampai bisa jadi kayak gini?”

Di pasar, meskipun segala gerakan tubuh terhenti, mulut-mulut juga taksudi ditahan.

“Bener-bener deh! Apa sih ini maksudnya?”

“Tau deh, siape ni nyang punya mau, nyang pasti nggak peduli kalau bisa nyilakain orang.”

“Iye ni! Kebangetan!”

Gagasan terucap di antara orang-orang yang sendok berisi nasi gorengnya sudah terangkat ke depan mulut tapi takbisa dilanjutkan, yang minuman dalam botolnya tertuang ke dalam mulut kehausan tetapi airnya terhenti sebelum masuk tenggorokan, yang sedang berjalan sambil melamunkan kekasih sedang menunggu tetapi lantas kaki terhenti takbisa berjalan meski maksud hati terus melangkah ke depan, yang melenggang di cat-walk karena memang peragawati tapi lantas berhenti seperti patung untuk pajangan, yang sedang bersalto di udara dalam lomba senam tetapi berhenti di udara tanpa bisa diturunkan karena memang seluruh umat manusia dalam semesta gerakannya tertahan. Busyet…

Tiada lagi peristiwa akan terjadi. Cerita terhenti dan tanpa cerita tiadalah berarti segala keberadaan dunia ini. Waktu yang tertahan harus dilawan dan memang sedang dilawan tetapi apakah kiranya yang akan menjamin keberhasilan perlawanan jika justru waktu yang taktertahankan tertahan sehingga bahkan rinai hujan tetap berada di tempatnya takbergerak seperti halaman gambar yang meruang? Namun nun di suatu tempat tersunyi pisau belati bergerigi yang siap menembus perut pun tertahan takdapat dilanjutkan. Dalam waktu tertahan yang mengacaukan, nasib malang tertunda, tetapi takjelas juga apakah akan dapat dibatalkan.

Seperseribu detik sebelum pukul 16:00. Para pelayan di restoran melihat dua orang tua masih saling menggenggam tangan karena keduanya takmenghendaki perpisahan. Keduanya hanya ingin berada di sana saja selama-lamanya, begitu lama, bagaikan tiada lagi yang lama, karena memang maunya selama-lamanya. Tertelungkup dan berpegangan tangan dengan erat seolah bertahan dari waktu yang berusaha menyeret dan memisahkan.

“Kenapa kamu menghilang begitu saja, ketika aku selalu menantimu sebelumnya….”

“Aku taktahu kamu selalu menantiku, takpernah tahu dan tak akan pernah pergi kalau tahu kamu selalu menantiku, tak akan pernah….”

“Bagaimana kamu bisa tidak tahu aku selalu menantimu seperti itu….”

“Bagaimana aku bisa tahu kamu selalu menantiku seperti itu….”

“Padahal aku bahagia setiap kali kamu datang, sampai pada suatu hari kamu tidak pernah datang lagi, hilang lenyap seperti ditelan bumi….”

“Aku tidak tahu, takpernah tahu, kepalamu selalu tertunduk seperti itu, sampai aku mengira kamu taksuka dengan kehadiranku….”

“Aku selalu menantimu, menunggu seperti perempuan dalam dongeng, sampai aku tahu harus menghadapi kenyataan dan melupakanmu….”

“Sekarang kamu tetap akan pergi dan melupakan aku….”

“Tidak. Tidak mungkin. Tidak mau.…”

Tapi waktu check-in paling lambat pukul 16:00. Jika tidak perempuan tua itu bisa terlambat, dan jika terlambat serta ketinggalan pesawat, cerita akan jadi berlarat-larat.

“Seandainya waktu….”

Mereka tak ingin waktu mencapai pukul 16:00. Mereka sangat menginginkan waktu tertahan sehingga semesta takberedar dan karenanya bergetar-getar sehingga membuat langit berdenyar-denyar.

Namun waktu tetap berjalan, sampai seperseribu detik sebelum pukul 16:00.

“Seandainya…,” kata lelaki tua itu akhirnya, menggenggam tangan perempuan tua itu dengan erat, seperti ingin menyatu dan tidak akan terpisahkan lagi setelah 60 tahun berlalu tanpa perjumpaan.

Seperseribu detik sebelum pukul 16:00, jika waktu tetap tertahan semesta akan menjelma serbuk cahaya dan segera meruap selamanya seperti lenyapnya bisikan, seolah cinta memang begitu besar sehingga dunia harus dikorbankan.

Seperseribu detik sebelum pukul 16:00, jarum jam bergerak menuju angka IV.

Kedua orang tua itu saling menatap, dengan mata yang telah menjadi basah tanpa dapat ditahan…. (*)

 

Jalan Panjang — Kampung Utan


Filed under: Seno Gumira Ajidarma Tagged: Kompas

Pelajaran Hujan

$
0
0

Cerpen Mashdar Zainal (Republika, 9 Desember 2012)

Pelajaran Hujan ilustrasi Rendra Purnama

LELAKI itu kembali membuka gorden, mengintip bingar hujan di luar jendela. Langit hampir gelap, dan hujan masih saja berdebaman menikam apa saja. Lelaki itu menghela napas, ia benar-benar cemas. Cemas pada istrinya yang sudah hampir empat jam belum juga sampai di rumah. Mungkin ia takkan secemas itu jika isterinya tidak dalam keadaan hamil tua. Ia menyesal sudah menyuruh istrinya naik taksi seorang diri. Ia memang tak punya pilihan lain, hujan turun deras sekali dan ia lupa membawa jas hujan—yang biasanya ia siapkan di jok motor.

Lelaki itu membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi jika ia nekat membonceng istrinya pulang dalam keadaan hujan sederas itu, dengan motor telanjang. Jalan menuju rumahnya begitu berkelok dan sangat licin bila hujan turun. Beberapa hari lalu seorang pengendara motor terjungkal dan terluka parah di tikungan jalan itu. Sebab itulah ia menyuruh istrinya untuk naik taksi. Sedangkan ia sendiri memilih nekat untuk menembus guyuran hujan yang begitu parah.

“Tolong kau bawakan tasku, handphone-ku ada di dalam,” tuturnya sebelum melesat pergi meninggalkan istrinya seorang diri di teras swalayan, tempat ia berbelanja kebutuhan persiapan lahiran.

“Iya, hati-hati, Mas, jalannya licin lho,” sambut istrinya singkat. Dan lelaki itu segera meluncur tanpa menoleh ke belakang lagi. Hujan turun deras sekali.

***

Lelaki itu sampai di rumah dalam keadaan kuyup sekuyup-kuyupnya. Selepas berganti pakaian dan mandi ia duduk di teras rumah dengan sebuah payung yang ia siapkan untuk menyongsong istrinya supaya tidak kehujanan ketika turun dari taksi. Menunggu taksi bukanlah pekerjaan yang memakan waktu, lagi pula, tempat itu tidak terlalu jauh dari sini, beberapa menit lagi pasti istriku datang, pikirnya. Ia mulai panik ketika satu jam istrinya belum juga datang. Ia ingin menghubungi istrinya—sudah sampai di mana sekarang, namun ia baru ingat bahwa handphone miliknya ada di dalam tas yang sekarang di bawa istrinya.

Lelaki itu memilih untuk masuk ke dalam rumah. Pasti sebentar lagi taksinya datang. Tak masalah ia berada di dalam rumah, toh kalau ada suara mobil berhenti di depan rumah pasti kedengaran. Tapi, hujan kali itu benar-benar berisik hingga kepanikannya bertambah-tambah. Untuk menenangkan diri, lelaki itu beranjak ke dapur dan menyeduh dua cangkir teh hangat, satu untuknya, dan satu lagi untuk istrinya. Sebentar lagi pasti istriku sampai. Dingin-dingin begini pasti akan sangat nyaman menyeruput teh hangat berdua-duan.

***

Lelaki itu kembali meyingkap gorden jendela. Hujan mereda sejenak dan kembali menderas. Dua cangkir teh mendingin, menguap di atas meja, yang satu masih utuh, yang satu tinggal separuh. Lelaki itu masih berdiri di balik jendela. Menatap ruahan hujan yang seperti ditumpahkan begitu saja dari bejana raksasa. Ia menatap nanar dua pohon kelengkeng yang berayun-ayun di depan rumah karena kibasan angin. Ia bertanya-tanya, sedang apakah istrinya sekarang. Apa ia baik-baik saja?

