Quantcast
Channel: Cerpen Koran Minggu
Viewing all 933 articles
Browse latest View live

Tak Ada Eve di Champs-Elysees

$
0
0

Cerpen Triyanto Triwikromo (Kompas, 16 Desember 2012)

Tak Ada Eve di Champs-Elysees ilustrasi Made Wiradana

GERIMIS mengguyur Paris pada akhir musim gugur yang agak menggigilkan tubuh rapuh Nicole. Meskipun tak ada badai yang menerbangkan tenda-tenda kafe, mencerabut tiang-tiang listrik, atau sekadar menumbangkan pepohonan rapuh berdaun kuning kemerahan, dia tak hendak menerabas jalanan yang dipenuhi para gadis berpayung hitam.

Setelah membisikkan keinginan untuk mati lebih cepat jika aku tak segera mengadopsi Edgard, bayi mungil itu, Nicole justru menyeretku ke keriuhan Galeries Lafayette dan mendesiskan hasrat menyebalkan. “Sebelum mati, aku akan membeli aneka parfum di sini. Aku ingin mengguyurkan seluruh wewangian itu ke tubuhku. Aku ingin pada saat kau menemukanku di bathtub dengan urat nadi yang putus, tubuh indahku hanya akan menguarkan keharuman bebauan….”

Tentu saja kuabaikan perkataan konyol Nicole pada Sabtu yang penuh penjaja bunga di jalanan. Aku menduga dia sedang melucu dan humor murahan memang tak perlu kupedulikan.

“Kau tahu aku tidak pernah main-main, Gabriel. Ayolah, segera penuhi keiginanku. Kau tinggal mendatangi keluarga Edgard dan bayi tampan itu akan kuasuh dengan sepenuh hati…,” kata Nicole sambil terus menggandengku ke gerai kosmetik di mal yang riuh itu.

Hmm, aku selalu tak ingin terlibat dalam percakapan konyol tentang satwa kecil atau monster menjijikkan bernama Edgard itu. Melihat orok siapa pun, aku selalu merasa berhadapan dengan hantu mungil. Karena itu, meskipun aku sangat mencintai Nicole, sama sekali tidak kuharapkan dari rahim kekasih kencanaku itu muncul setan-setan kecil jorok yang memuakkan.

“Aku sudah memberimu apa pun yang kau inginkan, Gabriel. Kini giliranmu memberiku bayi mungil itu. Ini bukan permintaan sulit. Kau bisa dengan gampang melakukannya…,” Nicole mencerocos lagi sambil mencoba-coba mengoleskan aneka lipstik ke punggung tangan.

Aku masih malas merespons permintaan Nicole. Dia lalu mengoleskan bedak dan memintaku menatap wajahnya di cermin.

“Kau tidak takut kehilangan aku, Gabriel? Lihatlah aku begitu cantik dan wangi. Kau tidak ingin tubuhku membusuk pelan-pelan bukan? Hmm, tubuhku akan selalu wangi jika kau segera memberiku momongan….”

Saat itu, di tengah lalu lalang para perempuan yang memborong tas, parfum, aneka kosmetik, kuperhatikan wajah Nicole di cermin dengan cermat. Dia memang cantik. Tetapi saat kubayangkan dia menimang bayi, di wajahnya seperti tumbuh moncong berliur. Nicole jadi mirip babi merah menjulur-julurkan lidah dan menetes-neteskan lendir kental.

Tentu saja aku tersiksa melihat pemandangan seperti itu. Tak ada cara lain, aku harus meninggalkan Nicole. Aku harus berjingkat pelan-pelan menghindar dari gerai lipstik, bedak, atau apa pun yang bisa membuat wajah Nicole bercahaya.

Aku lalu menuju ke gerai parfum yang malam itu begitu dipenuhi oleh perempuan-perempuan yang begitu berhasrat memiliki tubuh wangi. Aku dikepung Bvlgari, Dior, dan Estée Lauder. Aku terjebak dalam labirin Chanel, Nina Ricci, Yves Saint Laurent, Kenzo, dan Gucci. Aku terjebak dalam wewangian yang tidak kuinginkan karena para penjaga gerai mengibas-ngibaskan potongan kertas penguji parfum pada saat bersamaan.

Aku memang karib dengan Chanel Nicole yang lembut. Tetapi aku tak bisa mencium Bvlgari, Dior, Chanel, dan Coco dalam waktu bersamaan. Dalam kepungan aneka wewangian, aku justru pusing dan mual. Jadi, bagaimana mungkin Nicole tahan membaui aneka parfum yang telah diguyurkan ke tubuh menjelang dia bunuh diri, menjelang dia memotong urat nadi dengan pisau paling tajam?

“Parfum yang kubelikan seminggu yang lalu sudah habis, Gabriel?” Nicole ternyata menguntit dan mengagetkanku.

Aku menggeleng.

“Jadi mengapa kau meninggalkanku? Kau ingin menghindar dariku, Sayang?”

Tak kujawab pertanyaan Nicole. Aku masih terjebak dalam kepungan wewangian yang setiap kuhirup membuat kepalaku pusing. Mengapa semua wewangian tidak dibuat dalam satu bau saja?

“Kau jangan diam saja, Gabriel. Kau tidak ingin aku cepat mati bukan?”

Tentu saja aku tak ingin Nicole mengiris urat nadi di bathtub. Akan tetapi tak kularang dia memborong aneka parfum. Dan agar suasana romantis tidak hilang, kukecup kening Nicole dengan lembut, kupagut dan sedikit kugigit bibirnya di tengah keriuhan Galeries Lafayette yang kian memusingkan kepala dan memualkan perut.

“Kita bicarakan apa pun yang kau inginkan di Cafe du Rendez-vous ya,” aku berbisik kepada Nicole.

Kusangka dia akan segera menyepakati ajakanku. Kusangka sebagaimana biasa meniru Sartre, Albert Camus, dan filsuf lain, di kafe itu kami akan mempercakapkan ide-ide indah untuk kehidupan. Atau kalaupun kami bergeming duduk sambil menyeruput cappuccino atau expresso coffee, Nicole akan asyik dengan pensil dan rancangan-rancangan terbaru pakaian panggung seksi untuk para penari Lido di Champs-Elysées, sedangkan aku hanyut dalam pikiran-pikiran kosong mengembangkan apartemen dan hotel kecil keluargaku di Rue Didot. Akan tetapi, Nicole punya pilihan lain. Dia memang tidak berminat ke kafe atau menonton film Skyfall.

“Tidak, Gabriel. Kita pulang saja. Aku ingin segera mandi. Aku ingin….”

“Ingin segera kupeluk, Sayang. Ingin segera bercumbu semalaman?”

***

MALAM itu Nicole langsung ke bathtub. Karena tidak ingin ditodong untuk segera mengadopsi Edgard, aku tidak memandikan Nicole. Padahal, kau tahu, itulah kebiasaan yang selalu sangat kami inginkan sebelum bercumbu, sebelum saling sedikit mencakar punggung. Andai tidak ada persoalan, mungkin malam itu aku akan memberi kejutan Nicole dengan memenuhi bathtub dengan Salade Alexandre Dumas yang kupesan dari Ladurée di Rue Royale. Nicole pasti kaget karena pada saat mandi tubuhnya akan berlumur salmon, bayam, stroberi, rasberi, red currant, minyak zaitun, dan jus jeruk. Tidak! Tidak! Karena dia suka Salade Concorde, kupastikan Nicole akan menyelam di antara minyak zaitun, chicken fillet, timun, bayam muda, tomat, kecut cuka, dan kekentalan saus meaux mustard vinaigrette.

Jadi, sedikit pun tidak kubayangkan Nicole akan bunuh diri malam itu. Karena itu, kupastikan setelah tidur semalaman, kami akan bangun pagi dan seperti biasa berlari-lari kecil ke Boulevard Brune. Di tempat itulah aku dan Nicole seperti menyusup dalam kehidupan yang sesungguhnya. Tak ada wangi parfum—yang mengingatkanku pada surga palsu yang diburu oleh pelacur kelas tinggi, courtesant Violetta Valery dalam opera La Traviata—yang menyengat. Saat melebur di marche du dimanche, pasar yang buka khusus pada hari Minggu itu, semua parfum yang melekat di tubuhku sebelumnya akan terserap ke dalam amis daging, prengus keringat para penjaja dan pembeli, sengat tiram atau udang, dan pada saat sama bisa kami hirup kesegaran sayuran dan buah-buahan. Hmm, mengapa dunia tidak dicipta dalam bau-bauan yang menyegarkan jiwa?

***

AKU menduga persoalan Edgard akan selesai malam itu. Rupa-rupanya Nicole masih terus menjeratku dengan persoalan pengadopsian Edgard saat kami menonton peluncuran rancangan kostum terbaru Nicole dalam pertunjukan kabaret erotis di Lido yang menjemukan itu.

“Apakah rancanganku masih indah, Gabriel?”

Sambil menenggak champagne, aku mengangguk.

“Tapi akan lebih indah jika kau segera menandatangani pengadopsian Edgard, Sayang….”

Aku hampir tak bisa menahan kemarahan ketika Nicole membicarakan Edgard pada saat dan tempat yang salah. Aku tahu sebagai transvestive, dia memang tidak mungkin hamil. Dan karena tidak bisa hamil, seharusnya dia tidak perlu ngotot punya orok. Tidak perlu dia menghadirkan setan busuk dalam kehidupan kami. Toh meskipun Nicole menyembunyikan rahasia tubuh dan jiwanya, aku toh tidak pernah mempersoalkannya. Tidak penting bagiku Nicole perempuan atau laki-laki. Tidak penting Nicole iblis atau malaikat. Aku sangat mencintainya dan bagiku identitas apa pun yang dia kenakan, tidak akan mengurangi kecintaanku kepada kekasih kencanaku itu. Bagiku Nicole saja sudah cukup. Tidak perlu ada manusia lain di rumah kami.

“Kau tahu, Gabriel, semua busana dan aneka sayap yang dikenakan para penari yang kau lihat malam ini lahir karena aku membayangkan kita akan jadi malaikat indah jika di rumah kita ada bayi mungil yang senantiasa kita timang bersama. Tapi kau tampaknya selalu tak menginginkan Edgard, Sayang. Kau….”

Tak kuberi kesempatan Nicole meneruskan kalimat yang masih menggantung itu. Kali ini kemarahanku benar-benar memuncak. Kutinggalkan cahaya Lido dan Nicole yang takjub menatap ledakan kemarahanku. Saat itu, kau tahu, aku tak peduli apakah rancangan-rancangan busana Nicole kali ini menggetarkan Lido atau tidak. Tanpa kostum yang dia buat toh aneka tubuh telanjang dan kabaret di Lido tetap ditonton orang.

***

MENINGGALKAN keriuhan Champs-Elysées, aku ingin menancap gas menuju Rue Didot. Aku ingin segera sampai di apartemen, mandi di bathtub dengan air hangat, menenggak Vodka, dan melupakan Nicole dan Edgard sialan. Tetapi tak semua hasrat terwujud dengan mudah. Gerimis akhir musim gugur kian mengguyur dan kabut menghambat laju mobilku. Ah, mengapa tak sekalian saja badai tornado dari belahan dunia mana pun bertiup ke Paris, mengacak-acak rumah sakit penuh orok, menerbangkan Edgard dan hantu-hantu mungil itu ke langit berkabut, dan melesatkan mereka ke kegelapan?

Tak ada yang menjawab pertanyaan konyolku. Aku justru merasa mobilku kian sarat beban. Aku merasa puluhan orok dari masa depan menembus kaca, memenuhi mobil, dan menangis bersama-sama dalam nada yang merusak pendengaran. Dalam keriuhan semacam itu, kau tahu, aku justru merasa menjadi Adam yang menggigil, kesepian, dan diabaikan. Tak ada Eve. Tak ada sesuatu yang dulu kusapa dengan sangat mesra: mon Dieu!

Tak ada…. (*)

 

 

Paris, Oktober 2012


Filed under: Triyanto Triwikromo Tagged: Kompas


Fenghuang

$
0
0

Cerpen Wendoko (Koran Tempo, 16 Desember 2012)

Fenghuang ilustrasi Yuyun Nurrachman

NAMAKU FENGHUANG. Kata Niang, fenghuang adalah burung yang paling besar. Fenghuang juga burung dengan bulu-bulu paling indah. Campuran antara merah, jingga, dan kuning—dan waktu mengepakkan sayap, bulu-bulunya berkilau seperti warna emas. Tetapi fenghuang hanya bertelur satu kali sepanjang hidupnya. Telur itu kelak akan menetas dan menjelma bayi fenghuang yang tak kalah indahnya. Karena itu fenghuang bersarang di dahan pohon-pohon yang tinggi.

Kadang aku berpikir, Niang adalah penjelmaan induk fenghuang, karena Niang hanya punya satu orang anak, yaitu diriku. Tetapi tiap kali pikiran itu muncul, selalu ada pikiran lain yang menyanggah. Rasanya tak mungkin Niang adalah penjelmaan induk fenghuang. Tubuh Niang gemuk dan pendek. Mukanya lonjong seperti telur, jidat agak lebar, mata sipit tapi bibirnya terlalu tebal. Selain itu kulit Niang berbintik-bintik merah. Sangat jauh dari gambaran fenghuang sebagai burung paling besar, berbulu paling indah dan berkilau keemasan.

Tetapi kalau Niang bukan penjelmaan induk fenghuang, kenapa aku lahir sebagai putri yang indah? Lihat, tubuhku semampai. Rambutku hitam-lurus dan hampir menyapu pinggang. Aku cantik. Kulitku kuning-langsat dan berkilau seperti emas pudar. Jari-jari tanganku lentik seperti pemain ku-chen. Tiap kali aku menatap pantulan tubuhku di cermin, aku berpikir, kalau Niang bukan penjelmaan induk fenghuang berarti ia telah mencuri bayi  fenghuang dari sarangnya. Niang pasti telah melepas sayap-sayapku, sehingga aku tak bisa terbang dan tertahan di rumah ini—di kamar ini. Niang pasti telah mencopot lidahku, sehingga aku tak bisa berteriak memanggil indukku.

Atau, mungkin aku adalah titisan Chang E, si dewi bulan. Aku sering berpikir seperti itu. Dan rasanya kemungkinan ini lebih masuk akal, daripada menuduh Niang telah mencuri bayi fenghuang dari sarangnya. Atau menuding Niang telah melepas sayap-sayap atau mencopot lidahku. Aku tahu Niang menyayangiku. Kemungkinan ini juga lebih masuk akal, karena aku cantik dan Niang jelek. Bukankah dewa-dewi pun tak bebas memilih sewaktu menitis ke rahim seorang perempuan? Akhirnya, dari orangtua yang jelek seringkali lahir putra-putri yang seelok dewa-dewi. Kemungkinan ini juga lebih masuk akal bagiku, karena aku kerap menatap bulan lewat jendela kamar. Aku suka mengamati bentuk bulan yang berubah-ubah—dari bentuk bulat, separuh bulat, lalu hanya garis lengkung serupa alis mata. Pada saat-saat itu kukira titisan Chang E di dalam tubuhku mulai merindukan bulan. Hanya saja ia belum menemukan ramuan panjang umur, sehingga tak bisa terbang dan masih tertahan di kamar ini.

Lalu, kalau titisan Chang E yang terperangkap pada tubuhku ini merindukan bulan, kenapa ia menitis sebagai manusia? Hmm, pertanyaan yang rumit, tapi tak sulit kujawab. Kukira ada saatnya dewa-dewi pun akan merasa bosan. Kukira ada saatnya Chang E mulai bosan tinggal di Istana Bulan yang dingin, dengan hanya ditemani kelinci putih yang saban hari mengikutinya atau kakek tua yang terus menebang pohon yang tak bisa tumbang. Akhirnya ia memilih menitis sebagai manusia.

Namaku Fenghuang, dan itulah yang selalu kupikirkan tentang diriku.

 

ADA SEORANG LELAKI di rumah ini. Aku memanggilnya Thie. Ia suami Niang. Lelaki ini bertubuh tinggi-langsing, seperti tubuhku. Matanya juga sipit, tapi hidungnya tidak bengkak seperti hidung Niang, dan bibirnya penuh seperti bibirku. Jari-jari tangannya juga lentik. Lelaki ini yang kerap bercerita padaku tentang rumah ini. Mungkin ia tak bercerita, tapi hanya berkata-kata sambil menerawang—sementara aku memandang ke sudut yang lain. Mungkin ia juga tak berharap aku akan mendengar ceritanya, tapi kenyataannya aku menyimak setiap kata-katanya.

Aku tahu rumah ini menghadap ke sebuah jalan kecil, dengan dua deretan bangunan saling berhadapan. Jika seseorang memasuki jalan ini, ia akan melihat papan-papan reklame berjajar di sepanjang jalan. Hampir setiap rumah di jalan ini membuka took—mulai dari toko sembako, toko makanan kecil, toko kelontong yang menjual macam-macam kebutuhan, sampai bengkel sepeda atau motor. Semuanya adalah toko-toko kecil. Tak ada yang terlihat besar atau mewah, meskipun beberapa rumah berlantai dua.

Bersama Niang, Thie mengelola toko sembako di lantai bawah. Thie mengelola toko itu sejak lama, dan katanya, toko sembako itu sudah ada sejak Yeye masih muda. Aku percaya. Aku bisa melihatnya pada potret yang tergantung di dinding lantai bawah. Sebuah potret tua hitam-putih, yang memperlihatkan rumah beratap lengkung—dengan balkon dan sayap atap di kiri-kanan. Ada pilar-pilar besar, jendela-jendela serta pintu kayu besar. Tetapi tanah di samping dan belakang rumah itu kosong. Tidak seperti sekarang, di mana rumah-rumah saling berhimpit.

Kata Thie, Yeye yang membuka toko sembako itu. Yeye mewarisi rumah ini dari ayah Yeye, seorang tuan tanah pada masanya. Dulu, kata Thie, keluarga ini terpandang dan kaya-raya. Lalu situasi berubah. Perlahan-lahan ayah Yeye mulai kehilangan satu-persatu petak tanahnya. Akhirnya tinggal menyisakan rumah ini. Dengan sisa kekayaan yang ada, Yeye lalu membuka toko sembako di lantai bawah. Pada waktu itu toko sembako Yeye adalah satu-satunya toko sembako di sepanjang jalan ini. Pelanggannya sangat banyak. Keluarga ini bisa hidup layak, meski tak bisa semewah waktu ayah Yeye masih menjadi tuan tanah. Lalu situasi kembali berubah. Suatu malam toko sembako Yeye dibakar oleh orang-orang yang mengamuk.

Rumah ini memang tidak hangus terbakar. Tapi toko sembako Yeye ludes tanpa sisa. Secara bertahap, Yeye memperbaiki kerusakan-kerusakan akibat pembakaran itu. Karena tak cukup biaya, Yeye lalu memasang lembaran-lembaran seng di bagian depan rumah. Selain untuk menutupi sisa-sisa pembakaran, lembaran-lembaran seng yang dipasang menegak itu juga untuk menempelkan nama took—mengikuti contoh toko-toko di kiri-kanannya. Yeye membuka kembali toko sembakonya, meski dalam kondisi yang tak sama lagi.

Situasi memang telah berubah. Waktu terus bergerak. Hidup mulai dirasa makin susah, apalagi saingan-saingan toko sembako Yeye terus bermunculan. Sekarang ini sulit sekali mempertahankan seorang pelanggan. Akhirnya keuntungan dari toko sembako itu hanya cukup untuk makan sehari-hari. Setelah Yeye meninggal, rumah ini tak diperbaiki lagi. Hanya beberapa kali dicat. Dinding-dinding yang mulai retak—mungkin karena pembakaran dulu itu—hanya ditambal seadanya dan dicat. Akibatnya banyak dinding yang benjol-benjol atau kelihatan menggelombang. Jendela-jendela dan pintu kayu yang besar itu tak pernah lagi diplitur, hingga tampak kusam atau malah menghitam.

 

THIE DAN NIANG kerap bercakap-cakap di kamar ini. Itu dilakukan setelah mereka menutup toko sembako di lantai bawah. Mereka bercakap-cakap sambil menyuapiku, dan mereka terus bercakap sampai larut malam. Thie dan Niang baru kembali ke kamar mereka setelah membaringkanku di tempat tidur.

Banyak yang mereka percakapkan. Akhir-akhir ini mereka mengeluh tentang usaha sembako yang makin sulit. Harga-harga terus melonjak. Para pelanggan makin jarang yang datang. Selain itu, kata Thie, harga-harga juga berubah dengan cepat. Pernah dalam satu hari, harga-harga berubah tiga kali. Akibatnya, uang yang didapat tak dapat lagi dipakai untuk berbelanja. Mereka juga tak bisa berhutang pada para pemasok, karena sekarang apa-apa harus dibayar tunai.

Tetapi Thie dan Niang paling sering mempercakapkan diriku. Putri kita cantik, kata Thie, tapi keadaannya seperti itu. Karma apa yang sedang menimpa keluarga ini, Niang mengeluh, sampai putri kita bernasib seperti itu. Waktu kecil ia anak yang periang, kata Thie, tapi ia tak bisa bersekolah. Penyakitnya makin parah, kata Niang, lihat ia bahkan tak menengok waktu dipanggil. Thie menggeleng, kita sudah membawanya ke banyak tabib, tapi tak ada gunanya. Niang mengeluh lagi, umurnya mendekati tiga puluh, apakah ada laki-laki yang akan menyuntingnya. Thie mendesah, siapa yang akan merawatnya setelah kita tua, siapa yang akan menjaga kita.

Aku mendengar semua percakapan itu, meski aku menatap ke dinding yang kosong. Dan aku menjawab, meski hanya dalam kepalaku. Tidak, Niang, aku baik-baik saja. Tak ada karma yang sedang menimpa keluarga ini. Aku memang tak suka bersekolah, karena di sana sangat membosankan. Tak ada dewa-dewi. Tak ada para kesatria dan tuan putri, seperti dalam dongeng-dongeng Niang waktu aku kecil. Kalau aku lebih banyak diam, itu karena yang muncul di kepalaku lebih menarik, dan aku tak suka kalian menggangguku. Di kepalaku ada burung chachatatutu yang menancapkan panah rumput ke mata ular yang rakus. Ada Hailibu yang bisa bercakap-cakap dalam bahasa hewan. Ada kura-kura menggigit sebatang kayu dan diterbangkan oleh dua ekor bangau. Ada Pangeran Kodok menyemburkan api dari mulutnya untuk mengusir kawanan penjahat. Tidak, Thie. Tidak, Niang. Aku akan menjadi anak yang berbakti. Aku akan menjaga kalian. Percayalah! Aku pasti seperti Jidi yang menjelma jadi jangkrik untuk menyelamatkan ayahnya dari hukuman mati. Kalau perlu aku akan meminta bantuan Ma Liang. Dengan kuas ajaibnya, Ma Liang akan menyulap rumah dan mobil untuk kalian. Bahkan bertumpuk-tumpuk emas! Bukankah Ma Liang selalu menolong orang yang kesusahan?

Soal jodoh, Niang tak perlu khawatir. Aku selalu merasa diriku adalah titisan Chang E. Itu berarti ada Hou Yi di luar sana yang menungguku. Kesatria Hou Yi yang telah memanah jatuh sembilan matahari, dan ia sedang mengejar satu matahari yang kabur. Hou Yi tak akan memanahnya, tapi matahari itu terlanjur ketakutan. Hou Yi sudah menjelajah hutan-hutan, gunung-gunung bersalju, kuil-kuil bergenting emas, dan padang rumput yang luas. Ia kesatria gagah berani dan sudah memenangi banyak pertempuran. Hou Yi akan datang melamarku—dengan sepasukan pengawal, bendera-bendera kebesaran, dan suara genderang yang gaduh. Seperti dulu, Niang! Bahkan pasukan pengawalnya pun berpakaian indah dilapisi emas….

 

HARI INI HARI KAMIS. Aku mendengar suara genderang dari jalan kecil di depan rumah. Makin lama makin keras. Itu suara genderang atau pintu kayu dipukul-pukul? Lalu aku mendengar orang-orang berteriak. Itu teriakan marah atau teriakan takjub? Lalu aku mendengar Niang menjerit. Niang menjerit kaget atau menjerit gembira? Lalu aku mendengar suara Thie. Thie sedang memohon-mohon atau memuji-muji? Lalu aku mendengar suara kaki-kaki menaiki tangga kayu. Ah, apakah Hou Yi sudah datang? Itu pasti suara pasukan pengawalnya sedang menaiki tangga. Lalu pintu kamarku didobrak. Hei, kenapa pasukan pengawal ini berpakaian compang-camping dan kotor? Bukankah pasukan Hou Yi berpakaian indah dilapisi emas? Apakah mereka baru pulang dari pertempuran? Lalu seseorang menarik rambutku. Kenapa orang-orang ini kasar sekali….

Hari ini tanggal 14 Mei 1998.

Namaku Fenghuang. (*)

 

 

Catatan:

Fenghuang burung feniks, Niang ibu, Thie ayah, Yeye kakek.

 

 

Wendoko menulis puisi dan cerita. Buku puisi terbarunya adalah Jazz! (2012). Sebagian puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan terbit dengan judul Selected Poems (2010).


Filed under: Wendoko Tagged: Koran Tempo

Romneya

$
0
0

Cerpen Ilham Q Moehiddin (Suara Merdeka, 16 Desember 2012)

Romneya ilustrasi Putut Wijanarko

Berikan ini, dan sampaikan salamMama padanya. Panggil dia, Mevrouw. Mathilda punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum pernah kau tanyakan.

(1)

ANGIN berembus, menggulung debu di ujung jalan Pasar Luscia, mengacarnya tinggi-tinggi sebelum melepasnya ke angkasa. Poppy buru-buru mengejam mata, membekap hidung dan mulutnya sendiri. Tanpa memandang wanita di depannya, Poppy memelas. “Tolonglah, Nyonya. Ramuan obat dukun Suku Chumash terlalu mahal. Aku harus menebusnya seharga tiga ayam betina gemuk ini.”

Wanita itu tak mau bicara, segera menjauh Poppy. Gadis itu mengeluh, wajahnya berlapis debu tipis laksana pupur, tumitnya berdenyut karena lama berdiri.

Wajah lelah yang cemas. Sebelum hari ini selesai, ia harus mendapatkan uang seharga sebotol ramuan obat pada dukun desa di lembah utara Yucca, 22 mil dari desanya, Coachella. Di barat gurun Mojave ini, hanya ada dua desa yang dekat dari Coachella: Indio di utara, dan La Quinto di barat. Tapi tak ada dukun lain sehebat dukun Chumash.

Hampir sore, harapan Poppy habis terbakar matahari. Hawa panas di gurun ini seperti merambatnya api di permukaan kaca. Mata Poppy meleleh karena panas, dan mamanya menunggu dalam kecemasan yang sama. Poppy ingin bisa memilih peruntungan.

Tapi, sejak kapan ada pilihan dalam hidupnya. Masa kecil yang tak ia ingat dengan sempurna, karena digenangi waktu yang begitu cair. Nasib yang tenggelam begitu saja, tapi mengapungkan kemalangan demi kemalangan. Sungguh, ia tak kuasa berkutik.

Kepalanya dipenuhi peristiwa-peristiwa parokial, juga terputus-putus. Mencagun saat ia tidur, atau datang saat ia diserang demam: orang-orang ber-sombre dan bergaun mahal, berwajah sinis, seseorang perempuan yang ketakutan, seekor bangau menari Flamenco, lalu berkelebat wajah-wajah lain, entah siapa.

(2)

TIGA ayam itu tak laku. Wajah mamanya kembali mendenyuti kepala Poppy, membuat benaknya seperti membatu. Saat rumah mamanya kian dekat, cemasnya menari-nari.

“Poppy, kaukah itu, Sayang?” Lirih suara seorang perempuan. Sebentuk wajah kuyu muncul menengok dari balik bilik tak berpintu.

Poppy belum menyahuti. Ia tarik penutup kandang dan melemparkan ayam-ayam ke dalamnya, membuat tiga hewan itu tergelimpang panik dan ribut. Poppy tak peduli. Hari yang panas ini telah membunuh peruntungannya. Poppy segera mendapati mamanya. “Maaf, Mama. Tak ada uang hari ini.” Poppy lirih, seperti akan terisak.

Perempuan yang dipanggilnya mama itu menarik tangan Poppy agar mendekat, duduk di sisi ranjang. Bilik kecil yang muram dengan jendela kecil sepanjang siku, berdaun jendela dari jerami yang dijalin rapat dan tebal. Ada ranjang sederhana, serta sebuah meja kecil tua. Tak ada bunga di atasnya, hanya sebuah mangkuk tanah murahan berisi air untuk berbasuh.

“Jangan sedih, Sayang.” Perempuan itu mengelus punggung Poppy, berusaha menenangkan gadis remajanya yang gundah. “Selalu ada kebaikan di setiap hal, walau sedikit.”

Poppy tidak tahu cara meredakan cemas di hatinya. Bukan prihatin mamanya yang mau didengarnya saat ini. Dia cemas, suara mamanya kian tak bertenaga.

“Kuatlah, Sayangku. Poppy, Bunga California-ku. Seperti orang-orang yang datang dari selatan, dan telah mengukir gambar-gambar di dinding gua tambang, agar menjadi pengingat bagi mereka saat kecemasan datang menyergap. Mengingatkan mereka pada Cordoba, Catalunya, dan Madrid. Menanggulangi kerinduan saat malam merayapi gurun kering setelah mereka rebah. Bersabarlah, Sayang.”

“Mama, maaf…. Tidak ada uang buat Mama.”

Mamanya tersenyum, sabar. Mengibaskan kepalanya dengan ringan. “Tak mengapa, Sayang. Besok, berkemaslah dan pergilah menemui Mathilda di La Quinto.”

“Tapi, Mama,” Poppy menyampuk mamanya, “kita bahkan tak punya uang untuk sebotol ramuannya.”

Mamanya mengangkat wajah. Cahaya seperti hendak pergi dari sorot matanya. “Ini orang berbeda, Sayang. Datangi Mathilda. Gipsi baik hati itu akan membantumu menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum pernah kau tanyakan.”

Poppy telah memindahkan semua kecemasannya ke setiap helai rambut di tubuhnya. Permintaan mamanya diartikan sebagai perintah. Mama yang begitu sabar dan halus perangai kepadanya, sebagaimana luasan samudera bertepian pasir halus nan putih. Begitulah Poppy menggambarkan sosok perempuan yang telah 17 tahun ia panggil mama.

(3)

TAHUN 1799, di bulan Juli yang terik. Satu kereta kuda berangkat menuju kota kecil La Quinto, wilayah California yang panas sepanjang tahun. Tanah kering berdebu, dan empat kuda mendengus kelelahan menarik kereta yang ditumpangi Poppy. Kereta itu milik Benito, pengumpul kulit hewan di pasar La Quinto.

Poppy menyapukan pandangannya pada vegas yang menari-nari diterpa angin yang kering. Warnanya menawan keemasan. Gersang tak merebahkan fescue ini ke tanah, bergerombol dengan akar yang teguh menggumpal abadi tanpa rimpang. Elok sekali. Cukuplah meredakan cemas Poppy pada perjalanan pertamanya meninggalkan Coachella. Kondisi mamanya kian payah. Tetapi, perjalanan ini lebih penting, menurut mamanya.

Tiga hari melawan panas, menembus kering tepian Gurun Mojave. Poppy harus menemui Mathilda di sebuah paterna di La Quinto dan menyampaikan salam dari mamanya. Keringat melembabkan wajah jelita gadis itu, membuat dahinya berkilat. Matahari membakar kulitnya, membikin warnanya kecokelatan. Wajahnya menyaput kecantikan istimewa, yang bahkan tak dimiliki perempuan Indian, seperti mamanya. La Quinto sangat sibuk sejak para don memaksakan wilayah itu sebagai kota mandiri. Kota di mana orang-orang berkantor dalam kepala mereka masing-masing.

Poppy turun dari kereta, memeluk kantong kulit berisi sedikit pakaian dan sebuah gelang perunggu bermedali aneh. Benda itu harus diserahkannya pada Mathilda. “Berikan ini, dan sampaikan salam Mama buatnya. Panggil dia, Mevrouw.”

Poppy terus mengulang pesan mamanya itu agar lekat di benaknya. Atas permintaan mamanya, Benito mengantar Poppy ke depan Flor Paterna. “Di sini perempuan gipsi itu tinggal,” kata Benito, lalu lelaki itu pergi menyelesaikan urusannya.

Saat Poppy menguak pintu Flor Paterna, sebuah suara marah menghardiknya di keremangan. Poppy seketika merasa rawan. “Saya mencari Mathilda,” jelas Poppy.

“Saya Mathilda. Siapa yang mencariku.”

Sosok perempuan tua mendekat ke arahnya. Lantai kayu terketuk-ketuk saat perempuan itu melangkah, meraba-raba langkahnya dibantu sepotong tongkat. Dia buta.

“Poppy. Saya Poppy, Mevrouw.”

Gipsi tua itu terkesiap. “Mevrouw…,” desis Mathilda, berdiri mematung di tengah ruangan dengan raut muka yang berubah seketika. “Oh, Adonia,” katanya pilu.

“Adonia nama mamaku, Mevrouw,” sambung Poppy segera.

Mathilda seolah tak mendengarkan Poppy. Ia mengibaskan kepalanya dengan lemah, “akhirnya kau kirimkan dia padaku, Adonia. Romneya, Las Chicas Perdidas.”

Lalu gipsi tua mengembangkan kedua tangannya, meminta Poppy menghampirinya. Dipeluknya gadis itu dengan kerinduan yang akut. Mata buta Mathilda basah. Cukup lama ia memeluk Poppy, sebelum melepaskan gadis itu dengan sebuah kecupan di dahinya.

