

Cerpen Zelfeni Wimra (Jawa Pos, 14 Oktober 2012)
AKU harus bertemu Gadis bermata gerimis itu menjelang siang beralih jadi senja. Menjelang matahari benar-benar lenyap dari pandangan dan perbukitan Batu Ampa telah disungkup gelap. Sebab, bila alam sudah kelam, tanjakan dan penurunan jalan yang akan dilalui jauh lebih sulit dilewati daripada ketika masih tersisa terang di garis langit. Aku mempercepat langkah. Garis kelabu masih tergurat di sekitar ufuk barat. Aku pererat tali sepatu yang terasa longgar. Jalan setapak menuju rumah gadang terpencil yang kini ditempati Gadis masih licin. Sisa hujan siang membuat badan jalan bertanah liat dan berbatu itu berbalut lumpur.
Ojek yang kutumpangi tidak bersedia mengantar sampai ke halaman lantaran jalan licin. Sudah lama aku mengidamkan perjalanan ini. Menjelang usia 25 tahun aku pikul, hari-hariku lebih banyak di kampus. Setelah menamatkan S1 langsung ke S2. Begitu bunyi perjanjian dengan yayasan yang memberiku beasiswa. Sepanjang 25 tahun itu, rasanya, hidup berkejaran dengan sekawanan rencana dan cita-cita yang liar. Target-target hidup modern yang akhirnya kusadari telah menjauhkanku dari kesempatan memaknai asal-usul. Sering aku menerima cibiran. Aku dikatakan perempuan ambisius yang telah tercerabut dari akar budayanya. Perempuan berdarah Minang yang tiada lagi menginjak bumi; lupa pada jaringan kerabat dan sanak famili. Pernyataan yang harus kuterima dengan sadar dan sabar.
Dalam hati telah kusimpan niat bahwa pada waktunya aku akan pulang, mencicil utang-utang pada kerabat di kampung. Terutama utang pada Gadis bermata gerimis itu. Sebenarnya aku memanggilnya Nek Gadis. Panggilan unik yang tidak aku saja yang menggunakan. Sekampung, orang memanggilnya Nek Gadis. Nama lengkapnya Gadis Yulianis, amak dari ibuku yang kini tinggal sendirian menghuni rumah gadang kami di Batu Ampa. Seorang nenek yang selalu tampak ceria. Ketika sedang tersenyum, matanya yang tua selalu seperti dituruni gerimis. Sungguh pun begitu, dalam hati, aku senang menyebut dan menganggapnya sebagai seorang gadis muda. Kesadaran akan keberadaan aku dan dia memuncak ketika mendapat email dari seorang pengurus yayasan: “Jalito, nenekmu sangat merindukanmu. Kalau urusan di kampus sudah selesai, pulanglah. Temui dia, sebelum ajalnya mendahuluimu….”
Pesan singkat yang menyentak perasaan. Setelah menuntaskan urusan dengan kampus dan Yayasan Bung Hatta, pemberi beasiswa kuliahku, aku langsung mengurus keberangkatan dari Bandung-Jakarta-Padang. Dari Padang melakukan perjalanan darat dengan bus ke Payakumbuh. Turun di simpang Batu Ampa lalu naik ojek ke alamat yang kini ditempati Nek Gadis.
Aduhai. Sahutan suara siamang dari kejauhan menyambutku. Jalanan lengang. Kesejukan menyelimuti segenap pikiran melihat orang-orang mengayuh sepeda. Hanya sesekali melintas sepeda motor. Gemericik air di sawah. Kicau burung. Semua mengetuk kesadaran yang selama ini terkurung dalam diri dan tak pernah tersapa. Inikah kampung asalku? Barisan rumah yang dihuni orang-orang sederhana. Bentangan sawah-ladang yang lebih banyak tidur daripada tergarap karena pemiliknya telah ditelan perantauan.
Berbekal sisa tabungan, aku berniat akan tinggal lebih lama di sini. Selain ingin bertemu satu-satunya keluargaku yang masih hidup, aku ingin menjiwai lebih dalam cita-rasa menjadi perempuan di ranah yang bersuku ke ibu ini. Mudah-mudahan nenek bahagia menerima kehadiranku. Hari benar-benar telah gelap. Aku bersuluh senter yang tersedia di ujung telepon genggam. Aku tapaki anak tangga rumah gadang yang dibangun di atas sepetak tanah di pinggir kebun kakao.
Dulu, ketika keluargaku masih utuh, rumah ini kami kunjungi, paling hanya sekali setahun, setiap hari raya tiba. Daun pintu terbuka dengan gerak yang lembut. Sesosok tubuh bungkuk muncul diterangi cahaya lentera. Kebiasaannya belum juga berubah, lebih suka bersuluh lentera padahal rumah gadang itu sudah dialiri listrik. Lebih suka mendengar radio, padahal mendiang ibuku sudah membelikannya televisi.
“Masuklah,” getar suaranya sangat dalam. Suara seorang yang sudah lama mengecap asam-garam kehidupan. Ia bergegas ke sebuah lemari. Memperkecil volume radio yang sejak tadi terdengar mendominasi suara seisi rumah. Lambat-lambat, suara katak dan belalang meningkahi. Ia kemudian mengembangkan tangan. Siap menerima pelukan. Aku langsung menyambutnya. Pelukan yang menenangkan. Pelukan yang menandakan kerinduan yang lama tertahan.
“Jalito, Nenek sudah lama menunggumu,” kedua tangannya menupang dagu dan pipiku.
“Pipi ini. Hidung ini. Mata ini. Semuanya mirip sekali dengan punya ibumu,” ucapnya di sela haru yang terjaga. Matanya kembali bergerimis, tetapi otot pipinya sepertinya sudah terlatih mengendalikan perasaan, sehingga hanya tiga segukan yang keluar.
“Nenek sudah dapat kabar siang kemarin, kalau kamu akan pulang. Nenek sengaja berpesan pada orang yayasan yang tempo hari memberi tahu Nenek kalau kamu akan wisuda. Nenek ingin kamu ada di sini menjelang usia Nenek ditutup nan satu. Di keluarga kita, yang tersisa hanya kita berdua….”
Di sela getar suara nenek, ingatanku memutar kembali gempa Aceh 2004 lalu. Bencana yang mengakhiri kebersamaanku dengan keluarga di sana. Beruntung keberadaanku cepat diketahui. Aku selamat dari bencana itu karena sedang berada di asrama pondok pesantrenku di Bukittinggi. Neneklah yang mengurusi penjemputanku.
Yayasan Bung Hatta menyetujui permohonan nenek untuk mengamankanku yang waktu itu masih kelas tiga Aliyah. Aku sempat dibawa ke rumah nenek, berpamitan menjelang aku berangkat ke Bandung melanjutkan pendidikan.
Enam tahun lebih berlalu. Rentangan waktu yang kulalui antara harapan dan ketakutan. Namun, terasa singkat ketika berada kembali di pelukan nenek. Merasakan denyut semangat di tubuh 85 tahunnya. Tubuh yang boleh saja ringkih. Ia boleh saja ditinggal mati suaminya, disusul kehilangan anak dan menantunya, tetapi semangat yang dikandung batinnya terasa masih menyala. Segelas teh hangat sudah tersedia di meja bundar yang dilingakari kursi rotan ketika aku selesai mandi dan salat Magrib. Tapi masih aku abaikan. Sungkan rasanya langsung meminum teh buatannya. Aku langsung ke dapur menemaninya menunggu rebus buncisnya matang.