Entah mengapa, tiba-tiba ia membayangkan, ketika istrinya tengah menunggu taksi, tiba-tiba istrinya merasakan kontraksi pada janinnya. Lantas, sebelum taksi datang, beberapa orang membawa istrinya ke rumah sakit. Ia membayangkan, di sebuah ruang, di sebuah rumah sakit, istrinya sedang berjuang mati-matian untuk melahirkan bayi pertamanya. Ia membayangkan istrinya mengejan, bersimbah peluh, ketubannya pecah, bergumul darah, dan ia tidak ada di sana, di samping istrinya. Pasti itu sangat sulit, melahirkan tanpa seorang suami di sebelahnya, tanpa seorang suami yang menghibur payahnya, menyemangatinya.

Ia tersadar dari lamunan jauh itu ketika sebuah mobil menderum, melintasi depan rumahnya, hanya melintas, tidak berhenti. Ia baru sadar kalau ia terlampau khawatir, matanya sedikit berair. Tidak, itu tidak akan terjadi. Kata dokter, HPL istriku masih awal bulan depan, sekitar dua pekan lagi. Ia menghela napas berat dan kembali ke sofa. Merebahkan tubuh dan pikiran yang cemas.

***

Sekali lagi, lelaki itu menengok jam yang membeku di pusat dinding. Sudah hampir tiga jam lebih dan istrinya belum juga kembali. Langit sudah sempurna didekap gelap. Ia semakin khawatir. Sebenarnya ia sudah menyiapkan jas hujan dan bersiap untuk menyusul istrinya kembali. Namun hujan di luar semakin parah, deras sekali, lebih deras dari sebelumnya. Ia juga khawatir, jika istrinya sudah terlanjur naik taksi, perjalananya yang susah payah itu hanya akan berbuntut sia-sia. Saya akan menunggu sampai setengah jam lagi, jika setengah jam ke depan istriku belum datang, aku akan benar-benar menyusulnya. Tak peduli gelap, tak peduli hujan, aku akan menyusulnya, pikirnya berapi-api.

Sekilas ia mendengar deruman mobil melintas di jalan depan rumah. Itu dia, pikirnya. Maka, segeralah ia berlari menyosong deruman itu. Namun sayang, itu hanya deruman mobil tetangga yang lewat sepulang kerja. Ia kembali mengempaskan napas berat dan terduduk di sofa dengan tubuh lemas. Teh di atas meja sudah tandas. Ia berjanji tidak akan menyeruput teh milik istrinya yang ia buat sendiri. Ia ingin istrinya tahu, bahwa ia sangat peduli, bahwa ia sangat khawatir.

Sekali lagi, sayup-sayup ia mendengar suara deruman mobil. Entahlah, ia tidak yakin, apakah itu suara deruman mobil atau hanya suara hujan yang tak henti-henti. Dengan langkah terhuyung ia berjalan mendekati jendela. Membuka gorden yang bergoyang-goyang. Dan lihatlah! Di luar tidak apa pun kecuali hujan yang menambah kepanikannya. Mengapa hujan ini tidak juga berhenti, ia mulai menyalahkan hujan. Harusnya aku membawa sendiri handphone-ku, ia mulai menyalahkan handphone. Seharusnya aku membawa jas hujan, ia menyalahkan jas hujan. Ah, suami macam apa aku ini, ia menyalahkan dirinya sendiri.

***

Lelaki itu masih berdiri di muka jendela. Ia menyaksikan dua pohon kelengkeng di depan rumah menjadi buram seperti bayang-bayang. Hujan kali ini benar-benar parah. Serupa kabut-kabut air yang menyusun sebuah rencana tak terduga.

Entah mengapa, tiba-tiba ia membayangkan istrinya memanggil taksi yang salah. Ia membayangkan istrinya duduk kedinginan di jok belakang, sementara sopir taksi itu sesekali meliriknya dari kaca spion. Ia membayangkan, sopir taksi itu tidak membawa istrinya pulang, tapi membawa istrinya ke tempat sepi dan kemudian meminta uang dan perhiasan yang ada. Lantas istrinya diturunkan di sebuah tempat yang sepi pula. Istrinya menangis tak karuan karena takut. Terlebih-lebih ia membobot janin yang beratnya hampir tiga kilogram di perut. Pasti itu akan sangat sulit sekali. Ah, suami macam apa aku ini.

Ia terbuyar dari lamunan yang tidak-tidak itu ketika kilat di luar jendela menyambar tiba-tiba. Hatinya sesak. Ia ingin menangis. Ia benar-benar menyesal tidak membawa handphone-nya sendiri. Jika ia membawa handphone itu, ia takkan secemas ini. Ia bisa menghubungi istrinya kapan saja ia mau. Ia mengusap wajah tergesa-gesa dan kembali menyeruput teh yang tandas di atas meja. Ia ingin menghilangkan pikiran-pikiran buruk itu tentang istrinya, semua itu hanya ada di sinetron. Ia juga menyesal sudah terlalu banyak menonton sinetron. Ah.

***

Ini sudah terlalu lama. Aku tak akan menunggu lagi. Lelaki itu menyahut jas hujan yang sudah terlipat rapi di atas meja. Hampir empat jam sudah. Menunggu taksi tak mungkin selama itu. Ia harus segera menyusul istrinya kembali. Ia bergegas, mengenakan jas hujan, megeluarkan motor yang masih kuyup. Ia mengunci pintu dan melesat menembus hujan. Hujan yang sangat deras, sederas rasa khawatir yang meluap-luap di dadanya. Hujan bukanlah apa-apa. Sederas apa pun, ia akan tetap menembusnya.

Secepat kilat lelaki itu meluncur dengan motornya, berseliut dari tikungan ke tikungan, melesat dari jalan ke jalan, menembus hujan yang seperti tak peduli pada apa-apa. Dalam perjalanan yang kuyup dan gigil itu, lelaki itu terus menggumam do’a, ia terus memikirkan nasib istrinya yang juga belum kembali. Beberapa menit, ia telah sampai di swalayan tempat semula istrinya menunggu. Dan di sana, ia tidak melihat siapa-siapa. Ia bertanya pada beberapa orang yang melintas, kepada satpam yang berdiri di depan gerbang, dan tak seorang pun memberikan jawaban yang bisa membuatnya lega.

Tanpa banyak kata, bergegaslah lelaki itu ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit, ia segera menemui resepsionis dan menanyakan apakah ada wanita hamil yang mungkin datang beberapa jam lalu, dan resepsionis itu menjawab tidak ada. Lelaki itu lemas. Ia meraih motornya dan segera kembali rumah. Hujan yang deras mendedas sudah liris menjadi gerimis-gerimis tipis. Ketika lelaki itu sampai di depan rumah, hujan sudah hampir reda.

Di teras rumah ia melihat sesosok perempuan tengah berdiri mematung, mengelus perutnya yang buncit. Tanpa sepatah kata, lelaki itu segera menghambur, memeluk perempuan itu erat-erat, seolah mereka telah terpisah begitu lama. Dan hujan pun kembali turun dengan derasnya. (*)

 

 

Ketika hujan turun berlarat-larat, Malang, akhir November 2012

*Cerita untuk istriku tercinta yang telah bersusah payah menanak cinta dalam berbagai bentuk.

Mashdar Zainal lahir di Madiun pada 5 Juni 1984, suka menulis puisi dan prosa. Novel terbarunya Iktiraf Sekuntum Melati (2012). Tulisanya terpercik di beberapa media lokal dan nasional. Saat ini aktif bergiat di Komunitas Sastra Budaya Lembah Ibarat Malang.


Filed under: Mashdar Zainal Tagged: Republika

Gadis Penjual Bantal

$
0
0

Cerpen Thohar Budiharto (Suara Merdeka, 9 Desember 2012)

Gadis Penjual Bantal ilustrasi Toto

BANTAL gel bundar itu menjadi tanda cinta kami. Bahwa cinta kami sebening gel, sesempurna bundaran. Empat tahun sudah aku menderita insomnia. Sepanjang waktu pikiranku bergerak, melompat-lompat, tak mau diam. Bilapun aku jatuh tertidur, aku selalu bermimpi menjadi zombi lapar yang berkeliaran di pasar-pasar. Begitu terbangun, tubuh dan batinku terasa begitu letih. Puluhan artikel “how to” tentang tidur pulas telah kubaca, kuterapkan. Tiada yang mujarab. Aku butuh tidur yang sebenar-benarnya tidur.

Adalah siang itu, saat aku naik bus kota tanpa tujuan, kulihat sebuah bangunan kotak kuning, mirip spons raksasa. “Toko Bantal Super” tertera di muka dengan perca merah. Aku lekas turun dari bus, penuh harap padanya.

Kumasuki toko itu. Tatapanku langsung tertuju pada seorang gadis ramping berambut hitam panjang, berkemeja batik, dengan syal putih melingkari lehernya, yang pada saat yang sama menatapku. Kuhampiri ia.

“Silakan pilih,” sambutnya.