Mathilda mengajak Poppy ke ruang lain di Flor Paterna. Gadis itu menuntun Mathilda duduk pada sebuah kursi kayu oak berwarna kusam. Poppy menguak kantong kulit yang dibawanya dan meletakkan gelang perunggu ke tangan Mathilda. Perempuan gipsi itu tersenyum. “Terima kasih, Adonia. Kau kembalikan Romneya padaku,” bisiknya.

“Romneya?”

Lalu, mulut perempuan tua itu bergerak. Ia kumpulkan semua ingatannya di bulan Juli 1781, 18 tahun silam.

(4)

JULIA terlanga menyaksikan Don Antonio memukul pecah bibir Don Olvera kekasihnya. Don Antonio murka saat putranya bersikeras akan menikahi Julia.

Don Olvera telah berjanji akan menikahi Julia selepas ekspedisi sungai Colorado. Tetapi, Don Antonio bersumpah tak akan memasukkan seorang lanji ke rumahnya di San Jacinto, setelah apa yang dihasutkan orang kepadanya tentang Julia.

“Kalian telah memfitnahnya. Julia hanyalah penari Flamenco!” Mata Don Olvera menyala saat menatap enam saudaranya. Para bangsawan ber-sombre dan bergaun mahal itu terdiam.

Don Antonio tak pernah suka putranya mencari wanita di luar kalangan don. Tapi Olvera paham politik para don yang bersaing demi kekuasaan di California. Semata-mata itulah sebabnya. Don Olvera tetap memilih Julia, dan berniat menyingkir dari San Jacinto.

“Mereka memilih La Quinto sebelum pintu-pintu kota ditutup. Setahun kemudian, aku saksikan awan perak melayang dari La Quinto yang kering ke Sierra Nevada yang teduh. Peristiwa yang tak pernah kulihat sebelumnya. Roh gurun dan darah Navajo Julia, ibumu, menyambut kelahiranmu, Sayangku. Tapi takjubku hanya sesaat, setelahnya terdengar sayup gendang Navajo berdentam dan ada nyanyian duka dengan suara yang seakan memekik.”

“Julia adalah Ibuku?” Poppy terenyak, “lalu… Adonia?”

Mathilda menggeleng. “Adonia adalah perempuan yang melepaskan 17 tahun cintanya hanya untukmu, Sayang. Pada tubuhmu mengalir darah para don. Di wajahmu, ada kecantikan seorang perempuan Navajo, yang menukar hidupnya demi tangisan pertamamu. Aku, Mathilda, memberikan kesaksian ini pada dunia.”

Mevrouw, aku harus pulang ke Coachella.”

Mathilda meremas jemari Poppy. Ia menggeleng. “Arahmu seharusnya ke San Jacinto, bukan Coachella.”

“Tapi, Mevrouw… mamaku….”

“Adonia sudah pergi, Sayangku. Datangnya seorang mestizo ke hadapanku adalah isyarat kepergiannya. Dia tak akan mengirimiku romneya jika waktunya belum tiba.”

Poppy merebahkan kepalanya ke pangkuan Mathilda. Gadis itu menangis sejadi-jadinya. Dia ingat percakapan terakhirnya dengan Adonia yang dicintainya itu.

“Pergilah, Sayang. Benito akan mengantarmu ke San Jacinto,” saran Mathilda, “temuilah ayahmu, Don Olivera dan berikan gelang romneya ini padanya. Sesungguhnya, itulah nama yang diberikan ayahmu. Romneya, Bunga California.” (*)

 

 

Los Angeles, Juli 2011-2012.

 

Catatan:

Chumash & Navajo       : pribumi Amerika yang mendiami daerah bagian tengah, selatan dan barat daya California.

Sombre                          : busana lelaki bangsawan Eropa.

Vegas                             : padang rumput (Spanyol)

Fescue                           : nama rumput keemasan khas California (Festuca californica).

Romneya                        : bunga khas California yang tumbuh pada jenis tanah apa pun (Matilija poppy).

Mevrouw                        : nyonya.

Las Chicas Perdidas      : anak gadis yang hilang (Spanyol).

Mestizo                           : istilah yang digunakan untuk orang berdarah campuran Eropa dan Indian.

 

 

Ilham Q Moehiddin, memublikasikan cerpen pada banyak media massa. Bukunya: Kitab & Tafsir Perawan Nemesis (Kumcer dan Puisi, 2000), Unabomber: Gadis Kecil di Elliot House (Novel, 2002), Kabin 21 (Novel, 2003). Garis Merah di Rijswijk (Trilogi Rijswijk #1, Novel Unggulan Republika, 2011).


Filed under: Ilham Q Moehiddin Tagged: Suara Merdeka

Kota-kota Kecil Sepak Bola

$
0
0

Cerpen Raudal Tanjung Banua (Jawa Pos, 16 Desember 2012)

Kota-Kota Kecil Sepak Bola ilustrasi Budiono

PERCAYALAH, jika ada yang serempak mendatangimu dengan gemuruh degup di dada, koor nada, tempik-sorak dan harapan kemenangan, itu hanya ada dalam perjumpaan emosional dengan kota-kota sepak bola—satu di antaranya mungkin kota kelahiranmu. Jangan cari di dalam peta. Cari ia di daftar liga dan medan laga. Di sanalah kotamu mungkin ada, tegak berjaga dengan klub kecintaan seluruh warga kota kelahiran. Atau kota di mana engkau pernah tinggal, tempat kakek-buyutmu berasal, lalu merasa memilikinya dalam ikatan batin tak terkatakan, sebagaimana kota itu dengan ikatan kasih mengasuh klubnya, dan klub itu pun membela kota yang mengasuhnya. Lengkap dengan umbul-umbul, tentu, semboyan, mars, coretan di dinding, grafiti liar; lihat, fans fanatik berbaris di jalan-jalan, raung knalpot berkumandang!

Lupakan para petinggi PSSI yang dengan nafsunya sendiri tak tahu cara mencintai. Lupakan FIFA yang sedari dulu mabuk kata sanksi tapi tak pernah benar-benar sangsi. Lupakan pula gelanggang-gelanggang besar tempat berpacu: dunia lima benua, Asia Raya bahkan Asia Tenggara yang terbuka di depan mata. Cukup lihatlah ke dalam, ke kota-kota kecil tanah airmu yang tenteram, maka akan terlihat bahwa gairah sepak bolanya tak pernah padam. Dalam musim-musim yang tak pasti memberi janji, kota-kota itu tetap hidup dalam tempaan keringat, semangat dan kaki-kaki yang berlari.

Ya, dalam musim kompetisi yang serba sulit dan menyedihkan ini, kota-kota itu tetap datang bertandang. Dengan segala pilihan yang kita punyai, ia bisa datang lewat siaran langsung televisi, radio atau terbaca di pojok arena surat kabar esok hari. Atau sesekali, bertandanglah ke stadion kotamu, simak gemuruh suara-suara. Terompet dengan nada terseret-seret, lagu-lagu “kebangsaan” sebuah kota, yel-yel kemenangan dan kekalahan, sama saja; akan selalu ada kubu yang bernyanyi dan kubu lain meradang dalam caci-maki. Biarkan, itu atraksi yang membebaskan di tengah tekanan politik yang memuakkan. Sebuah kota butuh kanal. Cukuplah kali dan selokan-selokannya yang mampet dalam kepungan musim hujan. Dan posisi nanti bisa berganti jika papan skor berbalik arah. Yang bernyanyi akan ganti meradang dan yang meradang akan mengacungkan kepal tangan ke langit tinggi. Begitu seterusnya. Tapi sebentar akan tenang kembali. Semua hanya butuh ruang, dan itulah yang mereka dapatkan.

Jadi, sebuah kota dengan klub sepak bola, adakah mimpi kelewat mahal? Adakah itu hasrat kegenitan semata dari pengelola kota yang mencari jalan pintas memunculkan kotanya ke tengah percaturan? Aku tak bisa memberi jawaban soal ini, karena dalam banyak kasus memang sering dijumpai hal-hal tak semestinya. Kocek APBD yang terkuras untuk membiayai tim, gaji pelatih, transfer pemain. Sponsor mendadak kabur atau tak ada sama sekali. Prestasi selalu berhenti di tepi-tepi. Fans fanatik mengamuk, merusak rambu dan pertokoan, saling lempar dari kereta api. Tapi tak pula kita hendak menutup mata betapa kota-kota sepak bola memiliki semacam ruang publik, tempat bermain bersama setiap orang dalam ikatan yang tak akan terjelaskan dengan apa pun. Tanpa harus sampai pada titik fanatik, tiap kali nama klub sebuah kota disebut, seseorang yang punya ikatan—dalam bentuk apa pun—ajaib, akan merasa dicubit. Mungkin ia akan segera ambil posisi di depan tivi yang menayangkan siaran langsung pertarungan klub itu, atau sejak sejauh hari menandai agenda bahwa ia akan bergabung ke stadion kota tercinta. Sebagian lain, setidaknya sekali seumur hidup akan berdoa buat kemenangan salah satu klub yang diam-diam dibelanya….

Begitulah aku rasakan tiap kali menonton televisi yang menayangkan pertandingan bola dalam negeri. Selalu ada perasaan ajaib datang menghampiri. Berbeda jika menonton liga-liga benua seberang yang hanya menyeretku pada aktor-aktor lapangan, menonton liga tanah air (yang kini bercabang dua) aku lebih banyak mengalir bersama kota-kota yang mengusungnya. Bahkan tak jarang jika aku menyempatkan diri datang ke stadion kota kecilku yang baru selesai dibangun di tengah sawah, dalam kepungan kebun tebu, aku pun tak sepenuhnya larut dalam gocekan bola semata, namun terseret, dekat atau jauh, dari kota ke kota. Dan benar, apa yang serempak mendatangiku dengan gemuruh degup di dada, koor nada, tempik-sorak dan harapan kemenangan, adalah kota-kota sepak bola!

***

KUPICINGKAN mata, maka kota-kota kecil sepak bola muncul seperti sedang mengambil absen dalam kepala. Ketika beberapa klub kutandai dengan penekanan yang khusus—semacam upaya mencari ikatan batin atau apa—maka aku akan terdampar ke sebuah kota yang tak terduga. Suatu sore, pluit wasit melengking membuka pertandingan Persibo vs Persiba di Stadion Sultan Agung. Sebagaimana tadi kusebutkan, stadion itu berada di tengah sawah arah ke reruntuhan Kraton Mataram Kuno di Plered, Bantul. Selain dikepung kebun tebu, jalan ke stadion diteduhi barisan pohon jati. Aneh, ketika Samsul Arif berkejaran dengan Ugik Sugiyanto dan kawan-kawan, diiringi yel-yel Boromania dan Paserbumi, ingatanku justru melayang ke timur seolah menumpang selembar daun jati.

Ya, bersama ingatan yang tak lekang aku masuki kota Bojonegoro, setelah perjalanan panjang menyusuri hamparan pohon jati dari Ngawi, ke punggung Pegunungan Kendeng, sampai di Padangan dan Kalitidu. Kumasuki jalannya yang lebar, bersisian dengan rel kereta api jalur Pantura yang sesekali menderu sampai jauh. Tak jauh dari gerbang kota terdapat sebuah terminal yang gampang tergenang dimusim hujan. Di sana aku pernah turun, lalu menyambung perjalanan ke salah satu sudut kota, ke tempat paman istriku tinggal. Paman itu mantan seorang pamong, pindahan dari Kudus bertahun-tahun lalu, namun merana di masa tua. Semua harta bendanya, termasuk entah berapa tumpak kebun jati, dijual oleh anak angkatnya. Tinggallah sang paman di sebuah rumah sederhana di sudut kota, namun ia tetap pribadi yang hangat sehingga ajaib aku merasa punya ikatan batin dengan kota yang ditinggalinya. Sejak itu, jika kudengar atau kubaca Persibo berlaga, pikiranku dengan sendirinya akan berpihak, disadari atau tidak. Bahkan ketika kini klub itu bertandang ke kotaku sendiri, aku merasa tak tahu hendak mendukung siapa.

Begitu pula ketika aku menonton Arema vs Semen Padang di layar kaca, yang pertama-tama muncul bukan persoalan kalah-menang, tapi ingatan akan kedua kota yang lama kutinggalkan. Entah kenapa, Arema mengingatkanku pada Patung Chairil Anwar di sebuah perempatan. Surprise melihat patung itu pada suatu hari menjelang senja, aku nyaris berteriak, “Malang satu-satunya kota yang punya patung si Binatang Jalang!”

“Tapi kenapa wajahnya bopeng-bopeng, Pa?” tanya anakku yang duduk di bangku SD, spontan, setelah ia merasa sia-sia mendapat sesuatu yang menarik dari patung itu. Ragil, teman yang memilin-milin rambut kritingnya mengejapkan sebelah mata lalu bercerita tentang kenapa patung itu kurang proporsional. Itu tak lain lantaran ia jadi rebutan beberapa partai di Kota Malang, di antaranya PSI dan PNI—keterangan yang tentu juga tak menarik bagi bocah SD. Tapi, bagiku tak ubahnya PSSI yang bopeng jadi rebutan!

Tak jauh dari patung, terdapat kedai es krim “Oen” dengan bangunan tua bercat putih susu dan coklat tua. Ke sana kami menuju, bertemu kawan lain, Didin dan Anan yang baru datang dari Kepanjen. Sambil menikmati es krim yang dihidangkan dalam wadah antik, aku tanyakan pada Didin apakah ia warga Arema atau Persema.

“Yang jelas warga Nahdliyin,” katanya kalem.

“O, berarti pendukung MU,” kataku. Kami tertawa. Barulah ketika aku diajak ke Kepanjen dan mampir di Kanjuruhan, aku paham betapa tak mudah menjawab pertanyaanku di kedai es krim tadi. Sebuah klub di sebuah kota, kau tahu, tak hanya milik warga setempat, melainkan semua orang di sekitarnya. Organisasi Aremania membuktikan itu. Berapa banyak para pecinta Arema yang menemukan ruang tamasya di klub Singa Biru? Berapa banyak yang menggantungkan hidup dari penjualan marcandhiase, kaos dan bendera? Ketika Kabupaten Malang membangun klub sendiri yang bermarkas di Stadion Kanjuruhan, dan pengurus pun menempuh jalan berbeda dengan bergabung ke satu liga, bagaimanakah publik menyikapi? Adakah keterpecahan dukungan atau bahkan psikologis atas kota kesayangan? Aku tak tahu.

Atau mungkin satu hal yang biasa, sebagaimana para pemain datang dan pergi?  Bukankah di tiap penghujung musim, ada banyak pemain yang bertukar tempat, berpindah klub? Mereka berpindah dari satu kota kecil ke kota kecil lain, seperti Kenji Adachihara dari Bontang FC ke Persiba Balikpapan, Made Wirawan dari Persela Lamongan ke Persiba, atau Zulham Zamrun dari Persela ke Mitra Kukar. Ada dari kota besar ke kota kecil sebagaimana Okto Maniani dari Sriwijaya FC ke Persiram Raja Empat. Ada dari kota kecil ke kota besar seperti Egi Melgiyasah dari Persijap Jepara ke Pelita Jaya atau Zabriano R. Deltrame dari Persela ke Persija. Tidak jarang pemain luar pulang ke negaranya dan boomber lain datang, sebagian dikontrak klub dari negara lain. Bagaimanakah para pemain itu menukar pembelaan, dari klub yang dulu ia bela mati-matian, kemudian ditinggalkan, seolah sekadar berbalik badan?

Ah, semua hanya permainan semusim, barangkali itulah jawabannya. Tapi entah kenapa hati kecilku menganggap tak sesederhana itu. Bagiku selalu ada terasa yang hilang tiap kali seorang pemain pergi, dan tidak cepat merasa tergantikan tiap kali pemain lain datang. Aku seumpama anak laki-laki kecilku yang hatinya rawan untuk soal-soal semacam ini. Dia pernah sangat sedih memikirkan ketika Fortune Udo harus hengkang dari Persiba, menyeberang ke Vietnam. Dia pernah memikirkan bagaimana Markus Horizon bisa menghadapi pertemuan Persib dengan PSMS, antara klub lama dan klub barunya? Bagaimana pula Gonzales dan Eka Rhamdani mengisi hari-harinya dari Bandung yang hiruk ke Samarinda yang relatif sepi?

Lama kemudian kami—aku dan anakku yang sudah akan meninggalkan bangku SD-nya—menyadari bahwa sepak bola tak ubahnya pabrik yang didirikan di suatu tempat dan karyawannya datang dan pergi, jika perlu pabriknya sendiri bisa berpindah tempat. Dan sebagaimana pabrik, ia terbuka dimasuki siapa pun tenaga yang dianggap lebih baik. Tak peduli “pribumi”, asing atau naturalisasi, semua bisa bersaing sejauh perusahaan butuh. Dan boleh jadi pula suatu ketika perusahaan terbelit hutang, pailit dan para karyawan lepas tunjangan bahkan tak makan gaji. Kita baru saja merasakan sedih mendalam atas kematian Diego Mendieta, pemain perantau dari Paraguay, yang gajinya tertunggak di Persis Solo. Tentu itu hanya satu contoh yang menyedihkan. Masih banyak kesedihan lain yang disurukkan di berbagai tim, tak pandang klub besar atau kecil. Itu sebuah resiko. Maksudku, sepak bola adalah industri, dan sebagaimana industri yang bertumbuh tak hanya di kota besar, kota-kota kecil pun tak luput tersentuh. Lalu, masihkah ia menyisakan ruang piknik bagi segenap warga kota jika aroma industri lebih mengemuka, juga tangan panjang kekuasaan?

Sekali lagi tak bisa kujawab.

***

APA PUN, ada banyak cara bagi sebuah kota untuk membangun eksistensinya. Membangun gedung, jalan dan jembatan, meresmikan mall, merebut Adipura, itu sudah biasa. Di antara yang tak biasa adalah membangun dan merawat klub sepak bola. Sepak bola cukup pas membuat sebuah kota tinggal dalam rekam jejak kepala anak-anak yang berangkat remaja atau siapa pun yang bersentuhan dengannya. Lewat klub sepak bola, kota-kota kecil bersanding jika bukan bertanding dengan kota-kota besar lainnya, bersileweran di layar kaca dan berita-berita arena. Bukan hanya Divisi Utama, dalam daftar Liga Primer pun klub-klub kota kecil muncul percaya diri, tak ciut nyali bersanding dengan klub-klub kota besar.

Persik Kediri, Arema Malang, Deltras Sidoarjo, adalah klub yang sudah lama malang-melintang, bersanding dengan Persebaya Surabaya, Persib Bandung, Semen Padang, Persija Jakarta, Persipura atau Sriwijaya Palembang. Belakangan muncul dengan meyakinkan Laskar Kalinyamat Persijap Jepara, Persela Lamongan, Persiwa Wamena, Persibo Bojonegoro, Persiba Bantul. Dua yang terakhir muncul menjuarai Divisi Utama dan memborong tropi pemain terbaik dan top scorer. Muncul pula Mitra Kukar, Persiba Balikpapan, Persiram Raja Empat, Bontang FC, Gresik United, Persema Malang.

Tak kalah banyak adalah klub Devisi Utama, yang sebagian mungkin sudah naik peringkat ke Liga Primer atau tutup buku. Mestinya mereka bisa lebih pasti jika dua organisasi yang merasa berhak—LSI dan LPI—bisa duduk semeja dan tidak semena-mena bermain dadu. Sebab ada banyak bendera klub berkibar di kota-kota kecil itu, mulai dari PSAP Sigli, PSLS Lokhsumawe, PSBI Blitar, PSCS Cilacap, PPSM Magelang, PSPM Mojokerto, Persiku Kudus, PSIR Rembang, Persibangga Purbalingga, Persepam Pamekasan, atau yang sudah lama eksis seperti Persis Solo dan PSS Sleman. Di klub-klub itu bertebaran tak hanya pemain-pemain masa depan, juga para pendukung yang tak kenal lelah, dan setia, dengan organisasinya. Boromania, Deltamania, LA Mania, Slemania, Pasopati, dan jangan lupakan Aremania—boleh jadi salah satu yang terbesar. Persiba Bantul bahkan punya lebih banyak komunitas: Paserbumi, Kere Hore, Bad Boys dan CNF. Dan Bonek, tentu juga mesti dicatat sebagai fenomena “heroik” dalam sepak bola kita.

Mau dibawa ke mana mereka semua?

Jauh dari pusat kota kecil tempatku tinggal, di stadion tengah sawah dalam kepungan kebun tebu, aku duduk mengenang kota-kota kecil yang membangun impian dan eksistensinya lewat sebuah benda bulat. Benda bulat yang, sebagaimana kusaksikan, mulai bergulir dari kaki ke kaki, dari dada ke dada, dan sesekali jatuh dalam tangkapan kiper. Lalu ditendang lagi, dikocok, dioper ke sana kemari, makin kencang dan liar seiring arena yang membahana dengan koor-nada, tempik sorak, yel-yel dan teriakan tiada habis. Tak pernah habis. Perpaduan industri dan hasrat menegakkan jatidiri membuat kota-kota kecil sepak bola seakan abadi dalam musim-musim berkabut yang tak pasti memberi janji! (*)

 

 

/Rumahlebah Yogyakarta, Desember 2012

(Terima kasih Tsabit atas diskusi dan bantuannya)


Filed under: Raudal Tanjung Banua Tagged: Jawa Pos

Sayap Malaikat

$
0
0

Cerpen Eka Maryono (Republika, 16 Desember 2012)

Sayap Malaikat ilustrasi Rendra Purnama

BENJOLAN itu tumbuh begitu saja. Mulanya hanya dua benjolan kecil sebesar kelereng. Aku mengiranya sebagai tumor. Sedang menurut dokter, benjolan itu gumpalan lemak yang menonjol di bawah kulit. Sehabis dioperasi, hilanglah keduanya. Namun tak sampai sebulan, benjolan pengganggu itu muncul lagi, malah lebih besar, sebesar bola tenis.

Sepasang benjolan itu jelas membuat dirimu terlihat seperti unta atau si bongkok dari notredame yang berjalan dengan punuk menonjol di punggungnya. Kau pasti risih dan akan berjalan dengan kepala tertunduk. Maka seperti itulah diriku saat ini: malu, marah, sedih, bercampur jadi satu.

Ketika masalah ini kutanyakan pada dokter, dia malah menyarankan untuk dioperasi sekali lagi.

“Ini jelas bukan tumor. Bukan kanker. Cuma gumpalan lemak. Anda jangan khawatir.”

“Bukan begitu dok, oke-oke saja saya dioperasi lagi. Tapi saya harus tahu penyakit apa ini. Kalau bukan tumor, bukan kanker, lalu apa?”

“Ya, lemak. Lemak memang bisa menggumpal di sekitar hati, sekitar jantung, perut, pinggang, di mana saja, termasuk di bawah kulit punggung seperti yang Anda alami.”

“Apa berbahaya, Dok?”

“Dalam kasus Anda, sama sekali tidak berbahaya. Hanya sedikit menganggu penampilan. Dioperasi sekali lagi, pasti hilang selamanya.”

Sembilan bulan berlalu sejak percakapan itu. Kini benjolan itu masih ada. Tetap sebesar bola tenis. Hanya saja bertambah keras. Seperti ada makhluk yang bergerak-gerak dan menggaruk-garuk kulit punggungmu dari dalam. Rasanya perih dan gatal. Aku merasa ada sesuatu yang ingin keluar dari dalam sana. Sesuatu yang ingin segera menetas ke dunia. Membayangkannya saja sudah membuatku merasa ngeri.

Ya, satu minggu setelah operasi yang kedua, sepasang benjolan itu tumbuh kembali. Mulanya sebesar kelereng, lalu tumbuh jadi seukuran telur ayam, hingga akhirnya sebesar bola tenis. Berbagai pengobatan medis telah kucoba, termasuk berganti-ganti dokter spesialis. Tapi hasilnya tetap sama. Mereka mengatakan benjolan itu sebagai gumpalan lemak belaka. Foto rontgen dan tes darah menjadi buktinya.

Frustasi dengan dokter, aku mulai berobat ke beberapa orang pintar, tapi tak kunjung membuahkan hasil. Rata-rata omongan mereka seragam. Mereka bilang aku kena santet.

“Sekarang lagi zamannya kiriman paku dan jarum, Pak. Saya lihat di punggung Bapak ada jarum dan pakunya,” kata dukun Z.

“Tapi saya sudah berulangkali difoto rontgen lho, nggak ada tuh yang namanya jarum dan paku.”

“Memang nggak kelihatan, Pak. Ini ilmunya lebih canggih.”

“Terus, bagaimana dong nasib saya? Bisa sembuh nggak?”

“Bisa! Nanti saya pindahin penyakitnya ke telur. Maunya berapa telur?”

“Lho, kok seperti pesan martabak sih?”

“Bukan begitu, maksud saya kalau mau ditransfer penyakitnya ke telur, kita harus tentukan dulu berapa telur yang akan digunakan. Makin banyak telurnya, makin bagus hasilnya, sebab akan semakin banyak paku dan jarum yang bisa dikeluarkan. Tapi terus terang maharnya beda, sebab pengerjaannya lebih berat. Kalau mau dipindahin ke kambing juga bisa. Sekali berobat pasti sembuh.”

“Kalau begitu, jangan tanggung-tanggung deh. Sekalian saja dipindahkan ke sapi atau kerbau, kalau perlu ke banteng. Biar tuntas sampai ke akar-akarnya. Soal mahar, saya bayar di muka.”

Tapi hasilnya nol besar!

Di lain waktu aku mendengar ada dukun bagus. Kabarnya, pasien yang datang dalam sehari bisa seratusan orang. Sebut saja namanya teteh A. Setelah antri tiga jam, akhirnya tiba giliranku masuk ke ruang prakteknya.

“Iihhh, ini mah kerjaan jurig.”

“Lalu bagaimana, Teh?”

“Yaaahhh, bagaimana ya? Saya kurang ‘ngerti caranya. Soal santet bukan bidang saya. Saya mah ahlinya pasang susuk.”

“Hah? Susuk?”

“Lho, memangnya Mas tidak baca pelang nama saya di depan? Kan jelas tertulis kalau saya ahlinya bongkar pasang susuk. Ya sudah, begini saja, ‘gimana kalau benjolannya dipasangin susuk? Biar jadi manis ‘gitu kelihatannya. Mau?”

Aku tidak menjawab. Hanya memandang kosong, jauh ke dalam bola mata si teteh yang senyum genitnya makin sumringah.

***

Malam itu perasaanku sangat gelisah. Sudah sembilan bulan lebih dua minggu aku menderita. Berbagai pengobatan medis dan alternatif sama sekali tidak membuahkan hasil. Pekerjaanku sebagai kepala dinas di instansi pemerintah sedikit banyaknya ikut terganggu. Bukan sekali dua kali aku minta izin untuk tidak masuk kerja pada atasan demi mengobati penyakit aneh ini. Belum lagi hari-hari di mana aku memang sengaja bolos kerja seiring semangatku yang terus menurun.

Sedari maghrib gerimis turun pelan-pelan dan menjelang tengah malam baru membesar jadi hujan. Istriku baru saja tidur. Mungkin dia lelah setelah berjam-jam mengipasi punggungku yang terasa panas. Padahal AC selalu menyala di kamar tidur kami. Aku merasa suatu hal buruk akan terjadi.

Benar saja. Lewat tengah malam, kedua benjolanku terasa sakit sekali. Benjolan  itu kemudian merekah dan keluar sesuatu dari dalamnya. Terlontar begitu saja, seperti anak jadah yang tiba-tiba terlahir ke dunia. Sejak itu, sepasang sayap kecil tumbuh di punggungku.

Sayap tersebut berwarna putih dan dibungkus bulu-bulu halus seperti beludru. Berkilau terang seperti pijar bola lampu. Sinarnya bisa menembus pakaian yang paling tebal sekalipun, sehingga seolah ada sepasang bola lampu selalu menyala di punggungku.

Bayangkan jika hal itu terjadi padamu. Sepasang sayap akan membuat kau merasa menjadi ayam, karena kau tetap tidak bisa terbang seperti burung. Sedangkan cahaya berkilauan yang memerihkan mata itu membuatmu terlihat seperti lampu berjalan.

Aku menjelma makhluk aneh. Semua orang memandangku dengan tatapan aneh. Mereka mengerubungiku seolah lalat mengerubungi bangkai. Berita tentang keanehanku jadi headline di semua media massa, bahkan melintasi benua sampai ke mancanegara. Mereka menyebutku “Manusia Ayam”, “Burung yang Tak Bisa Terbang”, atau “Monster Asia”.

Aku pun jadi obyek penelitian medis. Berpuluh jarum yang terhubung dengan kabel-kabel di mesin ditusukkan ke tubuhku. Darahku diambil untuk diteliti DNA-nya. Denyut jantungku dimonitor. Gelombang otakku diterjemahkan ke dalam kode-kode rahasia. Mereka mencari tahu sebab apa sepasang sayap bisa tumbuh di punggungku.

Agen-agen rahasia juga berdatangan dari seluruh penjuru dunia. Mereka khawatir alien sedang berusaha menguasai bumi dan menjadikan tubuhku sebagai induk semang bagi telur-telur yang kelak akan menetas sebagai pasukan monster. Tak ketinggalan para alim ulama mengungkapkan keyakinan mereka bahwa akhir zaman sebentar lagi tiba.

Berbulan-bulan kemudian, tetap tak ditemukan satu pun keanehan dalam diriku. Semua organku berfungsi normal. Satu-satunya keabnormalan cuma sepasang sayap kecil itu. Kemudian, sambil menunggu penelitian selanjutnya, aku diisolasi dalam ruang tertutup. Dilarang bertemu dengan siapa pun, termasuk dengan keluargaku sendiri. Hanya para peneliti dan orang-orang pemerintah yang boleh masuk ke ruanganku. Seminggu sekali, datang pula seorang perawat yang tugasnya membersihkan sayapku supaya tidak dihinggapi kutu.

Jika kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan? Dipenjara dalam ruangan yang pintunya selalu dikunci dari luar. Tanpa jendela. Tanpa lampu. Terang hanya berasal dari sayapmu. Sementara kamera CCTV mengawasimu seharian penuh. Kau benar-benar dipisahkan dari dunia luar. Tidak ada TV, tidak ada radio, tidak ada koran, dan janganlah kau berharap mereka berbaik hati memberimu jaringan internet.

Tidak pula ada jam. Satu-satunya cara agar kau tahu perbedaan waktu hanyalah dari jam biologismu. Jika kau sudah sangat mengantuk, itu pertanda hari telah malam. Aku menangis, berteriak dan memohon mereka melepaskanku, tapi tak ada yang peduli.

Aku mulai mempertanyakan keadilan Tuhan. Kenapa Dia menumbuhkan sepasang sayap di punggungku. Sampai suatu malam, lelaki bercahaya mendadak muncul di depanku. Kulitnya putih benderang seperti marmer, juga jubahnya. Dan dia punya sepasang sayap di punggungnya yang bentuknya persis sama dengan sayapku, tapi dengan ukuran yang jauh lebih besar.

Lelaki bercahaya itu mengajakku bicara. Kau tak akan tertarik mendengar obrolan awal kami. Hanya kalimat basa-basi seperti yang sering kau ucapkan jika berkenalan dengan seseorang. Tapi lambat laun, perbincangan kami semakin serius.

“Manusia alpa pada Tuhan meski tiap hari selalu menyebut nama-Nya. Kemunafikan merajalela. Kejahatan berlangsung setiap saat. Perang dan teror terjadi di mana-mana. Manusia tega memakan air mata sesamanya.“

“Apakah sayap ini tumbuh karena dosa-dosa saya sendiri?”

“Ya! Tuhan bisa memberi sepasang tanduk pada manusia yang gemar melakukan dosa, tapi itu akan membuat manusia semakin mirip dengan iblis. Dengan memberi sepasang sayap malaikat, Tuhan ingin manusia belajar untuk patuh pada perintah-Nya. Sayap itu akan membesar seiring dengan kebajikan yang manusia perbuat. Semakin banyak kebaikan kau buat, semakin besar dan terang sayap itu.”

“Lalu kenapa hanya saya yang mendapatkan sayap ini? Kenapa orang lain tidak? Apa Tuhan pikir orang lain tidak punya dosa?”

Dia tersenyum lalu menghilang begitu saja.

Ah! Sayap malaikat? Tanduk iblis? Gila! Benar-benar gila! Aku dianggap sebagai makhluk aneh yang berpotensi membahayakan keselamatan umat manusia. Sayap ini tidak membuat derajatku meningkat di mata mereka, sebaliknya menenggelamkan aku dalam jurang kehinaan. Seumur hidup sayap ini harus kupanggul.

Hancur sudah harapanku untuk keluar dari tempat ini. Bisa bebas pun percuma. Sayapku akan membesar dan bertambah terang menyertai kebajikan yang kuperbuat. Sepasang sayap kecil saja sudah membuatku menderita, apalagi besar. Jika kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan?

Maka aku segera mengambil ancang-ancang. Kuseruduk dinding beton kamarku seperti banteng menyeruduk matador. Sekuat tenaga. Gemeretak tengkorak terdengar jelas. Darahku mengalir deras. Gelap seketika tapi aku masih bisa mendengar suara pintu kamar dibuka dari luar. Langkah kaki tergopoh-gopoh masuk.

“Ah, sepertinya kita terlambat.”

“Sudah kubilang kan, sejak tadi dia bicara sendiri seperti orang gila, seharusnya kita masuk menemani dia.”

“Mana kutahu dia akan nekad seperti ini? Lagipula CCTV itu mendadak rusak. Kalau saja kita tidak sibuk membetulkannya….”