“Tehnya sudah kamu minum?” tanyanya sambil menyusun letak kayu api yang ujung-ujungnya sedang menyala. Aku menggeleng.
“Kenapa belum diminum? Kalau sudah dingin, tidak enak.”
“Harusnya aku yang buatkan teh untuk nenek,” tanggapku.
“Tak apa. Itu tanda kerinduan nenek padamu. Minumlah.”
Aku dan nenek terlibat aktivitas menjelang makan malam. Hingga kantuk terasa kami terus bercerita tentang banyak hal yang muara kisahnya berputar pada keadaan keluarga kami yang nyaris punah. Katanya, kalau dirinya telah tiada, tinggal aku seorang anak perempuan yang akan meneruskan nasab keluarga. Ia kisahkan pula bagian terpenting dalam hidupnya. Tentang sejumlah kekeliruan yang pernah dilakukannya di masa lalu.
Semasa muda, ia pernah mengalami perasaan iba yang tak terperikan. Perasaan iba itu menguasai pikirannya sehingga ia termasuk gadis yang terlambat bersuami. Ia menikah saat sudah berusia 30 tahun. Di masa Nek Gadis muda, itu sudah sangat terlambat. Setelah menikah, ia pun hanya dikaruniai dua orang anak. Satu laki-laki, satu perempuan. Yang laki-laki meninggal ketika berusia delapan bulan. Yang perempuan, yakni ibuku, meninggal pada bencana tsunami Aceh. Tinggal aku, cucu perempuannya.
“Doa nenek sekarang, cepatlah hendaknya kamu bertemu jodoh. Teruskan nasab keluarga kita. Atau jangan-jangan kamu sudah punya calon? Bilanglah sama Nenek….” Keriput senyumnya seperti sedang menggoda dan gerimis di matanya terus saja merinai. Aku juga mencoba tersenyum. Terlalu dini membukanya pada nenek. Bisa saja dia tercengang; sangat heran bila rahasia masa mudaku diceritakan padanya. Bisa jadi dia naik pitam mendengarnya.
Di ujung senyum yang kupaksakan itu, kutanyakan pada nenek, apa sebenarnya hal yang pernah membuatnya bersedih sehingga larut dalam perasaan tak berguna. Melakukan hal yang kini ia anggap keliru, sampai-sampai ia terlambat menikah? Nenek tidak menjawab dengan jelas. Ia hanya menceritakan tentang rencana mamaknya memperkenalkan pada seorang anak muda terpelajar yang pada saat itu sedang berada di Tanah Jao. Anak muda itu masih cucu saudara sepupu sang mamak. Ia seorang yang secara adat sangat pantas mempersunting nenek. Pulang ka Bako, demikian istilah adatnya, yakni menikah dengan kemenakan atau keluarga ayah.
Apa yang terjadi? Hanya sekali pemuda itu pulang. Itu pun sebentar. Hanya beberapa hari. Setelah sempat diperkenalkan pada nenek, ia kembali lagi ke Tanah Jao dan tak pulang-pulang. Sang mamak tetap meminta nenek bersabar. Kalau negeri sudah aman, pemuda yang akan jadi suami nenek itu pasti akan pulang. Ini sudah menjadi keputusan keluarga. Rasanya sayang kalau pemuda itu mempersunting gadis lain di tanah rantau. Jika itu terjadi, ibaratnya memagar kelapa condong. Batang di kebun kita tapi buah jatuh ke ladang orang. Begitu pikiran sang mamak.
Beberapa kerabat lain juga berkeyakinan seperti itu. Mereka paham, pemuda itu sedang berjuang memerdekakan sebuah negara-bangsa. Jadi anak muda di masa itu memang penuh tantangan. Malu besar bila ada anak muda yang hanya mampu memikirkan diri sendiri. Apalagi laki-laki. Nenek juga berusaha mengerti bagaimana rumitnya jadi laki-laki di masa itu. Beruntung masih bisa hidup. Bahkan tak terhitung yang meregang nyawa karena memperjuangkan hidup dan tanah airnya. Tapi, seperti yang diakui nenek, satu hal yang sering membuatnya terjebak iba adalah penantiannya yang tak berujung. Pemuda itu tiada pernah berkabar. Hal ini memang bukan perkara laki-laki. Kata nenek, ini perkara perempuan. Selalu perempuan yang ditinggalkan; selalu perempuan yang menunggu.
“Siapa nama pemuda yang Nenek tunggu-tunggu itu, Nek?” tanyaku tak sabar.
Nenek tertegun. Matanya kembali bergerimis. Di luar, gerimis sesungguhnya juga turun. Kerut wajahnya menampakkan tanda-tanda misterius yang tak mampu kupahami maknanya. Dengan langkah tenang, nenek berlalu ke ruang tidurnya.
Nenek keluar dari biliknya membawakan sebuah map kelabu yang sudah tampak tua. Map itu bergetar ketika nenek menyerahkannya padaku. Pelan-pelan aku buka map itu. Sebuah foto setengah badan. Seorang pemuda berkaca mata bingkai hitam.
“Bung Hatta?!”
Suaraku tercekik di tenggorokan. Kami pun tidak lagi bercakap-cakap. Hanya saling tatap. Di luar, gerimis terus menyentuh atap. Perlahan seiring rentak gerimis, aku perhatikan muka nenek. Keriput bertautan. Aku sentuh bahunya.
“Nek, ada apa dengan mata Nenek?” aku guncang-guncang bahunya. Kembali kuperhatikan, rupanya di kedalaman mata nenek, rintik gerimis semakin rapat.
Dari cara nenek membersihkan percikan gerimis di matanya, terlihat sekali kalau dirinya sudah terbiasa menghadapi perasaan demikian. Penglihatanku pun jadi sedikit kabur dibatasi kabut yang tercipta dari percikan gerimis di mata nenek. Wajah nenek tidak lagi terlihat keriput, melainkan seperti wajah seorang gadis yang kuyup di tengah siraman gerimis. (*)
Cerpen Eka Maryono (Koran Tempo, 14 Oktober 2012)
Berikan aku cahaya, katanya, sesuatu yang dapat membantuku melihat kebenaran.
SEJAK cahaya menghilang dari desa kami, dia selalu meminta cahaya. Jadi aku kisahkan padanya tentang Blind Snakes, ular yang menyerupai cacing tanah panjang. Mereka hidup di liang bawah tanah, dan tidak dapat menggunakan matanya yang sangat kecil untuk melihat, tapi mereka bisa merasa apa yang ada di sekelilingnya. “Kita harus seperti ular itu,” kataku. Dia membantah. Katanya, “Blind Snakes tidak dapat melihat karena memang buta. Sedang kita punya mata yang dapat melihat. Hanya saja tidak ada cahaya.”
Dulu desa kami selalu bercahaya. Matahari begitu benderang dan bintang-bintang sangat gemerlapan. Belum lagi kerlip kunang-kunang yang bahkan lebih bersinar ketimbang cahaya bulan. Ya, waktu itu desa kami bahkan sangat terang di malam hari. Cahaya ada di mana-mana, sampai ke sudut desa yang paling terpencil sekalipun. Cahaya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup kami.