Kupandangi puluhan bantal beraneka warna dan bentuk yang bertaburan di atas lapak. Ada bantal segitiga biru, bantal matahari putih, bantal pohon kuning, bantal kotak hitam, bantal kepala sapi merah, bantal kepala elang magenta, dan sebagainya.

“Sepertinya saya suka yang itu,” aku menunjuk bantal bundar bening yang ia dekap di dadanya.

Ia tersenyum, menyorongkan itu bantal kepadaku.

Kuremas-remas bantal yang rupanya berisi gel bening itu, lalu kutelekan kepalaku padanya. Aku memejam, lekas terlena, dan ambruk ke atas lapak. Aku pun terjaga. Kutatap penuh syukur bantal empuk itu. Dan kata sifat itu sematalah yang mampu merujuk citra gadis itu. Posturnya empuk di mataku. Suaranya empuk di telingaku. Aromanya empuk di hidungku. Sentuhannya pun empuk di kulitku.

Tiba di rumah, kuganti bantal kotak putih di ranjangku dengan bantal yang baru. Bantal yang lama kulemparkan kuat-kuat melalui jendela. Barangkali ia lebih berjodoh dengan seorang gelandangan.

Aku naik ke ranjang, telentang berbantal super itu. Aku langsung terlelap.

***

PAGI itu aku bangun dalam keadaan bugar. Aku tidur tanpa mimpi!

Usai mandi, kukenakan kostum batikku. Aku sarapan soto ceker di warung lalu naik bus kota A1 menuju Toko Bantal Super.

“Silakan pilih,” sambut si gadis penjual bantal, tersenyum empuk. Matanya pun berbinar empuk.

“Nona pilihkan saja untuk saya,” pintaku.

Ia menatapi bantal-bantal itu lalu mengambilkan satu untukku.

Kurengkuh bantal tanpa-warna tanpa-ben-tuk itu. “Sebenarnya saya tadi sudah memilih yang ini,” kataku.

Mendekap bantal tanpa-warna tanpa-bentuk di dada, aku naik bus A2, duduk di kursi belakang. Entah kenapa, apa saja yang kulihat menjadi tampak empuk. Yang kudengar, terdengar empuk. Yang kuhidu, berbau empuk. Aku pun tertawa-tawa. Ini mungkin yang namanya bahagia. Segalanya empuk melulu. Maka kucurahkan isi hatiku kepada kondektur muda bersarung kotak-kotak cokelat tua, berkemeja putih, dan berpeci hitam itu.

“Kalau saya jadi Bapak, saya pacari cewek itu,” ia menanggapi. “Itu yang orang-orang lakukan kalau saling suka. Ayo Pak, keburu disikat sama bosnya atau cowok yang lebih muda!”

Tiba-tiba bantalku berkurang empuknya. Apa yang kulihat, kudengar, kuhidu, kurasa, pun tak lagi empuk. Aku kehilangan rasa empukku. Aku kehilangan kebahagiaanku.

***

PAGI itu aku terbangun dalam keadaan letih, haus, dan lapar. Kepalaku pening, badanku pegal. Tadi malam aku bermimpi dikejar bantal-bantal. Aku lari, sembunyi, tapi mereka ada di mana-mana, melayang-layang, menghantuiku. Aku butuh bantal baru. Aku butuh menemui gadis itu.

Kutengok jam dinding. Baru jam tujuh. Padahal jam sembilan Toko Bantal Super baru buka. Aku tak tahan lagi. Kubanting piring-piring di almari. Gelas jus kulempar keluar dari jendela.

Aduhiyuuung!’’

Oh, kena orang kayaknya. Tapi itu bukan urusanku. Urusanku, membunuh waktu.

Ah, kubereskan saja pecahan-pecahan piring ini. Kuambil sapu dan pungki. Tunggu dulu, aku berkacak pinggang. Kupakai sepatu kulitku lalu kuinjak-injak beling-beling itu, hingga bunyi krak-krak menjadi kres-kres, baru kemudian kusapu dan kutuangkan ke pot-pot tanaman di pekarangan. Kemudian kuteringat sesuatu. Tukang kebunku yang kupecat empat tahun silam. Ia lupa mengisi air kolam renang di belakang rumah. Akibatnya fatal. Pagi-pagi aku bangun dan, sebagaimana kebiasaanku berenang untuk memulihkan kesadaran, aku terjun menghantam beton. Kepalaku bocor. Sejak itulah aku menderita insomnia.

Aku bergegas menaiki tembok pagar samping, celingukan. Orang yang kena lemparaan gelas tadi laki-laki, jelas dari suara makiannya. Jangan-jangan ia mantan tukang kebunku itu. Mungkin ia masih merasa bersalah, diam-diam menyirami tanaman-tanaman dan mengisi kulkasku selagi aku pergi. Tak kudapati siapa pun. Tapi gelas itu tergeletak di comberan.

Aku melompat turun pagar untuk mengidentifiksi TKP. Di atas konblok kudapati ceceran sawi, seledri, dan kacang panjang. Masih segar. Aku tak keliru!

Kupungut gelas.

Kemudian tampak di mulut gang seorang lelaki kerempeng berdiri diam menatapku dengan mulut menganga sambil memegangi gerobak sayur. Sepertinya ia telah mengawasiku sejak tadi. Aha! Wahai, tukang sayur keliling, kini aku mengenali makianmu!

Berdiri mematung, membisu, kami saling menatap. Aku memegang gelas, ia memegang gerobak. Detik-detik senyap hingga dapat kudengar desah napasku.

Sekonyong-konyong ia melesat ke arahku!

Aku terjengkang masuk comberan; gelas terlempar.

Tiba-tiba, entah muncul dari mana, seekor anjing herder hitam raksasa mengejar si tukang sayur. Satu per satu mereka berlari melewati mukaku. Kuikuti adegan itu hingga mereka lenyap di tikungan.

Aku buru-buru bangkit, keluar dari got. Gelas terkutuk itu kutinggalkan. Aku kembali melompati pagar. Kubasuh tubuhku di pancuran. Dalam keadaan telanjang aku masuk rumah. Kutengok jam dinding. Jam 08.00.

Aku mandi lagi. Kukenakan kostum batik lalu bergegas naik bus A2 ke Toko Bantal Super. Dengan memutar, aku akan tiba lebih lama. Aku butuh membunuh waktu. Lagipula, aku butuh saran kondektur itu.

Kursi banyak yang lowong tapi aku memilih berdiri dekat pintu. Kubisiki kondektur itu, “Hari ini aku berniat mengajaknya kencan. Ke mana, menurutmu?”

Sebentar kemudian ia balas berbisik. “Ajak dia nonton film horor di bioskop, Pak. Biar nanti Bapak punya alasan untuk memeluk dia tiap kali ada adegan seram.”

Tiba di selter tujuan, kusalami ia erat-erat lalu turun.

Toko Bantal Super sudah buka, kumasuki. Gadisku menyambutku dengan senyum empuknya. Aku kembali bahagia!

“Nona, apakah Nona pernah menjumpai orang yang sudah mati tapi mondar-mandir ke sana kemari?” aku mulai bicara.

Dahinya mengernyit. “Zombi?”

“Ya! Zombi! Empat tahun ini saya jadi zombi, Nona. Hingga kemudian saya berjumpa Nona. Saya kembali merasa hidup! Nona, nanti malam ada acara? Kita nonton film horor di bioskop, yuk?”

Ia tercenung sejenak, lalu mengangguk.

Bungah hatiku, kuborong sepuluh bantal hati merah muda.

Aku pulang dari toko dengan tangan berbantal-bantal, dengan hati berbantal-bantal. Nanti petang aku akan datang lagi, menjemput gadisku.

Di dalam bus A2 yang kunaiki kubagikan bantal-bantal itu kepada para penumpang. Sisa dua, kukasih ke kondektur dan sopir. Si sopir menolak karena sudah punya bantal kotak kotak-kotak.

Tiba di rumah aku membantingi piring dan gelas yang tersisa, kuinjak-injak, lalu kusapu hingga bersih. Kubuka gudang di belakang. Tampak botol-botol kaca beragam bentuk, berisi cairan beraneka warna. Kuambil sekaligus beberapa dan kubanting ke lantai. Ledakan keras membuatku melompat ke udara. Asap mengepul, busuk baunya. Buru-buru kututup gudang itu kemudian aku beralih ke gudang satunya. Tampak sepeda gunung merah teronggok di sana. Kubongkar bagian-bagiannya untuk kurakit kembali. Hingga menjelang petang aku tak sanggup meram-pungkannya. Aku menyerah. Aku lekas mandi, lalu pergi menjemput gadisku.

***

KAMI duduk bersisian di kursi bagian kiri bus B1 yang penuh penumpang, menuju Bioskop X.