“Kasihan… dia depresi berat. Andai saja dia tahu sebenarnya dia tidak sendiri.”

“Ya, hari ini hampir semua manusia mendadak tumbuh punuk di punggungnya. Eh, punukmu kelihatan tambah besar ya?”

“Masa sih? Hei, lihat sayapnya hilang!”

“Aneh! Kenapa bisa begitu? Eh, apa itu?”

“Astaga… ini tanduk. Sepasang tanduk tumbuh di kepalanya.”

Begitulah, mereka terus saja bicara, entah sampai kapan. (*)

 

 

 Penulis lahir di Jakarta, 2 Maret 1974. Pendidikan terakhirnya ditempuh di jurusan Sastra Jepang, Universitas Nasional (1991- 1997). Kini aktif dalam komunitas Studi Sastra Jakarta.


Filed under: Eka Maryono Tagged: Republika

Juru Gambar

$
0
0

Cerpen G Budi Subanar (Kompas, 23 Desember 2012)

Juru Gambar ilustrasi Sigit Santoso

AKU bukan seorang pelukis terkenal. Hanya, setiap kali aku harus melakukannya untuk menyambung hidup. Ajaib, ada saja orang yang berminat memiliki goresan tanganku. Memajangnya di dinding-dinding rumahnya.

“Kamu itu, setiap kali membuat gambar selalu saja dimulai dengan membuat bulatan. Lingkaran macam apa itu? Ada yang bulat, ada dua sejajar seperti buah kenari. Kali ini apa lagi? Aneh-aneh saja kamu ini,” komentar istriku yang melongok dari balik punggungku.

Aku menoleh ke arahnya, dan menyerianginya pasrah. Aku tidak sadar bahwa dia sedang mengamatiku. Jadi, aku diam tak menyahut. Tak mau berbantah dengannya.

Memang, selalu saja aku memulai gambarku dengan mata. Itu yang dimaksudkan istriku dengan bulatan itu. Entah mata kayu, untuk mulai menggambar pohon. Dua bola mata, kalau mau menggambar wajah orang. Atau, bulatan matahari untuk mulai menggambar alam. Dari situ semua yang lain ditempatkan. Macam-macam benda, makhluk, atau manusia, semua kutempatkan seturut imajinasiku. Entah dari mana aku mempelajarinya. Aku tak ingat. Mungkin dari kedudukanku sebagai juru gambar waktu bekerja sebagai awak kapal. Setiap kali, aku bertugas menggoreskan titik-titik dan garis sesuai dengan arah-arah yang diperoleh dari petunjuk bintang. Setelah menjadi pelukis, bulatan itu selalu yang mengawalinya. Bukannya titik, atau garis. Menggambar mata, selalu saja dorongannya demikian.

Dari mata itu, tanganku bergerak mengikuti imajinasi yang menuntun untuk melengkapinya di atas kanvas. Melengkapi dengan bermacam-macam figur dan benda. Banyak tempat yang pernah kusinggahi saat menjadi awak kapal, hadir sebagai imajinasi yang kutuang pada kanvas berbagai ukuran. Orang-orang dari Benggala, sampai Ceylon, dan pantai Malabar di India. Atau suasana pelabuhan di Bantam, pemandangan di Andanam. Semua pernah kutuang pada kanvas, dan kuulangi berkali-kali. Kulakukan itu dengan menggunakan pena dari bulu elang laut yang ujungnya dilengkapi dengan buluh bambu. Kanvas itu kuwarnai dengan pewarna yang dipakai mencelup benang-benang kain tenun. Merah, coklat tua, hitam, hijau, kuning, biru dan kesumba. Itu warna-warna dari berbagai daun, akar, atau umbi kunyit. Dikentalkan dengan campuran getah, menjadi warna-warna yang terhampar di kanvasku. Kuoleskan pakai kuas yang dibuat secara khusus, atau dari sabut-sabut kelapa sederhana. Dari sana aku menggantungkan hidupku sebagai juru gambar.

Sudah tiga hari ini, dua mata itu tidak mendapat kelengkapan apa pun. Berlama-lama aku di sana. Hari pertama, berlalu. Tak ada tambahan benda atau figur apa pun. Bahkan, satu garis pun tidak. Pada akhir hari, kanvas itu kusembunyikan dan kututupi menggunakan kain bekas. Hari kedua, kembali lagi seharian di depan kanvas itu. Tangan ini tidak juga menambahkan hal apa pun. Hari ketiga pun sama. Sampai istriku memergokinya, dan mengomentariku.

Aku berhenti dengan dua lingkaran buah kenari. Dua kenari oval arahnya horizontal. Kuarahkan ke kanan dan ke kiri. Ini memang tidak seperti biasanya. Dua benda oval yang tidak mengarah vertikal. Biasanya, aku selalu menempatkan bentuk kenari dengan kedua ujungnya ke atas bawah. Layaknya buah kenari di pohon-pohon tinggi menjulang. Kali ini, tidak. Barangkali itu yang membuat berhentinya dua mata itu.

Aneh, rasanya. Aku sendiri tak mengerti. Padahal, sudah sejak sebelum aku menyediakan kanvas, mata jiwaku sudah menata lengkap semua imajinasi yang akan kugelar di atas kanvas. Dua lingkaran kenari di kiri bawah, akan menjadi mata seseorang. Dan semua benda yang lain berjajar menutupi seluruh permukaan kanvas. Setelah garis pantai, mendatar ke arah kanan, perahu layar besar yang siap menuju samudera. Di atasnya, ada gugusan bintang yang akan menuntunnya ke utara. Gugusan bintang beruang besar. Komposisi tiga bagian itu sudah terbayang rapi dalam imajinasiku. Dan untuk memulainya, kutempatkan dua mata itu ke arah mukaku. Bukan sejalan kearah kapal yang akan berlayar, atau searah gugusan bintang yang akan menuntunnya.

Tidak, aku tak akan mengarahkan dua mata itu mengikuti ke mana kapal berlayar, dan ke mana bintang beruang besar berjajar-jajar menunjuk arah utara. Mata itu tetap kuarahkan padaku. Ujung penaku sudah menggoreskannya demikian. Aku tak mau mengganti dengan kanvas lain, dan mengarahkan dua mata mengikuti arah kapal yang akan berlayar dan arah gugusan bintang yang berjajar-jajar.

Aku bertahan sampai seminggu.

Istriku tak bertanya lagi sampai di mana gambarku. Memang adat kebiasaannya tidak pernah berbuat demikian. Aku sendiri yang jadi menunduk tiap kali berdua makan berhadapan di atas tikar, atau berjajar di bangku. Ada keengganan untuk bicara. Beruntung, dia memahami keadaanku.

Pada hari ketujuh, aku mencelupkan ibu jariku pada cairan hitam, dan membubuhkan secara perlahan-lahan dan penuh kehati-hatian lima sidik jari berjajar-jajar ke kanan. Imajinasi kapal layar dan bintang-bintang tak jadi kugoreskan di kanvas.

***

Aku pernah menemuinya di wilayah Madras sana, sebuah gambar berwarna keemasan, dengan figur seorang perempuan dan seorang anak kecil dalam gendongannya. Ikon, aku pernah mendengar sebutan itu. Tertempel di tempat ibadat yang menjadi tempatku berteduh di pelabuhan wilayah Madras. Waktu itu uangku ludes karena lengah. Tak kukira seorang pencopet telah berhasil menggaet kantong uangku. Entah di mana.

Seperti biasa, sebagai awak kapal, kami turun berombongan. Mencari tempat minum-minum, entah aku lupa namanya di kota pelabuhan itu. Tatkala beranjak pindah ke panti pijat, kantong uangku tak ada lagi. Aku tak mau merepotkan teman-teman pelautku. Terpaksa, aku diam-diam menyelinap memisahkan diri dari tengah-tengah mereka. Sampai akhirnya, aku menemukan tempat ibadat yang bisa untuk membaringkan tubuh sampai seminggu lamanya. Sampai saatnya, kapal bertolak kembali.

Di tempat itu, aku mengalami hidup tidak seperti biasanya. Makan dan minum dari pemberian orang yang datang ke tempat ibadat itu. Dan, waktu-waktu berikutnya, aku mendengarkan penjaga tempat ibadat itu berkisah tentang ikon yang kukagumi itu.

“Lihat, gambar itu. Mandylion, bukan yang digambar oleh tangan manusia. Terpapar pada sebuah kain wajah penuh kelembutan pada orang yang berhadapan denganNya.” Kata penjaga tempat ibadat itu menjelaskan. “Di sebelahnya, hoditigria, Ibu dan Anak, yang ilahi sekaligus manusiawi sekaligus menyatu,” katanya lagi.

Menurut kisahnya, beberapa benda itu hadiah dari mereka yang datang dari pedalaman belahan lain di seberang benua besar. Entah dari Konstantinopel atau dari pelabuhan-pelabuhan di jazirah seberang yang aku belum pernah ke sana. Ikon itu ditempatkan di beberapa sudut. Ada yang di dekat mimbar-mimbar, ada yang di samping kanan kiri. Menjadi semacam tembok tempat ibadat itu.

Tempat ibadat itu selalu beraroma. Dengan kemenyan, gaharu, dan damar semacam mur yang datang bersama kapal yang kuawaki. Kuceritakan kepada penjaga tempat ibadat, tempat asal dari wewangian yang mereka gunakan itu. Penjaga tempat ibadat mengangguk-angguk paham. Jadi aku diberinya tempat untuk bisa meminta sedekah. Dan, malamnya aku bisa membaringkan badan, sambil mengagumi bermacam gambar itu di tengah keremangan cahaya yang ada.

***

Saat tubuhku tak lagi mampu ikut berlayar, aku turun kapal untuk selamanya. Tidak lagi menjadi pelaut yang berpetualang ke sana ke mari. Jadi, kualihkan keahlianku sebagai juru gambar di kapal, menjadi pelukis berbagai macam obyek dan pemandangan.

Sepekan setelah kuletakkan kanvas yang kububuhi sidik ibu jariku, aku mulai menggunakan kanvas kayu. Aku memajang bilah-bilah kayu yang disambung-sambung sebagai kanvas baru. Aku sudah mengusahakan dan mempersiapkannya dengan seksama. Papan itu kuperoleh dari tukang kayu kenalanku. Permukaannya digosok sangat halus, pori-porinya rapat. Layak untuk menjadi sebuah kanvas. Bahan pewarnanya sebagian dengan bahan baru yang kuperoleh dari orang-orang yang pulang berdagang dari India.

Aku mulai menggoreskan gambar seorang perempuan dengan anak laki-laki di gendongannya itu. Lagi-lagi, aku memulainya dengan menggambarkan mata. Kali ini, dua pasang mata. Mata perempuan itu, dan mata anak lelaki yang ada di gendongannya. Sejak saat itu, aku menjadi pelukis ikon di pinggiran kota Fansur, wilayah pelabuhan Barus, tanah kelahiranku. (*)

 

 

Yogyakarta, 2012

 

Catatan:

ikon: lukisan dari tradisi Gereja Katolik Ortodoks Ritus Timur di Byzantium dengan pusatnya di Konstantinopel

mandylion: wajah Kristus pada selembar kain

hoditigria: gambar Maria dan Kanak-kanak Yesus

Fansur: nama lain dari Barus, kota kuno di wilayah Pantai Barat Sumatera, Sumatera Utara.

 

 


Filed under: G Budi Subanar Tagged: Kompas

Ibu, Aku Pulang…

$
0
0

Cerpen Skylashtar Maryam (Republika, 23 Desember 2012)

Ibu, Aku Pulang ilustrasi Rendra Purnama

LENGKUNG punggungnya tenggelam dalam barisan kemuning padi, bergerak dari satu pematang ke pematang. Tangannya yang kelam dengan jemari  kapalan karena tak pernah menyentuh pelembab macam manapun itu menggurita, mencabuti satu per satu alang-alang yang menggemukkan diri, alang-alang yang membunuh padi kami. Capingnya berayun digigiti angin, menaungi kerut wajah legam, meski legam tapi dari wajah itu senyum tak pernah berhenti terbit. Senyum itulah yang menggigiti kemiskinan hingga tinggal sepah.

***

Kereta yang  ia tumpangi mulai merayap, membelah debar kerinduan pada sosok yang selama lima tahun ini ia tinggalkan demi sebuah impian akan hidup mapan. Seharusnya ia memilih kereta ekonomi dengan berbagai macam orang yang bisa diamati daripada kereta eksekutif dengan AC melengking dan tempat duduk luas tapi terasa sepi dan asing.

Jadi budak lalaki mah kudu loba kahayang tur cita-cita nu luhung, Jang,” [1] begitu selalu kata Ibu.

Anak laki-laki. Ah, betapa kata itu mampu mengiris dadanya hingga jadi serpihan kecil. Di kampungnya yang terpencil dan terkucil, menjadi anak laki-laki berarti bukan hanya harus siap menjadi tulang punggung keluarga, melainkan juga jadi kebanggan warga desa. Semua anak laki-laki di kampungnya pergi merantau, berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun. Tapi mereka semua selalu tahu jalan pulang dan datang sebagai orang. Bukan para perantau yang bernasib malang.

Betul saja, perjalanan empat jam dari Jakarta ke Bandung lalu ke Cicalengka bukan waktu yang sebentar untuk dihabiskan sendirian. Ia merindukan asap rokok, merindukan buih-buih dalam gelas bir, merindukan dentum musik dan segala macam hingar bingar. Perjalanan yang sepi seperti perjalanan menuju mati, pikirnya.

Ia masih ingat, lima tahun yang lalu, tepat di Stasiun Cicalengka, tangannya masih memagut tangan Ibu. Orang-orang berlalu lalang tapi yang ingin ia lihat hanyalah raut sederhana Ibu; wajah penuh kegigihan, wajah yang penuh aura kehidupan.

“Baik-baik di Batam ya, Jang. Tong kabawa ku sakaba-kaba,” [2] kata Ibu.

“Insya Allah, Bu. Ujang pasti jaga diri baik-baik. Nanti, kalau Ujang sudah punya uang banyak, Ujang pasti pulang. Nanti Ibu Ujang beliin tanah dan sawah supaya Ibu tidak harus jadi buruh tani terus, biar punya sawah sendiri,” ia menerawang, menatap langit-langit stasiun yang penuh sarang laba-laba.

Sok didoakeun ku Ibu, Jang,” [3] kata Ibu lagi.

Senja itu, tangan Ujang tetap memagut tangan Ibu. Ia bahkan tidak peduli meski orang-orang memandanginya, bahkan terkikik geli. Laki-laki berusia dua puluh tahun yang begitu dekat dengan ibunya adalah tontonan menggelikan, mungkin.

Ujang tidak peduli. Bagi Ujang, Ibu adalah pahlawan. Ibu adalah satu-satunya orang yang tidak pernah tertawa meski ia lebih senang bermain boneka daun ketela daripada bermain bola. Ibu satu-satunya orang yang tidak mencibir walau ia lebih senang belajar memasak daripada belajar silat kepada Wak Soma seperti teman-teman lelakinya. Ibu adalah satu-satunya orang yang akan menghibur, memeluk, membela dia dari ejekan ‘banci’ yang dilontarkan teman-teman bermainnya.

Senja itu, Ujang melepas tangan Ibu dengan derai air mata. Ada kereta yang akan membawanya pergi meninggalkan Cicalengka, meninggalkan Pulau Jawa. Kereta yang akan menghantarkan ia meraih mimpi-mimpi dan harapan akan hidup mapan. Sebab ia laki-laki, maka ia harus pergi.

***

Kereta tiba di Stasiun Bandung, selewat tengah hari yang terik. Ia turun, keluar dari stasiun menuju sebuah restoran yang menyediakan masakan Sunda lengkap dengan ornamen dan musik ranah Priangan. Ujang serasa berada di rumah.

Cicalengka masih jauh, masih ada kereta yang harus ia tumpangi. Sebetulnya, ia bisa saja naik angkutan kota. Tapi, kereta tetap menjadi pilihan utama sebab mendatangkan rasa dan kenangan yang tak bisa digantikan oleh kendaraan jenis apa pun.

Sesuai surat yang ia kirimkan dua minggu yang lalu, Ibu sudah diberi tahu bahwa ia akan datang hari ini, menumpang kereta ekonomi. Ia tak mengharapkan  Ibu akan menjemputnya di stasiun sebab jarak antara kampung Sindangwangi ke stasiun begitu jauh. Namun, ia tahu Ibu pasti datang.

Pukul tiga sore, kereta jurusan Bandung-Cicalengka mulai melaju. Ujang duduk di bangku dekat jendela, hatinya berdebar-debar. Apakah Ibu akan gembira menyambutnya datang seperti ia yang gembira karena telah pulang? Apakah Ibu akan tetap menjadi pahlawan baginya, tameng bagi cibiran orang-orang, bahkan setelah segala sesuatu sudah sedemikian berubah?  Mata Ujang menelusuri bangunan-bangunan yang berkelebat di luar, tanpa sadar air di matanya menguar.

Ia tak membawa oleh-oleh banyak kecuali tiga stel gamis, satu buah mukena, dua buah selop berwarna senada, dan sebuah ponsel untuk Ibu. Tidak afdol rasanya jika para perantau dari Batam kembali ke kampung halaman tanpa membawa satu pun alat elektronik atau gadget. Ujang tak membawa oleh-oleh untuk orang lain sebab ia tak memiliki sanak saudara lain kecuali Ibu yang janda dan hanya memiliki ia sebagai anak tunggal.

Ransel dengan model dan merk terkenal tercangklong di pundak Ujang. Di dalamnya berisi uang, tiga buah kartu debit berisi cukup untuk membeli sepetak sawah dan seekor kerbau. Ia tersenyum, membayangkan membawa Ibu ke pasar, membeli beras, minyak, ikan, lauk-pauk, dan semua kebutuhan dapur yang selama ini tak pernah ia dan Ibu punya. Bertahun-tahun, Ibu memberinya makan dengan lauk seadanya. Ia tak pernah mengeluh, sebab Ibu juga tak pernah mengeluh.

Tangan Ujang mengusap rambut pendek cepaknya, rambut yang beberapa minggu lalau masih panjang  berwarna cokelat. Kereta berderak-derak di atas rel, sore semakin menanjak, beranjak. Senja mendekat bersamaan dengan terlipatnya jarak.

Ujang merapikan kaus dan jaketnya. Sesekali ia mencuri pandang pada pantulan dirinya yang baru di kaca jendela kereta. Rahang persegi, rambut pendek, kulit cokelat bersih. Tubuh tegap dibalut kaus, jaket, dan celana jeans merk terkenal. Ia terlihat tampan seperti pemuda kebanyakan. Bahkan dua orang gadis di seberang kursinya kerap melayangkan pandangan pada Ujang. Namun mata Ujang gelisah, duduknya juga semakin gundah.

“Gue mau pulang ke kampung,” pamit Ujang kepada teman-temannya sesama pegawai salon terkenal di Batam.

“Yakin lu? Dengan keadaan lu yang kayak gini?” tanya Asri.

Ujang diselimuti ketidakyakinan. “Kasian Ibu kalau ditinggal sendirian. Udah tua, seharusnya gue yang kerja dan dia tinggal di rumah. Lagian, gue enggak punya keluarga lain selain beliau.”

“Ck ck ck… udah mulai mellow lu? Lu pikir ibu lu bakalan menerima lu yang sekarang sudah kayak gini? Lu itu salah satu penata rambut kawakan, kelas internasional. Ngapain balik kampung? Mending lu di sini, buka salon sendiri. Gue yakin, lu bisa sukses tanpa harus balik ke kampung,” kata Asri lagi.

“Tapi gue pengen pulang …,” gumam Ujang.

“Di sini, enggak ada yang peduli ama status gender lu. Di sini, elu enggak akan diteriaki banci seperti teriakan orang-orang  di kampung lu,” Ina angkat bicara.

Ujang diam.

“Lu akan pulang dengan penampilan kayak gini?” Asri menunjuk sosok Ujang yang sedang berpenampilan sebagai Dewi.

“Mungkin gue harus kembali menjadi Ujang yang dulu,” gumam Ujang.

Ya, selama lima tahun di Batam, Ujang telah berubah menjadi Dewi, seorang penata rambut kawakan di salon terkenal. Dengan ‘isi’ laki-laki namun berpenampilan perempuan, Ujang kerap merasa nyaman. Baginya, ia jadi seperti Ibu, perempuan yang sangat ia kagumi. Di Batam, tak ada yang meneriakinya sebagai banci, ia justru dipuja dan dipuji. Namun, ketika keinginan untuk pulang sudah sedemikian menyesakkan, Ujang tahu bahwa sebagai seorang Dewi, ia tak akan mengubah apa-apa kecuali membenarkan apa yang selama ini diteriakkan orang-orang kampung kepadanya; banci. Ia lelaki, ia tahu itu. Ia pergi dari kampung sebagai lelaki, maka akan pulang sebagai lelaki.

Kereta memasuki Stasiun Cicalengka, Ujang terhenyak. Ia berderap turun. Tangannya gemetar, dadanya bergeletar.

Peron penuh dengan orang-orang, mata Ujang mencari-cari satu sosok di antara kerumunan. Sosok perempuan sederhana yang begitu ia rindukan. Itu dia!  Ujang bersorak. Perempuan setengah baya itu berdiri, memakai gamis berwarna lembayung dan kerudung.

Ujang bergegas, tangannya mulai kebas, ia ingin sekali tersuruk di pangkuan Ibu; menangis dan meminta maaf hingga air matanya tandas.

“Bu!” panggilnya.

Perempuan yang ia panggil Ibu mengerutkan kening, menatap Ujang dari ujung rambut ke ujung kaki. Matanya berkaca-kaca.

“Ini Ujang, Bu,” tangan Ujang melayang, menggamit tangan perempuan di depannya.

Mata Ibu kembali menyelidiki sosok pemuda di depannya.

“Ini Ujang, Bu,” ulangnya, masih dengan degup kerinduan di dada.

“Subhanallah!” Ibu menutup mulut, terhenyak, matanya membelalak. “Ujang?  Meuni kasep tur gagah kieu. Siga pisan orang kota ayeuna mah.”[4]

Mata Ujang berkaca dan pecah. Ia terjatuh, berlutut, tangannya merangkul kaki Ibu.

Hampura [5] Ujang, Bu. Ujang baru bisa pulang sekarang. Ujang kangen banget sama Ibu,” tangis deras.

Ibu mengatupkan mata, dadanya naik turun. Air mata meleleh di mata Ibu. Anak lelakinya telah kembali. Mereka berdua berpelukan erat seperti dua orang yang sempat terpisah selama jutaan tahun.

Mata Ujang masih berkaca demi melihat binar bangga dari mata ibunya. Dewi telah mati, bisiknya dalam hati. Kereta meninggalkan stasiun, meninggalkan apa-apa yang di belakang. (*)

 

 

Catatan:

[1] Jadi anak laki-laki itu harus banyak keinginan dan cita-cita yangtinggi (Sunda)

[2] Jangan terbawa yang tidak-tidak. (Sunda)

[3] Silakan, didoakan oleh Ibu. (Sunda)

[4] Tampan dan gagah sekali. Sangat persis orang kota sekarang mah. (Sunda)

[5] Maaf. (Sunda)

 

 


Filed under: Skylashtar Maryam Tagged: Republika

Tiang Garam

$
0
0

Cerpen Sanie B Kuncoro (Suara Merdeka, 23 Desember 2012)

Tiang Garam ilustrasi Hery Purnomo

KAULAH perempuan tak bernama itu. Pada kitab suci Perjanjian Lama sepanjang lebih dari seribu halaman yang terbangun dari 39 kitab, bermula dari kitab Kejadian hingga kitab terakhir Nabi Maleakhi, tak tersedia tempat bagi sebaris huruf namamu. Kau hanya dikenal sebagai istri Lot, yatim-piatu yang cucu Terah dan keponakan Abraham itu. Kisahmu hanya tercatat satu pasal pada kitab Kejadian. Pada pasal ke-19 yang terdiri dari 38 ayat itu, kau bahkan hanya tercantum dalam 3 ayat.

Ayat pertama saat malaikat utusan menyuruh Lot untuk bangun dan berangkat membawamu beserta anak-anakmu. Ayat kedua saat malaikat itu memegang tanganmu dengan bergegas, tak sabar dengan gerak lambatmu yang tak bersegera. Dan ayat ketiga, itulah saat kau menoleh ke belakang dan menjadi tiang garam. Kemudian selesailah kisahmu.

Dalam kenangan abadi, kaulah tiang garam yang satu itu. Tak ada yang mengenang namamu, apalagi menyimpan sejarah awal bermulamu. Kau lebih diingat sebagai teladan buruk saat kisahmu dibagikan kepada umat. Bahwa kaulah perempuan yang tak sanggup merelakan harta tertinggal pada kehancuran Sodom dan Gomora. Kaulah perempuan yang terhukum itu, yang melanggar perintah dengan menoleh ke belakang dan memilih menjadi tiang garam di Lembah Yordan.

Seolah tak ada yang berpihak padamu. Maka kau simpan sendiri keyakinan itu, bahwa sungguhlah Tuhan adalah Allahmu yang cemburu. Di saat terakhir itulah kau alpa. Kau mengira bahwa Tuhan tidak akan berbeda jauh dengan berhalamu dahulu, yang selalu menerima canang-canang persembahanmu dan membiarkanmu berpikir bahwa segala yang terjadi padamu adalah buah-buah doamu kepadanya.

Ada masa kau berpikir tidak beruntung terlahir pada zaman perjanjian lama. Andai saja kau terlahir pada zaman yang perjanjiannya telah diperbarui, niscaya akan tersedia bagimu juru selamat itu. Sang mesias yang darahnya membuat Tuhan menjadi Allah yang Mahapengampun. Ah sudahlah, tak ada seorang manusia pun yang berhak memilih kelahiran ataupun masa lahirnya.

***

KAU terlahir sebagai perempuan sederhana. Tak banyak rancangan hidup ataupun angan dalam benakmu. Bersenandung sembari menyiangi kebun sudah cukup membahagiakanmu. Tumbuhnya tunas baru pada ranting mawar adalah pemantik sukacita di dalam dirimu yang tak akan padam hingga kuntum itu merekah di kemudian hari. Kelopak mawar itulah pengisi canang persembahan untuk berhalamu. Kau yakini, aroma bunga yang lembut magis itu pastilah sanggup melunakkan hati para berhala untuk berbelaskasih padamu dan mengabulkan segala doa terucap. Tekun kau panjatkan doa tentang sebuah pinangan. Siapakah yang kau kehendaki sebagai peminang itu? Bimbang kau memilih, di antara bayang melintas tidak satu pun yang kau kehendaki singgah di beranda hatimu.

Hingga suatu ketika kau bersimpang jalan dengan penggembala di perbatasan desa. Duduk gembala itu di tepi sumur, seekor domba kecil nyenyak di pangkuannya. Lembah Yordan yang subur adalah padang permai bagi setiap domba. Ke sana pula kau kerap menuju demi mencari sayur segar atau rumpun bunga. Acap kau jumpai para gembala. Sejauh ini tak ada yang menarik perhatianmu, bahkan siul godaan mereka membuatmu bergegas menjauh. Tapi gembala pemangku domba itu seketika menggapai hatimu.

“Sudikah menolong?” bertanya gembala itu padamu sebelum sempat kau alihkan tatap mata. Segera kau mengangguk tanpa sempat berpikir.

“Dombaku patah kaki dan tak mau kutinggalkan, sementara kawanan dombaku masih di padang timur. Maukah menjaga domba kecil ini sebentar?”

Lagi kau mengangguk. Entah domba terluka itu atau gembalanya yang menumbuhkan belas kasihmu.

Menjelang petang gembala itu kembali padamu. Sumringah wajah lelahnya mendapati kaki dombanya terbalut rapi. Adalah sobekan ujung rokmu sebagai pembalutnya. Kau tersipu menerima tatap mata berterima kasih.

Lagi kau tersipu beberapa hari kemudian. Kali ini beserta debaran yang nyaris gemuruh di dada. Gembala itu di pelataran rumahmu, batang-batang mawar dengan akar bergumpal tanah ada di genggaman.

“Untuk kebunmu,” katanya.

Mawar padang Yordan. Siapa yang tak menginginkannya? Tapi sesungguhnya pemberinyalah yang lebih mengikat hatimu. Kau berharap, dialah peminang yang dikirim berhalamu.

Benar, dia peminangmu. Tapi dia datang atas nama Allahnya sendiri dan memintamu meninggalkan berhalamu. Kau tak hendak menolak apalagi membantah. Bukankah demikian hukum berlaku, bahwa lelaki adalah penuntun perempuan? Tanpa pamit kau abaikan berhala demi berdoa pada Tuhan yang tak berwujud itu. Dua anak perempuanmu lahir sesudah itu. Demikian juga domba-domba dan mawar di kebunmu yang beranak pinak. Ah, domba kecil yang patah kaki dahulu itu, entah berapa domba terlahir dari anak cucunya kini. Tak lagi kau kenali keturunannya satu per satu. Sama seperti tak kau akrabi turun temurun anak kerabat dan tetangga. Kawan lama yang tak lagi saling beranjangsana. Generasi baru itu telah menjadikan kalian asing satu sama lain.

Kota yang melahirkan dan menumbuhkanmu itu tak lagi mententramkan. Namun apakah lalu mudah untuk meninggalkannya? Sungguh kau tak ingin pergi. Gentar hatimu saat malaikat bertutur tentang rencana kehancuran itu.

Itulah tanahmu, yang memendam ari-ari dan menerima jejak langkah pertamamu. Setiap tikungan menyimpan kenanganmu. Dinding-dindingnya memahat kisah hidup orang yang kau kenal. Kerelaan macam apa yang kau punya untuk melepaskannya pada kehancuran? Meski tak kau ingkari bahwa maksiat telah menumbuhinya serupa ilalang dan kepulan dosa bergumpal-gumpal di cerobong asap setiap rumah. Tidak lagi aroma matang roti yang menjalar dari atap dapur itu, melainkan asap dosa yang anyir.

Kau tak hendak pergi, tak pula ingin tertinggal. Tidak hanya karena suami dan anak-anakmu siap berangkat, melainkan karena inilah perintah Allahmu yang sejauh ini kau patuhi dengan ikhlas. Maka saat malaikat itu meraih tanganmu untuk bergegas, kau melangkah dengan sigap. Kau yakini keberangkatanmu dan kau tinggalkan ingatan tentang berhalamu. Sungguh kau percaya bahwa itulah jalan keselamatan bagimu sekeluarga. Tak hendak kau berpaling pada berhala lama atau allah yang lain. Kau ingat dengan teguh pesan untuk tidak menoleh itu. Bahkan kau larang anak-anakmu berhenti demi menunggu saat kau terjatuh.

“Jangan berhenti, terus melangkah, jangan berpaling ke belakang!” serumu berulang.

Lalu kau dengar gemuruh itu. Ada yang tercurah deras dan menumpahi sesuatu. Jauh suara itu di belakangmu. Sayup jeritan tangis dan ratapan. Aroma belerang menyergapmu bersama angin yang panas bergerak memburu di belakang langkahmu. Makin kau bergegas, berupaya menambah kecepatan kaki tanpa hirau pada rasa sakit yang tersisa sesudah jatuh. Samar kau dengar ada yang berderak sesudah itu. Rumah siapakah yang rubuh paling awal? Adakah itu rumahmu? Ataukah itu tumbangnya pagar kebun dan tiang-tiang kandang ternakmu?

Kau tercekat seketika. Bayang rumpun mawar menggapaimu. Samar embik domba memanggilmu. Astaga, baru kau ingat, anak domba yang terlahir pekan lalu itu, yang induknya mati saat melahirkannya, sudahkah kau buka pintu kandang baginya untuk lari mencari perlindungan? Langkahmu terhenti seketika. Dadamu gemuruh. Bayang domba itu mencabik hatimu. Bagaimana si kecil itu akan menyelamatkan diri? Bahkan langkah kakinya pun belum tegak. Akankah ditemukannya jalan menuju Padang Yordan? Adakah induk lain yang berbelas kasihan sudi membimbingnya mencari jalan selamat?

Teguhmu goyah seketika. Matamu berkabut. Tipis namun kuat menghadang langkahmu. Tak lagi sanggup kau lanjutkan lari menjauhmu. Suara embik anak domba tak berinduk itu menggapai-gapai belas kasihmu. Kau berpaling mencarinya.

Seketika sirna ingatanmu bahwa Allahmu adalah Allah yang pencemburu. Tak pula kau duga bahwa kutukan itu sedemikian sigap. Kau mengira akan tersisa waktu untuk berdoa dan menjelaskan tentang anak domba tertinggal itu. Namun hukum bergerak lebih cepat dari embusan napas. Bahkan kau belum berkedip saat napas meninggalkanmu dan sesuatu yang lembut merayapi tubuhmu yang berangsur mengeras sebagai tiang garam….

Tak ada belas kasih padamu sesudah itu. Tak ada yang hirau tentang namamu. Menjadikanmu sebagai perempuan tak bernama yang tegak sendirian sebagai tiang garam abadi di Padang Yordan hingga berabad-abad kemudian. Begitu banyak pendatang mengunjungimu, namun tak satu pun menziarahimu apalagi berkenan menaburkan kelopak mawar bagimu.

Hanya anak domba itu yang tak pernah jauh darimu. Kaki kecilnya yang melepuh oleh belerang pemusnah Sodom Gomora terbalut rapi dengan selendang garam milikmu. (*)

 

 

Sanie B Kuncoro, cerpenis, tinggal di Solo.


Filed under: Sanie B. Kuncoro Tagged: Suara Merdeka


Seorang Perempuan di Buku Piutang

$
0
0

Cerpen Ilham Q. Moehiddin (Jawa Pos, 23 Desember 2012)

Perempuan di Buku Piutang ilustrasi Budiono

1.