Aku masih ingat masa kecil dulu. Kami menangkap dan menendang-nendang cahaya, melemparkannya ke udara, bahkan terkadang kami mengapung di dalamnya. Aku sendiri sering membawa cahaya pulang, menuangkannya ke dalam bak mandi, kemudian berendam berjam-jam di sana. Seringkali ibu memergoki kelakuanku. Kalau sudah begitu, ibu pasti menjewer telingaku. “Nanti kamu masuk angin,” hardiknya. Tapi ibu sendiri selalu membedaki wajahnya dengan cahaya tanpa takut angin menyusup ke dalam kulitnya.
Cahaya tak pernah pergi. Kami tumbuh bersama cahaya. Ketika kami remaja dan mulai mengenal cinta, kami menulis surat cinta di atas selembar cahaya. Semburat merah muda membayang ketika kami mengikat cahaya di kaki burung dara, dan ketika terang bulan mulai berpendar, burung dara akan menyampaikan cahaya itu kepada kekasih yang dituju. Cahaya memang sangat memesona, maka kami juga belajar merangkainya menjadi benda-benda indah, kemudian memberikannya sebagai hadiah pada orang yang paling kami sayangi.
Sampai suatu hari, datang orang-orang dari luar desa. Mereka menebangi pohon-pohon di hutan dan menanami ladang-ladang sesukanya. Sejak itu kami tak punya apa-apa kecuali cahaya. Semua telah mereka rampas. Kami bahkan tak bisa sembarangan mengambil biji yang jatuh dari pohon, karena jika melakukan itu, kami bisa dituduh mencuri.
Kami tak mampu melawan mereka. Kami hanya bisa menangis di setiap senja yang sendu tapi mereka membuang air mata kami ke sungai atau meniupnya hingga membumbung ke langit abu-abu. Maka kami memilih diam dan menjahit mulut dengan cahaya, tapi mereka biarkan mulut kami dipenuhi luka. Bahkan ketika kami membakar diri dengan cahaya, mata mereka tetap saja buta, tak mau melihat terang yang ada. Hingga suatu hari, kami mulai membuat tali dari cahaya dan menggantung diri dengannya. Setelah itu cahaya padam selamanya.
Sekarang kegelapan menyelimuti desa. Tidak ada cahaya. Tidak ada terang. Semua padam. Bahkan kunang-kunang ikut menghilang. Untuk pertama kali dalam hidup ini, kami takut pada gelap, melebihi takut pada mati.
“Raksasa memakan cahaya kita… raksasa memakan cahaya kita,” ratap ibu sambil menarik-narik rambutnya, “dia memakan cahaya supaya kita tidak bisa melihat kebenaran.”
Ibu kemudian menangis berjam-jam lamanya, sedangkan bapak yang semakin tua hanya termangu sambil bibirnya mengulum-ngulum rokok yang tidak mau menyala.
“Tidak. Aku rasa cahaya hanya sedang marah,” kata bapak lirih. “Dia marah karena kita pakai untuk bunuh diri.”
Itulah terakhir kali aku melihat mereka. Tidak ada lagi yang bisa dilihat sejak gelap benar-benar menguasai desa. Kami bahkan tidak bisa melihat jari-jari tangan sendiri. Tiba-tiba semua menjadi asing. Kami berjalan tanpa arah demi mencari cahaya sampai akhirnya terpisah. Jalanan dipenuhi jerit tangis anak-anak yang tersasar dan teriakan ibu-ibu yang kehilangan anaknya. Semua orang mencari-cari cahaya. Semua orang tercerai berai dalam gelap.
DIA adalah gadis yang ramping namun tegap berisi. Rambutnya panjang melebihi pinggang dan tebal bagaikan ladang gandum. Pipinya ranum dan selalu merah ketika tersipu, dengan sedikit lesung pipit yang akan bertambah cekung jika tersenyum. Leher jenjangnya terlihat indah jika dia menengadah, warnanya putih susu dan setiap saat memancarkan keharuman yang memaksa setiap lelaki untuk melirik. Laki-laki yang melihatnya akan berdesir dalam hati, “Ah, cantiknya.” Lalu laki-laki itu akan tersenyum padanya dan dia akan membalas senyuman itu hingga membuat laki-laki tersebut gelisah dan terjaga di malam hari. Aku tak pernah berhenti memikirkannya dan baru merasa tenang jika menatapnya dari kejauhan.
Dia jelas sangat berkelas. Itu tampak lewat suaranya yang nyaring dan anggun. Suaranya seperti burung bulbul sedang jatuh cinta yang nyanyiannya dapat menyembuhkan luka. Aku tak mengira bisa bertemu lagi dengannya. Suara dan aroma tubuhnya yang memanggilku. Adalah semacam ironi bila kami bisa sedekat ini. Dulu dia tak pernah membalas surat cinta yang setiap minggu kukirim di kaki burung dara, tapi sekarang dia membutuhkanku untuk menemaninya mencari cahaya. Memang ada kebahagiaan di balik penderitaan, demikian pula sebaliknya.
Tapi sayangnya dia terus meratap minta cahaya secepatnya ada. Rengekannya membuatku gusar. Bagaimana mungkin cahaya dapat cepat ditemukan, sementara untuk berjalan pun kami tertatih-tatih. Tanpa matahari lumut tumbuh di mana-mana, muncul rimbun di ranting pepohonan, melekat pada dahan-dahan, merambat di jalan beraspal dan pinggir selokan, bahkan mekar di telapak kaki kami. Lagipula tak seorang pun ingin terperosok dalam lubang di tengah kegelapan yang pekat ini.
Akhirnya aku jadi ingat ratapan ibu bahwa cahaya dimakan raksasa agar tidak ada lagi kebenaran yang dapat dilihat. Mungkin ibu benar. Maka setelah dongeng Blind Snakes tidak berguna untuk menenangkan hatinya, aku mulai bertutur tentang raksasa.
“Raksasa memakan cahaya kita,” kataku.
“Benarkah?” suaranya bernada sendu.
“Ya, dia memakan kebenaran yang seharusnya dapat kita lihat dengan mata telanjang.”
“Aku butuh cahaya agar kebenaran ada dan mereka memakannya?”
“Tenanglah, kau masih punya nurani. Biarkan raksasa memakan cahaya. Selama nuranimu masih menyala, maka masih ada sisa kebenaran yang bercahaya dalam hidupmu.”
“Aku tidak mengerti….”
Dia mulai menangis dan tak bisa berhenti.
KEGELAPAN lantas menyebar dengan cepat ke desa-desa lain. Kepanikan terjadi di mana-mana. Ribuan orang dievakuasi menuju kota. Namun gelap pun menyambar sampai ke kota-kota. Akhirnya seluruh tempat terseret pusaran malam yang sangat panjang. Jutaan orang terombang-ambing di tengah gelap yang berbisa, seolah mengapung dalam ruang hampa. Tak ada lagi tempat yang bisa dituju. Tak ada tempat yang tak kehilangan cahaya. Negeri kami benar-benar menjadi gelap, dingin dan mencekam. Mungkin seperti ini rasanya terjerembab dalam lubang kubur paling terdalam.