“Saya punya teman,” kata gadisku. “Dia juga suka nonton film horor.”

“Temanmu itu… kondektur?” tanyaku serak.

“Mas tahu?” ia menoleh padaku dengan cerlang di mata.

Aku angkat bahu. “Kondektur bus sering menyaksikan kecelakaan di jalan. Jadi mereka suka nonton film horor.”

“Oh,” desahnya sambil garuk-garuk kepala. “Mas juga kondektur?  Atau dokter?”

“Bukan,” aku menggeleng. “Saya Cuma tukang reparasi sepeda. Kebanyakan sepeda rusak akibat kecelakaan.”

“Oh,” desahnya.

“Nona, maafkan saya. Sebaiknya kita pulang saja.”

***

HARI ini aku pulang tanpa membawa bantal baru. Tanpa rasa kehilangan. Tanpa rasa cemburu. Tangan dan hatiku terasa ringan, tanpa beban.

Aku naik ke ranjang. Kepala bertelekan bantal gel bundar; tubuh terkubur dalam bantal-bantal yang lain.

“Kau bau gadis itu,” tiba-tiba kudengar salah satu bantal itu berbicara.

Aku menanggapi dengan bergumam.

“Dan apa rencanamu selanjutnya?”

“Melupakannya.”

“Loh? Kok?”

“Kalian sudah cukup menjadi teman-temanku.” Kudekap bantal-bantal itu. “Tapi aku merasa bersalah,” kesahku kemudian.

“Kenapa? Apa yang sudah kau lakukan padanya?”

“Bukan pada gadis itu. Tapi pada tukang sayur yang dikejar anjing tadi pagi. Semua itu gara-gara aku melempar gelas sembarangan.”

“Oh dia. Kakinya putus digigit anjing. Mungkin dia harus pensiun jadi tukang sayur.”

“Malang sekali,” desahku. “Besok aku akan menjenguknya. Kupikir kita wajib membantunya.”

“Ya. Dan jangan lupa kau ambil bantal yang dulu kau lempar itu. Dia tersangkut di pohon randu sebelah rumah. Dia saksi tragedi itu.”

***

SORE itu seorang lelaki paruh baya mendatangi rumahnya di tepi kali. Katanya ia tinggal sekampung dengannya. Ia menawarinya tinggal di rumahnya dan bekerja sebagai tukang kebun. Gajinya per minggu, tiga kali lipat daripada penghasilan rata-ratanya sebagai tukang sayur. Ia menawar, pagi hari ia berjualan sayur keliling, lalu sepulangnya berkebun di rumahnya.

Esok siangnya, sepulang dari berjualan sayur, ia mulai tinggal dan bekerja di rumah gedong itu. Lelaki itu bujangan, tinggal sendirian. Ia mengaku sebagai mantan ilmuwan yang pensiun dini dan hidup dari royalti sebagai penemu unsur kimia ke-119 yang diberi nama Bantalium. Kerjaannya sehari-hari berenang di kolam belakang rumah atau membongkar-pasang sepeda gunung di gudang. Namun menurut para tetangga, ia mantan anggota DPR yang frustrasi karena tidak terpilih lagi dan ditinggal pergi oleh istri dan kedua anaknya.

Begadang nonton sepak bola di televisi, tukang sayur merangkap tukang kebun dan tukang masak itu terbangun kesiangan. Ia bergegas bangkit dan berlari lintang-pukang ke kolam renang. Tadi malam ia mengurasnya. Seharusnya subuh tadi ia kembali mengisinya.

Di tepi kolam ia menjerit tertahan, mendapati sang tuan diam tengkurap di dasar kolam. Darah menggenang di sekitar kepalanya.

Sang tuan koma, dirawat di rumah sakit.

Suatu pagi, empat tahun kemudian, saat ia mendorong gerobak sayurnya, ia mendapati tuannya sedang memungut gelas di got samping rumah gedongnya. Butuh beberapa waktu baginya untuk menjadi yakin bahwa sungguh itu tuannya, sudah siuman dan pulang sendiri. Ia pun berlari menyongsong sang tuan. Tak waspada, tak sengaja, ia menginjak buntut anjing. Anjing hitam besar itu pun ngamuk, mengejarnya ke seputaran kampung hingga ia terperosok ke dalam selokan. Untung anjing itu lekas digebuki warga, tak sempat menggigitnya. Ia opname di rumah sakit. Seorang warga penjenguk ia titipi pesan untuk tuannya. Namun sang pembawa pesan kembali dengan kabar yang menyesakkan. Si tuan menjadi gila dan menggelandang ke pasar-pasar oleh karena cintanya yang bertepuk sebelah tangan kepada seorang gadis penjual bantal. (*)

 

 

Thohar Budiharto, giat membaca dan mengarang fiksi. Lahir di Gunungkidul, 1 Maret 1983. Pernah kuliah di Farmasi UGM. Bekerja sebagai editor freelance. Bergiat sastra di Sanggar Kemanusiaan (Sarkem). Sementara ini, ia tinggal di lereng Merapi.


Filed under: Thohar Budiharto Tagged: Suara Merdeka

Nisan Tak Bermakam

$
0
0

Cerpen Veven Sp. Wardhana (Koran Tempo, 9 Desember 2012)

Nisan Tak Bermakam ilustrasi Yuyun Nurrachman

#1. Kesaksian Entah

BANYAK yang sudah mencatat mengenai makam tanpa nisan. Catatan-catatan itu tergurat dalam banyak hikayat, juga babad, bahkan sejarah. Bisa saja itu makam massal, yang berisi mayat-mayat korban bencana, korban pembantaian, mati ramai-ramai bunuh diri, lalu karena jumlahnya sangat banyak dan dimakamkan dalam satu lubang, atau satu galian, atau satu kubangan, satu tonggak nisan yang ditancapkan sudah dianggap cukup untuk menandainya. Nisan itu sendiri tanpa nama. Satu nisan untuk sangat banyak jenazah sama maknanya dengan banyak makam tanpa nisan.

Kini: nisan-nisan ditancapkan di atas sehamparan lahan sebagai penanda bahwa yang dinisani adalah sebuah makam. Dinamakan makam karena di dalamnya ada jenazah yang disemayamkan. Ada mayat yang dikubur, atau ada kerangka manusia yang dipendam, atau ada abu hasil pembakaran yang diendapkan di dalamnya. Namun, yang belakang-belakang hari saya hadapi adalah begitu banyak beronggok nisan yang ditancapkan di salahsatu ujung gundukan tanah sebagai penanda ada jenazah di baliknya, ternyata jenazah itu sudah tak lagi ada pada esok harinya—begitu saja lenyap, tanpa sama sekali ada tanda-tanda habis dibongkar saat dinihari yang sangar.

Jenazah selalu buru-buru dimakamkan sebelum matahari benar-benar tenggelam. Tak ada yang menginginkan—bahkan karena alasan terpaksa sekalipun—menginapkan jenazah untuk dikubur esok saja. Kalau sampai mayat itu diinapkan, kata mereka, warga kampung kami akan membaui mayat yang terlambat dimakamkan itu. Apalagi jika yang meninggal itu bukan karena usia tua. Mayat yang tewas terbunuh, katanya, menguarkan bau yang sangat busuk pada tengah malam. Karena itu, jenazah buru-buru dimakamkan, sebisanya sebelum ujung cahaya matahari meninggalkan jejak senja; esoknya, sebelum cahaya matahari pagi menerobos rimbunan daun, yang tertinggal hanya nisan yang tertancap, dengan posisi yang sama persis dengan saat senja kemarin. Tak ada yang berubah. Tak ada yang bergeser. Tak lagi ada jenazah di balik gundukan tanah, yang posisinya sedikit pun tak tergoyah.

Baru senja kemarin….

 

#2. Kesaksian Penggangsir Makam

MAKAM itu terletak tepat di kaki tebing. Tebing itu sendiri menghadap ke arah matahari tenggelam, sehingga jika senja tiba, tebing itu seperti menjadi satu-satunya saksi yang menatap matahari yang perlahan terbenam menyusup di balik rerimbunan hutan, yang tak satu pun orang pernah menembus dan melintasinya. Hutan itu tampak lebih dari sekadar hijau kelam. Tentu, bukan karena hutan itu benar yang menyebabkan tak seorang pun memasuki dan melintasi hutan; pinggiran hutan itu sendiri dibatasi oleh endapan lumpur yang sesekali menggelegak dan menyemburatkan uap panas bercampur lelehan lumpur cair. Bahkan bau yang sangat menyengat dari genangan lumpur itu sudah membuat orang enggan mendekat.