RUKMINI mati jumat siang. Mayatnya baru ketemu jumat sore, nyangkut di kawat berduri yang membelit batang pipa perusahaan air minum. Puluhan warga yang susah payah mencari jasadnya, terkejut setengah mati—Rukmini tak mati sendirian. Pada selempang sarung gendongannya, juga ada tubuh mati bayi lelakinya.

Celakalah Rukmini itu. Iblis apa yang singgah di benaknya, hingga lakunya serupa durjana tak berakal dan berhati? Perempuan sesat tak tahu diri, dikaruniai anak, tapi malah dibuatnya ikut mati bersamanya. Begitulah ragam omelan, bercampur hujatan, keluar lancar dari mulut ibu-ibu yang menyaksikan jasad Rukmini dan anaknya diangkat dari sungai.

Hujatan masih tak berhenti keluar dari mulut mereka, serupa air bendungan Katulampa yang diluap bah. Sukarsih, tetangga Rukmini, tak ikut-ikutan menghujat. Perempuan itu justru sedih luar biasa. Di kepalanya, berkeliaran wajah Rukmini yang memelas padanya tadi pagi.

Siang tadi, orang-orang tegak curiganya saat melihat Supendi meraung-raung di trotoar jembatan. Disuruh pulang, anak itu tak menurut. Sesekali bocah itu menengok ke bawah jembatan, ke sungai berair kotor dan busuk itu. Mengucapkan sesuatu bercampur raungan membuat orang-orang sukar memahami kata-katanya. Saat Mang Jali datang membujuknya baik-baik, barulah Supendi bisa tenang bicara: ibunya jatuh ke sungai.

Maka bergegaslah orang-orang menuju jembatan, bikin macet lalu-lintas dua arah yang lewat di situ. Mang Jali segera nyebur ke sungai mencari tubuh tetangganya itu. Lumpur tebal di dasar sungai bikin pencarian itu jadi sukar. Ketua RT pun sibuk menelepon polisi. Dua jam mereka menyelam-nyelam di sungai kotor berair hitam dan busuk itu, tubuh Rukmini justru mereka temukan dua ratus meter dari jembatan, nyangkut di kawat berduri yang membelit pipa air.

Rukmini sudah mati, bayi di gendongannya pun begitu.

2.

Saat Rukmini bersimbah kutukan dan hujatan dari para tetangganya sendiri, Sukarsih diam-diam menangis di kamar kontrakannya. Orang-orang yang menghujat itu sekaligus juga orang-orang yang tak peduli pada kesusahan Rukmini.

Supendi baru saja tertidur setelah dia beri makan. Bocah itu kelelahan akibat banyak menangis dan kepanasan di trotoar jembatan. Sukarsih menyeka air matanya, memandang bocah yang lelap di depannya. Di benaknya masih lekat wajah Rukmini saat datang menemuinya tadi pagi.

“Karsih, bukan aku hendak merepotkanmu, tapi aku butuh uang dua puluh ribu rupiah saat ini juga.” Rukmini duduk di ambang pintu membujuk Sukarsih.

“Buat apa kamu uang sebanyak itu? Suamimu belum pulang ya?” Air muka Sukarsih berubah saat mendengar jumlah uang yang disebut Rukmini.

“Bang Imin barangkali sudah di Merak sekarang, dia mau nyebrang ke Sumatra bawa barang. Aku ganti uangmu begitu Bang Imin pulang tiga hari lagi.”

Sarimin, suami Rukmini, menjadi kenek truk ekspedisi antar pulau.

Sukarsih mengumpulkan ujung dasternya, mengepitnya di sela paha, lalu duduk di dekat Rukmini. “Bagaimana ya, Ruk. Eng… bukannya aku tak mau meminjami, tapi aku tak boleh mengeluarkan uang jika tak bilang dulu pada Bang Tigor. Kau ngerti sendiri bagaimana Bang Tigor itu orangnya. Bisa habis mukaku ditamparnya kalau dia tak senang dengan tindakanku.”

“Bu Lia tadi datang marah-marah, menagih uangnya yang kupinjam minggu lalu untuk berobat si Asrul. Katanya, aku harus membayarnya siang ini juga. Ayolah, Karsih, cuma dua puluh ribu saja.”

“Uangku tinggal tiga puluh ribu. Jika kuberikan padamu dua puluh, apa yang harus kukatakan pada Bang Tigor jika dia bertanya nanti.”

Rukmini terdiam. Pelipisnya berkeringat. Kasihan Sukarsih. Matanya memandang Asrul, bayi dua tahun di gendongannya. Supendi, anak pertamanya, tenang bermain kotak sabun di dekatnya.

Sukarsih jatuh iba juga. Disentuhnya lengan Rukmini. “Ruk, pergilah ke Tante Jaenab. Jika hanya uang segitu, tak akan berat dia meminjamkanmu.”

Tante Jaenab itu janda kaya baik hati di belakang gang ini. Rukmini harus mempertimbangkan saran Sukarsih itu. Boleh jadi dia akan ke sana, tapi ragu buru-buru datang ke hatinya. Sudah sering dia menemui Tante Jaenab, tak enak hati Rukmini kerap merepotkan perempuan baik itu.

Hari beranjak siang.

“Ya, sudah, tak apa-apa, Karsih. Aku mungkin ke Tante Jaenab saja,” dalih Rukmini.

Sukarsih tersenyum, memandangi punggung Rukmini yang bangkit berdiri. Selepas Rukmini hilang di ujung gang, perasaan Sukarsih mendadak cemas.

3.

Rukmini sama sekali tak niat ke rumah Tante Jaenab. Dia hendak pulang setelah dari kontrakan Sukarsih, tapi buru-buru menghindar ke dekat warung mie ayam milik Mang Jali, demi melihat Bu Lia sedang berdiri dan mengetuk pintu kontrakannya. Rukmini batal pulang. Malu hatinya ditagih kasar begitu oleh Bu Lia. Pernah sekali Rukmini berhutang ke orang, tapi dia tak diperlakukan sekasar itu.

Asrul harus dia bawa ke puskesmas enam hari lalu. Jika saja Kartu Sehat program pemerintah tak ditolak Puskesmas, Asrul pasti dapat obat generik, dan tentu Rukmini tak butuh pinjaman uang dari Bu Lia.

Perawat jengkel padanya dan mengembalikan kartu itu. Kartu begituan sudah batal, katanya. Jadilah Rukmini harus menebus obat ke apotek swasta. Uang pinjaman dari Bu Lia itu benar-benar habis untuk menebus separuh resep dokter. Kini pun obatnya habis, tapi batuk Asrul tak pernah benar-benar berhenti.

Matahari memanggang ubun-ubun Rukmini. Asrul di gendongannya juga menggeliat kepanasan, dan mulai merengek karena lehernya gatal. Supendi lekat mengekor di belakangnya. Pilihan Rukmini tinggal satu: ke rumah Tante Jaenab, perempuan dermawan di belakang gang.

Bergegas Rukmini menuju ke sana. Sarung gendongan Asrul dirapatkan agar bayinya itu tak banyak terpapar panas matahari, juga debu. Kendaraan mengangkat debu tinggi-tinggi, membuat Rukmini kian khawatir pada kondisi bayinya.

Cemas menghantui Rukmini di hadapan suaminya kemarin malam. Sarimin lemas saat mendengar Rukmini butuh uang 20 ribu itu. Sopir truk, di mana Sarimin ngenek, belum membayarkan upahnya minggu ini, hingga tak ada uang yang bisa diberikannya pada Rukmini. Dua batang rokok di meja itu juga ketengan pemberian kawannya, hasil beli di kios dekat pul truk.

“Aku mau nyebrang ke Sumatra besok. Kami jalan subuh dari pul. Kalau Bu Lia tak mau lagi memberi waktu, cobalah ke bininya Tigor, minta pinjam padanya sejumlah uang yang kau butuhkan. Nanti kita kembalikan, begitu aku pulang tiga hari lagi,” saran Imin.

Bukan itu masalahnya, Rukmini membatin. Sudah berulang kali dia merepotkan Sukarsih, itu pun tanpa sepengetahuan suaminya. Rukmini tak kuasa membayangkan jika Tigor menempeleng wajah Sukarsih lagi—bakal habis gigi depannya yang tersisa tiga itu.

Iba hatinya pada nasib Sukarsih.

Rukmini bukan jenis orang yang suka berhutang uang. Malu dia jika tak bisa melunasi. Rasa malu sudah harus ditahannya ketika meminjam, terlebih di saat mengembalikan. Jika dua anak lelakinya itu bisa makan dan tak sakit, tak akan sudi dia menadahkan tangan ke orang-orang. Rukmini dua kali harus melanggar prinsipnya karena terpaksa. Cukup sudah, dia tak mau berhutang lagi. Malunya bukan main.

Pernah sekali dia menangis karena mengharap pembagian Kartu Jaminan Sosial dari kecamatan, yang tak pernah sampai ke tangannya. Petugas kecamatan datang menanyainya macam-macam, sekaligus minta tanda tangannya di berkas pendataan. Berbilang bulan setelahnya, tak pernah kartu itu sampai ke tangannya. Padahal, jika kartu itu ada, keluarga kecilnya bisa bersyukur untuk jaminan uang 250 ribu rupiah per bulan dari pemerintah.

4.

Lamunan Rukmini buyar saat melihat kerumunan orang di depan rumah Tante Jaenab. Rukmini memutuskan kembali ke arah warung mie ayam Mang Jali. Dia bisa sedikit tenang di sana sebelum pulang sore nanti, minimal sampai Bu Lia tak lagi dia lihat berdiri di depan kontrakannya.

Namun, betapa paniknya Rukmini, demi dilihatnya Bu Lia sedang berjalan ke luar gang. Duduk di depan warung Mang Jali akan membuatnya terlihat. Sungguh, dia tak akan kuat lagi menerima omelan Bu Lia di tengah orang banyak begini.

Cemas dan panik berbaur memenuhi dada Rukmini. Dia harus menghindar, menyebrang ke sisi jalan, lurus ke arah pasar. Saat melintas di jembatan, Rukmini berhenti, tertegun dalam bimbang yang berkelahi di kepalanya.

Kalau mati bisa menghapus rasa malu akibat dikejar hutang, akankah diambilnya putusan ini? Bagaimana nasib dua anak dan suaminya? Berat nian tanggungan Sarimin kelak, mengasuh dua anak dengan kerja serabutan begitu rupa.

Toh, malaikat itu suka anak-anak. Rukmini yakin, malaikat bakal tersenyum dan menyogsong anak-anaknya saat dia datang menghadapkan wajah pada kematian.

Diraihnya tangan Supendi, lalu ditariknya bocah itu ke bagian jembatan yang tak berpembatas. Cukup bulat tekadnya atas keputusannya itu. Kakinya mengayun ke arah sungai, meluncurkan tubuhnya masuk air. Badan Supendi tertahan besi jembatan, membuat anak itu lepas dari pegangan ibunya.

Kaki Rukmini tertancap dalam lumpur sungai yang tebal, membuat tubuhnya sukar tertolak ke atas lagi. Dirasakannya rontaan Asrul dalam gendongan saat air sungai yang kotor dan bau memenuhi mulut dan hidung mereka, membuat perih luar biasa pada paru-paru.

5.

Benarlah cerita orang terhadap laku orang kota—tak perduli pada kesusahan orang lain. Dulu, pertama kali Rukmini datang ke kota ini, dia cuma manggut-manggut mendengar cerita itu. Mana mungkin semua orang tak peduli? Pasti ada satu-dua orang yang bakal membantu saat kita kesukaran.

Tapi memang tak banyak lagi orang yang seperti itu.

Kegaduhan yang dibuat Supendi dengan raungannya, ternyata benar tak membuat orang-orang cepat menyadari ada sesuatu yang sedang terjadi.

Malam ini, orang-orang yang mau disebut peduli itu, berdatangan ke kontrakan Rukmini, memperlihatkan wajah-wajah iba mereka pada Supendi yang sedang dijagai Sukarsih. Tigor juga ada di situ, bertahlil dengan tetangga lainnya. Orang-orang yang katanya peduli itu, ramai berkerumun di pintu masuk, membuat udara menjadi gerah.

Di antara orang-orang yang mungkin peduli itu, tampak pula Bu Lia, yang tetap tenang melayani bisik-bisik para ibu lain di sekelilingnya. Di ketiak kirinya—yang basah dan busuk itu—buku catatan piutang terkepit. Ada nama Rukmini ditera beserta pinjaman 20 ribu rupiah. Nama Rukmini belum sempat dia coret karena dianggap penghutang gagal bayar. (*)

 

 

Bende, Desember 2012.

 

Catatan:

Cerpen ini terinspirasi berita ibu yang terjun ke sungai karena malu berhutang 20 ribu rupiah di Bogor.

 

 


Filed under: Ilham Q Moehiddin Tagged: Jawa Pos

Angin Kita

$
0
0

Cerpen Dewi Ria Utari (Kompas, 30 Desember 2012)

Angin Kita ilustrasi Moelyono

KAU bercerita tentang Angin pertama kali saat aku berusia 18 tahun. Kau 19 tahun. Cerita itu kau tuturkan setelah kita lulus SMA. Sebelum kita berpisah.

“Aku ingin menjadi Angin,” katamu sambil menyeruput es kelapa di belakang sekolah.

“Kenapa?”

“Kakekku pernah bercerita tentang Angin yang sering datang ke kampungnya setiap sepuluh tahun sekali. Dan setiap sepuluh tahun sekali itulah penduduk desa bersiap menyambut kedatangannya.”

“Kenapa harus disambut?”

Kamu mengedipkan sebelah matamu, ciri khasmu jika kamu mulai iseng dan bersemangat memberitahu sesuatu yang menurutmu menarik.

“Di kampungnya tidak pernah ada Angin. Semuanya diam. Tak bergerak. Hanya manusia yang bergerak. Bayangkan kehidupan yang semuanya membeku. Meski Angin tak datang, kampung kakekku tetap sejuk. Tapi itu pun tidak mempengaruhi kerinduan warga kampung itu untuk melihat Angin. Karena saat Angin itu datang, semuanya menjadi bergerak. Daun-daun di pepohonan berkesiur, rumput-rumput bergerak kiri kanan depan belakang, dan yang lebih menyenangkan, anak-anak bisa bermain layangan.”

Aku setengah percaya mendengar ceritanya. Namun aku tak bisa menghalangi imajinasiku membayangkan kampung kakeknya. Sebuah kampung yang terletak jauh di pedalaman Sulawesi sana, tempat leluhurnya berada. Rumah-rumah yang terbuat dari kayu, sebagian berbentuk rumah panggung, dengan pohon-pohon kelapa di setiap halaman rumah. Sawah yang masih menguarkan bau lumpur yang lembab. Sesekali ular pohon akan merambat turun mencari tikus. Kehidupan yang selama ini hanya kudengarkan di buku-buku pelajaran sekolah atau lukisan-lukisan realis.

Kemudian kau meneruskan ceritamu, tentang persiapan para penduduk kampung itu. Mereka membersihkan kampung, menyiapkan pakaian terbaik mereka, mengambil beras terbaik dari lumbung desa untuk ditanak di dapur bersama yang terletak di balai desa. Ibu-ibu dan perawan kampung berkumpul di dapur itu, mencuci beras, menanaknya, sambil bertukar cerita tentang keluarga, tentang sawah, gunung yang tak lagi menyemburkan lahar, tentang panen, tentang hantu, roh leluhur, tentang babi hutan yang menyelonong masuk kebun, dan gadis-gadis yang mulai mengenal cinta.

Persiapan telah lengkap. Kini tinggal menunggu Angin. Yang ditunggu pun datang saat pagi belum merekah. Saat gelap belum terpercik warna kuning matahari. Perlahan Angin menyapa rumah pertama. Pelan. Berembus dengan aliran yang tetap. Tak kencang, tak pelan. Satu per satu penduduk keluar dari rumah dan menemui Angin yang telah menunggu di lapangan. Anak-anak menghambur terhuyung-huyung keluar dari rumah dengan mata masih berair dan bertahi di sudutnya. Salah satu dari mereka itu kamu, di usia lima tahun. Perkenalan pertamamu dengan Angin itulah yang kemudian mengantarkanmu pada keinginan untuk menjadi Angin. Kelak. Ketika dewasa.

Di mata bocahmu ketika itu, Angin begitu keren. Begitu memukau. Sosoknya yang tinggi dan gagah dengan pakaian warna putih yang terang, dan seluruh penduduk desa bergantian mencium tangannya. Senyum Angin menyejukkan siapa pun yang memandangnya. Apalagi ketika menyentuhnya, bahkan saat menyentuh pakaiannya sekalipun.

Kharisma Angin menyedot seluruh inderamu. Kau begitu merekam kenangan pertemuan itu hingga bertahun-tahun kemudian. Apalagi ketika Angin mulai memilih perawan tercantik di kampungmu untuk menjadi ibu bagi penerusnya kelak. Ketika usiamu makin bertambah, kau makin bertambah kekagumanmu pada sosoknya, terutama dari cerita-cerita yang kau dengar tentangnya dari orang-orang tua di desamu. Keinginanmu menjadi Angin makin bertambah ketika kau mendengar perempuan yang dipilih Angin tidak bisa melahirkan keturunan bagi Angin. Saat itulah kau mendengar bahwa Angin akan mencari penerusnya kelak dari pemuda di desamu kelak ketika mereka berusia 20 tahun.

***

Aku tak lagi mendengar tentangmu begitu kita berpisah. Kudengar kamu kembali ke desamu dan menunggu usiamu menjadi 20 tahun. Namun ada pula teman yang bercerita kau menghabiskan sisa waktu setahun untuk berkelana dan kemudian kembali ke kampungmu tepat ketika kau berulang tahun ke-20. Aku tak tahu mana yang benar. Aku sendiri sudah disibukkan dengan dunia kuliah dan kampus yang lebih menjanjikan nasib baik bagiku daripada mempertahankan cerita absurd yang begitu kau pertahankan.

Ya, aku melupakanmu juga cerita yang menurutmu hanya kauceritakan kepadaku di belakang sekolah waktu itu. Aku menganggapnya tak serius karena aku tahu kau menceritakannya dalam pengaruh ganja yang kau campur dengan tembakau yang kau linting sendiri. Kau sempat menawariku seisap dua isap, tapi aku menolaknya. Ganja hanya membuatku doyan makan, bukan pikiran melayang seperti yang kau yakini. Namun yang kuyakini ketika itu bahwa ceritamu tak lebih dari khayalan semata.

Barulah 15 tahun kemudian, yaitu saat ini, cerita itu kembali terngiang di otakku, ketika aku mendengar pemberitaan di sejumlah media massa tentang kehancuran yang dialami sejumlah kampung di Sulawesi. Salah satunya desa tempat kau lahir. Kondisinya sangat memprihatinkan. Banyak rumah luluh lantak dan yang lebih menyedihkan, ada sekitar puluhan anak lelaki hilang. Konon kabarnya situasi sangat mencekam di sana. Jam malam diberlakukan, dan diadakan ronda keliling untuk menjaga keluarga-keluarga yang memiliki anak lelaki. Pemberitaan ini memang tak ada kaitannya dengan ceritamu tentang Angin, tapi entah mengapa aku teringat kamu begitu membaca kampungmu ikut terkena musibah ini.

Kenanganku tentang ceritamu barulah terangkai menjadi kisah lainnya ketika aku bertemu denganmu. Suatu malam kamu datang ke rumahku tanpa kutahu dari mana kau mengetahui kediamanku. Kamu datang dalam keadaan lusuh, letih, namun masih menyisakan kekonyolan kanak-kanakmu yang dulu selalu menggelisahkan guru-guru. Sosokmu yang lebih legam dan kini berambut cepak, pipi dan dagu yang dipenuhi bulu, membuatmu sangat terlihat seperti musafir yang lama tak mengenal kasur dan air. Matamu yang masih setajam dulu terlihat lelah. Malam itu kupandangi dirimu yang tertidur lelap di sofa kamar tamuku.

Perlu kesabaran dan usaha keras untuk memintamu bercerita keesokan harinya. Beberapa kali kulihat kau menghela napas, dan matamu seolah mempertimbangkan sesuatu. Kau begitu bimbang, dan berulang kali memandang langsung ke mataku seolah mencari sebentuk kepercayaan.

“Kau ingat tentang Angin?” akhirnya kau membuka suara setelah aku bertahan membisu selama dua jam menunggumu bicara.

Aku mengangguk. Dan setelah sekitar sepuluh menit terus menatapku mencari keyakinan.

Kemudian mengalirlah kisah tentang perjalananmu selama 15 tahun. Kau berkelana mencari Angin. Mencari cara untuk menjadi Angin. Bukan perkara gampang karena banyak ujian yang harus kau lewati untuk bisa membuktikan kemampuanmu. Bahkan kau sempat lelah dan selama lima tahunan terjebak dalam ujian yang sengaja dipasang Angin.

“Aku mencoba semua benda-benda itu yang hanya kau dan Tuhan yang tahu kenikmatannya, Lan. Dan ketika kau memutuskan berhenti, hanya kau dan Tuhan saja yang tahu kesakitannya. Aku kemudian kembali ke Sulawesi, ke kampung kakekku. Selama beberapa tahun di sana, aku menyembuhkan diri dan mulai mendapatkan ketenangan. Dan saat itulah aku mendengar tentang keberadaan Angin.”

Tanpa merinci dengan detail, kau menceritakan bahwa justru masa-masa ketika kau mencandu itulah Angin mendengar tentangmu. Dan itu sudah cukup menjadi bekal bagi Angin untuk memilihmu. Diantar oleh kaki tangannya yang berhasil menemukanmu, kamu bertemu dengan Angin.

“Sejak itu aku menjadi bagian dari Angin. Aku pergi ke tempat-tempat yang ia minta. Aku melakukan apa pun yang ia ingin untuk kulakukan.”

“Apakah semua yang ia minta sesuai dengan keinginanmu? Dengan bayanganmu selama ini tentang Angin?”

Kau terdiam cukup lama.

“Jujur, setelah bertahun-tahun kemudian aku lelah. Namun itu sudah pilihan yang kuinginkan sejak kecil. Aku belajar tentang pengabdian, loyalitas sebuah tugas. Apa pun konsekuensinya. Apa pun jenis pekerjaan itu. Dengan Angin, aku bisa menjadi apa saja. Aku suatu hari menjadi gembel, suatu hari kemudian menjadi satpam, bisa saja suatu hari aku ada di tengah pesantren. Awalnya aku menikmati semuanya, tapi lama-lama aku tak lagi tahu untuk apa Angin menyuruhku seperti itu.” Matamu menerawang jauh penuh kelelahan.

Aku tak lagi bertanya lebih lanjut. Sisa hari itu kita lebih banyak bercerita tentang masa lalu. Tentang teman-teman kita, tentang pekerjaanku, tentang rencanaku, dan tentang keluarga kita masing-masing. Kau mungkin akan kembali ke Sulawesi, ke kampung kakekmu. Tapi kau tak terlalu yakin.

“Mungkin setelah aku bicara dengan Angin, aku akan kembali ke sana,” ujarmu lirih.

Sore hari, kau mengajakku ke pantai. Kita memandangi matahari yang tenggelam dengan cepat, menyisakan warna abu-abu di air laut. Saat itulah kau memintaku untuk selalu menantimu setiap matahari tenggelam.

“Aku akan menjadi angin untukmu, Ilan. Angin yang mengalir pelan dan menenangkanmu. Yang tak kau sadari kehadirannya tapi bisa kau rasakan. Aku akan menjagamu.”

Itulah saat terakhir aku bertemu denganmu, Enzo. Tak lagi kudengar keberadaanmu. Apakah kau telah menjadi Angin? Apakah kau kembali ke kampung halamanmu? Apakah kamu berkelana menyusuri setiap pulau di negeri ini?

Setahun setelah kepergianmu aku telah berhenti mempertanyakan kehadiranmu. Aku cukup mengikuti pemberitaan di surat kabar atau televisi untuk mengikuti jejak-jejak keberadaanmu. Di tempat-tempat itulah aku yakin kau tengah menjadi Angin yang kadang menderu, mengalir, berputar, atau menghantam memporakporandakan.

Aku tak hendak mempertanyakan pilihan hidupmu. Hanya keyakinan bahwa kau tahu mana yang terbaik buatmu. Karena selalu ada kebaikan dalam dirimu yang selalu meyakini adanya kebaikan di setiap orang. Entah tengah menjadi Angin seperti apa dirimu, aku yakin Enzo, kau akan baik-baik saja, karena aku menunggumu di sini.

Setiap senja, menjelang matahari terbenam, aku duduk di pantai ini. Pantai yang sama. Pasir yang sama. Air berwarna abu-abu ketika terang mulai menyurut yang masih sama. Busa ombak yang sama. Hanya kini ada yang tak sama lagi. Aku sudah memiliki Angin yang kadang menderu, kadang pelan, kadang letih, kadang berhenti, kadang menangis, Angin yang tak lagi membuatku terlalu kehilangan dirimu, atau merindumu terlalu sangat. Angin yang berlarian menjejaki pasir, tertawa keras mempertontonkan gigi-gigi kecilnya, dengan sepasang mata menatap tajam ke arahku, sama sepertimu.

Angin kita, Enzo, kini menemaniku setiap senja dan kami sama-sama menantimu pulang. (*)

 

 

Jakarta, 2012


Filed under: Dewi Ria Utari Tagged: Kompas

Ibuku Bukan Malaikat

$
0
0

Cerpen Bunda Zara (Republika, 30 Desember 2012)

Ibuku Bukan Malaikat ilustrasi Rendra Purnama

AKU benci hari ini! Berada dalam ruang dan acara yang tak kumengerti. Andai aku tahu acara apa yang aku ikuti ini, tentu akan aku tolak ajakan Kak Melin. Sayangnya, aku tak kuasa menolaknya. Kak Melin sangat baik. Dia rajin menyambangi rumah singgah yang kudiami. Dia juga memberi dan mengajarkan kami banyak hal.

Aku merasa tak nyaman. Mungkin karena aku tak terbiasa dengan suasana seperti ini. Bertemu dengan ratusan gadis cantik dan kaya. Pakaian dan kerudung mereka serasi dan elok dilihat. Berbeda denganku yang hanya memakai baju sederhana pemberian Kak Melin. Celana dan baju terbaik yang pernah aku punya. Aku merasa jadi wanita terjelek dan termerana di dunia!

Banyak orang mengatakan aku cantik. Tapi, aku tak percaya omongan mereka. Karena, ibu sering mengatakan, aku anak yang jelek dan nakal. Apalagi, kalau aku tak membawa uang sepulang mengamen atau berjualan koran. Atau, kalau aku salah melipat baju para langganan cuci gosok ibuku.  Dengan penuh emosi, beliau tak segan mencubit pahaku.

Bahkan, terakhir, karena lalai menjaga adik bungsuku yang sakit, ibu marah besar dan aku dihukumnya. Begini katanya, “Dasar anak tak tahu diri! Ibunya kerja banting tulang, kamu malah enak-enakan main! Lihat adikmu, sampai kejang begini! Kamu tega ya!” Tangan berkuku tajam miliknya menghujam pahaku. Aku hanya bisa meringis kesakitan. Pasti ibu akan lebih ganas lagi mencubit andai aku terisak. Tapi, sungguh, perih dan sakit sekali rasanya cubitan itu. Air mataku tak tahan untuk tidak menetes. Jatuh bercucuran di antara jemari ibu dan darah dari paha yang tertancap kukunya.

Hhh… sudah, sana! Kalau tak bisa jaga adik, pergi sana cari uang! Jangan pulang sampai kamu dapat obat adikmu!” Ibu melepas cengkeraman tangannya, lalu menendang tubuhku menjauh. Tanpa berkata-kata lagi aku berlari ke luar. Berlari dan terus berlari. Menerobos tatapan heran orang-orang yang melihatku berlari sambil terisak. Aku tak peduli. Lagi pula, siapa yang mau peduli padaku, si gadis jelek dan nakal ini? Ibuku saja, perempuan yang seharusnya menyayangi dan melindungi malah menendang dan mengusir pergi? Lalu, aku akan memohon perlindungan pada siapa?

Pada ayah? Sudah lama tak kulihat batang hidungnya. Dia pergi meninggalkan rumah pada hari pertama seharusnya aku masuk sekolah dasar, gembira memakai seragam merah putih dan menggendong tas baruku.  Saat itu, sempat kulihat kegembiraan dan kebahagiaan ibuku. Kegembiraan terakhir yang pernah aku lihat dari wajahnya. Karena, hari itu bersamaan dengan melangkahnya kakiku dalam gandengan tangan ibu menuju sekolah, seorang perempuan cantik yang perutnya terlihat buncit mendatangi dan membawa ayah pergi.

Sejak saat itu, dunia kami meredup. Seakan mendung hitam kelam melingkupi keluarga kecil kami. Ayah tak pernah lagi kembali. Ibu yang biasanya mengurus dan merawat kami dengan riang berubah menjadi pendiam dan mudah marah. Caci, maki, hinaan, dan amarah seakan tak henti ditujukannya padaku. Kepergian ayah dengan cara seperti itu tak hanya telah menghancurkan ibu, tapi juga telah merampas dan menghancurkan indahnya dunia masa kanakku. Duhai  langit, bumi, tolong jawab aku! Pada siapa aku harus berlindung?

Aku terus berlari. Napasku serasa hendak berhenti. Rasa lelah, kesal, amarah, dan kecewa bercampur aduk. Bergumul seru di dada. Ada sesuatu yang ingin meledak rasanya. Aghhhr…! Aku benci hidupku. Aku benci ayah yang tega membiarkan kami melarat seperti ini. Hingga, sampai sebesar ini, hidupku selalu penuh derita. Membantu ibu mencuci dan menyeterika baju langganannya, mengamen, bahkan aku masih harus menjadi loper koran dan menjualnya di perempatan lampu merah. Aku malu, ibu sering menghukum dan memukulku, padahal aku sudah berlaku baik dan menurut padanya. Ini tak adil.

Aku memutuskan untuk kabur. Biar saja! Biar ibu bingung mencariku. Aku sudah terbiasa hidup di jalan. Aku bisa tidur di mana pun aku suka. Aku sudah bisa cari uang sendiri. Aku juga cukup banyak punya teman di jalanan. Biarlah langit menjadi atap rumahku dan bumi menjadi alas tidurku.  Aku tak peduli!

Mataku mengerjap basah. Luka hati lima tahun lalu menerbitkan air mataku kembali. Gelap. Lampu dalam ruang acara rupanya sengaja dimatikan.  Hanya sebuah cahaya di depan sana, menyorot lurus layar putih yang terpasang di dinding. Seorang bayi mungil muncul di layar putih itu. Tersenyum menatap kami. Suara musik lembut mengiringi kalimat demi kalimat yang diucapkan sang narator. Mataku mulai terfokus penuh kini.  Kepolosan bayi itu seperti sebuah kekuatan yang mampu menyedot perhatianku. Kusimak dialog dalam film singkat itu.

Saat seorang bayi hendak dilahirkan ke dunia, dia bertanya kepada Tuhan: “Para malaikat di sini mengatakan bahwa Engkau akan mengirimku ke dunia. Tetapi, bagaimana cara aku hidup di sana, aku begitu kecil dan lemah.”

Tuhan menjawab, “Aku telah memilih satu malaikat untukmu. Ia akan menjaga dan mengasihimu.”

“Tetapi, di surga, apa yang aku lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa. Ini cukup bagiku untuk bahagia.”

“Malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya.”

“Dan, apa yang dapat aku lakukan saat aku ingin berbicara kepada-Mu?”

“Malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa.”

Si bayi masih belum puas, ia bertanya lagi, “Aku mendengar bahwa di bumi banyak orang jahat. Siapa yang akan melindungi aku?” Dengan penuh kesabaran, Tuhan pun menjawab, “Malaikatmu akan melindungimu, dengan taruhan jiwanya sekali pun.”

Si bayi pun tetap belum puas dan melanjutkan pertanyaannya, “Tapi, aku akan bersedih karena tidak melihat Engkau lagi.”

“Malaikatmu akan menceritakan padamu bagaimana agar kamu bisa kembali pada-Ku. Walaupun sesungguhnya Aku selalu ada sisimu.”

Saat itu surga begitu tenangnya sehingga suara dari bumi dapat terdengar dan sang anak dengan suara lirih bertanya, “Tuhan, jika aku harus pergi sekarang. Bisakah Engkau memberitahuku, siapa nama malaikat di rumahku nanti?”

Tuhan pun menjawab, “Kamu dapat memanggil malaikatmu, ibu….”

I-b-u?! Serasa ada tombak menusuk dada. Sakit. I-b-u? Jadi, malaikat para bayi yang turun ke bumi itu bernama ibu? Bukankah dulu aku juga bayi yang diturunkan Tuhan ke bumi? Tak salahkah yang kudengar? Kalau begitu, bagaimana dengan malaikat yang Tuhan berikan untuk aku? Ibukah itu?

Tidak! Tuhan bilang, malaikat bernama ibu itu akan menjaga dan mengasihiku. Tapi, ibuku tidak seperti itu. Aku malah dijadikan sapi perah untuk mencari nafkah bagi keluarga. Kata Tuhan, malaikat bernama ibu itu selalu bernyanyi dan tersenyum untukku, tapi nyatanya? Omelan, cacian, dan amarah adalah nyanyian yang selalu terdengar di telingaku. Tak ada kalimat lembut atau senyum yang meneduhkan hati saat aku berada di dekatnya. Kata Tuhan, ibu akan mengajarkanku cara berdoa. Yang  kudengar adalah cara mencuci, menyeterika, atau melipat baju yang benar.  Kata Tuhan, malaikat bernama ibu itu akan melindungi dan menjagaku walau dengan taruhan jiwanya sekali pun. Tapi, ibu memukulku, mencubit, menendang, bahkan mengusirku pergi. Mengusirku, Tuhan…. Apakah itu malaikat yang Kau turunkan untukku?