Kini cahaya menjadi sangat berharga di negeri kami, negeri yang kehilangan cahaya, dimana hanya ada kabut kelam sebagai gantinya. Di saat seperti ini orang rela menukar miliknya yang paling berharga demi sepotong cahaya. Hampir setiap hari ada saja suara-suara yang menawarkan cahaya, dan kami berbondong-bondong mengikuti suara itu, sampai suara tersebut mengembus pelan-pelan meninggalkan rasa kecewa. Hingga suatu hari, seseorang benar-benar muncul dengan sepotong cahaya di tangannya.
Hanya sepotong cahaya, tapi segera menjadi magnet yang memanggil-manggil. Suara-suara bermunculan dalam kesenyapan. Kami larut dalam keterpanaan. Di depan kami seolah terhampar laut yang begitu luas dan ombaknya menggulung tubuh kami ke tengah samudera yang dipenuhi rahasia. Darimana dia mendapat cahaya?
Di sepotong cahaya itu bayangan diri kami memantul. Bayangan yang juga memanggil-manggil dan memecah gulungan ombak di tubuh kami menjadi serpihan buih. Selalu pada akhirnya, ada pedih tertahan saat kita kembali ke masa lalu. Ingatan yang berulang-ulang dan memudar pelan-pelan seperti buih ombak yang menghilang.
Berikan aku cahaya, katanya, sesuatu yang dapat membantuku melihat kebenaran.
Keheningan lantas menghilang berganti keriuhan ala pasar malam. Orang-orang berlomba ingin memiliki cahaya. Mereka menawarkan uang, kalung emas, cincin berlian, jam tangan impor, bahkan baju dan celana yang sedang dipakai. Yang lainnya tidak memiliki apa-apa lagi kecuali tubuh mereka sendiri. Maka mereka pun mulai memotong-motongnya.
Ada yang memotong tangannya, kakinya, telinganya, hidungnya, bibirnya, bahkan mencungkil satu biji matanya. “Ambillah mata ini, aku masih punya setengah lagi untuk melihat cahaya darimu,” kata seorang lelaki. Suaranya serak. Mungkin udara lembab telah membuat paru-paru dan kerongkongannya rusak.
Bau amis luruh bersama kucuran darah. Aku terpaku dengan pemandangan ini. Setelah sekian lama hidup dalam gelap, cahaya tidak lagi membawa bahagia tapi ngeri yang ngilu dan miris. Lihatlah, mereka menjadi tidak sabar dan sekejap saja menjadi liar. Mereka berkelahi di atas genangan darah demi memperebutkan cahaya, hingga cahaya yang cuma sepotong itu pun jatuh terbenam dalam kubangan darah.
Padam.
Namun bau darah yang serupa aroma daging segar ternyata lebih menggairahkan ketimbang cahaya. Darah membangkitkan naluri yang sangat purba. Naluri kerakusan yang selama ribuan tahun membuat orang saling membunuh. Sejak itu mereka tidak lagi mencari cahaya tapi memburu sesama manusia. Negeri kami sekarang dikuasai makhluk-makhluk pengisap darah. Makhluk-makhluk yang selalu lapar dan dahaga.
Barangkali hanya aku dan dia yang tetap setia mencari cahaya dengan mengendap-endap dalam sunyi agar selamat dari tikaman taring mereka. Siapa yang dimangsa akan berubah jadi pemangsa. Kami tidak ingin jadi vampir yang mengisap darah sesama.
“Benarkah nurani tidak pernah jahat kepada makhluk hidup?”
“Ya, selama nuranimu masih menyala.”
“Sayangnya… nurani tersembunyi dalam hati, bagian tubuh yang paling gelap. Bagaimana dia bisa bercahaya sedang dia sendiri terbungkus dalam senyap?”
Aku tidak menjawab. Sejujurnya aku hanya ingin menenangkan hatinya dengan kata-kata, selebihnya aku tidak mengerti.
“Aku ingin terang yang menghangatkan, cahaya yang dapat membantuku melihat kebenaran.”
“Kau akan dapatkan semua itu. Bersabarlah. Kebenaran ada dalam hatimu. Kau hanya perlu menunggu.”
Aku mendekapnya, membiarkan panas tubuhku menghangati hatinya. Tubuhku seolah bergetar, seperti ada lingkaran badai yang menyentak-nyentak dalam dada. Lantas dia mengangkat kepalanya dari dekapanku, mengusapi wajahku dengan nafasnya yang selembut beludru. “Aku ingin selamanya bersamamu mengarungi kegelapan ini,” katanya.
Ah, kami cuma sepasang manusia yang muram di antara gelap dan gemeretak ranting-ranting pepohonan. Kemudian dengan penuh gairah dia melumat bibirku. Antara mimpi dan malam, aku merasai taring kami bergesekan hingga memercikkan bunyi seperti suara sendok dan garpu di atas meja makan. Aku seperti mati. Selebihnya sunyi.
Gelap memburaikan nafsu purba yang selama ini kami hindari. Nafsu akan anyir darah. Darah yang mengalir dari leher harum yang berjenjang indah. Siapa yang dimangsa akan jadi pemangsa. Haruskah kami menjadi vampir yang mengisap darah sesama?
Ketika gelap dan hening mencapai puncaknya, gelombang laut pasang di dada melayarkan kami ke negeri teramat jauh. Sejauh itu pula taringnya berlayar dan menancap di urat nadi leherku. Sedikit perih tapi melegakan. Dan tiba-tiba aku merasa sangat lapar dan dahaga.
Di negeri kami, nurani memang sudah mati. (*)
Cerpen El Hadiansyah (Kompas, 21 Oktober 2012)
NAMANYA Sri. Hanya Sri. Sangat singkat bukan? Awalnya, aku pun menyangka ada kelanjutan dari tiga huruf itu. Namun tidak. Namanya benar-benar Sri, hanya Sri. Entah di mana ia sekarang.
Bilur matahari langsung sampai ke lapangan sekolah. Menjadi jejak. Cukup panas. Aku sendiri gerah dibuatnya. Angin dari beringin yang berkeliling tak juga mengurangi rasa. Tetap menyengat. Hanya satu dua dedaunan menggelinding disertai bungkus permen, juga bungkus snack yang terserak dari bawah tempat sampah. Namun Sri tak juga menyerah pada hukuman. Tubuh kecilnya berdiri di bawah tiang bendera warna putih. Membuatku miris.
Aku hanya melihatnya sesekali.
Pak Broto terus menerangkan tentang masa lalu. Sejarah yang mesti kami ketahui demi hari esok. Entah apa. Inilah pelajaran yang membawa hukuman demi hukuman berjejer kian panjang bagi Sri, menunggu dilaksanakan.
Hampir satu bulan ke belakang. Ketika Pak Broto mengurai pemberontakan sebuah partai yang pernah dilakukan sekian puluh tahun lampau, tiba-tiba suara Sri memecah ketegangan. Sebuah pertanyaan meloncat malu-malu, saling bersusulan, seperti tontonan. Kami hanya diam mendengarkan dua suara saling berlanjut, membentuk dialog panjang yang akhirnya berujung ngambang. Pak Broto seperti kehilangan kalimat, lalu kelas selesai lebih awal.
“Memangnya kamu tahu dari mana to Sri?” tanyaku mendekatinya. Anak-anak lain tak ketinggalan mengerubung mirip semut. Ini pertama kalinya ia jadi pusat perhatian kelas.