Awalnya, penduduk mengebumikan jenazah di dekat-dekat pinggiran genangan lumpur itu. Namun, karena jarak wilayah pemakaman begitu dekat dan lumpur itu dirasa bakal merambat ke wilayah pemakaman, penduduk memilih mengalihkan tempat pemakaman yang sekalian saja jauh dari genangan lumpur. Pilihan yang paling mudah adalah menentukan lahan yang paling akhir ditimpa sinar matahari senja. Hamparan tanah yang paling akhir mendapatkan sinar matahari itu adalah kaki-kaki tebing itu. Lahannya juga yang paling mudah dicangkul dan digali di antara hamparan berpadas, keras, layaknya cadas.

Di antara deretan tanah yang terkadang gembur itulah penduduk menanam tumbuhan. Berbagai tumbuhan yang bahkan tak mereka kenal namanya. Ada yang memanfaatkan lembar-lembar daun untuk dimakan—jika memungkinkan—ada pula di antara jenis lain tumbuhan yang menumbuhkan buah, yang awalnya juga diragukan bisa dimakan ataukah bahkan mengacaukan pencernaan, yang bisa menghantarkan pada pencabutan nyawa, karena menyimpan racun dan tuba.

Tak ada umbian yang muncul dari akar tumbuhan yang tertanam. Saat ada yang mencoba menjebol akar salah satu tumbuhan, pangkal tumbuhan malah patah, sementara akarnya tetap tertanam di balik gundukan, dan ketika patahan akar yang masih terpendam dicoba digali, yang mereka dapatkan adalah bebatuan. Akar-akar yang tertanam itu telah berubah menjadi batu. Bahkan ada yang lebih keras dari sekadar batu…. Besi. Besi berserabut. Besi bertunjang. Tak ditemukan tumbuhan yang berbuah. Adanya hanya bunga—dan putik bunga itulah yang biasanya dipetik sebelum ditaburkan ke atas gundukan tanah pemakaman.

 

BEBERAPA butir putik bunga itu masih tertebar di atas tanah makam. Posisi buliran dan kelopak bunga itu sama sekali tidak berubah sejak kemarin senja ditaburkan setelah jenazah selesai dikebumikan. Kebetulan angin tak berkelebat. Dia, lelaki, tahu benar posisi kelopak kembang itu, karena senja kemarin dialah salah satu yang menjemba kembang itu sekaligus menebarkan sekuntuman kembang itu di atas makam.

Malam itu, saat semuanya lelap dan suara senyap, udara terasa nyenyap, dari balik rimbunan yang gelap lelaki itu mengendap. Dia biasa menggangsir makam. Dia gali tanah beberapa jengkal dari makam hingga kedalaman tertentu, lalu dia gali lagi ke samping ke arah makam hingga sebongkah lobang menembus sampai makam, bahkan persis di mana jenazah dibaringkan. Karenanya, pucuk-pucuk kembang di atas gundukan makam tak sempat talimburan.

Bukan jenazah itu yang dia arah. Barang-barang bawaan jenazah itulah yang hendak dia rayah. Cincin emas, gelang dan kalung emas, juga barang berharga lainnya. Penggangsir itu paham, jenazah yang dimakamkan senja kemarin tak disertai barang bawaan. Hanya berderet gerahamnya bersepuh emas.

Penggansir itu tak butuh gemuruh halilintar dan derasnya air hujan yang runtuh untuk menyembunyikan suara cangkulannya menggali dan menggangsir tanah di sekitar makam. Kelesik malam yang senyap, penduduk yang senantiasa berangkat tidur dengan cepat, semuanya bahkan menjadikan percikan debu pun bisa terbekap.

Penggangsir itu mendadak tercekat ketika cangkul dan linggisnya bahkan sudah melampaui jarak lokasi jenazah direbahkan. Penggangsir itu tidak mendapati sesosok jenazah itu. Cangkul dan linggisnya sama sekali bahkan tak terantuk kayu papan penyekat jenazah dari urugan tanah. Jenazah itu tak ada. Gigi-gigi bersepuh emas ikut lenyap.

“Siapa yang berani mendahului aku?” penggangsir itu bergumam.

Dia paham, di kawasan ini, tak ada yang seahli dirinya menggangsir makam. Dia paham, belum ada yang menggangsir makam itu, karena dia tak menemukan bekas tanah galian di sekitaran makam, sementara putik bunga di atas makam juga tak bergeser sama sekali, bahkan pun setengah senti.

 

#3. Kesaksian Bunga Rumah Minum

BUNGA bukan nama saya. Hanya saja, orang-orang yang datang ke rumah minum kami senantiasa memanggil saya Bunga. “Kamu satu-satunya perempuan di sini. Karena itu kamu dipanggil Bunga,” Pak Nangla, pemilik rumah minum membisik ke telinga saya.

Istri Pak Nangla juga perempuan. Saya bukanlah satu-satunya perempuan di rumah minum ini.

Saya hanyalah salah satu pengantar minuman yang dipesan para tamu di rumah minum atau kedai tempat kami. Saya hanya pengantar, bukan pemilik, bukan salah satu pemilik kedai—jadi, salah besar saya katakan “kedai kami”. Saya sebut “kedai kami” lebih untuk menggampangkan penyebutan. Saya mengambil gelas-gelas berisi air minum, meletakkannya di atas nampan, untuk kemudian saya hantarkan ke meja para tamu yang memesan. Ada yang memesan air butek warna kelam, campuran air panas adukan serbuk entah apa; ada yang menginginkan air hangat berwarna kecoklatan; ada juga yang hanya memesan air bening dingin—dan itu tak perlu dimasak lebih dulu. Kata beberapa tamu yang pernah datang, air yang memancar dari belik [1], perigi kecil di belakang kedai kami langsung layak tenggak. Jika kami harus menjerangnya, itu lebih untuk melarutkan serbuk yang akan sempurna jika menggunakan air mendidih.

“Pak Nangla harus menjaga air perigi Bapak. Jangan sampai tercemar, jangan sampai ada yang jahat menaburkan racun…,” kata beberapa di antara tamu yang datang. Mereka, tamu dari seberang. Maksud saya, dari seberang hutan, yang harus melewati lumut licin dan endapan lumpur panas yang terkadang memuncrat dadakan.

Pak Nangla juga tak tahu nama asli saya. Bahkan Pak Nangla tak tahu siapa orangtua saya. Katanya, dalam sebuah percakapan diam-diam dengan istrinya, yang sempat saya curi dengar dari bilik sebelah, saya adalah sosok yang tak jelas asal-usuknya. Tak hanya saya sebetulnya, istri Pak Nangla juga tak jelas silsilahnya. Kejadiannya begitu saja terbentang di hadapan. Kami sama-sama merasa baru siuman. Saya terbangun di bawah kursi rumah minum. Pak Nangla terbangun di bawah ranjang di dalam kamar, berdekapan dengan seseorang, sama-sama dalam keadaan telanjang. Maka perempuan itu dianggap sebagai istrinya.

“Kalau saja waktu bangun itu yang ada dalam pelukan itu Bunga, pastilah Bunga istriku,” kata Pak Nangla setengah berbisik pada istrinya. Dia hendak mengatakan bahwa dia merasa beruntung yang ada dalam pelukannya adalah yang kini menjadi istrinya. Bukan karena dia lebih cantik ketimbang saya, tapi karena usianya tampak lebih sepadan dengan Pak Nangla dibandingkan dengan usia saya yang sangat jauh lebih muda—dan saya memanggilnya Bu Nangla, sekalipun kami tahu nama aslinya Qodwei.

 

SAYA hapal benar: sebentar lagi suara pintu kedai kami akan dikuak lebar-lebar oleh serombongan orang dari seberang. Seberang hutan, seberang kawasan. Suara kulik burung nasar [2] yang memekik di atas bubungan, setelah sebelumnya memusar-musar di langit, menjadi penandanya. Begitu selalu. Setelah daun pintu kedai dikuak dan menutup kembali dengan sendirinya—setelah beberapa orang melintas—burung pemakan bangkai itu ikut meliuk menerobos masuk kedai dan hinggap di salah satu cuatan kayu di atas kami, untuk kemudian bertengger.

Hmmm, siapa lagi yang akan duel hingga senja hari ini? Siapa pula yang bakal jadi bangkai—dan buru-buru dikubur sebelum matahari benar-benar tenggelam menyelusup dan disungkup dalam rimbunan hutan?

Seperti itulah biasanya. Saban kali rombongan yang kedatangannya ke kedai kami disertai burung nasar itu, seusai makan siang, bahkan saat makanan baru mulai disantap, selalu ada pertikaian yang diawali oleh mereka yang saling mengata-ngatai dan diakhiri dengan baku pukul yang dipungkasi oleh tersungkurnya salah satu dari mereka.