Demi apa pun di dunia ini! Sungguh ini sebuah ketidakadilan yang nyata! Aku bangkit dan melangkah pergi. Aku muak mendengar kanan-kiriku terdengar suara tangis. Menyebut lirih kata-kata ibu dengan suara memelas dan penuh haru. “Ibu… ibu, maafkan aku.”

Tuhan pasti tidak salah. Ini salah ibuku. Aku harus menuntut balas darinya.  Lima tahun hidup dalam penindasan dan kesengsaraan. Lima tahun berikutnya sengaja membiarkan anak telantar dan terlunta-lunta. Tak pernah ibu mencari di mana keberadaanku. Padahal, aku sangat ingin dirindukan dan diminta untuk pulang.

Rasa marah dan kecewa memacu langkahku menjauh dari ruang acara.  Suara sedu-sedan tangis ratusan remaja putri itu semakin menyayat. Air mataku pun ikut membasahi pipi. Sakit dan perih. Ibuku bukan malaikat!  Aku benci padanya! Tapi, hari ini, tiba-tiba aku merindukannya….

Aku berdiri mematung di depan rumah ini lagi. “Cari siapa, Mbak?”  seorang anak laki-laki menyambutku. Menatapku tak berkedip. Tubuhnya kurus tak terurus. Yanto, adikku.

“Yan, ini Mbak! Kamu sudah lupa?” ragu aku mendekat. “Mbak Yanti?” adikku tampak terkejut.

“Ibu di mana?” tanyaku bergetar.  Rindu dan sisa-sisa amarah masih menggunung.

“Ibu ada di dalam, Mbak.” Ragu Yanto mengajakku masuk. “Bu, Mbak Yanti pulang.” Tak ada nada girang atau rindu seperti yang kubayangkan.  Sepi. Ibu, di mana?

Tuk tok tuk tok. Suara tongkat mengetuk lantai rumah. Pintu kamar terkuak perlahan. Bunyi deritnya mengejutkanku. Namun, sosok yang berjalan tertatih keluar dari kamar itu lebih membuatku terkejut. Perempuan tua, hampir separuh rambutnya kini memutih. Keriput di wajahnya lebih cepat tiba dari waktu yang seharusnya. Langkah kaki yang lima tahun lalu masih tegak dan kokoh kini harus dibantu tongkat penyangga. Ibu.

Tak ada yang berani memulai. Hening. Hanya tatap mata kami beradu dalam rasa yang bercampur tak keruan. Sudah lebih dari seribu hari aku tak bertemu ibu. Wanita yang pernah mengandung dan melindungi aku selama sembilan bulan dalam rahimnya.

“Ibu, kenapa ibu tak pernah mencariku?” Tersendat suaraku di antara isak yang tertahan. “Terlalu burukkah aku untukmu?”

Tak ada jawaban. Namun, ada rindu dari sorot matanya yang memudar.  Perlahan dan tertatih ibu mendekatku. Butiran air mata mengalir di pipinya.  Tuhan, aku tak tega. Sumpah serapah dan segudang cacian yang ingin aku hamburkan menguap entah ke mana. Namun, aku masih tegak berdiri.  Amarah dan egoku mencegah untuk berlari dan berlutut di kakinya.

“Maafkan ibu, Nak.” Ibu membisikan kalimat yang aku nantikan ribuan hari yang lalu.

Pertahananku runtuh. Amarahku luruh. Tubuhku lungkrah. Bersamaan dengan sebuah ketukan keras di pintu.

Dug-dug-dug!

“Buka pintu!” Suara garang penagih uang kontrak rumah. Brak! Pintu yang memang tidak terkunci itu ditendang dari luar. Tiga orang berdiri kokoh di depan pintu. Pemilik rumah dan dua algojonya.

He! Sudah lima bulan kamu tidak membayar kontrakan. Tidak ada kata maaf lagi! Kalian harus pergi dari sini!”

“Maaf, Tuan. Tolong beri saya kesempatan lagi. Saya tidak bisa bekerja beberapa bulan ini. Jadi, maklumilah….” Ibuku memelas.

“Sudah cukup sabar aku mengasihanimu. Aku bukan dewa, heh!”

“”uan, jangan usir ibu dan adik saya. Beri saya kesempatan untuk mencari uang.” Sigap aku berdiri.

Heh, memangnya kamu punya uang, apa?” pemilik rumah melunak.  Matanya mengerlingku nakal. Dia mendekati tempatku berdiri. Matanya jelalatan mengamati hampir setiap bagian tubuhku. Ketakutan seketika menyergap. Kutatap mata ibu galau.

“Jangan tuan, tolong jangan diganggu. Tolong tuan.” Tertatih ibu menghampiriku. Wajahnya begitu ketakutan. Terpaku aku pada sorot matanya.

“Diam! Harusnya kamu bangga punya anak gadis cantik. Manfaatkan. Biar utang-utangmu lunas.” Tangannya menepis tubuh ibuku kasar. Membuat ibuku limbung dan jatuh terjerembap di lantai. “Din, Sro… bawa gadis ini.  Cepat!” perintahnya.

Secepat itu pula dua laki-laki kekar itu memegangiku. Menggiringku ke luar pintu. Aku meronta. Ibu menjerit tercekat memanggil namaku. Adikku hanya bisa menangis di sudut  ruang.

“Ibu….” Aku berusaha melepaskan diri.

“Jangan, jangan bawa anak saya, Tuan. Tolonglah!” Merangkak ibu mengejar. Kucoba menahan kaki sekuat mungkin. Namun, tangan kedua algojo itu semakin kuat menyeretku keluar.

Hingga entah kekuatan dari mana, ibu bangkit. Penuh amarah diserangnya pemilik rumah. Jeritan melengking membelah bumi. Sebuah pisau menancap di dadanya. Darah segar membasahi tangan ibu. Aku terpana dalam ketakjuban.

Ibu! Wahai penduduk langit dan bumi, saksikan! Ibuku memang bukan malaikat. Tapi, hari ini beliau membayar lunas utangnya: mengorbankan jiwa dan raganya, untuk aku, anaknya! (*)

 

 

Bekasi, 17 Desember 2012. Untuk ibu, di mana pun kau berada…. Terima kasih atas pengorbanan, kasih sayang, dan doamu.

Penulis adalah seorang guru yang hobi menulis. Beberapa tulisannya, baik artikel maupun fiksi, pernah dimuat di sejumlah majalah. Ia juga telah menerbitkan sebuah buku berjudul Aku Bangga Menjadi Guru.


Filed under: Bunda Zara Tagged: Republika

Dongeng Sinterklas

$
0
0

Cerpen Sunlie Thomas Alexander (Suara Merdeka, 30 Desember 2012)

Dongeng Sinterklas ilustrasi Achmad Basuki

CERITA pendek ini aku dengar dari seorang temanku, orang Inggris yang belajar Karawitan di Yogyakarta. Aku tidak tahu apakah kisah konyol ini merupakan karangannya atau dia dapatkan dari orang lain. Namun yang jelas aku dapat menangkap kesinisan dari ekspresi wajah dan nada suaranya saat bercerita.

“Bukankah di Eropa kalian juga memeriahkan Natal bersama Santo dari Kutub Utara itu?” tanyaku tersenyum.

“Ya, tapi seperti juga di sini, Pak Tua berjenggot putih itu cuma merk impor para Yankee! Hahaha. Seperti halnya mereka mengimpor McDonald dan Coca Cola,” jawabnya tergelak. Aku lagi-lagi hanya tersenyum.

Ah, beginilah cerita yang dituturkannya padaku di sebuah angkringan dekat kampus ISI Yogya beberapa tahun silam itu…

***

PADA malam Natal kali itu, Tom merasa harus berupaya lebih keras lagi agar tetap terjaga. Lantaran sebulan yang lalu satu gigi susunya kembali tanggal. Tiga buah giginya yang penghabisan agaknya juga sudah mulai goyah, termasuk geraham bungsu. Ah, kecuali Peter Pan dan kawanannya, memang tak seorang anak pun di dunia ini yang dapat menolak tumbuh dewasa, batinnya. Meskipun ia sama sekali belum terpikir untuk memulai kencan. Misalnya dengan Jessica, teman sekelasnya yang cantik dan modis itu.

Eh, bukankah si ikal itu suka memperhatikannya di sekolah?

Di luar udara sudah begitu gelap tatkala Tom masuk ke kamar, bersalin pakaian dan mematikan penerangan. Tapi lampu redup di samping tempat tidur sengaja ia biarkan tetap bernyala. Sebagaimana yang lazim dilakukannya, Tom kemudian menyelubungi dirinya dengan selimut tebal dan berpura-pura tidur. Gordin seperti dulu-dulu, tersibak separoh. Kedua daun jendela hanya dirapatkan, tak terkancing. Kau tahu, tak ada anak-anak yang mengancing jendela dan pintu kamarnya di malam natal.

***

SINTERKLAS akan datang dengan kereta emas yang ditarik rusa-rusa kutub, terbang melintasi langit bertaburan bintang. Setiap anak baik akan mendapatkan hadiah. Dia akan meluncur turun lewat cerobong asap dan masuk ke dalam kamarmu, diam-diam meletakkan kotak-kotak hadiahnya ketika kau sudah terlelap karena kecapekan menunggu. Ya, hanya ketika kau sudah terlelap….

Karena itulah, seperti dirinya—Tom berpikir—konon tak seorang anak-anak pun di dunia ini yang pernah melihat orang suci dari kutub itu. Anak-anak hanya akan menemukan hadiah mereka telah bertumpuk di sudut kamar ketika terbangun keesokan pagi. Mereka begitu gembira, melonjak-lonjak kegirangan lalu menyerbu kotak-kotak terikat pita warna-warni itu, sehingga segera saja melupakan rasa penasaran mereka untuk mengetahui wajah Sinterklas yang asli.

Tetapi tidak dengan Tom. Ya.

Di jalan-jalan, banyak orang dewasa berdandan jadi Sinterklas dengan janggut putih yang terbuat dari kapas. Mereka membagi-bagikan permen, coklat, balon, dan minuman kaleng gratisan. Atau berbagai mainan dari perusahaan mainan yang ingin beramal seraya beriklan. Beberapa di antara mereka mempertunjukan sulap. Toko-toko, mall dan supermarket menggelar diskon besar-besaran, memasang lampu kerlap-kerlip, pohon cemara, dan spanduk panjang yang seringkali berhias wajah pak janggut tua yang riang itu.

Ya, semua hanya bohongan, yakin Tom. Ia pernah mendapatkan pluit murahan yang bunyinya mirip kentut ketika ditiup panjang-panjang. Ia tahu, Paman Jim suatu kali pernah menjadi salah satu dari Santo Kutub palsu itu. Adik ibunya itu datang ke rumah dengan kostum Sinterklas dan janggut kapas yang basah kuyup oleh salju meleleh. Badannya yang sedikit gempal terkapar di kursi depan pemanas dengan wajah lelah, lapar, dan kesal. Ibu Tom memberinya segelas coklat hangat dan omelan panjang lebar. Lebih baik kau selesaikan kuliahmu dan cari pekerjaan lain yang lebih layak, kata sang kakak.

“Aku tak mau kuliah lagi, aku mau ke Rocky Beach, ada temanku yang bekerja di agen pencari bakat di sana. Aku mau berakting!” jawab Paman Jim ketus waktu itu. Lalu mereka, kakak-beradik, mulai bertengkar seperti biasa.

Namun Lizza, kawan sekelas Tom, pernah mendapat boneka panda besar yang cukup mahal di perempatan jalan dekat stasiun. Cewek bermata coklat itu berkoar-koar pada semua anak kalau sekilas dia sempat melihat ada peri kecil mengintip keluar dengan malu-malu dari janggut lebat sang Sinterklas yang memberinya boneka. Sebagian anak tertawa, sepakat menganggapnya membual dan mencari sensasi. Tapi ada juga anak yang diam-diam percaya.

Mungkinkah Sinterklas asli sesekali memutuskan muncul di siang hari, diam-diam ikut membagikan hadiah di antara dirinya yang palsu?

Toh, Tom merasa tak mungkin ia mencoba menarik satu persatu jenggot para Sinterklas yang ditemuinya di jalan atau mall itu untuk memeriksa mana di antara mereka yang asli. Ia hanya bisa menunggu sang Santo muncul sambil berbaring di atas tempat tidur. Menunggu jam dinding kamarnya menunjukkan pukul dua belas malam, lalu burung kecil melompat keluar dari sarang untuk bernyanyi dengan riang: “Twinkle-twinkle Lucky Star”.

Hanya selewat jam dua belas malam, ketika anak-anak sudah tertidur pulas, Sinterklas bakal datang….

Maka biasanya, ia pun menarik selimut tebal dan berpura-pura tidur. Tapi waktu berlalu begitu lamban. Mati-matian Tom mempertahankan kedua matanya agar tak terpicing. Dari celah selimut, ia memperhatikan sebagian kamarnya yang remang. Kemeja dan mantel yang tergantung di balik pintu seolah bergerak-gerak hidup, juga robot-robot di atas lemari pakaian. Sendirian dalam gelap, Tom memang merasa sedikit takut. Dari gordin jendela yang dibiarkan tersibak separoh, bisa ia saksikan bintang-bintang yang berkerlap-kerlip.

Ah, jika beruntung, barangkali ia dapat melihatnya melintas bersama kereta emasnya yang ditarik oleh kawanan rusa kutub…. Tapi pelupuk mata Tom sudah demikian berat. Terdengar suara gemerisik di luar. Pasti salju turun lagi, batinnya. Tom masih mencoba bertahan. Namun, selalu saja ia akhirnya tertidur.

***

BEGITULAH. Natal demi Natal berlalu. Toh, Tom masih terus berharap dapat melihat wajah Sinterklas yang asli sebelum beranjak remaja lalu tumbuh dewasa. Sekali saja. Sebelum gigi susunya yang terakhir tanggal, tekad Tom, ia harus dapat memergoki Pak Tua yang budiman itu mengendap-endap ke kamarnya dan meletakkan hadiah. Atau ia mesti melupakan keinginannya untuk selamanya dan cukup senang pernah percaya sang Santo benar-benar ada.

Ah, barangkali setelah remaja, ia pun akan menganggapnya sebagai dongeng konyol di masa kecil. Di malam Natal, ia akan terlalu sibuk dengan pesta-pesta atau kencan seperti kakak-kakaknya. Orang dewasa apalagi, pikirnya, takkan mungkin bisa melihat Sinterklas. Bukankah si tua berjenggot hanya datang untuk anak-anak? Maka ia akan menyesal seumur hidup jika tumbuh dewasa tanpa sempat melihat sang Santo….

Ah, adakah suatu malam Natal Tom bakal berhasil memergokinya? Setiap Natal tiba, ia sudah mencoba tidur siang agar bisa terus terjaga sepanjang malam yang kudus. Ia juga telah berusaha selalu berbuat baik pada siapa saja. Ya, Sinterklas hanya akan datang membawa hadiah untuk anak-anak yang baik. Syahdan, semakin banyak perbuatan baik yang kau lakukan, hadiah yang kau dapatkan pun kian banyak. Sang Santo takkan sudi memberi hadiah untuk anak-anak nakal, kata nenek Tom ketika suatu kali ia mencopot hiasan-hiasan pohon natal dan menumpahkan susu di bak mandi. Sebaliknya, anak-anak nakal akan dibawa Piet Hitam ke Kutub Utara untuk dipekerjakan di pabrik mainan.Karena itukah, Fred dan Maggie menghilang?

***

YA setiap Natal, selalu saja ada anak-anak yang hilang. Tak seorang pun dapat mengatakan ke mana mereka pergi. Tom masih ingat ketika ibunya Maggie datang sambil menangis. Ibunya mencoba menenangkan dan menghibur perempuan malang itu. Maggie tak ada di tempat tidur ketika dibangunkan untuk sarapan, kata ibu Maggie terisak-isak dalam pelukan ibunya. Kado-kado Natal Maggie pun masih tersusun rapi di samping tempat tidur, belum ada yang terbuka. Tapi dia tak ada di mana pun di rumah! Ayah Maggie melapor polisi.

Keesokan harinya, seperti juga saat Fred menghilang, poster seukuran kuarto dengan foto Maggie disertai kata-kata “Anak Hilang, Margareth Brown, 10 tahun, Jika ada yang melihat harap lapor polisi atau segera hubungi nomor….” tertempel di mana-mana. Ada berita kecil di koran dan radio.

Anak-anak membicarakannya dengan ribut. Petty, yang semua anak tahu adalah teman paling akrab Maggie, tak henti-hentinya menangis dan menyeka ingusnya dengan sapu tangan.

“Maggie pasti dibawa Piet Hitam!” kata Billy yakin, “Musim panas lalu Maggie menaruh anak tikus di tas Bu Johnson.” Wajah Billy yang berbintik-bintik tampak memerah, kebiasaan jika dia serius. Anak-anak yang lain mengangguk-angguk, kecuali Ron dan Enny.

“Ya, Billy benar,” timpal Joe, “Malam Natal tahun lalu sebelum Fred hilang, aku sempat melihat seorang pria kulit hitam mengendap-endap di bawah jendela kamar Fred. Ya, aku rasa kita semua tahu kelakuan Fred selama ini….”

Semua anak terdiam dan memandangnya.

“Dari mana kau tahu itu Piet? Mungkin saja tukang sampah atau petugas telepon yang memperbaiki kabel putus,” Enny terlihat kurang senang. Mata anak-anak masih tertuju pada Joe. Merasa jadi pusat perhatian, suaranya jadi berlagak penting: “Waktu itu aku dan orangtuaku pulang kemalaman dari perayaan Natal di rumah bibiku. Aku paling belakang masuk karena syalku ketinggalan di mobil. Saat hendak berbalik ke rumah itulah aku melihatnya. Kurasa dia memakai topi kerucut. Berkat lampu teras, sekilas aku sempat melihat wajahnya. Kukira, hmm, a-agak mirip wajah ayah Ron. Karena takut, aku….”

“Ayahku bukan Piet!!” Ron membentak marah.

“Aku cuma bilang agak mirip. Aku tidak bilang ayahmu…,” belum habis kata-kata Joe, tubuhnya sudah diterjang Ron. Keduanya terguling-guling di lapangan bersalju.

Tentu saja Tom dan semua anak tahu ayah Ron. Seorang lelaki bertubuh jangkung yang bekerja di tempat pejagalan hewan. Dia sering lewat di depan rumah Tom. Kerapkali Tom melihatnya pulang berjalan kaki ketika langit hampir gelap sambil bersiul-siul kecil dalam irama blues. Kadang-kadang pakaiannya masih menyisakan bercak darah. Satu-dua kali Tom sempat berpapasan dengannya, dan selalu buru-buru menghindar karena tak tahan dengan bau amis bercampur aroma alkohol murah yang tercium dari badan lelaki itu. Tapi menurut perasaannya, ayah Ron orang baik.

Anak-anak masih berusaha meleraikan pergulatan Ron dan Joe ketika diam-diam Tom menyelinap menjauh, meninggalkan lapangan bola yang diselimuti salju itu. Entahlah, ia meragukan Piet Hitam ada. Apalagi kalau dia seorang pria berkulit hitam yang suka menculik anak-anak. Itu mungkin cuma akal-akalan para orangtua, atau ulah para peramu kisah picisan, supaya anak-anak tidak nakal. Pikir Tom yakin.

Benarkah setiap Natal tiba, Sinterklas akan datang bersama Piet Hitam?

Toh, pernah ada kejadian dua orang anak perempuan kakak-beradik yang disangka hilang, akhirnya kembali lagi tiga hari kemudian. Ternyata mereka diam-diam nekat menumpang bis mengunjungi nenek mereka di luar kota, karena orangtua mereka tak berkenan mengajak mereka berlibur….

***

SEANDAINYA malam ini aku berhasil memergoki Sinterklas, apa yang harus aku lakukan? Pikir Tom cemas sambil berbaring diam dan mengintip dari sela-sela selimut. Mungkinkah Tom akan menyapanya, menyalaminya dengan hangat, lalu memintanya menceritakan tentang kediamannya di Kutub Utara? Barangkali juga ia akan memohon pada sang Santo agar mengijinkannya mengelus jenggotnya yang seputih salju.

Apalagi? Ia ingin bertanya tentang Piet Hitam dan anak-anak yang hilang…. Tom membayangkan seraut wajah gemuk kemerah-merahan yang jenaka dengan mata sipit yang ramah. Perutnya yang buncit terguncang-guncang ketika tertawa.

Entah berapa lama Tom melamun, barangkali nyaris tertidur. Ketika tiba-tiba ia merasa kedinginan, ada angin basah yang mengelus sebelah pipiku yang tak tertutupi selimut. Sedikit kaget, ia menoleh dan melihat salah satu daun jendela kamarnya telah terbuka ke samping. Saat itulah Tom menyadari dirinya tak sendirian di dalam kamar. Ada seseorang, bertopi dengan pakaian tebal, sedang membungkuk di sisi lemari pakaian. Jantungnya langsung berdebar kencang. Apakah telah lewat pukul dua belas malam, tanpa sempat nyanyian burung-burungan jam yang nyaring itu tertangkap oleh telinganya?

Pelan-pelan ia menyingkap selimut dan beringsut bangun. Agak ragu, suaranya mungkin gemetaran, ia menegur: “Tu-Tuan Sinterklas?”

Cukup lama tak ada jawaban. Hanya kesiur angin bersalju. Tapi lambat-lambat Tom melihat sosok besar itu meluruskan punggung dan berbalik. Tom tercekat. Sosok lelaki gemuk berjenggot putih dan berpakaian serba merah itu kini tegak di hadapannya. Sama sekali tak ada senyum ramah yang ia bayangkan. Justru sang Santo menatapnya begitu tajam, seolah hendak menelan Tom bulat-bulat. Kedua matanya memancarkan cahaya merah seperti pijaran api! Di luar sadar, Tom bergerak mundur.

“Karena kau telah melihatku, maka…,” suara itu demikian berat, seperti orang yang sedang memikul beban ratusan kilo. Lalu sang Santo mulai bergerak mendekat. Tom ingin sekali berteriak memanggil orangtua atau kakak-kakaknya atau siapa saja, tapi suaranya telah raib entah ke mana. Kakinya tertahan oleh tempat tidur. Sang Santo sudah semakin dekat. Ketika dia menyeringai, tampak oleh Tom deretan gigi-gigi yang runcing seperti gigi ikan hiu.

“Karena kau telah melihatku, maka kau harus…,” suara menyeramkan itu serasa bergaung di kedua telinga Tom. Keringat dingin membuat pakaiannya basah kuyup.

“Anak nakal, karena kau….”

Lamat-lamat dari kejauhan, Tom mendengar lagu Jingle Bell mengalun merdu.

***

JULIAN, temanku orang Inggris itu, tertawa terkekeh-kekeh. Aku ikut tertawa. Kami mengangkat gelas kopi yang tinggal separoh lalu melakukan tos. Natal sepi di Jawa, barangkali sedikit lebih ramai di sejumlah daerah lain di Indonesia. Mungkinkah Julian merindukan suasana Natal di negerinya? Salju, pesta Natal, Sinterklas? Ia mencomot sebiji tahu gorengan. Hujan masih rintik-rintik. Mbak separoh baya pemilik angkringan tampak duduk terkantuk-kantuk di depan kami.

“Bagus kan ceritaku barusan? Kau tulis ulang sajalah, kau kan penulis,” ujar Julian nyengir. Aku hanya mengangkat bahu. Sekilas sempat kulihat kedua mata birunya tampak berbinar-binar.

Ya, sampai sekarang aku memang tak pernah menanyakan padanya apakah kisah ini benar-benar karangannya sendiri atau ia dengar dari seseorang. Tetapi aku rasa cerita ini telah dicampur-aduk dengan sebuah dongeng tua Eropa. Setelah Julian menyelesaikan studi dan kembali ke negaranya, seingatku aku sempat menonton sebuah film horor yang diangkat dari dongeng semacam ini. Tentang “Setan Geraham Bungsu”—hantu perempuan yang akan datang menyambangimu dalam gelap jika kau menaruh gigi geraham bungsumu yang lepas di bawah bantal. Di mana, di bawah bantal itu, keesokan pagi ketika bangun, kau akan menemukan koin-koin emas sebagai penukar gigimu yang diambilnya. Namun jangan sampai sesekali kau melihatnya! Jangan sesekali…. (*)

 

 

Yogyakarta, 2009-2012


Filed under: Sunlie Thomas Alexander Tagged: Suara Merdeka

Seseorang dan Segala Hal yang Dia Tahu

$
0
0

Cerpen Ardy Kresna Crenata (Koran Tempo, 30 Desember 2012)

Seseorang dan Segala Hal yang Dia Tahu ilustrasi Yuyun Nurrachman

DIA sungguh tak mengerti apa yang terjadi. Bukan saja penanda waktu pada handphone menunjukkan tanggal yang telah dilaluinya, suasana pagi itu pun benar-benar tak asing dan masih hangat dalam ingatannya. Pagi yang mendung, dingin yang merayap masuk lewat celah jendela, bunyi teratur dari hamsternya yang berlari-lari di kitiran. Ia mencoba bangkit. Dilihatnya benda itu masih di sana, sebuah kotak lampu yang dibungkusnya dengan rapi, sebuah kotak berisi sesuatu yang diberikannya kepada perempuan itu kemarin. Ya, kemarin. Dia ingat betul kemarin siang kotak itu dimasukkannya ke dalam tas tangan merah yang dibawa pulang perempuan itu. Dia juga ingat betul perempuan itu mengambil dan membuka salah satu ujung kotak itu untuk melihat isinya ketika mereka di bandara. Dia ingat betul senyum perempuan itu, juga kata-kata yang keluar dari lidahnya usai dia menggodanya kalau-kalau perempuan itu tidak tahu apa isi kotak itu. “Baju Doraemon,” kata perempuan itu. Dia ingat betul kejadian itu. Dan kini kotak itu tepat ada di depan matanya. Utuh. Dia masih berusaha mencerna apa yang sesungguhnya sedang terjadi.

Tentu saja dia menolak penjelasan bahwa peristiwa itu hanyalah mimpi. Mimpi biasanya tak lengkap, pikirnya, keterkaitan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya seringkali tak jelas, kabur, dan banyak diantaranya terlupakan. Sementara apa yang terjadi kemarin, dalam ingatannya begitu jelas antara yang satu dengan yang lainnya, terurut, detil dari pagi hingga malam. Tak mungkin itu mimpi, tegasnya. Dilihatnya, dia mengenakan pakaian yang dikenakannya kemarin pagi.

Dia mengambil handphone dan mengecek pesan terakhir yang masuk. Benar saja, pesan itu diterima pada tanggal 18 September 2012 pukul 01:13 a.m. Dia melihat lagi tanggal di handphone, memastikan bahwa matanya tidak keliru. Dia bahkan sampai membuka aplikasi kalender untuk memastikan bahwa hari itu adalah Selasa. Dilihatnya kembali kotak itu, baju yang dikenakannya, tanggal pada handphone. Apakah aku sedang bermimpi? pikirnya. Kembali dilihatnya pesan terakhir di handphone itu: Selamat tidur, Hanee.... Terima kasih banyak untuk segalanya.

 

JIKA benar ini terjadi, pikirnya, karyawan Alfamart itu akan berkata bahwa tas Hello Kitty sudah habis. Kemarin pagi seingatnya dia mampir dulu ke Alfamart untuk menanyakan tas lucu itu. Perempuan itu sangat menginginkannya. Ia ingin sekali menyenangkan perempuan itu di pertemuan terakhir mereka. Namun sayang stok tas itu sudah habis, tak tersisa satu pun di gudang. Itulah setidaknya pengakuan karyawan Alfamart yang namanya tak sempat ia ingat itu. Dan, betapa ia tak lagi terkejut, karyawan itu—orang yang sama dalam ingatannya—mengatakan padanya bahwa tas itu sudah habis, tak tersisa satu pun di gudang. Ia bahkan disarankan karyawan itu untuk mengecek di Alfamart lainnya yang ada di kawasan itu, di utara dengan waktu tempuh lima menit jika berjalan kaki. Persis, itulah yang disarankan karyawan itu padanya kemarin pagi. Tuhan pasti sedang bercanda, pikirnya.

Selanjutnya ia melakukan apa-apa yang dilakukannya kemarin, persis dengan urutan yang sama. Ia memasuki Alfamart kedua, menanyakan tas Hello Kitty, berhadapan dengan karyawan menyebalkan. Ia membeli bubur ayam Ciampea kesukaan perempuan itu, naik angkot dua kali, turun di stasiun. Setiap detilnya, terurut mulai dari membeli tiket kereta sampai turun dari becak di depan rumah tempat perempuan itu berada, hadir dengan sempurna, tanpa perbedaan satu pun. Kalaupun perbedaan itu ada, itu adalah ia yang tak lagi antusias. Ia telah tahu apa yang akan dihadapinya usai detik ini, menit ini. Ia tinggal melakukan hal yang sama dan apa yang terjadi kemarin akan terjadi lagi dengan persis sama. Seperti itulah. Ia tak lagi menanti-nanti dengan debar hati dan rasa cemas yang membuatnya bergairah. Ia telah tahu, dan itu membuat semuanya tak mengasyikkan lagi baginya. Ia mulai merasa akan kehilangan kegembiraan yang seharusnya didapatkannya di hari itu, hari terakhir ia dan perempuan itu bertatap muka dan saling menyelami mata.

Tapi biarlah, pikirnya. Aku akan menikmatinya.

Di ambang pintu, perempuan itu muncul. Ia membalas senyum perempuan itu dan untuk pertama kalinya ada rasa syukur dalam dirinya atas pagi yang ganjil itu. Perempuan itu duduk. Ia dan perempuan itu kini berdekatan. Ia mulai tak sabar. Di benaknya berkelebat hal-hal manis yang akan dilaluinya dengan perempuan itu dalam enam jam ke depan.

 

PETANG di bandara, ia tinggal sendiri. Perempuan itu telah masuk ke pesawat sekitar satu jam yang lalu. Kedua Tante yang ikut mengantar telah pulang beberapa saat setelah sosok perempuan itu tak tampak lagi. Sementara itu, di layar yang menayangkan keberangkatan pesawat-pesawat yang terbang hari itu, tampak penerbangan pesawat yang membawa perempuan itu sedang melakukan panggilan terakhir. Ia duduk lagi, menunggu. Berpuluh-puluh meter di hadapannya bis-bis datang untuk singgah lalu pergi.

Tiba-tiba saja ia begitu ingin mengirimi perempuan itu sms, atau bahkan meneleponnya beberapa saat, sekadar mengucapkan selamat jalan dan hati-hati. Jelas sudah, dua jam berdekatan di dalam bis, satu jam bercakap-cakap dengannya di bandara, beberapa detik berpelukan di pintu masuk, sangatlah jauh dari cukup untuk mengobati kerinduannya yang gila kepada perempuan itu.

Kenyataan bahwa selama dua jam di bis ia dan perempuan itu hanya bisa saling menggenggam tangan tanpa melakukan sesuatu yang lebih jauh menambah sesak yang dirasakannya. Padahal awalnya, perempuan itu sempat mendekatkan dirinya hingga kening dan pipi mereka bertemu. Ia pun sempat akan mencium pipi perempuan itu. Namun cermin itu, cermin di depan itu, menangkap bayangan mereka. Dua orang yang duduk persis di depan mereka—kedua Tante yang ikut mengantar—pasti bisa melihat apa yang mereka lakukan. Perempuan itu tak ingin itu terjadi. Ia merasa tak enak kepada mereka. Mungkin juga malu. Dengan berat hati ia mengiyakan ketidaknyamanan perempuan itu. Kepada perempuan itu ia sempat berbisik menyalahkan keberadaan cermin itu. Perempuan itu tersenyum dan berkata, “Kan udah kemarin.” Ia balas tersenyum. Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tak mencium perempuan itu yang selalu begitu cantik saat tersenyum dengan mata yang jujur. Aroma tubuh perempuan itu seolah menjadi tangan lain yang dengan gemasnya menarik dirinya ke dekat perempuan itu. Seandainya kami duduk di belakang, pikirnya, masih saja kesal.

Sekarang semua itu seperti kenangan yang perlahan menguap menyisakan hangat di hatinya. Perempuan itu sudah pergi. Beberapa saat yang lalu pesawat Lion Air penerbangan 368 dinyatakan take off. Ia menyiapkan dirinya untuk pulang. Langkah-langkahnya terasa berat. Senyum perempuan itu masih terbayang hingga ia tertidur lelap di dalam bis menuju Bogor.

Di ruas tol terakhir, handphone-nya berdering. Perempuan itu telah tiba di Medan. Dilihatnya jam di handphone. Jam sepuluh. “Sebentar lagi aku nyampe Bogor,” katanya. Perempuan itu mengatakan akan meneleponnya lagi nanti. Ia pun menutupnya.

Sementara itu di luar, malam telah larut. Lampu-lampu serupa saksi yang meminta dikenali. “Aku akan menunggumu,” gumamnya, barangkali kepada perempuan itu. Sambil menatap ke langit kota, ia berterimakasih kepada Tuhan telah diberikan kesempatan kedua, sebuah hari yang ganjil, sebuah hari dengan penuh kebahagiaan, sebuah hari di mana ia kembali merasakan betapa perpisahan itu adalah tiran bagi sepasang insan yang saling merindukan. Ataukah ia keliru, hanya ia yang merasakan rindu itu? Entahlah. Ia tak tahu. Yang ia tahu, ia dan perempuan itu belum akan bertemu lagi untuk beberapa bulan ke depan. Di dalam hatinya ia berdoa, “Semoga Tuhan berbaik hati memberiku kesempatan ketiga.” Ia tahu, doa itu hanyalah doa.