“Kakekku yang cerita. Katanya, yang ada dibuku itu bohong.”
“Kalau itu bohong, kenapa bisa tertulis di buku pelajaran? Aneh.”
“Makanya tadi tanyakan.”
Pertanyaan dan sanggahan lebih mirip dengung lebah mengisi kelas. Aku sendiri kian pengap dibuatnya. Meski rasa penasaran belum terbayar atas jawaban Sri, tetap saja tak mungkin dilanjutkan.
“Pokoknya kamu tanyakan itu terus saja Sri, biar kita bisa pulang cepat. Hahahaha,” kata Budi. Yang lain sorak menyetujui usul tersebut. Aku memilih pergi.
Tak lama, sebelum bel tanda berakhirnya pelajaran istirahat memenuhi lorong kelas, tiba-tiba Mas Karnaen, pak bon sekolah kami mendekati Sri, menyampaikan sebuah pesan yang mesti ia patuhi. Menghadap guru. Kerumunan mengurai cepat, membawa tanda tanya juga ketegangan pada wajah masing-masing. Bibir terkatup rapat.
Dua jam pelajaran, Sri tak juga kembali ke kelas. Aku dilanda debar tak stabil dalam dada. Keras, bersusulan. Ada rasa khawatir yang lebih berwarna takut membayangkan ia. Apa sedang menerima hukuman karena masalah tadi? Bisa jadi. Ketegangan tak juga lepas dari wajah masing-masing siswa di kelas, merangsang bisik-bisik hingga ke meja guru.
“Jangan suka ngomong ngawur di sekolahan ya?” kata Bu Dewi tiba-tiba. Di sela pelajaran Agama Islam yang ia terangkan.
Tak ada yang merespons.
“Kalian tahu kenapa teman kalian belum juga balik ke kelas?”
Heran. Aku pikir, masalahnya hanya tentang perbedaan pendapat antara dirinya dan Pak Broto. Sesuatu yang mestinya wajar, dan tak perlu diperpanjang. Bukankah pertanyaan menjadi rutinitas saat proses belajar berlangsung? Bahkan di luar jam kelas! Namun pertanyaan Sri beberapa waktu lalu justru menjadi momok berkepanjangan. Menghantui kami, terlebih bagi Sri sendiri.
***
Satu hari setelah “perselisihan” Sri dan Pak Broto, sebuah kabar menggemparkan sampai di sekolah. Kakek Sri ditangkap polisi. Masalahnya tak lain karena cerita yang ia sampaikan pada cucunya. Sekolah kian tegang, terlebih kelasku. Ternyata pihak sekolah melaporkan apa yang diungkapkan Sri pagi itu. Tentang ilmu sejarah yang katanya simpang siur.
Yang aku tahu, sebenarnya tak sekalipun Sri menuduh pemalsuan untuk materi yang disampaikan Pak Broto pagi itu. Tidak. Seluruh murid di kelas kami pun sepakat, ucapan Sri lebih pada pertanyaan yang nyatanya tak mampu dijawab pak guru.
“Apa benar banyak orang tidak bersalah dihukum tanpa diadili terlebih dahulu, Pak?”
“Itu tidak benar.”
“Dari mana bapak tahu?”
Lalu perdebatan melebar, dan Sri justru dituduh mengganggu pelajaran.
Kasus penangkapan sang kakek membuat Sri kian terpojok. Beberapa terhasut isu, menudingnya cucu seorang penjahat. Menjauh. Praktis tak ada yang mau berteman dengannya, kecuali siswa satu kelas, yang benar-benar paham kondisinya.
Anehnya, makin hari, perlakuan buruk makin menjadi. Tidak hanya datang dari satu guru, namun semua guru dan siswa-siswa di kelas lain. Aku prihatin melihat apa yang Sri alami. Sedih, tanpa bisa berbuat apa pun.
***
Sri masih saja bertahan. Tak sekali, aku dan teman-teman satu kelas membujuknya agar menyerah. Pindah ke sekolah lain yang lebih baik. Rasanya tak tega melihat ia setiap hari mendapat hukuman, tanpa jelas kesalahannya. Namun hasilnya sama. Sri tetap ingin bertahan.
“Aku sudah kelas tiga, Din. Bentar lagi kelulusan. Kalau aku pindah sekolah, justru akan merepotkanku sendiri. Terlebih, cuma di sekolah ini aku bisa dapat beasiswa.”
‘Tapi kamu akan terus menjalani hukuman demi hukuman setiap hari. Aku tahu tujuan mereka sebenarnya. Ingin membuatmu tidak betah, lalu keluar dari sekolah. Tapi bagaimana lagi. Kita tak mungkin bisa melawan ini. Jadi….”
“Jadi aku harus keluar?” sahut Sri.
Kami terdiam lama. Larut dalam pikiran masing-masing. Aku sendiri sangat bingung menghadapi masalah yang kini menghadang Sri. Ah, kadang aku menyesali cerita dari kakeknya. Kenapa harus membantah materi sekolah!
“Sekarang, apa yang akan kamu lakukan, Sri?” tanyaku.
“Aku pasti bisa melaluinya, Din.”
Selesai.
Tiap hari, ada saja kesalahan yang ditimpakan pada Sri. Dari satu guru ke guru lain, dari tugas satu ke tugas lain. Peraturan baru bermunculan. Hanya untuk Sri. Semua anak di kelas kami tahu hal itu.
Pernah, tiba-tiba Sri dipanggil ke ruang guru hanya karena ada garis putih tipis di sepatunya. Mendadak. Padahal sebelumnya hal itu tak pernah dipermasalahkan. Tak cukup dua jam pelajaran, kurungan ruang bagi Sri dilakukan hingga waktu pulang tiba. Hasilnya, Sri harus menyalin enam materi pelajaran yang tak ia ikuti.
Pada kesempatan lain, tiba-tiba Sri diberi tugas membersihkan ruang guru, tanpa sebab akibat. Atau diminta untuk foto copy buku oleh guru, yang entah mengapa membutuhkan waktu satu jam pelajaran. Aneh. Namun tak ada yang berani menentang keganjilan itu. Tidak juga Sri.
“Taruhannya beasiswaku.” Sri menangis saat kami membicarakannya. “Aku ingin tetap sekolah.”
Aku terdiam.
“Aku harus bertahan. Tinggal empat bulan lagi. setelah itu masa kelulusan tiba. Aku tak ingin menyerah begitu saja, Din.”
“Yang sabar ya.” Tak ada kalimat lain yang bisa kuucapkan.
***
Sri akhirnya memang kalah. Entahlah. Memasuki bulan kedua masa sulitnya, tiba-tiba gadis cerdas yang selalu jadi kebanggaan di kelas, tak tampak lagi di sekolah. Tak ada surat izin. Tak juga keterangan dari teman terdekat.
Aku sendiri bingung dengan apa yang terjadi.
Hari kedua Sri tetap tak datang, hari ketiga, keempat, sepekan, sebulan, hingga muncul surat dari sekolah. Isinya, ia dikeluarkan dengan tidak hormat. Terang saja, ini menyisakan beban tak ringan bagi kami, teman-teman satu kelasnya.