Saya semakin hapal: suara gebrakan dari kayu balok yang dipukulkan ke papan kayu muncul dari arah dapur. Untuk itu, saya buru-buru segera menuju arah dapur, karena minuman yang dipesan para tamu sudah siap saya pindahkan ke nampan untuk segera saya suguhkan ke mereka.

Saya terus belajar menghapal: jika ada suara meja digebrak, itu pasti para tamu kedai memukulkan kepalan tangannya ke atas meja di hadapan mereka. Jika bukan karena ada yang marah pada kami yang dianggap lamban melayani pesanan, bisa jadi itu gebrakan tamu yang ingin menambah pesanan minuman, atau hendak membayar karena perut mereka sudah dirasa cukup kenyang. Saya benar-benar harus belajar untuk bisa membedakan macam-macam suara meja digebrak, termasuk gebrakan yang nyaris menjadi dentuman—karena yang dihantamkan ke atas meja adalah genggaman tangan—itu pertanda ada tamu yang murka pada tamu lainnya, entah lantaran apa. Saya akan tahu musababnya jika mendengar isi kata-kata yang saling mereka serapahkan.

Kali ini saya dengar dua suara gebrakan dalam waktu hampir bersamaan. Dalam dentuman yang sama berdentam. Muasalnya dari meja yang sama, meja serombongan yang disertai seekor burung nasar. Di antara mereka telah terjadi saling gebrak.

“Diam-diam kau menikam dalam lipatan!” tuding salah seorang.

“Kamu sendiri menikam kawan setilam!” balas satunya.

“Kau tebar sesuatu ke perigi agar kamu punya alasan membantu Pak Nangla untuk mengelola sucinya air perigi,” tuding salah seorang.

“Kamu tak punya cukup bukti. Tak ada bukti apa pun untuk membuktikan alasan itu,” tangkis satunya.

“Bukan alasan itu yang penting. Tapi, kamu diam-diam mendekati, kamu tempel anak Pak Nangla,” sembur salah seorang.

Anak Pak Nangla? Tak ada lain, itu saya.

“Kamu perdaya Bunga!”

Nama saya disebut.

“Kamu pelet Bunga!”

Saya tak mendengar nama saya disebut lagi, karena seseorang satunya kembali menggebrak meja lebih keras.

“Jika kau cemburu, tak pantas kau bawa-bawa ke persoalan bersama kita!”

Saya tak tahu, apa benar salah seorang itu cemburu, karena saya tak pernah merasa dia  dekati. Hanya yang satu itu yang mendekati saya. Bahkan mendekap saya. Saya merasa nyaman berada dalam dekapan yang satu itu. Ada rasa hangat menjalar dalam tubuh saya, dan itu bukan kehangatan pertama. Saya merasa sudah pernah merasakan sebelumnya—entah kapan. Saya merasa tenteram—entah kenapa.

“Dengan mendekati Bunga, kamu bisa punya alasan untuk buang air kecil di bilik dekat belik.” Seseorang menuding satu lainnya.

Saya ingat, sehabis kami bergumul, seseorang satunya beringsut pamit ke balik bilik. Katanya, mau cuci muka. Saya sedang berada dalam kelelahan yang sangat. Malam menyengatkan rasa hangat.

Ketika saya mulai merasa berhasil menguntai lagi ingatan saya, burung nasar itu mendadak meliuk meninggalkan tempatnya bertengger sambil mengibaskan sayapnya di atas para pengunjung kedai, menuju keluar kedai. Saya paham, perkelahian dua lelaki satu rombongan itu segera dilanjutkan di halaman luar kedai.

Saya mendadak disergap rasa cemas. Saya mengkhawatirkan lelaki yang kerap mendekap dan menyingkap tubuh saya itu gagal memenangi perkelahian. Sedari kedatangannya tadi saya membayangkan dia tak ikutan kembali ke seberang hutan seberang kawasan bersama-sama rombongan sebagaimana sering dia lakukan.

Firasat saya terbukti. Lelaki itu langsung terkapar begitu dia mengambil ancang-ancang pasang kuda-kuda. Lelaki sebelumnya begitu mendadak menyarangkan belatinya ke dada lelaki saya.

Burung nasar terbang menjulang. Kuliknya seperti suara jerit panjang menancap batas langit bersamaan dengan membenamnya belati itu ke ulu hati lelaki saya yang tak sempat memekik menahan rasa sakit. Dan burung itu kemudian menukik meliuk-liukkan badannya sebelum kemudian melesat menuju arah hutan seakan menjadi penunjuk jalan rombongan kembali pulang ke seberang.

Matahari redup. Senja mempersegera temaram. [3] Penduduk segera merubung tubuh yang terkapar itu untuk segera dikuburkan. Saya meminta izin Pak Nangla untuk beberapa bentar meninggalkan kedai. Saya hendak mengantar kekasih saya ke pemakaman. Sekawanan rombongan sudah lebih dulu mencongklang kuda-kuda mereka yang menghela kereta menyeberang hutan menyeberang kawasan.

Pemakaman selesai bersamaan dengan kian menipisnya bias sinar matahari senja. Saya sendiri yang menancapkan kayu nisan di ujung gundukan. Saat satu per satu yang memakamkan kekasih saya meninggalkan tempat pemakaman, saya memilih tinggal bersimpuh di salah satu sisi makam kekasih saya. Saya ingin merasakan sisa-sisa kelebatan kenangan kami membilas-bilas hati saya.

“Saya sepertinya sudah pernah ketemu kamu sebelumnya,” kata saya pada kekasih saya.

“Itu tanda berjodoh, Bunga. Tapi, maaf, aku sama sekali belum pernah mengenal perempuan sebelum kamu.”

“Tapi aku merasa pernah bersamamu sebelum-sebelumnya,” saya menegaskan.

“Mungkin bukan aku yang kamu temui. Mungkin lelaki lain. Bisa saja kamu sudah pernah kelonan dengan lelaki lain.”

“Kok….”

“Tak apa, Bunga. Tak soal untukku. Aku tetap mencintaimu. Maaf, apakah kamu juga sudah pernah ham…, sudah pernah merasa mengandung?” Kekasih saya mengelus perut saya yang sedikit lebih mengeras. Ada janin di dalamnya. Janin yang tumbuh setelah kekasih saya kerap mendekap, menyingkap, dan menyelinapi tubuh saya.

Berarti masih ada yang tersisa yang ditinggal kekasih saya. Janin dalam perut saya adalah bawaan lelaki saya yang harus dibawa serta jika dia meninggal.

“Aku tetap sayang kamu, Bunga,” lelaki saya meyakinkan saya. Seraya berkata demikian, dia keluarkan sekeping binggel [4] emas dari balik pinggangnya, yang kemudian diselusupkan ke pergelangan kaki saya. “Ini tanda aku terikat kamu, kamu terikat aku. Kita saling terikat.”

Ah, janin bukan semata milik lelaki saya. Itu milik kami. Milik lelaki saya yang masih ada di saya tinggal binggel emas di pergelangan kaki saya. Binggel itu masih milik lelaki saya karena kami belum resmi mengikatkan diri. Saya harus sertakan binggel ini bersama jenazah lelaki saya di balik gundukan makam.

Angin berkelebat. Udara dingin menjilat-jilat. Sekeliling gelap sangat. Hanya karena makin terbiasa, mata saya masih dapat melihat yang berjarak dekat.

Cepat-cepat saya lepaskan binggel di kaki saya. Saya tak tahu bagaimana caranya menyertakan binggel itu bersama jenazah kekasih saya. Di saat saya memikir mencari cara untuk memasukkan binggel itu ke balik gundukan makam, tanah tempat saya taruh binggel itu tampak mendadak melunak, dan binggel itu membenam. Begitu cepat membenam sampai-sampai saya gagal menahannya agar binggel itu tak terserap gundukan tanah yang mendadak gembur.

Saya bongkar makam lelaki kekasih saya untuk meyakinkan bahwa binggel itu benar-benar sudah bersama bapak bagi janin yang ada dalam perut saya. Saya gali dengan cepat gundukan tanah yang belum benar-benar mengeras itu. Binggel itu sudah benar-benar lenyap, seperti mencair dan merembes menuju jasad jenazah lelaki saya.

Tidak hanya binggel, gelang kaki itu, jasad lelaki saya juga tak saya temukan. Seperti ada yang menyerap. Seperti ada yang menyesap. Lesap.

 

SAYA tak mau lagi menghapal suara burung nasar dan derap kaki-kaki kuda mencongklang menyeret kereta berisi sekelompok orang dari seberang. Saya enggan menghapalnya karena tak ada lagi lelaki saya dalam kelompok yang datang esoknya. Saya mendengar mereka memasuki rumah minum kami. Saya dengar salah seorang dari mereka bertanya pada Pak Nangla: apakah jasad kawan mereka yang dikubur kemarin senja—setelah terkapar kalah ditikam belati kawan lainnya—juga sudah lesap pagi tadi.