 

KEESOKAN harinya ketika ia terjaga, matanya langsung mencari-cari kotak berisi baju Doraemon itu. Tak ada. Ia lemas. Di saat ia tak mengharapkan keajaiban, Tuhan justru memberinya keajaiban. Di saat ia mengharapkan keajaiban itu ada, Tuhan tak memberinya. Ya sudahlah, pikirnya. Bagaimana pun ia sangat beryukur telah diberi hari kemarin, satu hari lebih untuk dinikmatinya bersama perempuan itu. Lagipula bukankah hidup memang seperti itu. Ketika kebahagiaan datang bertamu, kesedihan akan menjadi tamu berikutnya. Ia bangkit, mengambil handphone.

Sesuatu membuatnya terdiam. Yang benar saja? pikirnya. Jika kemarin penanda waktu pada handphone menunjukkan hari sebelumnya, 18 September 2012, hari ini lebih ganjil lagi. Tanggal pada handphone adalah 17 September 2012. Ia kini kembali ke tiga hari yang lalu.

Ia mengamati jam. Masih sangat pagi. Jika benar ini adalah tiga hari yang lalu, pikirnya, aku harus bergegas. Pada tanggal ini ia dan perempuan itu janji bertemu di Lebakbulus. Ada sebuah bazar buku di kawasan itu. Ia telah berjanji kepada perempuan itu akan menemaninya ke tempat itu.

Ia berdiri. Di atas lemari tampak beberapa uang logam seribuan bertumpuk membentuk menara—yang diberikannya kepada perempuan itu tiga hari yang lalu. Ia menggelengkan kepalanya, tak habis pikir Tuhan memberinya keajaiban lain. Ia mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi. Dalam ingatannya, hari ini adalah hari yang begitu membahagiakan baginya. Terbayang sudah di benaknya, ia dan perempuan itu di sebuah bis yang melaju pelan menuju Bekasi. Terbayang sudah sebuah ciuman yang tiba-tiba diberikan perempuan itu ketika mereka berada di lokasi bazar buku. Tak seperti kemarin, ia kali ini begitu antusias menghadapi hari yang ganjil itu.

Dan keeseokan harinya keajaiban masih berlanjut. Terbangun dengan rasa yang aneh, seolah beban berat tengah menimpanya, ia menyadari hari itu adalah Minggu. Selain tanggal pada handphone, telepon dari perempuan itu membuktikan dugaannya benar. Pada hari inilah perempuan itu dengan antusias menceritakan padanya tentang keinginannya untuk mendatangi sebuah bazar buku di kawasan Lebakbulus. Perempuan itu merengek-rengek seperti akan menangis. Ia mengabulkan permintaan perempuan itu sambil tersenyum membayangkan apa yang akan terjadi esok hari. Jika dugaanku benar, pikirnya, esok hari adalah Sabtu.

 

BEGITULAH seterusnya hari-harinya berlalu. Besok hari adalah kemarin. Lusa adalah dua hari yang lalu. Setiap kali terbangun ia dikepung sekelumit ingatan yang meminta perhatiannya. Kadang ia tergesa-gesa menuju kamar mandi setelah menyadari bahwa ia terlambat bangun sementara ada janji yang harus ia penuhi hari itu. Kadang ia merasa matanya pedih dan menyadari bahwa malam harinya ia sempat menangis sekian lama. Ia merindukan perempuan itu, setiap harinya. Dan rasa rindu itu semakin manis dan mengganggu ketika ia justru melewati satu hari dengan perempuan itu hanya untuk melupakannya. Ia tak menikmati hasil dari apa yang dilakukannya kepada perempuan itu hari ini. Jika hari ini ia melakukan hal-hal baik kepada perempuan itu, ia harus paham bahwa ketika ia tidur nanti dan terjaga esok harinya, perempuan itu sama sekali tak akan mengingat hal-hal baik itu. Lebih buruk lagi, ia merasa hal-hal baik itu tak ada gunanya, selain mendatangkan kegembiraan yang hanya bertahan hingga matanya lelah.

Pernah suatu hari ia bersusah payah mengubah alur peristiwa yang akan dihadapinya. Dalam ingatannya, hari itu ia melakukan hal bodoh yang membuat perempuan itu mengabaikannya sekian lama, menunjukkan sikap tak senang, memasang dengan tegas sebuah tabir yang membuat mereka terpisah meski secara fisik sangatlah dekat. Ini kesempatan, pikirnya. Ia mencoba bersikap tenang, sambil memikirkan bagian mana saja yang harus ia ubah dan apa saja yang harus dilakukannya jika perubahan itu tak berdampak baik.

Kali itu ia berhasil. Dua puluh menit berjalan kaki dari stasiun Cikini ke Taman Ismail Marzuki digantinya dengan ongkos bajaj. Meski harga buku-buku di sana tetap mahal, ia dan perempuan itu menikmati saat-saat mereka di sana dengan riang. Di dalam bioskop pun, perempuan itu tak menjauhkan dirinya seperti pada kejadian pertama.

Namun kali lain ia gagal. Perubahan yang dilakukannya hanya menunda keburukan itu datang. Ia telah mencoba sabar, bersikap manis, tapi ada saja hal-hal kecil yang membuat perempuan itu mengabaikannya. Ingin sekali ia mengatakan kepada perempuan itu bahwa ia telah berusaha keras memperbaiki hari-hari mereka yang semula buruk namun urung juga. Ia sadar, ia ingat, mengatakan hal itu kepada perempuan itu hanya akan memperburuk keadaan. Ia memang menyebalkan ketika sedang marah, ujarnya pada diri sendiri. Terima saja, tambahnya. Lalu ketika hari berganti, seperti yang ia duga, kemarahan perempuan itu lenyap. Apa yang membuatnya kesal di hari sebelumnya sama sekali tak meninggalkan bekas padanya. Tentu saja, perempuan itu tak mengalami apa yang dialaminya. Untuk kasus yang satu ini ia merasa diuntungkan.

Tapi sampai kapankah ia akan menjalani kehidupan seperti itu? Pernah ia tanyakan hal itu pada dirinya. Tak ada jawaban. Ia sendiri sesungguhnya tak mengerti bagaimana sampai semua ini terjadi. Malam itu, beberapa jam setelah berpisah dengan perempuan itu di bandara, ia tak ingat meminta atau mendoakan sesuatu. Tak ingat. Yang ia ingat saat itu ia begitu sedih menyadari sosok mempesona itu tak akan bisa dijumpainya untuk jangka waktu yang tak pasti. Yang ia ingat adalah kata-kata perempuan itu yang dituliskannya di layar handphone-nya: Makasih. Aku juga sayang kamu. Kamu jangan sedih ya. Saat itu ia baru saja mengatakan secara diam-diam kepada perempuan itu lewat layar handphone-nya: Aku sayang kamu, Nona….

 

DAN tibalah ia pada hari yang begitu penting, barangkali paling penting di antara hari-hari lainnya: Minggu, 14 Agustus 2011. Ia terbangun ketika hari telah siang. Ia ingat beberapa jam sebelumnya ia dan perempuan itu baru saja mengucapkan sebuah janji. Ia ingat apa yang ia katakan kepada perempuan itu dan apa yang dikatakan perempuan itu kepadanya. Ia merasa… ringan, seakan-akan di kedua punggungnya telah tumbuh sayap yang siap membentang kapan saja ia membutuhkannya. “Aku kini memiliki seseorang,” gumamnya. “Dia mencintaiku,” tambahnya. Ia mengambil handphone. Begitu saja ia tersenyum mendapati pesan-pesan masuk yang mengisi handphone-nya belakangan ini.

Beberapa hari sebelumnya pun ia mengalami kegembiraan yang serupa—untuk tak mengatakan sama. Yang dimaksud di sini adalah hari-hari setelah tanggal 14, hari-hari di sisa bulan Agustus dan di sepanjang September yang meriah. Ia dan perempuan itu. Sms dan percakapan sepanjang malam. Wallpost-wallpost mesra. Sebuah kado. Ucapan dan doa lembut menjelang tidur. Hari-hari menyenangkan itu kembali dialaminya dan itu nyaris membuatnya tak bisa menahan diri untuk tak memberi tahu perempuan itu apa yang sebenarnya tengah dialaminya. Namun membayangkan apa yang akan terjadi jika perempuan itu tahu, juga momen-momen yang terlampau indah untuk ia rusak dengan satu pernyataan konyol, membuatnya menguatkan diri. Ia tak perlu tahu, pikirnya. Ia pun mengambil handphone dan menelepon perempuan itu. Suara perempuan itu, baginya, serupa barisan angka yang seketika berubah jadi pernyataan cinta, membentangkan sayap-sayap mayanya begitu saja, membuatnya seolah melayang-layang di kamar itu.

Betapa anggunnya kebahagiaan itu, gumamnya.

Namun ketika malam tiba, ia memahami satu hal: hari ini adalah awal sekaligus akhir. Sampai detik itu mereka adalah sepasang kekasih, dua orang yang saling mengungkapkan cinta secara cuma-cuma. Besok, ketika ia terbangun dari tidurnya, keadaannya akan berbeda. Ia akan kembali ke hari di mana ia dan perempuan itu belum saling mengucap janji. Ia akan kembali ke hari di mana ia dan perempuan itu masih saling menunggu satu sama lain untuk sebuah kepastian. Ia dan perempuan itu akan kembali ke hari di mana mereka hanyalah teman yang berbagi kegembiraan. Ya, teman. Tiba-tiba ia gelisah. Tiba-tiba ia merasa tak siap menghadapi hari esok. Satu tahun yang ganjil, pikirnya. Ia terdiam begitu lama ketika perempuan itu sedang mengajaknya bicara malam itu. Perempuan itu memanggil-manggil namanya. Ada kecemasan pada nada itu. Ia balas memanggil perempuan itu, dengan nada yang teramat lembut. Perempuan itu mengungkapkan rasa cintanya. Ia melakukan hal yang serupa. Tanpa sadar, air matanya menetes pelan dan mulai jatuh.

 

BEBERAPA menit yang lalu ia terbangun. Telah dipastikannya bahwa kutukan yang menimpanya belum berakhir. Ya, kutukan. Semula ia menganggap itu keajaiban, Tuhan telah memberinya kesempatan untuk menikmati lagi hari-hari bahagianya. Namun kini ia dan perempuan itu tak lagi bersama. Bahkan, dalam beberapa hari ke depan, ia dan perempuan itu akan tak saling mengenali. Ah, kurang tepat. Yang benar adalah ia akan mengenal perempuan itu namun perempuan itu tak akan mengenalnya, ia akan merindukan perempuan itu namun perempuan itu tak akan merindukannya, ia akan jatuh cinta pada perempuan itu namun perempuan itu tidak. Sekali lagi, ia merasa tubuhnya begitu berat. Sepasang sayap itu, yang semula mudah membentang membuatnya seperti melayang, kini tinggal kerangka rapuh dengan bulu yang berlepasan. Ia tak bisa lagi tersenyum. Setiap kali mendengar suara perempuan itu atau membaca pesan darinya, ia selalu membayangkan hari di mana perempuan itu akan menghilang dari kehidupannya. Ini tak adil, pikirnya. Tiba-tiba ia berdoa—sesuatu yang sudah sangat lama tak dilakukannya, “Tuhan, jadikan semua yang kualami ini mimpi, dan bangunkan aku.”

 

EMPAT Agustus 2011. Malam hari. Beberapa menit lagi sms dari perempuan itu akan tiba. Ia akan berpura-pura menanggapinya seolah-olah ia belum mengenal perempuan itu, seperti pada kejadian pertama. Ia merasa sedih. Malam ini adalah malam terakhir perempuan itu mengenalnya. Percakapan nanti—lewat sms—adalah percakapan terakhir mereka. Besok ia akan menjadi orang asing bagi perempuan itu. Tak akan ada jejak-jejaknya, tak akan ada apa pun darinya yang tersisa dalam ingatan perempuan itu. Sudahkah ia siap? Tidak. Nyata sekali ia tak siap. Saat menyadari dalam beberapa detik lagi ia akan terlelap, ia mengucapkan dengan perlahan kepada perempuan itu kata-kata yang pastilah tak didengarnya: aku mencintaimu....

Ia pun terlelap. Kesedihan erat memeluknya hingga pagi tiba. Ia belum tahu, ketika nanti ia terjaga, hari akan kembali bergerak maju, dan ia tak akan ingat telah mengalami satu tahun yang ganjil itu. Semuanya akan kembali normal. Ia dan perempuan itu. Sms mesra dan percakapan dini hari. Hanya yang mendengar cerita ini yang kelak tahu: kehidupannya telah berulang tanpa pernah ia sadari. (*)

 

 

Bogor, 2012

(untuk Fisca)

Ardy Kresna Crenata, lulusan Matematika Institut Pertanian Bogor. Menulis puisi dan cerpen. Kumpulan cerpennya yang telah terbit: Pendamping (Indie Book Corner, 2012).

 

 


Filed under: Ardy Kresna Crenata Tagged: Koran Tempo

Kisah Pemetik Kopi

$
0
0

Cerpen Dahlia Rasyad (Jawa Pos, 30 Desember 2012)

Kisah Pemetik Kopi ilustrasi Budiono

: untuk Syamsu Indra Usman Hs

APA yang kau tahu tentang kopi sampai-sampai seorang Homer melegendakan kopi sebagai minuman misterius yang punya kekuatan luar biasa tak terjelaskan? Apa yang kau tahu tentang kopi jika Raja Louis XIV menemukan rumah kaca untuk pertama kalinya demi melawan ketidaksanggupan tanahnya menanam kopi? O, apa yang akan tercetuskan andai saja Newton bukan bertemu dengan buah apel, melainkan kopi?

 ***

AH, ketika kopi masuk ke kehidupan Eropa, katamu, dengan jalan dari Turki ke Venezia, sedikit cengkih dan kayu manis saja, maka para Imam dari kota Makkah akan menuntut larangan sebar dengan alasan bid’ah. Hanya saja setelah mencicipi, Paus Clement VIII menyebut bahwa Tuhan telah memberkati kopi. Lalu dari Itali kopi beranjak ke Perancis, masuk ke Inggris, seterusnya hingga ke belahan Mediterania.

Tahukah engkau Nun, ada seorang India yang nekad membawa diam-diam benih kopi keluar dari Arab, menyembunyikannya dalam perut lalu sesampainya di India ia simpan dan ia tanam di sebuah gua dekat perbukitan Chikmagalgur hingga akhirnya tersebutlah ‘Old Chick’ itu? Juga tentang seorang Wina yang mendapatkan kopi setelah ia berjuang mati-matian mengalahkan pasukan Turki yang menyerang kotanya, lalu hanya dengan menambahkan gula dan susu saja ia lupa dengan lelahnya pertempuran itu?

Katamu—seperti yang kau dengar dari si tuan kebun bertahun lalu—orang-orang Eropa itu membunuhi awak-awak kapal pedagang untuk membajak kopi karena orang-orang Arab terlalu sulit untuk memberi kopi-kopinya. Ya, kau masih sangat mengingat itu. Cerita-cerita dari tuan kebun yang membuatmu terkagum-kagum di ranjang pengantin, cerita-cerita selepas malam pertama, bahagia, seperti aroma kopi yang menyesap di ingatan tatkala butir-butir hitam garingnya pecah di lumpang batu.

Kau mengingat-ingat lagi cerita Nek Muna, inang pengasuhmu dari dusun Pagaralam dekat pegunungan Bukit Barisan sewaktu mandi bekasai [1] di sungai. Nek Muna menceritakan tentang sultan Ottoman dari Turki yang sengaja melarang kopi disebarkan di negerinya sendiri, juga petinggi-petinggi gereja di Afrika dan Yaman yang melarang rakyatnya meminum air pahit nan candu itu hingga Menelik II dari Ethiopia memerintah. Ai, biji-biji yang banyak membuat gadis-gadis Ulumusi dipinang menjadi istri….

Kau tidak memulai cerita apa-apa. Seperti biasa, diam mendengarkan cerita kawan-kawan pemetik menyampaikan apa yang ia dengar dari orang-orang kota kalau di sana, di Turki, seorang istri wajib menceraikan suami jika saja tidak bisa memenuhi kebutuhan kopi sehari-hari, juga cerita ketakutan gubernur Khair Beg di Makkah yang mengira kalau kopi akan bisa membuat rakyatnya memberontak pada kekuasaannya. Cerita-cerita itu bergemerisik seperti dedaunan kopi dalam lambaian lembut pohon-pohon tak ubahnya bunyi kunyahan para pemetik saat beristirahat siang di bawah rerimbunan.

Bahkan kau sendiri pun tak tahu mengapa kau bisa menjadi petani kopi di lereng itu. Setahumu, kau sudah menjadi petani kopi sejak kau melihat keringat Ayahmu memercik-mercik hangat tatkala ia menghempas karung-karung berisi buah kopi di dapur talang [2] dengan pundak melengkung seperti bambu tua yang kasap. Tinggal berbulan-bulan dalam hutan, memungut sisa-sisa buah kopi di tanah setelah petik racutan usai. Lalu kau jadikan bubuk sama seperti memanggang daging anak kijang: menggali lubang, menyalakan api, memasukkan kopi ke dalam lubang, lalu ditutup untuk kemudian ditunggu hingga butiran-butiran manis kepahitan itu meletup-letup keluar dari dalam.

Kau tidak punya kisah kopi untuk diceritakan. Saat ada orang mengatakan bahwa Brazil adalah penghasil kopi terbesar di dunia kau hanya minder karena biji kopimu hanya asalan. Saat kau mendengar orang-orang kampungmu yang baru pulang haji mengatakan bahwa Makkah adalah rumah bagi para penikmat kopi, kau mulai terkenang dengan hektaran kebun kopi yang dulu pernah menjadi milikmu. Oh, apakah lelaki itu yang masih menyelinap masuk dalam ingatanmu setiap kali daging kopi kau gigit di ujung lidahmu? Memberi rasa manis kepahit-pahitan….

Ya, lantas apakah bagimu kopi itu, Nun? Apakah itu rendahan, minuman memabukkan yang hanya layak untuk para budak? Atau air kiriman dari malaikat di surga hanya untuk mereka yang beriman? Atau mungkin air hitam nan elegan yang hanya pantas ada di cangkir-cangkir keemasan kaum bangsawan? Kau pun mulai menceritakan tentang Kesultanan Usmaniyah yang menghukum cambuk rakyatnya yang peminum kopi. Kau ceritakan itu lagi, tentang Raja Gustaff II di Swedia yang menentukan benar salahnya seorang terdakwa hanya dari minum kopi. Dan akhirnya kau bisa sedikit berani mengatakan bahwa orang-orang di kerajaan Gustaff itu kini adalah orang-orang peminum kopi yang paling fanatik di muka bumi!

Tentu saja, tentu saja. Meski kau tidak tahu kalau Beethoven sampai-sampai perlu menghitung biji kopi yang akan dinikmatinya sebanyak 60 buah, atau Bach yang menyanyikan kopi lebih nikmat dari ribuan ciuman dalam melodi Kaffee-Kantate-nya.

Telingamu yang mengkerut dan berbulu halus itu sudah banyak mendengar anak-anak remaja mengelu-elukan Espresso khas Italia yang konon lembut dan kentalnya tak terkatakan karena canggihnya alat penyeduh yang mampu hanya mengeluarkan sari kopi saja dengan busa cokelat kemerahan di atas permukaannya. Hm, kau juga sudah mendengar tentang kopi Hawaii yang tersohor laiknya candu itu, bukan? Kopi Costa Rica yang mampu memberikan sensasi seperti menghisap rokok, dan kopi Kenya yang diakui seantero penjuru terlezat di dunia karena aroma dan rasanya yang seperti buah berry. Tapi tahukah kau kalau kopi-kopi itu ditanam di Indonesia, dibawa Belanda ke Perancis, dari Perancis ke Amerika, hingga tersebar ke pelosok dunia yang namanya mungkin tak pernah kau dengar sama sekali?

Ai, kau hanya terkekeh kecil mendengar itu, tak tahu-menahu apa pentingnya bagimu. Kau menganggap itu hanya seperti cerita perjalanan yang sangat menghibur untuk orang-orang sepertimu, para pemetik kopi yang menghabiskan tenggat umur, turun-temurun, hanya di dalam kebun. Lalu kau ceritakan tentang kakek buyutmu yang seorang petani kopi paksaan Belanda di tanah Jawa pada tahun 1696. Oh ternyata…ternyata, oleh sebab itulah kau hanya diam tak bisa bercerita apa-apa setiap kali mendengar cerita-cerita tentang kopi?

Tapi ai, mungkin memang kau tak perlu tahu kemana dan untuk apa kopi itu ditanam. Seperti katamu, ke mana pun kopi ini sampai, di situlah asalnya akan dibicarakan, sebab kopi-kopi inilah yang akan menceritakan dirimu, bukan sebaliknya.

***

Sewaktu berumur lima belas, kau gadis ranum semampai berwajah bulat bak buah kopi mengundi peruntungan di sepetak hektar kebun milik Mang Ma’un, seorang mantan pasirah marga Pasemah yang tersohor kaya seantero Empat Lawang. Mengumpulkan butir demi butir kopi di keranjang bambu petungmu yang hanya sepikul, membawanya ke pancuran air sungai yang mengalir di lingkaran bahu-bahu bukit, membasuhnya hingga getah daging yang menempel di bijinya tersaput begitu licin. Kau jemur di atas tikar pandan kekuningan di pematang-pematang kebun yang tanahnya bergelombang sebelum akhirnya kau membakar balok-balok kayu pohon karet di bawah tungku berusia 70 tahun di belakang gudang penyimpanan.

“Kayu ini apinya kecil dan dapat memberi rasa dan aroma yang khas pada kopi,” tukasmu kalem. Begitulah akhirnya tuan kebun melihat bokongmu yang bulat dari sebalik kemban bercorak bunga yang kau kenakan. Hingga letupan-letupan kopi yang matang dalam panci besi hitam itu seperti irama detak jantungmu saat matanya menatapmu penuh birahi. Lalu hawa bara dari kayu bakar di tungku lamat-lamat tak kau rasakan lagi, sama panasnya dengan tubuhmu!

Mang Ma’un, begitu akrabnya ia dipangggil, sebetulnya kagum dengan tangan lembutmu yang merah jambu saat pokok-pokok kopi berbuah itu kau petik satu-persatu tanpa sedikit pun tungkai yang terlepas dari dahannya. Tak ada mesin canggih apa pun yang bisa menggantikan tangan pemetik sepertimu! Camnya penuh kepuasan. Maka tanpa ragu ia pun menyanggupi bentalan [3] itu: kerbau, beras, kelapa, kemiri, dan berkilo-kilo kopi….

Tapi, apakah kau tidak mengira sebelumnya bahwa mungkin, o mungkin saja, tuan kebun kaya seperti Mang Ma’un akan banyak memperistri gadis-gadis muda…? Sebagaimana tuan-tuan kebun di sana, ia pun tentunya akan beristri banyak pula!

Kau menyungut di titik kenangan itu. Airmatamu mengalir membasuh kulit wajahmu yang berdebu. Ai, sudah nyaris tiga puluh tahun lamanya. Mang Ma’un kini bahagia dengan kedua istri mudanya yang masing-masing telah memberinya anak lima. Sedangkan kau, hanya memberinya seorang anak lelaki yang bernama Hamim. Anak lelaki yang berketerbelakangan mental, dengan batok kepala sedikit membesar dan tubuh yang pendek gempal. Hamim tak bisa berpikir, dan sering bertindak sesuai suasana hati. Jika perasaannya sedang bosan, ia akan tiba-tiba menghilang entah kemana, minggat berhari-hari ke rumah orang tak dikenal di dusun tetangga. Jika ia sedang malas-malasan, ia akan memanjat pohon gamal di kebun-kebun kopi, dan bertahan di atasnya bahkan sampai malam tiba.

“Lima hektar untuk Rogaya dan lima hektar untuk Saridah?” sungutmu, melihat wajah Mang Ma’un yang mengangguk tenang. Ia cuma kebagian satu hektar lantaran hanya punya satu anak.

“Mereka jantan-jantan, Nun. Sedang Hamim tak tahu-menahu cara mengurus kebun.”

“Waktu kau pinang mereka kau sodorkan biji kopi peraman delapan tahun, sedang aku hanya yang dua tahun. Padahal aku hidup denganmu sewaktu tanahmu baru ampagh geboh. [4] Kau tega sekali.”

“Pantang bagiku untuk tawar-menawar bentalan, Nun. Kau dengar sendiri, Wak Madi sangat pandai berpatah kata. Sampai tak ada jalan untuk mengelaknya,” ujar Ma’un mengingat saat ia bermusyawarah soal biaya pernikahan dan menentukan tanggal kawinnya dulu di rumah gadis yang sekarang menjadi istri mudanya.

Nun diam.

“Sudahlah, tak baik kenang-kenang itu lagi. Itu sudah lama lewat. Aku tak mungkin memberi mereka satu hektar karena anak-anakku harus punya masa depan.”

Ia memandang Hamim yang memelintir-melintir rambut tipisnya di muka laman sambil terus mengutak-atik mainan gasing yang ia buat dari kayu pohon sawo. Melihat anak itu ia tak bisa berbuat banyak lagi, memang kenyataannya ia anak yang idiot, tak bisa diharapkan untuk meneruskan usaha kopi ayahnya, membuat hati Nun semakin teriris perih.

Hamim tidak tumbuh laiknya orang normal. Selain pertumbuhan otaknya yang lamban, tubuhnya juga hanya separo dari tinggi ibunya. Matanya yang menyipit ke dalam dan kulitnya yang mirip orang mongol membuatnya tambah berbeda dari anak-anak lain. Entahlah, bagaimana bisa sampai ia melahirkan anak seperti Hamim. Banyak orang dusun bilang kalau ia sudah melanggar pantangan bagi perempuan hamil duduk di buku duagho, di mana anak yang dilahirkan akan cacat fisik dan mental, serta tidak disenangi kelakuannya.

Namun Hamim anak yang baik. Ia tidak pernah mengganggu orang ataupun anak-anak yang sedang bermain. Meski ia tidak pernah diajak bermain dan kerap dijitak-jitak kepalanya, ia selalu diam dan memilih mengalah. Ia selalu menemani Nun kemana-mana. Jika tidak sedang dilanda galau, ia akan bersedia menggantikan ibunya menyangrai kopi dan mengangkat alu yang nyaris seberat tubuhnya untuk ditumbukan ke lumpang yang sudah berisi biji kopi sangrai. Ia juga kadang ikut membantu orang yang ingin berhajat kawin ngersayo, mengumpulkan bambu dan rotan untuk dibuat lembongan atau teratak demi meluaskan tempat masak-memasak, termasuk membongkar teratak itu di malam nyerawo. [5]

Tapi suatu hari saat ia melihat ibunya menangis, ia begitu sangat tersentuh dan mengguncang-guncang tubuh ibunya agar mengatakan padanya apa yang membuatnya menangis. Nun tak sanggup mengatakan pada sang anak untuk memilih berpisah dengan ayahnya. Nun sudah tak sanggup hidup serumah dengan kedua istri muda suaminya, dan memilih melepaskan segala harta warisan sehektar kebun kopi yang sudah terberikan untuknya sewaktu ijab-qabul dulu.

Seketika saja tape nyelai dan dawat dalam ruas-ruas bambu yang Hamim dapatkan dari membantu orang melubangi tanah sawah berhamburan ke lantai, keluar-keluar dari pembungkusnya. Aroma khas dari daun kemiri yang menjadi pembungkus tape itu bertebaran di mana-mana. Ia memukul-mukul meja kayu dan menghentak-hentakkan kaki tubuh sampai terduduk, mengusap-usap mukanya yang dibanjiri air mata hingga matanya yang sipit terbuka ke bawah.

Hamim tak sanggup menahan emosinya yang begitu mendalam, meski sebenarnya Nun tidak menyangka kalau sikapnya akan sebesar itu. Ia berlari ke tengah kebun kopi yang sudah nyaris petik merah di mana pemetik-pemetik kopi sudah siap dengan keruntung mereka untuk memanen. Namun mereka keduluan Hamim yang membawa segerigen minyak tanah dan menghamburkan minyak itu ke pohon-pohon kopi yang berbuah. Ia pantik karbit korek api dengan tangannya yang gemetar oleh amarah, dan terjadilah….

Pohon-pohon kopi berebahan, menjalar ke pohon penaung yang tumbuh di sela-sela dan pinggiran kebun, menjalar hingga ujung patok yang bersebelahan dengan kebun sayur. Luasnya kebun dan bakaran api yang menyebar membumbungkan asap tebal, membuat Hamim kehilangan arah jalan keluar. Ia berteriak meminta tolong, namun orang-orang terlalu mustahil untuk memadamkan api yang menjalar seluas itu, secepat itu. Hamim akhirnya ditemukan hangus terbakar di tengah kayu-kayu kopi yang telah menjadi bara.

Nun histeris dan sempat tak sadarkan diri melihat tubuh anaknya terpanggang seperti biji-biji kopi hitam yang meletup-letup mengeluarkan rembesan darah dari dagingnya….

Ia gila karena seringnya meratap. Sampai suatu ketika ia bisa sedikit melupakan kejadian itu ia menepikan diri di ujung selatan kaki bukit paling rindang dalam sebuah pondok kayu merbau sisa peninggalan sang Ayah, dan kembali menjadi pemetik kopi….

Begitulah, mengapa kau hanya diam mendengar cerita-cerita tentang kopi, terkekeh kecil tanpa tahu-menahu apa pentingnya itu, termasuk tentang kebun yang sebenarnya adalah milikmu sendiri, yang Hamim coba katakan padamu saat membakar kebun itu.

Ah, kalau Newton bisa terilhami dari sebutir apel, maka apa yang bisa kau katakan dari sebutir kopi, Nun? (*)

 

 

Catatan

[1] Mandi Bekasai adalah mandi bersama inang pengasuh dan para bujang gadis di sungai sebelum kedua calon pengantin melakukan kegiatan betangas dan beinai  untuk menyambut hari pernikahan. Dalam mandi bekasai ini kedua mempelai saling menyemburkan air secara berbalas-balasan diikuti oleh para bujang gadis desa sambil bergembira dan bercanda. Sedangkan orang tua yang mengikuti mereka mandi memandikan kedua mempelai dengan air yang telah dicampur bunga.

[2] Pemukiman sangat kecil yang menyerupai pondok yang sengaja dibuat karena lahan garap/kebun berada jauh dari dusun, biasanya di kaki bukit yang berjarak puluhan kilometer atau berhari-hari perjalanan.

[3] Bantuan materi dari pihak si bujang yang disepakati dalam musyawarah urun rembuk dengan pihak si gadis perihal mas kawin dan perlengkapan hajatan pernikahan mereka, juga penentuan tanggal pernikahan. Bentalan ini dilakukan oleh kedua juru bicara dari kedua belah pihak.

[4] Hutan yang baru dibabat, belum dibakar atau dibersihkan untuk dijadikan lahan tanam. Bekas babatan kebun ini masih centang-perenang, belum bisa ditanami.

[5] Malam hari setelah hari jadi pernikahan dengan sejumlah acara seperti dzikir, saropal anam dan pembubaran panitia. Siang harinya, sanak keluarga dan handai tolan membongkar lembongan  (teratak) dengan jamuan kepala kerbau atau kepala sapi. Lalu inang pengasuh diantar pulang. Bujang gadis dapatan atau muda-mudi yang bekerja secara sukarela membantu membuat dekorasi dan memasak kue untuk persiapan pesta. Setelah usai hajatan, mereka diberi uang saku sebagai uang ganti beli baju, sabun, kain dan hadiah lainnya sebagai rasa ucapan terimakasih.

 

 


Filed under: Dahlia Rasyad Tagged: Jawa Pos

Bulan Biru

$
0
0

Cerpen Gus tf Sakai (Kompas, 6 Januari 2013)

Bulan Biru ilustrasi M Bundhowi

AKU tahu, kau mengenal bulan biru. Bulan bulat sempurna kedua pada kalender Masehi di bulan yang sama. Purnama ke-13 yang muncul periodik dua atau tiga tahun karena selisih 10,6 hari setiap tahunnya. Tetapi, pernahkah kau melihat purnama kedua itu, dalam setiap 106 kali kemunculan, mengembalikan apa pun kejadian ke suatu malam lain di lain zaman?

Dan malam itu, pada zaman di mana para binatang bisa bicara seperti manusia, seorang gadis cilik disuruh ibunya ke sumur, mengambil belanga. “Belanga yang sudah Ibu cuci ya Nak, telungkup di atas bantalan.”

Si gadis menjawab, “Ya, Bu,” seraya bergegas melangkah ke sumur. Tetapi, saat menjulurkan tangan meraih belanga, di bawah terang pendar purnama, ia terkejut. Belanga itu bergerak, merayap turun dari bantalan.

“Bu, Ibu!” teriak si gadis, “Belanganya merayap!”

“Apa?!” suara si Ibu kaget, tak kalah heran. Kepala si Ibu menjulur dari pintu dapur. “Ayo Nak, cepat tangkap!”

Patuh, si anak menyergap. Tetapi si belanga, yang sebenarnya adalah seekor kura-kura, menggelicit dari tangkup tangan si gadis, terus meluncur ke arah sungai.

“Bu, belanganya lari! Ke arah sungai!”

“Ayo, Nak, cepat kejar!”