Sri benar-benar menghilang. Tak hanya dari sekolah. Ia dan keluarga pun pindah ke kota lain. Tak ada yang tahu di mana tepatnya. Dari kabar yang beredar, satu hari sebelum mereka pindah dari desa, segerombol polisi mendatangi rumahnya. Menangkap sang ayah. Aku kaget dibuatnya. Ah, sebegitu besarkah dampak yang harus diterima Sri? Hanya karena bertanya tentang ilmu sejarah yang dianggapnya tak sesuai dengan kenyataan? Tiba-tiba aku takut bertanya tentang apa pun.
Sangat takut.
***
Namanya Sri. Hanya Sri. Sangat singkat bukan? Awalnya, aku pun menyangka ada kelanjutan dari tiga huruf itu. Namun tidak. Namanya benar-benar Sri, hanya Sri. Entah di mana ia sekarang.
Lima belas tahun tak ada kabar. Aku sendiri telah beranak tiga. Yang terakhir, perempuan, dan sengaja kuberi nama Sri. Hanya Sri. Nama yang sama bukan? Namun aku tak ingin menceritakan tentang sejarah kepadanya. Tidak. (*)
Cerpen Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 21 Oktober 2012)
SEANDAINYA itu permen, pasti ia akan menangis karena bisa habis. Namun itu jempol. Dikulum berjam-jam, berhari-hari hingga bertahun-tahun pun tak akan pernah kikis. Paling-paling hanya lumutan saja karena terlalu kerap dibasahi air liur. Begitulah, mengulum jempol yang selalu dia lakukan.
Munyu, nama pemberian Pak RT pada masa itu. Ditiupkan selepas melihat si pengulum jempol itu mukim di dunia ini. Kami cukup heran. Bayi laki-laki itu sejak lahir sudah mengulum jempol. Ia tidak menangis ketika lahir dari rahim ibunya. Begitu mbrojol ia langsung tertawa-tawa, dan pada sesela tawanya, dia melumati jempolnya. Sontak kami yang melihatnya kaget sekaget-kagetnya.
Kini Munyu berumur 15 tahun. Masih selalu mengulum jempol. Namun kali ini yang dikulum bukan jempolnya sendiri. Setiap hari ada beberapa jempol orang yang selalu ia rebut untuk dikulum. Tak seorang pun berani menolaknya. Itu lantaran Munyu begitu kekar dan beringas walaupun usianya baru belasan. Ia akan sangat marah jika ada seseorang yang melawan untuk tidak menyerahkan salah satu jempolnya untuk dikulum.
Jika marah, matanya akan mendadak melotot dan memerah. Giginya tiba-tiba mengeluarkan taring yang begitu lancip. Lalu jari-jari tangannya pun seketika menumbuhkan kuku-kuku hitam yang tajam dan panjang seperti kuku iblis yang siap menikam.
Ia tak pernah makan. Entah, barangkali gantinya makan ya mengulum jempol itu. Air liurnya sendiri ia telan. Ia juga tak pernah membeda-bedakan jempol siapa yang dikulum. Entah itu laki-laki atau perempuan, cantik atau jelek, tampan atau buruk muka. Tak masalah itu jempol hitam, bolang-bolang atau putih mulus. Bahkan jempol kudisan pun tetap ia lahap dengan begitu lunyam.
***
MUNYU terlahir di suatu liang lahat. Bocah berperawakan besar dan hitam itu awalnya dikira sudah mati semasa dalam kandungan, sebab ibunya meninggal karena bunuh diri. Akibat depresi atas penciptaan janinnya oleh beberapa lelaki berandal yang sering meresahkan warga Kalinyowo ini. Beberapa lelaki tak bertanggung jawab yang menitipkan sperma cikal bakalnya untuk muncul di dunia ini. Namun, beberapa detik lagi cangkul ditancapkan ke tanah untuk menimbun mayat ibunya, tiba-tiba terdengar suara bayi yang tertawa-tawa. Semua orang di pemakaman itu sempat ketakutan. Teringat film-film tentang “beranak dalam kubur”. Ingatan kami membuncah, ternyata fiksi itu benar-benar terjadi di kampung kami.
Sore itu, langit begitu muram menyambut kelahiran Munyu yang tertawa-tawa. Seperti hendak hujan. Namun ternyata mendung urung menumpahkan tangis demi menyambut kelahiran bayi yang begitu riang keluar dari rahim ibunya yang sudah tak bernyawa.
Orang sekampung pun khawatir terhadap bocah yang tumbuh dengan asing itu. Munyu, nama yang begitu akrab bagi kami. Karena bagaimanapun ia merupakan segala sesuatu yang begitu eksis menebar ke telinga rumah-rumah. Orang-orang sering memperbincangkannya di warung-warung, pos ronda, atau bahkan di masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya.
Semasa kecil, Munyu sering ditakut-takuti ketika sedang asyik mengulum jempolnya.
“Jangan kamu kulum terus jempolmu! Nanti bisa habis,” begitulah yang sering dikatakan pengasuhnya, Pak RT masa itu—Sujai. Lelaki setengah baya yang kini lurah di kampung kami. Namun Munyu tak juga bergidik walau padanya sempat juga diperlihatkan Mbah Jaman yang beberapa jarinya lenyap akibat terkikis suatu penyakit.
Bayi Munyu dulunya dicela-cela oleh orang sekampung. Sebab, kelahirannya begitu tak diinginkan, bahkan tak dikehendaki oleh ibunya sendiri. Kami menganggap pasti susah mengurus anak haram semacam itu. Malah bisa jadi pembawa sial. Lebih-lebih ibunya juga tak jelas asal-usulnya. Dulu ibunya tinggal sebatang kara di kampung kami.
Namun karena kebaikan hati Sujai, ia tetap diasuh dengan penuh kasih sayang. Walaupun waktu itu tak ada seorang pun yang mau mengasuh atau sekadar menimang sebelum menjualnya beberapa hari berselang. Ya, sesungguhnya kampung kami terkenal sebagai pasar anak. Posisi kami sebagai bandar, pemegang sah laju perdagangan anak. Setiap hari berdatangan orang yang hendak berjual-beli anak. Mereka kebanyakan datang dari luar kampung, bahkan hingga luar daerah.
Entah, barangkali kami tak mau mengasuh Munyu karena takut terhadap kemungkinan terjadinya malapetaka. Sebab, kami meyakini akan timbul bencana besar jika seseorang mengasuh anak haram semacam Munyu. Lebih-lebih ia lahir di liang lahat. Sungguh menakutkan. Kami sangat ciut, walaupun kami akui sesungguhnya dosa atas perdagangan anak telah menjadi tradisi turun-temurun di kampung kami. Namun bagi kami, anak yang kami perjualbelikan setidaknya bukan anak haram. Benar-benar terlahir dari pasangan suami-istri sah, dan tentunya anak-anak itu bersertifikat yang dilindungi undang-undang.
Sujai sering disuguhi berbagai wejangan dari para tetangga mengenai pengasuhannya terhadap Munyu. Juga tak jarang ia dilempari umpatan yang memerahkan telinga. Namun tetap saja ia ikhlas merawat Munyu. Istri tercintanya yang bernama Rukinah pun menganggap Munyu selayaknya anak kandung sendiri. Itu lantaran takdir seolah-olah tak berpihak pada mereka: berpuluh tahun menikah, mereka belum juga dikaruniai keturunan.