Saya tak mendengar jawaban Pak Nangla. Sejak kedai dibuka pagi tadi, Pak Nangla menyarankan agar saya beristirahat tak melayani pengunjung rumah minum kami. Saya berada di balik bilik.

“Tampaknya, petaka akan terus terjadi di kampung ini, Pak Nangla,” seseorang berkata. Saya tak hendak menghapal itu suara siapa. Suara lelaki yang berduel dengan kekasih saya ataukah seseorang yang dituakan dalam kelompoknya atau….

“Mayat yang hilang belum lama setelah dikubur adalah petaka. Tanda-tanda bencana,” seseorang yang tadi menambahkan.

“Penyebab petaka itu harus dicari. Pak Nangla bisa kabarkan itu pada penduduk. Pada pengunjung kedai Bapak….”

“Penyebab itu ada di kawasan ini sendiri.”

“Mungkin ada yang murtad, berpindah keyakinan?”

Tak ada suara yang menanggapi.

“Dulu, ada sebuah kerajaan yang didera wabah penyakit gara-gara ada raja yang mengawini ibu kandungnya sendiri.”

“Sebelumnya, raja itu membunuh ayah kandungnya.”

“Raja itu kemudian mencucuk kedua belah matanya karena merasa gagal menggunakan matanya untuk melihat ketidakberesan yang ada di kawasan yang dia perintah. Dia cucuk matanya karena dia bertekad hendak melihat dengan mata batinnya.”

Saya ingin menyela pembicaraan di luar bilik. Saya berharap Pak Nangla, atau Bu Nangla—Qodwei!—menimpali kelompok orang dari seberang itu. Saya berharap mereka menegaskan: di kampung kami tak ada raja.

 

#4. Lagi, Kesaksian Entah—Yang Lain

DI kemudian waktu—entah berapa puluh tahun kemudian—penduduk kawasan itu tak pernah lagi memakamkan jenazah di tanah lapang atau di dataran biasa. Jenazah dimakamkan dalam batu yang lebih dulu dilobangi, yang banyak ditemukan di pinggir jalan; atau dimakamkan dalam goa-goa di tebing yang susah dijangkau. Jika di kawasan itu tak didapatkan bongkahan-bongkahan batu besar yang cukup untuk menampung jenazah, juga tak ada lereng tebing, mayat itu dimakamkan dalam rongga pokok pohon besar yang menjulang ke langit.

Ada yang mencatat: jika yang meninggal itu tak mempunyai keluarga, atau kerabat, atau tetangga yang ringan tangan memakamkannya, jenazah itu akan mencari sendiri lokasi pemakamannya—mengembara hingga menemukan batu besar berlobang, tebing bergoa, pohon besar yang menusuk cakrawala. (*)

 

Lambhuk, Aceh; Makale, Tana Toraja, Januari 2006-Januari 2011; Jakarta, November 2012.

 

Catatan:

[1] belik: mata air kecil.

[2] burung nasar: Rüppell’s Griffon Vulture (Gyps rueppellii).

[3] Terkait frasa “senja mempersegera temaram”, di kemudian waktu, saya temukan (lagi) lirik “gerimis mempercepat kelam” tulisan Chairil Anwar, dalam sajak Senja di Pelabuhan Kecil (1946).

[4] binggel: gelang kaki.

 

 

Veven Sp. Wardhana, sejak akhir 2005, bekerja di BUMN Jerman. Lebih banyak menulis tentang budaya massa, beberapa karya fiksinya: Panggil Aku Pheng Hwa (kumpulan ceritapendek, 2002), Dari Mana Datangnya Mata (kumpulan ceritapendek, 2004), Stamboel Selebritas (novel, 2004), dan Hilang Identitas di Metropolitan (film animasi, 2011—sebagai creative advisory dan penulis lirik lagu“Rap Jatidiri”).

 

 


Filed under: Veven Sp Wardhana Tagged: Koran Tempo

Huruf Terakhir

$
0
0

Cerpen Benny Arnas (Jawa Pos, 9 Desember 2012)

Huruf Terakhir ilustrasi Budiono

NAMAKU Lili, ujarmu di perkenalan kalian dua tahun yang lalu, perkenalan yang akhirnya mengantarkan kalian ke pelaminan, pernikahan yang melempar kalian ke kesemuan yang lucu, kenyataan yang menyeret kalian ke dalam lakon berdarah siang itu!

***

SEJAK dipromosikan menjadi sekretaris direktur, sebagian besar waktumu kauhabiskan untuk urusan pekerjaan. Kau tak pernah tahu, sedari kauputar kunci Avanza lalu meluncur ke kantor di utara kota, Illy selalu berhasil membawamu kembali. Dari pagi hingga malam meninggi, kalian membincangkan banyak hal. Dari pekerjaan, kesetaraan gender, kurs rupiah yang makin anjlok, anggota-anggota DPR yang beradu mulut dan saling tonjok, isu naiknya harga BBM, hingga perkara asmara.

Untuk yang terakhir, kalian tidak hanya terlibat dalam perbincangan yang hangat, tapi juga kerap bercumbu bagai tak menenggang keberadaan tetangga. Kadang Illy tertawa keras-keras, kadang memekik penuh gairah, dan tak jarang melenguh seolah tengah menuntaskan pertarungan-ranjang. Kalian selalu melakukannya sepanjang hari. Bila kau pulang cepat, di waktu yang sama, kauburu-buru menyelinap keluar dari pintu belakang.

Illy juga selalu pandai berakting seolah sepanjang hari sibuk menulis artikel budaya untuk koran lokal, beberapa puisi picisan untuk majalah remaja, menghitung untung-rugi beberapa usaha alternatif yang hingga kini belum direalisasikan, atau membereskan pekerjaan rumah sebagaimana dilakukan oleh para ibu rumahtangga—atau bahkan para pembantu rumahtangga. (Bukan, bukan kau yang meminta Illy melakukannya. Dia sendirilah yang mengajukan diri seolah menenggang kesibukan yang membelitmu, seolah tahu diri dengan status penganggurannya). Selayang pandang, Illy memang tampil sebagai suami yang sayang istri. Ya, walau menjadi penopang keuangan keluarga, kau tak pernah berpikir untuk membabukan suami.

Kau hanya sering heran, mengapa Illy selalu lupa merapikan seprei ranjang atau sofa panjang ruang tengah. Kau selalu mendapati dua perabotan itu dalam keadaan kusut atau berantakan. Kau tak pernah menaruh curiga kepadanya. Kau seolah lupa, sepengangguran apa pun, Illy adalah seorang sarjana, Illy adalah laki-laki normal yang haus kehangatan, Illy bukanlah seorang dungu yang setia-buta menantikan kaupulang larut malam dalam keadaan lelah yang sangat (dan Illy menyiapkan air hangat yang akan membilas lelahmu agar kau dapat menyongsong malam dengan mimpi yang menerbangkan kepenatan). Lagipula takkah kau merindukan kehadiran seorang anak, Lili?

Ah, yang terang, kau tak pernah tahu, Illy hanya memandangimu yang pulas di sampingnya (Oh Lili, takkah kau iba kepadanya?); kau tak pernah sadar bahwa kau tak pernah punya waktu untuk bertarung dengannya di dalam kelambu brokat tembus pandang; kau juga tak pernah tahu, akhirnya Illy melampiaskan gairah kepada kesepiannya, kepada yang tiba-tiba meluangkan waktu untuk mendengar curhatnya, kepada yang tiba-tiba mendengarkan setiap keluh-kesahnya, kepada yang selalu memberi pertimbangan perihal usaha yang akan ia buka, kepada yang selalu memberi kenikmatan tak tertanggungkan tanpa harus berlaku sepertimu dulu: menerapkan kamasutra yang aneh-aneh lalu menganggurkannya sekian lama hingga saat ini!

Kau sangat kejam, Lili!

***

PAGI itu, kau tergesa-gesa mengunyah nasi goreng masakan Illy ketika ponselmu berdering nyaring. Direktur memintamu ke kantor lebih awal. Ada rapat mendadak dengan klien di perusahaan. Tanpa banyak ba-bi-bu, kau-oke-kan saja. Kautinggalkan sarapan yang baru kaulahap dua sendok. Terburu-buru kauambil segelas sirup-sunkis dan meminumnya seperempat isi. Setengah berteriak kaupamit. Kaututup pintu serampangan. Menuju Avanza yang baru selesai dicuci Illy pagi tadi. Tak sampai dua menit, mobil metalik itu sudah membawamu menyusur jalanan yang bingar oleh perang klakson.