Si gadis cilik yang masih tak sadar yang disangkanya belanga adalah kura-kura, dengan patuh lalu mengejar. Tetapi, begitulah, pada zaman di mana kura-kura bisa bergerak cepat seperti buaya, usaha itu cuma sia-sia. Si gadis tergelincir, tepat saat si belanga melompat ke sungai. Si gadis terguling, ikut jatuh ke sungai, seolah menyusul si kura-kura. Dan lalu, entah bagaimana caranya, mereka kemudian tersedot, bagai diisap diputar arus, terseret ke kedalaman. Dan entah bagaimana pula caranya, tiba-tiba mereka telah terempas, berada dalam lukah raksasa.

Seiring dengan kesadaran (tentu juga keheranan) si gadis yang tetap bisa bernapas, tak megap-megap seolah masih berada di udara bebas, lukah raksasa tiba-tiba sirna. Malam, dan di langit masih purnama. Namun aneh, warna bulan seperti berbeda. Biru? Si gadis mengamati sekeliling, dan tiba-tiba sadar: tak ada lagi sungai, tak lagi tampak rumahnya. “Kita berada di mana?” desis suara, tiba-tiba pula, terdengar dari dekat kakinya.

Si gadis cilik menundukkan wajah, mengerjap-ngerjap menajamkan mata. Di bawah lindap biru purnama, ia mengenali sumber suara: si belanga. Barulah si gadis cilik sadar yang sejak mula disangkanya belanga ternyata seekor kura-kura. Ah, bodohnya. Tetapi, bodoh atau tidak, kini, tak lagi sempat ia pikirkan. Apalagi saat suara kecil si kura-kura jadi lengking ketika berteriak:

“Lihat!”

Di depan mereka, bagai tersingkap dari kelam (atau dari kabut?), orang-orang berlalu-lalang. Bukan, bukan berlalu-lalang, melainkan ramai-ramai bekerja, gotong-royong membangun sesuatu. Bukan, bukan gotong-royong, melainkan seperti berpesta, karena bekerja dengan sorai “Huraaa!” dan gelak tawa.

Si gadis cilik tertegun. Si kura-kura terlongong. Bangunan apakah yang sedang orang-orang ini kerjakan? Sangat besar, sangat tinggi. Begitu besarnya, hingga seolah menutup keluasan pandang. Begitu tingginya, hingga seolah menjangkau mencapai bulan.

Aku tahu, kau mengenal banyak bangunan aneh. Bangunan ajaib, tak masuk akal, yang tak mungkin diciptakan oleh suatu masyarakat pada suatu zaman. Stonehenge di Wiltshire, patung-patung vulkanik di Pulau Paskah, ataupun piramida yang berserak menyebar tak habis-habis di sepanjang Sungai Nil. Tanpa ada paku, lem, atau perekat apa pun, bagaimana cara menyusun ribuan batu yang beratnya puluhan ton?

Dan kini, pada suatu tempat di zaman sekarang, hal serupa juga terjadi. Sebuah bukit, setelah kebetulan longsor dan digali, ternyata adalah bangunan raksasa, dari zaman sangat lama, yang bahkan tak mungkin diciptakan oleh masyarakat modern masa kini. Profesor Kipling, si pemimpin ekskavasi, tercengang, takjub, dan lebih takjub lagi saat mendapati kenyataan si bangunan ditemukan dalam masyarakat yang sama sekali tak mengenal tugu atau candi. “Kenapa bisa?” desisnya.

Dan desis itu, karena berkaitan dengan ilmu lain yang bukan bidangnya, membuat Profesor Kipling butuh profesor lain, Dananjaya, antropolog lokal, yang justru lebih tercengang lagi. “Dalam suku, dalam kultur masyarakat adat egaliter yang tak kenal peringatan berupa bangunan … kenapa bisa?”

Ketercengangan Profesor Dananjaya bertahan lama. Sangat lama. Bahkan lebih lama dari Profesor Kipling yang setelah si bangunan raksasa selesai diekskavasi, tuntas direnovasi, kembali ke negaranya.

Ketercengangan Profesor Dananjaya bertahan lama. Sangat lama. Bahkan diteruskan kepada muridnya, Profesor Mulyana, yang tak henti-henti memikirkan sebuah bangunan berupa pemujaan (atau prasasti?) ditemukan dalam masyarakat adat yang sistem kepemimpinannya tak berada di tangan seorang raja atau otokrasi.

Eh, otokrasi?

Tentu saja, tentu saja ada otokrasi di suku ini. Profesor Mulyana tahu, bentuk kepemimpinan dalam masyarakat adat suku ini berasal dari dua datuk: Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan. Datuk pertama memang percaya bahwa sumber gagasan, inisiatif, dan keputusan berasal dari rakyat karena rakyatlah yang sebenarnya tahu apa yang mereka butuhkan. Tetapi datuk kedua, Katumanggungan, bukankah selamanya percaya bahwa pemimpin adalah sumber gagasan, sumber inisiatif, dan sumber keputusan?

Datuk Katumanggungan … ya, datuk yang menyebut bentuk kepemimpinannya sebagai menetes dari langit dan suatu keputusan diambil dengan bertangga turun. Ya, bukankah itu otokrasi?

Aku tahu, kau bakal mengenal bangunan itu. Bangunan yang dilihat si gadis cilik, yang disaksikan si kura-kura, saat purnama berubah warna. Waktu. Bulan merah menjelma biru, malam terang jadi kelabu, semua melompat ke masa lalu. Waktu. Saat waktu seolah melipat, ujung satu bertemu ujung lainnya, apakah yang mampu bertahan, adakah yang masih bisa tersimpan, sebagai rahasia?

Dan malam itu, demikianlah, seekor bebek mendekati si gadis cilik dan si kura-kura. Sebelum mereka sempat bertanya, si bebek berkata bagai bergumam, “Begitu licik, begitu dalam goda kuasa.”

“Maksudmu?” tanya si kura-kura. Mereka masih sama tertegun, sama tercengang. Dalam samar, dalam lindap (atau dalam kabut?) sinar bulan biru, mereka lihat orang-orang menghela, menyeret, dan mendorong bongkah-bongkah batu. Batu-batu itu dipindahkan, dinaikkan, dengan tali, tangga-tangga dan roda-roda. Sesekali aba-aba, lalu sorak “Huraaa!” dan gelak tawa.

Si bebek masih diam (atau mungkin seperti berdesah), hingga si kura-kura kembali bertanya. “Maksudmu?”

“Maksudku … mm ya, bangunan itu.”

“Ada apa dengan bangunan itu? Mereka membikin apa? Dan kenapa licik? Lalu, yang kausebut goda kuasa?”

“Ah pertanyaanmu kok sekaligus. Ayolah, satu-satu.”

“Baik. Ini dulu: mereka membikin apa?”

“Ya seperti kalian lihat, mereka membikin bangunan. Dari batu-batu. Batu-batu yang bahkan didatangkan dari jauh. Bukan dari sini.”

“Lho, kenapa dari jauh? Kenapa bukan dari sini?”

“Ya memang harus begitu. Biar bangunan ini selesai lebih lama. Dan biar lebih sulit.”

“Loh, aneh. Bukankah mestinya dibuat lebih mudah. Dan secepat mungkin.”

“Itu bagi kita, atau bagi orang-orang yang bekerja. Tetapi bagi raja, tidak.”

“O,” si kura-kura menatap si bebek, “jadi, bangunan ini dibuat atas perintah raja? Lalu, kenapa raja ingin bangunan ini selesai lebih lama dan lebih sulit?”

“Itulah yang tadi kusebut goda kuasa. Dengan lebih lama dan lebih sulit, orang-orang, para rakyat ini, hanya akan terpaku pada pembangunan ini. Rakyat akan jadi lupa bagaimana raja menjalankan negara. Rakyat jadi tak peduli pada apa pun, juga pada berapa lama sang raja berkuasa.”

“Tetapi,” si kura-kura seperti kurang puas, seperti kurang mengerti, “mereka bekerja dengan gembira. Tak ada masalah bagi orang-orang ini, bagi rakyat ini. Kau lihat, betapa riangnya mereka.”

“Haa, kau juga tertipu. He he. Memang begitulah. Rakyat sengaja dibuat lengah. Raja akan bilang ini-itu, membuat cerita ini-itu, menciptakan mitos ini-itu, agar rakyat merasa telah melakukan hal sangat penting, sesuatu yang sangat berharga. Mereka jadi riang. Jadi bangga. Itulah sebab kenapa tadi kubilang licik.”

“Mmm …,” si kura-kura masih akan berkata, tetapi kemudian memilih diam. Diangkatnya wajah, tengadah, menatap ke puncak bangunan. Menembus lindap. Menembus kabut? Tinggi. Lebih tinggi. Bulan biru. Bulan waktu.

Aku tahu, kau mengenal bulan itu. Bulan biru, bulan waktu. Mungkin kau peduli, entah, mungkin juga tak peduli, entah, saat malam seperti berjubah dan kabut bagai merendah. Mungkin seseorang akan tersedot, entah, mungkin juga akan terisap atau terlempar, entah, saat purnama berubah warna dan si seseorang telah berada di lain masa. Si seseorang itu, kau lihat, tidakkah ia Profesor Mulyana?

Dan malam itu, pada zaman di mana para binatang bisa bicara seperti manusia, Profesor Mulyana bertemu dengan seekor kura-kura. Ya, kura-kura yang sudah kau tahu, dan kini jadi jawab, segala ketercengangan Profesor Mulyana.

“Goda kuasa?” gumam Profesor Mulyana, masih tak percaya, ketika si kura-kura menyelesaikan cerita.

“Ya,” jawab si kura-kura pendek, “karena begitulah kata si bebek.” (*)

 

 

Payakumbuh, 2012

Terima kasih kepada Elang Sikat Elang Sigonggong, cerita rakyat Merangin, Jambi, sumber inspirasi cerpen ini.


Filed under: Gus tf Sakai Tagged: Kompas


Sepatu Baru untuk Marilyn

$
0
0

Cerpen Tri Shubhi A (Republika, 6 Januari 2012)

Sepatu Baru untuk Marilyn ilustrasi Rendra Purnama

“IKHLAS ialah jalan menuju surga dan sarat mutlak diterimanya suatu amal oleh Allah SWT. Amal yang dilakukan seseorang karena ingin dipuji manusia, amal itu tidak akan sampai kepada Allah”

Begitulah kata-kata khatib yang terus diingat Marzuki yang tengah makan di Warung Tenda Sumber Rezeki Halal di pasar kecamatan. Memang tidak biasanya Marzuki tidak terkantuk-kantuk ketika khutbah jumat diuraikan. Pada Jumat inilah kantuknya tak hinggap dan ia tiba-tiba saja menjadi mustamik yang baik, mendengarkan khatib dengan seksama. Mungkin karena nyaris tak pernah menyimak serius perkataan khatib hampir di seluruh Jumatan yang pernah ia lalui, Marzuki amat terkesan dengan khutbah pertama yang ia simak baik-baik. Tema basar khutbah itu masih terngiang sampai makan siangnya tandas.

“Bagaimana caranya ikhlas?” renung Marzuki sembari mengorek giginya dengan tusuk gigi. Marzuki tiba-tiba merasa takut. Sejak selesai sembahyang Jumat itu ia berkeras mengingat-ingat jalan hidupnya.

“Pernahkan aku ikhlas sekali saja?” Rasanya belum.

Marzuki merasa setiap ibadah yang ia jalani ia lakukan hanya karena tuntutan lingkungan semata. Ia tidak yakin pernah ikhlas dalam hidupnya. Rasanya tidak ada amal yang sampai kepada Allah. Marzuki merasa belum pernah ikhlas.

Ketika Marzuki tengah khusyu merenung, datanglah Bu Deswinta bersama anaknya yang lucu bernama Marilyn. Perempuan paruh baya itu membeli lauk-pauk. Dulu mereka ini orang kaya tetapi kemudian jatuh miskin karena Pak Jhon Bambang Nasrullah, ayah Marilyn, tersangkut rasywah. Dipenjara.

“Mam, Marilyn mau sepatu merah itu” tiba-tiba Marilyn merengek kepada Mamanya sembari menunjuk ke toko sepatu yang ada di seberang warung tenda tersebut.

“Nanti ya, Nak, kalau Papamu bebas dari tahanan” bujuk Sang Mama.

“Tapi kan Papa bebasnya 20 tahun lagi, Ma, sepatu itu nanti tidak cukup lagi di kaki Marilyn,” Marilyn tabah merengek. Mamanya menghela napas sembari mengusap kepala Marilyn. Mata perempuan yang dulunya sosialita itu berkaca-kaca.

“Ini, Bu, lauknya,” Mbak penjaga warteg tiba-tiba memotong adegan mengharukan itu.

“Oh iya, terimakasih,” Bu Deswinta bergegas pergi selepas membayar lauk belanjaannya.

Tak ada orang yang kaprah ketika mata Bu Deswinta berkaca-kaca kecuali Marzuki yang kekhusuannya merenungkan perkara ikhlas koyak oleh percakapan mama dan anak itu.

“Ini saatnya untuk ikhlas,” Marzuki bertekad.

Dibayarnya makan siangnya kepada Mbak penjaga Warung. Lepas itu ia melangkah menuju toko sepatu.

“Berapa harga sepatu yang di etalase itu?” Tanya Marzuki tegas pada penjaga.

“Yang warna merah?” penjaga toko memastikan pertanyaan Marzuki.

“Ya,” jawab Marzuki tetap tegas.

“120 ribu Bang.”

“Apa awal bulan nanti harganya masih sama?”

“Mungkin.”

“Kalau begitu jangan jual sepatu merah itu. Awal bulan nanti aku akan membelinya…,” nada Marzuki tetap tegas. Lantas ia melangkah pergi. Penjaga toko kurang mengerti apa yang dimaksud oleh Marzuki.

***

Marzuki ialah seorang lelaki berusia 35 tahun yang sehari-hari memburuh di pabrik konveksi dekat pasar kecamatan. Ia punya istri bernama Maimunah yang kadang-kadang suka menyesal menikah dengan Marzuki. Dulu ia kira Marzuki akan sukses menjadi pengusaha, tapi ternyata tidak. Pasangan ini dikaruniai seorang putri bernama Tuti Astuti yang usianya hampir sama dengan Marilyn.

Ketika Marzuki gajian, setelah ia mendengarkan khutbah tentang ikhlas itu, Maimunah mengerang protes karena gaji suaminya kurang 120 ribu. Dan Marzuki tidak mau bilang ke mana uang itu. Mereka pun melakukan kegiatan rutin dalam kehidupan mereka: bertengkar!

“Bang Marzuki pasti selingkuh. Pasti!” Maimunah menggugat sembari terisak.

“Coba kamu pikir baik-baik Maimunah, apa cukup 120 ribu untuk selingkuh? Menafkahi kamu 1,8 juta sebulan saja kamu bilang kurang. Masa 120 ribu kamu curigai untuk selingkuh?”

“Ya terus ke mana uang itu? Abang korupsi!” jerit Maimunah sembari terus menghamburkan air mata.

“Maimunah! Jangan tuduh Abang seperti itu. Abang kira engkau adalah perempuan yang punya pribadi. Tetapi ternyata, kau sama saja dengan perempuan yang lain!” suara Marzuki meninggi, tak peduli pada air mata Maimunah.

“Abang juga sama seperti lelaki lain! Pembohong!!!” suara Maimunah tak kalah tinggi.

“Maimunah, berarti ada lelaki lain yang pernah membohongi kamu? Bukan hanya Abang? Jawab Maimunah!” Marzuki membentak.

“Abang…!!! Jangan tuduh Maimunah seperti itu. Sakit hati ini, Abang. Tak ada lelaki lain. Cuma Abang satu-satunya lelaki yang selama ini membohongi Maimunah. Satu-satunya dalam hidup Maimunah. Tak ada yang lain. Percayalah Abang….”

Maimunah bercucuran air mata. Lantas ia berlari secara dramatik, masuk ke kamar. Air matanya belum juga reda. Di dalam kamar, di atas kasur, ia terus menangis sembari menggigit-gigit ujung sarung bantal.

Tak ada maksud dari pihak Marzuki untuk menyakiti hati Maimunah. Ia cuma mau ikhlas. Uang itu akan ia gunakan membeli sepasang sepatu. Ia tak mau ada satu orang pun yang tahu ia hendak membeli sepatu untuk Marilyn. Ia mau benar-benar ikhlas. Cukup ia dan Allah saja yang tahu. Dan betapa beratnya laku ikhlas itu.

“Ini cobaan-Mu, ya Allah. Hamba akan terus berikhtiar untuk berbuat ikhlas walau cuma sekali ini. Hamba rela meskipun terpaksa bertengkar dengan istri hamba….”

***

Pada suatu malam yang sepi Marzuki mengendap-ngendap keluar rumah. Meninggal Maimunah dan Tuti Astuti yang terlelap. Ia berjalan di kegelapan. Di balik jaketnya ada sepasang sepatu mungil berwarna merah. Marzuki menuju rumah Bu Deswinta yang ada di bagian atas kampung. Rumah Marzuki sendiri berada di sebuah kelokan di bagian bawah kampung arah menuju sungai. Jarak dua rumah itu kira-kira 1,5 Km dengan gang-gang menanjak-menurun berkelok-kelok di antara pemukiman teramat padat.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba hujan turun begitu deras. Marzuki mencoba menembus hujan tapi hujan semakin deras. Akhirnya ia menepi di jongko Mie Ayam Bang Amat. Marzuki berteduh. Bukan ia tak berani menembus hujan guna menunaikan laku keikhlasannya, tapi ia segan masuk angin. Ia sudah bertengkar dengan istrinya untuk ikhlas, masa harus ditambah masuk angin. Begitu kilatan pikiran Marzuki.

Waktu terus berlalu dan hujan tak kunjung reda. Malah kian menderas. Marzuki bersidekap menahan dingin. Kilat menyambar-nyambar di angkasa. Marzuki mulai meringkuk di atas jongko, matanya tak lagi kuat untuk melawan kantuk. Rasa lelah selepas bekerja seharian di pabrik konveksi ditambah dengan udara hujan membuat Marzuki terlelap perlahan. Marzuki menggelesot di jongko Mie Ayam Bang Amat.

Hujan tak hendak henti sampai dini hari. Alir mulai naik, menggenangi jongko Bang Amat. Air terus naik.

***

“Zuk, bangun Lu!” sergah Bang Amat. Marzuki tergeragap.

“Ngapain Lu tidur di Jongko Gue? Berantem ama bini Lu ya?” Bang Amat menuduh.

“Nggak, Bang…,” jawab Marzuki polos.

“Terus ngapain Lu tidur di sini?” Bang Amat memburu jawaban Marzuki.

“Mmh…, itu Bang…, anu…,” Marzuki hendak menjawab, tapi ingat ia mau ikhlas. Tak ada yang boleh tahu.

“Kenape Lu?” Bang Amat terus memburu.

“Mmmmppphhh…,” Marzuki kelu, meraba-raba jaketnya. Menggeledah jongko Bang Amat. Memeriksa kolong bangku. Tak ada apa-apa, hanya bekas alir air.

“Nyari apa, Lu?” Bang Amat heran.

“Itu Bang…, sesuatu!” jawab Marzuki yang mulai resah sembari mencari-cari di setiap sudut.

“Udah-udah… ayo ke mushola. Shalat Shubuh!” Bang Amat hendak menyeret Marzuki.

“Bentar Bang…,” Marzuki mencari sepatu mungilnya, tapi tak ada.

***

“Ya Allah, hamba sudah berusaha ikhlas untuk satu amal saja sampai hamba harus bertengkar dengan istri hamba, kedinginan tidur di jongko dan dianggap ngelantur sama Bang Amat. Tapi ternyata keihlasan hamba gagal, ya Allah. Apa hamba harus bertengkar lebih keras dengan istri hamba? Ya Allah, apa pun keputusan-Mu, hamba menerima, ya Allah. Jikalah hamba tidak diperkenankan untuk berlaku ikhlas hari ini, mudah-mudahan masih ada umur dan kemampuan bagi hamba untuk berbuat ikhlas. Hamba sudah mencari sepatu untuk Marilyn itu sampai ke kolong jongko Bang Amat, tapi nggak ada ya Allah. Ya Allah jikalah sepatu itu dicuri orang, jangan masukan itu sebagai dosa bagi orang itu. Jika sepatu itu jatuh dan hanyut dibawa arus hujan, mudah-mudahan ia bisa ditemukan seseorang dan bermanfaat untuknya. Hamba mohon, biarkanlah sepatu itu bermanfaat bagi yang mendapatkannya. Hamba mohon ya Allah….”

Begitulah kepasrahan Marzuki yang agak panjang di hadapan Allah SWT yang ia panjatkan selepas shalat shubuh di Mushola Al-Ikhlas. Bang Amat dan beberapa jamaah lain merasa heran melihat Marzuki bercucuran air mata setelah shalat shubuh. Ini pertama kali dalam sejarah Mushola Al-Ikhlas, Marzuki berdoa sekhusyuk itu. Begitu khusyuk sampai jamaah mengira Marzuki diminta menceraikan Maimunah oleh mertuanya.

Namun apalah arti pandangan manusia. Toh Marzuki sudah lega meskipun niat ikhlasnya gagal menjadi nyata. Ia juga tak keberatan dianggap aneh oleh jamaah seshalat shubuh. Marzuki sedih tapi pasrah. Menyesal tapi pelan-pelan rela. Semua rasa sudah ia sampaikan kepada Tuhan. Mau apalagi. Batas kemanusiaannya sudah ia sentuh. Ia sudah berusaha sebaik mungkin. Toh sepatu itu tak sampai juga ke tangan Marilyn.

Dengan langkah gontai namun tenang Marzuki berjalan menuju rumahnya. Ketika tiba di jalan menurun dan berkelok di depan rumahnya, ia tahu ia akan bertengkar lagi dengan istrinya.

Namun itu tidak terjadi. Maimunah justru tersenyum di depan pintu. Manis sekali ia menyambut kepulangan Marzuki.

“Si Abang, mau beliin sepatu buat Tuti aja pake sembunyi-sembunyi. Padahal udah lamaaaa… si Tuti pengen punya sepatu baru. Mana sepatunya ditaro di depan pintu lagi. Jadi aja keujuanan.” Maimunah memanja sambil menguwel-nguwel secarik kertas bertuliskan Sepatu baru untuk anak manis, dari orang yang sedang belajar ikhlas. Maimunah tahu persis itu tulisan tangan Marzuki.

“Tutiiiii…!!! Sini, Nak!!! Ini papah pulang…, salim dulu…,cepat Nak!!!” Maimunah yang kini sudah tidak menyesal bersuamikan Marzuki memanggil anaknya.

Sementara Marzuki masih terpaku tak mengerti. Lidahnya kelu. Sepatu baru untuk Marilyn hanyut ke rumahnya sendiri. (*)

 

 

Depok, 16 Muharram 1434 H

Penulis lahir di Bandung 14 September 1985. Saat ini aktif berkegiatan bersama Komunitas Nuun, Depok, Jawa Barat.


Filed under: Tri Shubhi A Tagged: Republika

Melankolia di Tepian Thames

$
0
0

Cerpen Teguh Afandi (Suara Merdeka, 6 Januari 2013)

Melankolia di Tepian Thames ilustrasi Toto

AKU duduk di tepian sungai kebanggan orang London, Thames River. Sepuluh tahun ternyata begitu cepat. Seperti baru kemarin aku meninggalkan London. Suasana masih terekam sama: langit petang yang mirip lembayung di Lembang, kemilau riak air diterpa mentari, London Aquarium, kafe tempat menyambut malam dengan kursi dan meja berbahan kayu oak merah, dan ikon kota, London Eye. Hanya saja kincir besar warna putih gading yang berputar perlahan di depan Country Hall itu kini ramai dipenuhi wisatawan manca. Kabarnya kini sudah bertiket lebih dari 20 poundsterling. Perlu kecermatan yang ekstra untuk memastikan bahwa kapsul-kapsul kaca itu berputar hingga ke puncak, karena RPM-nya yang sedemikian pelan. Pantulan sinarnya menembus penjara-penjara di dada. Sepuluh tahun lalu kami bergandengan tangan, menyusuri tepian Thames River. Ada sungut-sungut hangat menjalar ke sela-sela jemari kami yang beradu erat.

Sepanjang St Thames orang hilir-mudik membicarakan keindahan. Ragam bahasa tumpah ruah di tepian Thames River. Kultur, warna kulit, joke bercampur menjadi miniatur dunia. Tak jauh beda dengan Jalan Braga di Bandung atau Jalan Malioboro di Yogyakarta. Hanya saja tak ada aroma pesing kencing kuda di sini. Aroma segar musim gugur.

Ada serpihan kenangan yang terikat erat dengan Thames River. Tersulam dalam jejak langkahku dari stasiun bawah tanah Westminster, kemudian menyusuri Westminster Bridge menuju South Bank Thames River. Usiaku memang sudahlah tidak muda, band-band Britania sudah dikalahkan dengan pendatang baru yang digandrungi anak muda. Tidak lagi sering kudengar lagu-lagu Duncan James yang masa-masa kuliah dahulu sering menduduki tangga  billboard di Inggris. Dirinya adalah kenangan yang tak pernah bisa menghilang, walaupun harus ditenggelamkan dalam banjir Thames 1953. Lekat jelas ikal rambut blonde -nya, mata birunya, aroma badannya, senyum manisnya, dan tentu sentuhan di setiap rengkuhannya.

“Maukah kamu menikah denganku?” dirinya tiba-tiba melamarku. Suasana riuh-rendah Thames River, tidak mengurangi kejelasan suara. Briant memang gemar bercanda. Kutolehkan wajahku ke kepalanya dan kutatap bulat-bulat matanya. Waktu itu usiaku dua puluh tiga, dan itu hari-hari terakhirku di London. Tiga hari lagi pesawatku terbang pukul delapan malam menuju Indonesia. Kuyakini itu adalah kelakar sebagai penghibur farewell party.

Kubalas dengan tawa besar, “Tentu!”

Lalu kami menjadi sepasang kekasih paling bahagia di tanah Britania, atau seluruh dunia. Kami berangkulan sepanjang jalan. Tak memedulikan orang. Sebentar saja.

Aku belum pernah bertemu dengan lelaki seperti Briant Corrigant. Selain perawakan badannya yang tegap menawan, Briant adalah penulis puisi liris dan romantis. Dia mengajar seni di sekolah khusus anak-anak dengan keterbatasan pendengaran. “Mereka diciptakan Tuhan spesial, tak perlu banyak mendengar. Karena suara dunia begitu memekakkan,” begitu kata Briant ketika kupuji kesabarannya menerjemahkan dunia dengan isyarat tangan.

“Boleh kuminta nomor teleponmu?”

“Tiga hari lagi aku pulang ke Indonesia. Percuma saja.”

“Tidak ada yang percuma untuk seorang kekasih.”

Kutuliskan saja nomor teleponku di selembar tisu. Dia melipat dan menyimpan di saku blazer abu-abu.

Malamnya dia meneleponku. Aku sedang mengepak kembali pakaian dalam kopor. Beberapa barang sudah kukirim lewat laut, aku tidak mau kembali berulah di bandara negara orang dengan barang bawaan berlebihan. Apalagi aku harus transit ke Qatar dan Singapura.

“Kamu punya waktu untuk makan malam besok?”

“Percuma saja, Briant. Aku akan pulang. Mungkin keinginanmu menikah hanya terlaksana dalam mimpi.”

“Tidak ada yang percuma untuk seorang kekasih, bukan?”

“Tentu saja.”

Briant menawarkan cinta. Entah sejak kapan, aku tidak terlalu pasti. Mungkin saja saat pertama kali bertemu di Walter Rothschild, atau saat dia membawakan mantel di muka Stasiun Tottenham Court Road, atau untuk pertama kali dia menggandeng tanganku saat perjalan menyusuri Picadilly, atau ketika dia menunjukkan buku kumpulan puisinya, atau mengajakku berdansa di lantai, atau mengecup pertama kali kening dan mengucapkan “sampai ketemu besok.” Aku hanya diam. Kuurut kembali kehidupanku. Bersama Briant adalah letupan keindahan.

Mengapa baru sekarang Briant menawarkannya? Tiga tahun kuliah ekonomi di University College tak ada teman berbagi perasaan. Aku sendirian. Kolega Indonesia hanya terjebak rutinitas perkuliahan. Hanya Briant yang mewarnai dengan pulas warna lain. Briant lelaki nyentrik dan penuh letupan.

Aku dan Briant sky dinning di tepi Thames River. Briant berulang kali menyesal. Terlalu lama rasa itu diperam.

“Kamu benar-benar akan kembali ke Indonesia? Selamanya?”

“Itu rencanaku.”

“Boleh aku main ke sana?”

“Boleh, tetapi tidak ada Thames River yang romantis. Adanya sungai kumuh, penuh sampah.”

“Ada kamu itu cukup.”

Sebelum usai makan malam, kutuliskan alamat rumahku di Lembang dan alamat kantorku di Bandung, serta nomor kontak yang bisa dihubungi. Tetapi tidak ada harapan ia akan datang. Siapa aku? Briant bisa dengan mudah mendapatkan gadis lain di Inggris, apalagi kariernya sebagai penyair kian moncer di khalayak.

Terpaksalah kami berpisah. Dia mengantarkanku hingga depan gerbang  check in . Briant melambai saat aku menghilang di terminal 5 Bandara Heathrow. Dengan janji yang tidak kuharap akan ditepati untuk mengunjungiku di Lembang.

***

AKU dengan mudah mengenalinya kembali. Postur tubuhnya memang terjiplak di retina. Susah menghapusnya. Aku sedang menggambil gambar London Eye, ketika rambut  blonde dan senyumnya tertangkap kamera.

“Sudah kubilang, kembali saja ke London.”

“Aku terpaksa ke sini.”

“Sungaimu tak seindah Thames River, bukan?”

Kami berpelukan sebagai kawan lama yang sepuluh tahun tak berjumpa.

“Aku kaget ketika kamu meneleponku kemarin. Seperti mimpi. Aku langsung mencukur jambang. Kamu membencinya, kan?”

Memang terlihat dagunya hijau habis dicukur.

“Aku sedang menemani istriku. Dia sedang ada konferensi di Langham Palace di St Regent. Lima belas menit lagi dia menyusul. Sudah kuceritakan tentang kejeniusanmu.”

“Kamu jadi menikah?” Briant terlihat murung.

“Jadi. Aku sudah punya anak dua, twin . Clara dan Jenna.”

How a great daddy! Di mana mereka? Ingin sekali aku mengecup pipi mereka. Pasti kenyal.”

“Mereka sedang tidur ditemani baby sitter-nya. Mereka cantik-cantik.”

“Syukur bukan sepertimu….”

Kami melepaskan tawa yang besar. Ada beberapa garis yang terpahat di sudut matanya. Garis yang pernah menjadi bagianku. Sekarang menjauh dan asing. Entahlah siapa yang kini sering mengurai kembali garis itu. Itu adalah pertanyaan yang kumaju-mundurkan dari lidahku. Ada rasa-rasa aneh yang menghalangi untuk mengetahui kehidupan Briant, yang dahulu pernah menjadi pasangan kasmaranku.

“Kamu masih menulis puisi? Kabarnya tulisanmu dipuji banyak orang.”

Briant menggeleng. “Aku sudah demikian tua untuk menulis kembali. Puisiku sudah menyatu dengan alam.”

“Sayang sekali. Betapa banyak orang yang menyukai puisimu kecewa. Termasuk aku….”

“Hidupku sudah datar, tak lagi mendatangkan inspirasi. Atau mungkin aku khawatir?”

“Khawatir?”

“Aku takut terkena gangguan jiwa.” Briant mengencangkan blazer. Udara musim gugur begitu dingin. “Banyak penulis besar terserang penyakit mental. Virginia Woolf, Victor Hugo, Ernest Hemingway, Sylvia Plath, Soseki Natsume. Mereka menuliskan kebahagiaan tetapi didera kekhawatiran besar.”

“Tidak semua penulis demikian.”

“Benar. Hanya mereka yang terlalu jenius yang bertahan. Aku tidak tahu, apa penulis-penulis besar itu menjadi gila setelah kebanyakan menulis atau menulis karya yang luar biasa karena mereka gila.”

Aku tersenyum agak lebar. “Dua-duanya pilihan buruk. Apa karena itu kamu berhenti berpuisi?”

“Kamu pilih mana, kejeniusan atau kebahagian?”

“Sepuluh tahun lalu saat bersamamu di sini, aku memilih kejeniusan. Itu membawaku ke kebahagiaan sekarang. Sepertinya sekarang kamu pun memilih hal yang sama.”

“Tapi sekarang berbeda. Kita sudah banyak berubah.”

Sekarang akan kutanyakan, “Kamu sudah menikah?”

“Kamu adalah satu-satunya lelaki yang pernah kuajak menikah. Kamu spesialku. Tidak pernah kulamar lagi orang lain.”

Ada desiran ombak yang sudah lama kuredam. Teringat masa-masa indah bersamanya. Aku tak berani mengucap kembali sepatah kata. Aku merunduk sambil mengaduk minuman di meja.

“Sudahlah. Ini takdirku.” Briant mencoba meraih kepalan tanganku.

“Maafkan aku. Aku tidak memiliki kejeniusan untuk menerimamu.”

“Sudah. Bahagialah dengannya.”

Dia memalingkan wajah ke arah Thames River.

“Kamu sudah berapa lama di sini?”

“Sebenarnya sudah dua minggu. Besok kami akan kembali. Aku takut menghubungimu kembali. Aku malu denganmu, Briant. Maka kupakai telepon hotel untuk menghubungimu.”

“Sepertinya kita selalu dijodohkan di akhir waktumu di Inggris. Besok, biarkan aku yang mengantar kalian ke Bandara.”

“Tidak usah. Itu merepotkanmu. Aku bisa menyewa taksi.”