Rukinah terkadang berkecil hati ketika jadi sasaran umpatan dari warga. Tapi dengan berlapang dada, Sujai tak pernah menyalahkan atau memarahi orang-orang yang mengumpati keluarga kecilnya. Ia juga berusaha menjelaskan kepada istri tercintanya, bahwa Munyu tak berdosa. Jadi kenapa ia harus disalahkan? Ia tak tahu apa-apa tentang sejarahnya. Pula mengenai benih yang tertanam hingga berujung kelahirannya ke dunia ini.
***
MUNYU tak mau mengenyam bangku sekolah. Ia sudah mulai malas sekolah dan memutuskan untuk tidak mengenyam pendidikan sejak kali pertama didaftarkan ke sekolah dasar. Ia sempat masuk kelas selama satu hari, dan hanya bertahan pada hari itu saja. Selanjutnya ia tak lagi mau berangkat sekolah. Itu karena ia diejek danjuga dimusuhi teman-temannya ketika ia mulai merebut jempol mereka untuk dikulum.
Ia pun marah-marah ketika teman-temannya tak menghendaki salah satu jempolnya dikulum. Namun waktu itu jika marah matanya tidak melotot dan belum memerah seperti sekarang ini. Ia hanya menangis saja semacam rengekan anak-anak kecil pada umumnya, sambil mengeluarkan air mata. Giginya pun belum bertaring. Juga jari-jari tangannya belum menumbuhkan kuku-kuku hitam yang tajam dan panjang layaknya yang kami ketahui saat ini.
Entah, kami tak tahu awal mulanya kenapa Munyu menjadi buas dan menyeramkan semacam sekarang ini. Kami dibuatnya resah. Seluruh warga merasa semakin ketakutan setiap kali harus bertemu atau sekadar memperbincangkannya di warung-warung, pos ronda, atau bahkan di masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya.
Munyu semakin menjadi-jadi. Sebagai lurah, Sujai tak mampu menangani. Walaupun itu anak asuhnya sendiri. Barangkali ia menyimpan rahasia lain, atau entah. Kami tak paham.
***
KIAN hari Munyu kian merajalela. Setiap hari harus ada beberapa jempol untuk dikulumnya. Semakin tak ada orang yang berani menolaknya. Kian hari Munyu semakin kekar dan beringas. Ia akan semakin marah jika ada seseorang yang melawan untuk tidak menyerahkan salah satu jempolnya untuk dikulum dengan lunyam. Matanya memerah dan melotot nyaris lepas. Giginya yang bertaring seakan semakin lancip saja setelah sempat menggigit jempol Salim, seorang pemuda gagah di kampung kami. Salim tak sanggup berkutik saat ia berkeras melawan dan tidak memberikan jempolnya untuk dikulum. Munyu menggigit hingga jempol Salim putus. Jari-jari tangannya yang ditumbuhi kuku-kuku hitam yang tajam itu pun mencakar-cakar sekujur tubuh Salim. Menusuk-nusuk mata dan lehernya hingga mati.
Setelah itu Munyu meninggalkan begitu saja mayat Salim yang tergeletak. Ia bergegas mencari orang lain untuk dikulum jempolnya. Kecanduannya terhadap jempol terlihat semakin akut. Ia akan semacam sakaw jika sehari saja tidak mengulum jempol.
***
KERESAHAN dan kecemasan warga semakin meledak-ledak semenjak si pengulum jempol itu memakan korban jiwa. Kampung kami tampak sepi tanpa aktivitas. Kami lebih memilih untuk mengunci pintu dan berdiam di rumah. Anak-anak kecil di kampung kami pun kami larang untuk bermain di luar rumah. Kami benar-benar tidak ke mana-mana. Anak-anak di kampung kami pun tidak berangkat sekolah.
Kampung kami benar-benar mati mendadak. Siang yang seharusnya untuk beraktivitas, kami gunakan untuk menimbun resah satu per satu di dalam kamar. Malam pun semakin mencekam. Lampu-lampu di depan rumah atau di jalan-jalan juga tak menyala. Kami sengaja mematikan lampu-lampu itu agar Munyu mengira kampungnya telah mati, juga seiring kebrutalannya merenggut nyawa Salim.
Selepas pagi atau ketika petang, kami sering mengintip keluar rumah dengan penuh kecemasan serta keresahan yang bercampur dengan bertumpuk ketakutan. Beberapa kali kami mendapati Munyu masih terus melaju menyisir jalan. Kali ini ia kelihatan sedih. Walau matanya masih melotot dan memerah. Namun ronanya tampak pekat oleh kesedihan. Giginya pun masih bertaring yang seakan membuat mulutnya susah menutup. Ia meraung-raung kesedihan. Tak seperti biasanya ketika suaranya menukik liar dengan nada beringas marah. Jari-jari tangannya dengan kuku-kuku hitam yang tajam itu pun masih terlihat matang untuk siap mencakar-cakar dan menerkam apa saja.
***
BERHARI-HARI, oh hampir berbulan-bulan, kampung kami masih saja sepi. Barangkali kampung kami telah mati ketakutan selepas kematian lampu di jalan-jalan dan di seluruh rumah kami yang telah berduka atas kepergian Salim.
Jika dilihat dari luar, rumah-rumah di kampung kami pun tampak muram. Lampu-lampu di dalam rumah dan di kamar-kamar tertutup tirai yang begitu tebal. Membuat nyala benderang di rumah kami tak mampu menyelinap keluar lewat jendela.
Orang-orang di kampung kami telah benar-benar ketakutan untuk keluar rumah. Tak mau mati konyol dimangsa keganasan bocah pengulum jempol itu. Kami lebih memilih untuk berdiam di kamar bersama istri kami. Sepanjang hari, siang atau malam terus bergulingan di kasur. Mendekam dalam selimut sambil memegang ponsel, memburu pelanggan yang mengantre anak-anak kami yang lahir dari kolong ranjang. Kamar kami semakin ramai. Ranjang bergelayut ke atas dan ke bawah. Ke kanan dan ke kiri. (*)
Rumah Diksi, Agustus 2012
Setia Naka Andrian lahir di Kendal, 4 Februari 1989. Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP PGRI Semarang (2011) ini mengabdikan diri di Teater Gema, Komunitas Sastra Lembah Kelelawar Semarang, dan Rumah Diksi Kendal.
Cerpen Dewi Kharisma Michellia (Jawa Pos, 21 Oktober 2012)
21 APRIL 1978.
BEGITU tertera pada dua kayu nisan yang tertancap di puncak bukit pagi itu. Dengan cuaca yang sama, dua puluh tahun lalu, aku ingat betul, aku hampir tak mengenali separuh orang yang berdiri mengelilingiku di bawah payung-payung gelap mereka.
Melintasi sepanjang jalan setapak kembali ke rumah, aku ingat bagaimana aku dibawa pergi oleh mobil-mobil panjang besar, oleh orang-orang yang belum genap sehari kukenal. Tengah malam di waktu sebelumnya, keluarga bibi yang tinggal di sebelah rumah—satu-satunya tetangga yang ketika itu dekat dengan keluargaku—mengantarkan mereka kepadaku. Masih separuh terjaga di sebelah peti mati kedua orang tuaku, aku mendengar percakapan mereka, namun tidak kuteruskan.