Di kantor, kau akan mendampingi laki-laki flamboyan yang kaupanggil “Pak Direktur” untuk mengikuti rapat yang akan dimulai satu jam lagi. Kau tahu kalau laki-laki itu sudah lama menaruh hati kepadamu. Namun kau mengabaikannya saja. Tentu saja kau tidak menunjukkanya. Kau masih cukup cerdas memilih; kapan melengkungkan senyum, kapan mengejek ketakberdayaan pimpinan. Kau selalu pandai berkilah bila rekan-rekan kantor (khususnya yang wanita) kerap mengolok-olokmu. Kepada mereka kaunyatakan bahwa kau memang tak membantah perihal Pak Direktur yang sangat perhatian, namun kau menolak dikatakan mendapatkannya dalam porsi lebih, apalagi dengan cara yang tak semestinya.

Pak Direktur hanya ingin menunjukkan bahwa karyawan yang baik akan mendapat tempat yang lebih layak, ujarmu sok bijak.

Kau terenyak mendapati berkas-berkas di dalam mapmu. Ada yang kurang. Kaulirik arloji mungil yang melilit pergelangan tangan kirimu. Tiga puluh menit lagi rapat akan dimulai. Kauminta izin keluar sebentar. Pak Direktur menunjukkan air muka keberatan. Namun senyum manis yang kausunggingkan, seolah-olah meyakinkan pimpinan perusahaan itu bahwa kau akan kembali sebelum rapat dibuka. Ya, tentu saja tak kaukatakan bahwa kaupulang mengambil beberapa nota kesepakatan yang akan ditandatangani klien perusahaan di akhir rapat.

Kaunyalakan mobil. Kautarik napas agak panjang sebelum menginjak pedal gas. Kau akan mengemudi dalam kecepatan tinggi. Mobil melaju. Cepat. Kaupasang konsentrasi tinggi. Mobilmu meliuk dengan mulus di beberapa simpang dan jalan yang tak rata. Baru kali ini kaudapati bukti bahwa keadaan genting dapat melecutkan keberanian hingga beberapa kali lipat.

Kaubunyikan klakson beberapa kali namun Illy tak kunjung membukakan pagar. Kau pun kesal. Kauturun dari mobil. Kau menggeret pagar dengan muka kusut. Kauparkir mobil sekenanya di halaman (sebenarnya bisa saja kau memarkirkan mobil di depan pagar tapi kaukhawatir ada mobil lain yang akan melintas di jalan kompleks yang sempit itu). Kau menarik gerendel pintu depan dengan gerakan malas. Kaubanting pintu. Kaugegas ke ruang kerja. Kau membuka lemari yang biasa kaugunakan untuk menyimpan berkas-berkas kantor. Sembari memeriksa berkas-berkas yang belum juga ditemukan, kau memanggil-manggil suamimu. Tentu saja kau bukan hendak meminta bantuannya untuk mencarikan beberapa map penting karena ia memang tak tahu apa-apa tentang pekerjaanmu. Kau hanya ingin memastikan bahwa suamimu ada di rumah. Kau hanya ingin tahu mengapa ia tidak mengunci sekaligus membukakan pagar dan pintu untukmu… mengapa ia mengabaikanmu!

Praaanggggg!!

Kau menoleh. Vas bunga kristal yang dihadiahkan Pak Direktur di hari ulangtahunmu beberapa bulan yang lalu, tersenggol siku tanganmu. Pecah. Beling-beling berserakan di lantai. Kau makin kesal. Mulutmu mulai merunyam. Beberapa kali kaupanggil suamimu dengan berteriak. Tak juga ada tanggapan. Ponselmu berdering. Nama Pak Direktur mengedap-kedipkan layarnya. Irama degup jantungmu mulai timpang. Butir-butir keringat berebutan menerobos pori-pori kulitmu. Kau menarik napas panjang sebelum memutuskan menjawab panggilan.

Klek!

Perasaan lega dan khawatir bertabrakan dalam dadamu ketika mendapati panggilan terputus sebelum sempat kaujawab. Kaugegas menekuri lemari berkasmu. Ups! Matamu berbinar cerlang. Kau akhirnya menemukan apa yang kaucari. Kau melirik arloji di tangan. O, rapat pasti baru saja dimulai, gumammu. Kau tahu, Pak Direktur pasti marah. Tapi memilih mendampinginya tanpa berkas yang harus ditandatangani, tentu dapat membuatmu terdepak dari posisi nyaman.

Baru saja hendak menuju pintu, kau mendengar suara dari arah kamarmu. O, suara itu memang berasal dari sana. Dan suara itu. O, benarkah suara itu benar-benar dari kamar? Itu suara suamiku, batinmu bergetar. Suara itu, suara itu, desahan itu, desahan yang menggambarkan kenikmatan yang tengah didaki.

Benarkah desahan itu memanggil-manggil namaku, batinmu menggigil.

Bahumu turun-naik. Perasaanmu benar-benar tak tentu. O, tidakkah kausadar, sudah lama nian kau tidak membuat suamimu mengeluarkan suara-suara yang meremangkan gairah? Dan kini…. O kini, kepalamu bergasing demi menerka siapa yang telah membuat suamimu sebergelora saat ini!

Kau bersijingkat mendekati pintu kamar. Pelan-pelan kaubuka pintunya yang tidak terkunci. Kau mengintip. Awalnya kausipitkan sebelah mata sebelum akhirnya tanpa kendali kaubelalakkan kedua indera penglihatanmu itu. Kau berteriak sembari berlari menuju suamimu yang bergeliat di atas seprei ranjang yang kusut.

Paaakkkk!

Sebelah tanganmu terasa berdenyar sehabis menampar sebelah pipi laki-laki yang sedari tadi sibuk memegangi kelaminnya sendiri!

Illy pun terkesiap tak alang kepalang. Refleks ia bangun, mengeret tubuhnya ke pojok ranjang, lalu meraih selimut untuk menutupi kemaluannya. Ia benar-benar malu dengan apa yang baru saja terjadi. Kau pun memandanginya dengan tatapan iba. Sekujur tubuh suamimu simbah oleh keringat.

Tampaknya kau benar-benar merinduiku, Sayang… ujarmu seperti bergumam. Suaramu seperti merasa sangat berdosa.

Illy masih menggigil. Ia seperti remaja yang habis digagahi tiga orang sekaligus. Tatapannya kosong. Ia terus memanggil-manggil namamu. Kau tak kuasa meneteskan airmata. Kau seolah baru sadar telah mengabaikan suamimu lebih dari setahun belakangan.

Kaulepaskan stiletto-mu. Kaunaik ke atas ranjang. Kaupeluk suamimu seolah menenangkan seorang anak kecil yang habis dihajar ayah tiri. Kaurapat-rapatkan dadamu ke wajahnya dan ia terus saja memanggil-manggil namamu.

Aku di sini, Sayang, ujarmu lagi dengan nada menenangkan seraya melepaskan syal yang melilit lehermu. Aku juga sangat merinduimu, lanjutmu dengan wajah penuh rona. Kini, kaulepaskan semua yang menutupi tubuhmu. Kaupikir, bercinta dengan suamimu siang itu adalah salah satu cara untuk mengakui kealpaanmu selama ini. Kau seperti mendadak tak peduli pada rapat di kantor yang akan segera berakhir. Kau tak tahu kalau suamimu benar-benar bingung apa yang tengah dihadapi. Sungguh, ia ingin melanjutkan percintaan denganmu, perempuan yang menggiring jemarinya mencumbui selangkangan sendiri….

Gubrraaakkk!!

Tendangan kaki kanan Illy membuatmu terjerengkang dari atas ranjang. Tubuhmu berguling-guling di lantai. Kaurasakan banyak kunang-kunang mengitari kepala. Pelipismu meneteskan cairan marun kental. Samar-samar kaulihat Illy meraih tembikar seukuran tubuh bayi dan… o o o, ia mengarahkannya ke arahmu, ke kepalamu!

Kau tak sempat berteriak, seolah membiarkan deringan ponsel dalam tas kerjamu (nama Pak Direktur mengedap-kedipkan layarnya) membisingkan siang itu, seolah membiarkan kematian datang bersama ketaktahuan yang mengenaskan:

Yang Illy inginkan bukan Lili, tapi Lily! (*)

 

 

Tabarenah, April-Juni 2012

Benny Arnas, lahir dan tinggal di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Buku cerita pendeknya adalah Bulan Celurit Api (2010) dan Jatuh dari Cinta (2011). Bersama sang istri, mengelola BENNY INSTITTUTE

 

 


Filed under: Benny Arnas Tagged: Jawa Pos
Viewing all 933 articles
Browse latest View live