“Ini tanda cinta terakhir untukmu.”

Dentang jarum Big Ben sayup-sayup terbawa angin ke tepian Thames River. Istriku sudah terlihat menenteng beberapa plastik oleh-oleh. Dia mengulum senyum.

“Istriku sudah selesai berbelanja.” Ada keraguan. Kurobek kertas dari buku agenda. “Itu istriku.”

Briant menoleh ke arah istriku yang datang dengan barang lumayan banyak. Dia melambai dan tersenyum. Tinggal beberapa meter lagi istriku sampai di meja kami. Segera kuserahkan sobekan kertas. Di selembar kertas koyak itu, kutuliskan nomor kamar kami, nomor ponselku, serta sebuah nomor kamar untuk kuberkencan dengan Briant. Hadiah terakhir. Hadiah untuk kebahagian kekasih lama.

Briant menyimpan di saku blazernya. (*)

 

 

2012

Teguh Afandi, lahir di Blora, 26 Juli 1990. Cerpennya dimuat di beberapa media massa.


Filed under: Teguh Afandi Tagged: Suara Merdeka

Luka Kecil di Jari Kelingking

$
0
0

Cerpen Damhuri Muhammad (Media Indonesia, 6 Januari 2013)

Luka Kecil di Jari Kelingking ilustrasi Media Indonesia

KABAR buruk itu tiba pada sebuah pagi selepas gerimis, saat ia sedang memotong kuku di beranda. Irisan silet majal di ujung jarinya meleset hingga menyayat daging kelingking dalam posisi miring. “Langkisau tertangkap. Tapi, bukan Langkisau namanya bila tak lihai meloloskan diri,” begitu pesan rahasia yang serapat-rapatnya telah ia simpan dalam ingatan, tapi masih terngiang-ngiang di telinganya. Lelehan darah yang hampir mencapai telapak tangan belum sempat ia seka. Sapu tangan usang ternyata lebih dahulu menyapu linangan air mata di pipi pucatnya. Tangis yang tak semestinya, kesedihan yang harus dilawan, risau hati yang tiada perlu dihiraukan.

Bukankah belasan tahun silam ia telah melepas kepergian si sulung dengan kerelaan yang tiada sumbing? “Seandainya karena jalan panjang menuju cita-cita besarmu kau mesti menyumbat semua jalan pulang, ibu tetap akan mencatat kepulanganmu, meski hanya pulang dalam nama.” Masa itu hanya tersisa 13 hari sebelum Lebaran. Bila perantau berduyun-duyun pulang kampung dan berhari raya bersama karib kerabat, keberangkatan lelaki itu bagai mengayuh biduk ke hulu, bertolak melawan arus, hengkang meninggalkan tanah asal, dan sedapat-dapatnya melawan hasrat untuk menoleh ke belakang. “Kepergian akan bernilai bila diselenggarakan di musim pulang,” bujuknya meredakan kesedihan ibu. Berbekal tas punggung berisi tiga pasang pakaian, kain sarung pemberian ibu, dan sejumlah buku, tanpa ragu ia menaiki bus Bintang Kedjora kelas ekonomi yang bakal membawanya, nun ke tanah seberang.

Perlahan-lahan perempuan ringkih itu membasuh bercak darah di jari kelingking, sementara ingatannya menerawang, membayangkan putra sulungnya sedang meringkuk di balik jeruji besi, entah di tanah Jawa belahan mana. Nawawi Djamil—ia memanggilnya Wi—itulah nama yang ia berikan kepada si sulung yang lahir pada subuh berkabut setelah pergulatan yang hampir membawanya pada maut. Sebelum pingsan selama dua hari dua malam, di sela jerit kesakitan ia bersumpah; tak sudi bunting lagi bila petaka bersalin seberat yang tengah ia tanggungkan. Setelah berbilang tahun kepergian Wi dan tak sekalipun ia menerima kabar tentang keberadaan anak kesayangannya itu, kampung Ujung Tanjung gempar oleh ingar-bingar kabar tentang lelaki bernama Langkisau, tokoh gerakan bawah tanah, orang paling dicari, hidup atau mati. Televisi dan koran-koran memaklumatkan betapa besarnya ancaman terhadap negara bila Langkisau masih berkeliaran. Disebut-sebut, menghilangnya beberapa petinggi negara yang hingga kini jejaknya belum ditemukan tak lepas dari keterlibatan gerombolan pimpinan Langkisau. Begitu pula dengan penemuan sejumlah mayat mantan narapidana kasus korupsi dalam keadaan mengenaskan. Ada yang tergeletak di kamar hotel berbintang dengan usus terburai keluar, ada yang setengah gosong setelah jasadnya diguyur bensin, ada pula yang tersungkur dengan kepala retak-rengkah. Pengamat perilaku kriminal berkesimpulan bahwa pelaku pembunuhan keji itu telah menjatuhkan hukuman sepadan bagi para koruptor, sebab vonis hakim tak setimpal dengan kejahatan mereka.

Tapi, bagaimana cara meringkus orang yang tak bisa dipastikan raut mukanya? Aparat hanya dapat membuat sketsa wajah, gaya rambut, dan ekspresi dingin si buron, itu pun digarap berdasarkan sumber-sumber yang disangsikan kebenarannya. Orang-orang Ujung Tanjung kerap membaca maklumat tentang hadiah menggiurkan bagi siapa saja yang bisa menciduk Langkisau. Namun, segala upaya nihil, hingga beredarlah gosip-gosip murahan perihal kesaktian buron kelas kakap itu. Ada yang menduga tokoh yang konon telah merancang negara berdaulat di wilayah Sumatra itu sempurna menguasai tarekat tujuh muka. Dalam sekali hentakan napas, Langkisau bisa beralih rupa sebanyak tujuh kali. Ada pula yang percaya, ia bisa meniadakan tubuh kasar. Karena itu, Langkisau hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang dipercayainya.

Begitulah kabar yang tersiar, hingga muncul kabar baru yang nyaris memastikan bahwa Langkisau tak lain adalah Wi, putra daerah Ujung Tanjung. Berkali-kali rumah perempuan itu didatangi orang-orang asing yang meminta keterangan perihal ciri-ciri fisik Wi. Mereka mengobrak-abrik foto masa kanak-kanak dan memastikan tanda lahir yang tentu hanya diketahui ibu kandungnya. Berkali-kali pula ia bertanya tentang hubungan Langkisau dengan Wi. Namun, kegelisahannya tak dianggap penting oleh gerombolan yang datang tanpa permisi itu. “Itu akibat buruk dari buku-buku Tan Malaka yang disimpan guru sejarah itu,” begitu umpat bergaung di kedai-kedai kopi. “Jangan-jangan ia berniat mencetak anaknya jadi PKI,” tuding ibu-ibu selepas pengajian malam Jumat.

“Ia menyangkal semua tudingan terhadap Wi. Anakku bukan PKI, dan bukan buku-buku Tan Malaka yang membuat ia membangkang,” gumamnya. “Betapa pun kelamnya, kebenaran sejarah harus disingkap,” jawabnya ketika suatu hari Wi bertanya kenapa ia berani menyembunyikan buku-buku terlarang. Jawaban itu menjadi api dalam sekam bagi Wi yang kemudian melalap habis semua koleksi ibunya hingga hafal di luar kepala. ‘Murba, aksi massa, materialisme-dialektika, dan dari penjara ke penjara’, menjadi kata kunci dalam setiap perbincangan meja makan bersama Wi sejak duduk di bangku sekolah menengah. Wi menyesalkan Tanyang pertama kali menuliskan kata ‘republik’ tak sempat menghirup udara republik itu. Alih-alih dihargai, sejumlah tokoh yang dalam catatan sejarah disebut pendiri republik malah bersiasat melenyapkan Tan atas tuduhan kudeta. Tapi sekali lagi, bukan buku-buku itu yang mencuci otak anakku, batin perempuan itu.

***

Di masa lampau, ketika kampung Ujung Tanjung masih jarang ditempuh roda, Wi begitu riang bila sesekali kampungnya dilewati mobil. Lebih-lebih di masa liburan ketika keluarga Tek Na—kakak sepupu ibunya—pulang kampung dengan sedan pribadi. Itu kali pertama Wi melihat sedan. Mengilat bodinya, halus suara mesinnya, nyaring bunyi klaksonnya. Tak sungkan-sungkan ia menyentuh sedan yang diparkir di halaman rumah, sekadar melunaskan penasaran karena sebelumnya ia hanya tahu mobil bak pengangkut kayu gelondongan. Mula-mula ia menyentuh bagian luar, lalu pintu depan mobil hingga menimbulkan suara berdetak. “Hei, itu bukan punya bapakmu. Menjauh dari sana, Buyung!” hardik suami Tek Na, tiba-tiba.

Gemetar lutut Wi mendengar makian yang seumur-umur belum pernah keluar dari mulut ibunya. Gegas ia berlari, dalam takut bercampur marah. Sejak peristiwa itu, apa pun jenis barang bawaan Tek Na, termasuk mainan mahal anak-anaknya, tidak lagi membuat Wi tergiur. Ia selalu menghilang dari keriuhan orang-orang kota yang sedang berjingkrak-jingkrak di atas rumahnya. Wi lebih suka menyendiri di dangau, sambil mengurus ayam-ayam jago peliharaannya. Ia memberontak ketika dibujuk untuk merelakan ‘kurik bulu’ kesayangannya untuk Kahfi , anak bungsu Tek Na, yang merengek-rengek hendak membawa ayam itu ke kota.

“Kau tak ingin dapat salam tempel dari bapaknya?” rayu ibunya.

Wi menggeleng, dan tajam sorot matanya sangat melawan.

Suatu kali Wi pernah diajak ibunya ke rumah Tek Na di kota. Semula cukup menyenangkan, tapi kemudian lagi-lagi membuat Wi kecil jadi pembangkang. Di beberapa malam ia menginap di rumah keluarga kaya itu, ikat pinggang suami Tek Na hilang, dan semua penghuni rumah menjadi sibuk seketika. Sebelum pulang, Wi dipaksa ibunya membuka tas dan memperlihatkan isinya. Itu terjadi atas permintaan Tek Na yang mengira ikat pinggang mahal itu berpindah tempat ke tas punggung Wi. Ia marah besar, tidak hanya kepada Tek Na, tapi juga kepada ibunya yang tidak melakukan pembelaan ketika anaknya dituduh maling. “Kau tidak mungkin melakukan perbuatan bejat itu, tapi etekmu sudah banyak membantu kita,” bujuk ibunya. “Kini kita dituduh maling, kelak mereka akan berak di atas kepala kita,” balas Wi, beringas.

***

Di sebuah petang, seorang pedagang barang pecah-belah singgah di berandanya. Sekadar melepas lelah setelah mengayuh sepeda dari kampung ke kampung. Lantaran mendung semakin berat, ia mengajak perempuan itu masuk, agar barang dagangan di boncengan sepedanya selamat dari hujan. Saat pengasong itu memperbaiki cara duduknya, sekilas ia melihat sapu tangan abu-abu menyembul dari bungkusan barang-barang pecah-belah. Sapu tangan yang mengingatkan ia kepada Wi. Sebelum anaknya berangkat ke tanah Jawa belasan tahun lalu, diam-diam ia memasukkan sapu tangan itu ke dalam tas punggung Wi. Selain sebagai penawar rindu, juga dapat menyeka peluh bila gerah di kapal penyeberangan. “Itu tidak dijual, Bu!” kata pedagang panik membuyarkan lamunannya. “Sebab, sapu tangan itu memang milik Nawawi,” lanjutnya sembari memeriksa kanan-kiri, memastikan tak ada yang menguping obrolan mereka. “Langkisau baik-baik saja. Jangan cemas. Saya dikirim untuk menyampaikan kabar ini. Bila situasi aman, Wi akan menjemput ibu.” Lambat-laun ia terbiasa dengan pesan-pesan rahasia. Hingga kini, ia masih bersetia menunggu dan senantiasa berharap kedatangan Wi lebih cepat dari ajalnya. (*)

 

 

Tanah Baru, 2012


Filed under: Damhuri Muhammad Tagged: Media Indonesia

Kota Orang-orang Bisu

$
0
0

Cerpen Dadang Ari Murtono (Kompas, 13 Januari 2013)

Kota Orang-orang Bisu ilustrasi Citra Kemala

SIAPA pun pasti akan sulit percaya bila aku katakan bahwa saat ini aku sedang berada di sebuah kota yang tak ada dalam peta. Kota dengan penghuni yang bisu. Ya. Bisu. Semua penduduknya bisu.

Dan karena semua penduduknya bisu, maka mereka hanya saling tersenyum atau menganggukkan wajah bila berpapasan sebagai tanda menyapa. Mereka menunjuk barang apa saja yang ingin mereka beli di toko. Dan karena semua bisu, maka sebanyak apa pun penduduk kota itu, suasana tetap saja begitu hening.

Kota itu adalah kota yang tua. Begitu tua. Kau bisa mengetahuinya hanya dengan melihat bangunan-bangunan yang ada di kota itu. Semua mengesankan bahwa bangunan-bangunan itu telah ada semenjak ratusan tahun yang lampau. Begitu pula dengan model pakaian yang mereka kenakan. Aku tidak tahu kenapa bisa begitu. Aku menduga karena posisinya yang begitu sulit dicari (bahkan, peta paling lengkap pun tak sanggup menggambarkan letak kota itu), maka kota itu menjadi terputus dengan peradaban yang ada di luar kota tersebut.

Konon, dulu sekali, penduduk kota itu sama seperti orang normal kebanyakan. Tidak bisu. Bisa bicara. Pada waktu itu, kota tersebut dikuasai oleh seorang penguasa yang kejam. Yang begitu haus kekuasaan. Yang takut kekuasaannya bakal direbut orang lain. Tidak sekali dua kali si penguasa menerapkan kebijakan yang sama sekali tidak bijak. Misal: menetapkan tarif pajak yang sama dengan penghasilan penduduknya. Atau ketika si penguasa hendak merenovasi kediamannya yang besar selayaknya istana, mewajibkan setiap penduduk kota itu bekerja di sana tanpa upah. Persis kerja rodi. Atau romusa. Si penguasa juga menjadikan segala tambang yang ada di kota itu (dulu, kota itu memiliki banyak tambang, mulai tambang emas, tambang minyak bumi, hingga tambang batu bangunan) menjadi milik pribadinya.

Tidak ada yang berani melawan si penguasa. Si penguasa memiliki pasukan yang kuat dengan persenjataan yang canggih. Siapa pun yang berani melawan, akan bernasib tragis. Pagi melawan, sore mati. Begitulah selama bertahun-tahun.

Tidak ada yang secara terang-terangan mencoba melawan si penguasa. Semua penduduk merasa ketakutan. Dan orang yang takut, pada akhirnya, hanya berani bergunjing di belakang. Membicarakan segala sesuatu tentang si penguasa yang buruk-buruk.

Namun, seperti kata pepatah, sebaik-baik menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga, begitu pula dengan gunjing-gunjing tersebut. Entah bagaimana, si penguasa akhirnya tahu juga bila semua warga kota itu selalu menggunjingnya, membicarakan keburukannya.

“Suatu hari, gunjing-gunjing itu bisa berubah menjadi gerakan pemberontakan!” demikian kesimpulan si penguasa. “Ketika waktu itu tiba, bukan tidak mungkin sekuat apa pun pasukanku, tidak akan dapat meredam orang-orang itu,” pikirnya lagi.

Maka begitulah. Pada suatu ketika, dengan tujuan agar tak ada lagi penduduk kota yang membicarakan keburukannya, yang kemungkinan besar bisa membahayakan kedudukan si penguasa di kemudian hari, si penguasa mengeluarkan kebijakan yang aneh. Kebijakan paling aneh yang pernah dibuat. Memotong lidah semua penduduk kota itu.

Dan bukan hanya lidah orang yang sudah dewasa yang dipotong, melainkan juga lidah anak-anak. Bahkan, lidah mereka yang masih bayi. Lalu begitulah. Entah kenapa, setelah semua lidah penduduk dipotong, setelah semua yang ada di kota itu menjadi bisu, setiap bayi yang lahir, tiba-tiba saja sudah tak berlidah. Semua orang menjadi bisu. Hingga hari ini.

Itu memang cerita yang sulit diterima akal sehat. Namun, cerita itu bukanlah satu-satunya cerita tentang asal mula bisunya penduduk kota tua itu.

Ada cerita lain. Konon, dulu, penduduk kota ini adalah orang-orang yang banyak bicara. Tidak sedetik pun mereka tidak bicara. Bahkan, dalam tidur pun, mereka bicara. Mengigau. Semua selalu ingin bicara. Semua selalu ingin ucapannya yang didengar. Namun siapa yang mendengar bila semua orang hanya ingin bicara? Semua seolah lupa kenapa Tuhan menciptakan satu mulut dan dua telinga. Semua seolah lupa bila Tuhan ingin kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Dan keadaan seperti itu semakin parah karena ternyata yang mereka bicarakan semata bualan! Bualan belaka!

Pada waktu itu, entah dari mana, seseorang yang konon adalah wali Tuhan, sampai ke kota itu. Si wali begitu terkejut mengetahui betapa orang-orang di kota itu teramat suka membual. Namun si wali tahu, lidah bisa membual, tetapi tidak halnya dengan mata. Mata selalu jujur perihal apa yang ada di dalam hati. Segala yang ada di hati, yang sebenarnya, seperti tersirat dari pandangan mata. Mata seolah telaga bening dengan dasar berupa hati. Itu pula sebabnya orang-orang menyebut mata sebagai jendela jiwa.

Konon, kemudian si wali yang prihatin berdoa. Berdoa agar semua orang di kota itu berhenti membual. Agar orang-orang di kota itu tidak lagi bicara dengan mulut dan lidah. Melainkan dengan mata.

Semenjak itu pula, semua orang menjadi bisu. Bisu hingga turun temurun. Hingga hari ini.

Aku tidak tahu cerita versi mana yang benar. Dan itu tak penting benar bagiku. Aku datang ke kota ini dengan niat awal untuk tinggal di sini. Tinggal bersama kekasihku. Kekasih yang pada awal-awal percintaan kami berkata bahwa dia akan selalu mencintaiku. Kekasih yang bersumpah hanya akan mengucap cinta kepadaku.

Waktu itu, aku percaya. Hingga kemudian, beberapa waktu yang lalu, aku tahu, ia menggunakan lidah dan mulutnya untuk mengucap cinta kepada lelaki lain. Dan bukan hanya mengucap cinta, lidah dan mulut itu juga mengecup serta mengulum mulut dan lidah lelaki lain. Bahkan, mungkin, bukan hanya lidah dan mulut lelaki lain itu saja yang ia kecup dan kulum. Mungkin juga bagian tubuh yang lain dari lelaki itu.

Aku cemburu. Aku menuntut sumpahnya. Tapi ia bilang aku terlalu mengada-ada. Ia bilang aku terlalu cemburu. Ia bilang ia tidak melakukan apa-apa yang aku tuduhkan kepadanya. Ia berkata lagi, ia bersumpah lagi tetap mencintaiku. Dan aku meminta pembuktian. Aku meminta kepastian bahwa lidahnya tidak bakal mengucap cinta kepada lelaki lain. Aku meminta kepastian bahwa lidahnya tidak bakal menjilati tubuh lelaki lain.

Begitulah. Dengan bersusah payah, dengan cara yang teramat sulit dijelaskan, kami sampai ke kota ini. Kota tua bisu. Aku yakin, ada enggan di dalam hati kekasihku. Barangkali kadarnya cuma sedikit. Tapi ada. Dan aku memaksanya.

Demi cinta.

“Di sana, di kota orang-orang bisu, tidak bakal ada yang melihat kita dengan aneh. Tidak ada yang memandang kita dengan pandangan kasihan. Bukankah sangat tidak nyaman menyadari bahwa orang memandang kita dengan pandangan yang serupa itu, bukan? Bukankah kita hidup di negeri yang aneh? Negeri di mana orang- orang suka meremehkan orang-orang yang mereka anggap cacat? Di kota itu, di kota orang-orang bisu itu, kita tidak akan mendapat pandangan yang aneh. Kita tetap menjadi manusia yang utuh, manusia normal ketika berada di sana,” kataku. Meyakinkan.

“Bukankah kau mau membuktikan kalau kau memang benar-benar mencintaiku?” desakku.

Begitulah mulanya kami sampai di kota itu. Kami saling mengucap cinta. Mengucap nama masing-masing. Itulah kata-kata terakhir yang lidah kami ucapkan. Sebab setelah itu, kami sama-sama menghunus pisau. Saling memotong lidah. Saling membisukan diri. (*)

 

 


Filed under: Dadang Ari Murtono Tagged: Kompas

Tunggul Kayu

$
0
0

Cerpen Riki Eka Putra (Republika, 13 Januari 2013)

Tunggul Kayu ilustrasi Rendra Purnama

MAK Leman menatap tajam ke arah televisi yang menyiarkan siaran berita. Segelas kopi dan sepiring ubi rebus yang disediakan istrinya tak lagi terasa nikmat. Bergumpal rasa iba bercampur marah menusuk dinding hatinya saat melihat puluhan rumah, tanaman, hewan peliharaan, dan harta benda lainnya disapu oleh bencana galodo. Tayangan televisi lokal itu amat menyayat hatinya meski dua hari lalu ia turut menyaksikan langsung saat bencana memilukan itu terjadi.

“Apa penyebab semua ini?” tanya Tek Baidar yang duduk di samping suaminya. Wajahnya suram, sesuram suasana Kampung Tikalak dua hari belakangan ini.

“Apalagi kalau bukan penebangan liar yang terjadi di hulu batang Pakau sana,” jawab Mak Leman geram. Diminumnya kopi yang tinggal setengah. Ia tak habis pikir dengan perbuatan manusia yang seolah tak lagi punya hati nurani. Demi memperkaya diri, mereka rela mengorbankan kehidupan orang banyak. Di sisi lain, Mak Leman juga menyalahkan dirinya sendiri, mengapa ia tak pernah memiliki keberanian untuk melarang tindakan para penebang liar itu.

“Bagaimana keadaan ladang kopi kita?” suara Tek Baidar terdengar tercekat. Gurat kecemasan tergambar jelas di wajahnya.

“Doakan saja semoga tidak terjadi apa-apa.” Mak Leman berusaha bersikap tenang. Namun, ia tak dapat menyangkal bahwa hatinya turut diliputi kegundahan. Dua hari sudah ia hanya membantu orang-orang kampung yang terkena bencana. Dan, selama itu pula ia tak dapat melihat keadaan ladangnya.

Matahari mulai meninggi. Di luar sana, orang-orang kian banyak. Kampung Tikalak yang biasanya sunyi, kini tampak ramai oleh kehadiran manusia yang datang dari berbagai pelosok daerah. Ada yang menjadi tim penyelamat dan memberikan beraneka bantuan. Ada pula pejabat dan orang-orang yang ingin berkuasa. Dengan berbagai tujuan, mereka berlomba-lomba menjadi manusia dermawan. Bermacam bantuan mereka bagikan kepada para korban. Namun, tak sedikit pula yang hanya menjadi wisatawan bencana. Entah apa kepentingannya. Dengan handphone berkamera di tangan, mereka mengabadikan sisa-sisa bencana yang menimpa kampung itu. Setelah melihat ke sana kemari dan berfoto sepuasnya, biasanya mereka pergi begitu saja. Ada di antara mereka yang diusir karena kehadirannya dianggap hanya mengganggu kerja tim SAR.

Dengan tergesa-gesa, Mak Leman bergegas meninggalkan rumahnya yang selamat dari bencana. Tujuannya hanya satu, yakni ladang kopi yang berada tak jauh dari bibir batang Pakau. Ia tak sabar ingin melihat bagaimana keadaannya sekarang. Tak tahulah ia apalagi mata pencahariannya jika ladang itu ikut terseret galodo. Puluhan tahun sudah Mak Leman menumpangkan nasib keluarganya di sana. Dua orang anaknya yang kini bekerja di Kota Padang, dahulunya ia sekolahkan dari hasil ladang kopi itu. Meski hanya mengecap bangku SMA, setidaknya mereka bisa mencari kerja yang lebih baik dibandingkan menjadi peladang seperti dirinya. Kini, tinggal si Marlis, anak bungsunya yang masih sekolah.

Dengan berlari-lari kecil, Mak Leman melintasi jalan setapak yang tersiram hujan lebat tadi malam. Beragam prasangka buruk tak mau menjauh dari pikiran lelaki yang tak lagi muda itu. Semakin dekat dengan ladangnya, perasaan Mak Leman semakin tak menentu. Ia benar-benar berharap apa yang ada di pikirannya tidak akan pernah terwujud dan semua bencana ini hanyalah mimpi belaka.

Mak Leman tersentak. Apa yang ditakutkannya benar-benar terjadi. Jantung lelaki itu seolah hendak berhenti saat melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Ladang yang ketika ia tinggalkan masih berwarna hijau, kini telah berganti menjadi kuning kecokelatan. Sisa-sisa air bah masih tergenang di sana-sini. Puluhan tunggul kayu bergelimpangan. Dari ukurannya yang cukup besar, Mak Leman dapat memastikan itu semua berasal dari hulu batang Pakau. Tak sedikit pula pohon kopi yang tercerabut beserta akar-akarnya. Buahnya yang lebat dan tak lama lagi akan dipanen telah tertimbun lumpur tebal. Pondok kecil tempat Mak Leman berteduh di kala panas dan hujan juga hanyut entah ke mana.

Mak Leman tak lagi kuasa berdiri. Lututnya gemetar. Pandangannya berkunang-kunang seketika. Terbayang olehnya bagaimana mendapatkan uang sekolah Marlis. Melintas pula wajah istrinya yang mengatakan persediaan beras sudah habis. Tak tahu hendak ia apakan ladang yang sudah porak-poranda itu. Berulang kali ia menyebut nama Tuhan. Butiran bening menggenangi kelopak matanya menahan kesedihan.

***

Subuh baru saja pergi. Matahari mulai menampakkan wajahnya ke bumi. Di rumahnya, Mak Leman sudah bersiap-siap hendak berangkat ke ladang. Sejenak, ia menonton aneka berita yang kadang kala hanya membuat otaknya pusing. Rentetan kasus korupsi dan bencana di mana-mana selalu menjadi topik utama. Entah ada kaitannya antara kedua hal tersebut, Mak Leman pun tak begitu mengerti. Siaran televisi itu tak lebih sekadar teman segelas kopi dan sepiring ubi rebus yang disiapkan istrinya setiap pagi.

“Kapan Uda punya uang untuk membayar uang sekolah Marlis? Kemarin gurunya kembali bertanya. Tak lama lagi ia akan ujian semester. Tentu tak boleh pula ia ikut ujian jika tak melunasi uang sekolah,” ucap Tek Baidar dengan wajah gusar.

Di dalam kamar, Marlis tengah bersiap pergi ke sekolah. Jarak sekolah yang cukup jauh memaksa anak mereka satu-satunya yang masih tinggal di rumah itu berangkat pagi-pagi sekali.

“Besok kau jemurlah dua karung kopi yang ada di dapur itu. Uda rasa uangnya cukup untuk membayar uang sekolah Marlis. Alhamdulillah, sekarang kopi kita sedang berbuah lebat. Bulan depan sudah bisa dipetik agaknya,” balas Mak Leman.

Tek Baidar mengangguk senang. Ia amat bersyukur memiliki suami yang bertanggung jawab dan gigih bekerja seperti Mak Leman.

“Ada baiknya Uda berangkat sekarang. Hari semakin siang,” ujar Mak Leman menyudahi pembicaraan. Dengan perlengkapan seadanya, ia pergi menuju ladang tempat berbagai harapan ia sandarkan.

Tepat tengah hari, Mak Leman beristirahat dalam pondok kecil yang ia buat beberapa tahun lalu. Atapnya hanya daun rumbia yang ia beli di kampung dengan harga murah. Lantai dan dindingnya terbuat dari bambu yang disusun rapat-rapat. Meski terlihat ringkih, pondok itu bisa dijadikan sebagai tempat perlindungan kala panas dan hujan.

Tengah asyik menikmati istirahat, Mak Leman mendengar suara mesin pemotong kayu dari kejauhan.

“Manusia jahat manakah yang selalu menebang pohon-pohon itu?” tanya Mak Leman dalam hati.

Beberapa bulan terakhir, raungan mesin itu sudah teramat sering ia dengar. Jantungnya turut merasa sakit setiap kali mendengar suara berdebum keras, pertanda satu batang pohon telah jatuh ke bumi. Terbayang televisi kecil di rumahnya yang sering memberitakan aneka bencana. Banjir bandang dan tanah longsor silih berganti menimpa seluruh penjuru negeri ini. Akankah hal itu juga menimpa kampungnya yang sedari dahulu selalu aman dan damai?

Didorong rasa sakit hati dan ingin tahu yang teramat sangat, Mak Leman meninggalkan pekerjaannya untuk sementara waktu. Ia ingin tahu siapa sebenarnya penebang liar yang telah menggunduli hutan di hulu batang Pakau itu. Setinggi apa jabatannya hingga berani benar ia melakukan hal demikian? Tidakkah ia sadar bahwa di hilir sana, berhektare-hektare sawah amat bergantung dari aliran sungai berair jernih itu? Tidakkah ia iba melihat ratusan rumah yang akan hanyut jika galodo datang melanda?

Semakin dekat dengan hiruk pikuk suara mesin pemotong yang tajam itu, Mak Leman semakin mempercepat langkahnya. Dadanya bergemuruh menahan gejolak amarah. Dari balik rimbun semak belukar, ia dapat menyaksikan dengan jelas beberapa orang pekerja tengah berusaha menumbangkan sebatang pohon. Pohon banio yang berusia ratusan tahun itu amat besar sehingga bisa dijadikan ratusan helai papan berkualitas tinggi. Bila dijual, uang yang didapatkan tentunya juga tak sedikit. Mak Leman bisa melihat dengan jelas ada lima orang yang tengah bekerja. Satu orang lagi hanya mengawasi para pekerja yang sedang memotong pohon menjadi bagian-bagian kecil. Rambutnya keriting dan perutnya buncit. Senyum yang lebih menyerupai seringai menghiasi wajahnya yang bulat. Ia tampak puas dengan hasil kerja anak buahnya.

Berulang kali Mak Leman menahan ludah. Tangannya terkepal. Diurutnya dada yang sedari tadi terasa panas. Ia mengenali siapa orang-orang itu, hingga membuat nyalinya menguap seketika. Tak tentu apa lagi yang ingin ia lakukan. Sungguh, tak ada keberaniannya untuk mendekat dan melarang mereka berbuat demikian.

***

Pagi ini, Mak Leman kembali duduk di depan televisi. Segelas kopi dan sepiring ubi rebus dihidangkan oleh Tek Baidar. Tiga bulan sudah galodo berlalu. Bencana itu meninggalkan bekas luka yang amat dalam di hati masing-masing penghuni Kampung Tikalak, tak terkecuali dengan Mak Leman. Ladang kopi yang ia miliki tidak lagi bisa diharapkan sebagai sumber mata pencaharian. Demi kebutuhan hidup yang mesti dipenuhi, ia terpaksa bekerja apa saja. Mengambil upah ke sawah orang, menjadi kuli bangunan, dan berbagai pekerjaan serabutan lainnya ia lakoni. Meski hasilnya tak seberapa, setidaknya tetap bisa membuat dapur rumahnya terus berasap.

Mata Mak Leman tak berkedip saat stasiun televisi lokal itu menyiarkan acara berita.

“Kemarin pagi Bang Zainudin datang ke rumah, katanya mau mengajak Uda ikut acara itu,” ucap Tek Baidar sambil memandang siaran televisi. “Saya katakan padanya bahwa Uda sudah pergi ke sawah Pak Sulaiman.”

Mak Leman hanya tersenyum kecut. Kedua bola matanya memandang kesal televisi kecil itu. Memang, beberapa hari yang lalu ada pengumuman tentang kegiatan penanaman bibit pohon di hulu batang Pakau. Tetapi, ia tak hendak ikut serta. Masih jelas di ingatannya, acara serupa yang diadakan di punggung bukit Talago dua bulan silam. Bibit yang telah ditanam dengan acara meriah dan tentunya dengan biaya tak murah itu dibiarkan begitu saja. Tak ada yang peduli bagaimana perkembangannya. Akhirnya, banyak bibit pohon yang telah ditanam menjadi mati sia-sia.

Di layar televisi itu, Mak Leman melihat jelas wajah ratusan aparat pemerintah daerah beserta pihak terkait lainnya. Puluhan wartawan tampak mengabadikan sang kepala pemerintahan yang tengah menanam bibit pohon. Amarah Mak Leman memuncak seketika saat melihat seorang lelaki berwajah bulat. Dengan senyum merekah, ia ikut serta menanam bibit pohon yang juga disediakan untuknya. Mak Leman tak pernah lupa dengan lelaki tersebut. Perutnya buncit dan rambutnya keriting. Mak Leman terasa hendak muntah. Tangannya terkepal. Ingin rasanya ia melempar televisi itu dengan gelas kopi yang ada di tangannya. Tapi ia sadar bahwa itu perbuatan sia-sia dan sungguh tak ada gunanya. (*)

 

 

Keterangan:

Mak       = Paman

Tek         = Bibi

Galodo   = Banjir bandang yang disertai tanah longsor

Banio     = Jenis kayu yang berkualitas tinggi

 

Penulis lahir di Lubuk Sikaping, 10 Oktober 1980. Ia aktif menulis puisi, cerpen, maupun artikel. Beberapa tulisannya telah dimuat di harian lokal dan nasional. Saat ini bekerja di Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang.


Filed under: Riki Eka Putra Tagged: Republika

Viewing all 933 articles
Browse latest View live