Mereka menghampiriku dan memperkenalkan diri sebagai kerabat dari pihak ayah, tempatku berlindung setelah segala prosesi pemakaman orangtuaku berakhir. Saat itu aku sungguh takut.
Masih kuingat betul apa yang menyebabkan kedua orangtuaku berpulang. Saat mendapat kabar, sepulang dari berburu kelinci bersama teman-teman sebaya, aku berlari menyusuri jalan setapak berkilo-kilometer jauhnya, hanya untuk memastikan aku masih bisa menyelamatkan kedua orangtuaku.
Saat aku datang, api telah melahap gudang tempat ayahku biasa bekerja. Aku berkeliling ke dalam rumah, mencari ibu. Kudapati, para tetanggaku berusaha memadamkan api dengan baskom-baskom kayu berisi air. Beberapa dari mereka bilang ibuku juga terperangkap di dalam rumah.
Segala upayaku untuk dapat mencapai gudang digagalkan. Mereka berbondong-bondong memelukku dan menghentikan niatku menerobos api. Mereka menghentikan segala teriakanku dan mendekapku seerat mungkin.
Api akhirnya padam berjam-jam kemudian, dan yang kudapati sesudahnya hanyalah tengkorak ayah dan ibuku dengan sedikit sisa daging dan kulit yang terbakar, mereka terikat saling memunggungi pada tiang besi yang sebelumnya tak pernah kulihat. Satu yang kutahu. Pastilah Tuhan tidak dengan sengaja meletakkan besi di sana dan memanggang kedua orang tuaku di gudang itu. Pasti ada orang lain yang melakukannya.
Kurasa pekerjaan ayahkulah yang menyebabkan hal itu terjadi. Hingga kini, aku tak mengerti apa yang dilakukan ayah di ruang kerjanya, padahal dulu ibu pernah bilang suatu saat aku akan tahu.
Hari ini, memasuki ruang tengah, sepenjuru rumah kayu itu telah dipenuhi tumbuhan merambat. Padahal dulu di sana aku pernah duduk, menantang dengan dada membusung, berhadapan dengan orang-orang yang tak kukenali siapa.
“Kami akan mengajakmu kembali.” Masih kuingat seorang pria jangkung berkulit bersih dengan kacamata bergagang bulat duduk di tengah-tengah, berhadap-hadapan denganku. “Di sana kakek dan nenekmu menunggu. Keluarga besar akan menghidupimu.”
Aku tak pernah tahu kakek-nenekku masih hidup. Ayah dan ibu tidak pernah menceritakan apa pun tentang masa lalu mereka, selama belasan tahun di awal hidupku, aku menerima kenyataan itu begitu saja; seolah orangtuaku benar terlahir dari batu.
“Saya adik ayahmu.”
“Saya tidak percaya.”
“Kami tahu kamu perlu bukti. Ayahmu dan istrinya mengasingkan diri mereka kemari segera setelah ayahmu menamatkan kuliah di Belanda. Dalam dokumen ini kamu bisa menemukan segala hal tentangnya.”
Saat itu ia menjetikkan jari dan beberapa orang pesuruh masuk ke dalam ruangan dengan mengangkat peti-peti besi di pundak mereka. Semuanya kemudian diletakkan di hadapanku.
Pria itu sedikit memundurkan badannya dan membukakan gembok yang mengunci peti dengan kunci kecil dari dalam sakunya, menunjukkan semua dokumen tentang kehidupan ayahku.
Aku terkesima. Ayahku bukan orang biasa.
Aku membaca beberapa potongan kliping koran yang bercampur dengan dokumen pribadi ayahku, aku membaca pemberitaan mengenai orang tuaku. Tentang hilangnya dua tokoh penting dalam sejarah kemerdekaan. Mereka. Mereka mengasingkan diri ke tengah hutan segera setelah peristiwa gestapo terjadi. Dua tahun setelahnya, aku lahir. Bahkan ketika itu aku bisa mengerti, mulai bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya dikerjakan ayah? Ibu seperti apa yang melahirkanku dari rahimnya? Mereka melakukan…. Hal-hal yang, aku tak tahu apa dasarnya.
Segalanya seolah benar-benar menjadi mimpi ketika pria itu berkata, “Kami rasa kamu tidak akan punya pilihan lain, selain ikut bersama kami.”
***
MULAILAH aku didandani selayaknya perempuan pada umumnya. Gaun berpita, sepatu balet warna hitam, dan kalung mutiara. Rambutku yang biasanya kugelung lantas disisir dan diikat pita. Aku dibedaki dan bibirku diberi gincu, pipiku merona merah akibat sapuan pewarna pipi, dan alisku dibentuk.
Setiap hari aku mendapatkan materi tambahan di rumah. Diajari cara memanah, bertata krama, dan ekonomi serta politik negara. Terkadang, aku juga bermain-main dengan tabung dan botol-botol berisi zat kimia. Sesuatu yang orang-orang pikir pastilah dapat saja menurun dari kedua orang tuaku. Baru kutahu, kedua orang tuaku adalah Kimiawan. Senyatanya, hingga berminggu-minggu setelah mereka memberikan pendidikan itu padaku, aku tetap tak menunjukkan bakat apa pun.
Selain pendidikan yang diberikan di rumah, aku tidak lagi bersekolah di HIS, di mana para bumiputera biasa duduk belajar bersama keturunan Belanda, kali ini aku pergi ke ELS, tempat di mana peranakan Cina sepertiku, menurut keluargaku—aku tak lagi asing terhadap mereka, patut pergi menapasi ilmu. Di depan cermin kuamini pernyataan mereka, kulitku memang kuning langsat dan mataku sipit, baru kusadari setelah aku tinggal bersama mereka.
***
21 APRIL 1981.
TAHUN demi tahun berlalu. Melewati tiga tahun masa bersekolah di MULO, di AMS kini, ‘Apalah yang dapat kita lakukan atas negara ini’ adalah retorika yang selalu kudengar dari anak-anak seusiaku. Banyak hal kami bicarakan di kelas-kelas. Tentang tulisan-tulisan perjuangan, revolusi yang terjadi di negara-negara barat, hingga aufklarung, hingga okultisme, hingga semesta alam. Bagaimanapun bentuknya, kawan-kawanku itu selalu memperjuangkan sesuatu.
Selama tiga tahun selanjutnya, kami belajar begitu keras untuk tes masuk universitas. Aku bercita-cita pergi sekolah ke Belanda, mengikuti jejak ayah.
Tetapi sekian waktu berlalu, semuanya jauh berubah. Aku tak lagi mengenali siapa diriku. Aku melebur bersama orang-orang baru yang kukenali. Kalaupun aku bertujuan pergi sekolah ke tempat dulu ayah bersekolah, tujuanku bukanlah apa pun yang berkaitan dengan masa laluku, tetapi sesuatu yang lebih kucita-citakan; negara ideal. Tetapi, apa yang kami harapkan dari negara kami? Ketika itu aku masih belum mengerti, namun aku mengikuti arus.
***
SETELAH memaksa keluarga agar aku diperbolehkan membakar sebagian tulang tengkorak kedua orang tuaku dan membawa abunya ke Belanda bersamaku, akhirnya dengan berbekal itu aku pergi ke negeri kincir angin itu. Aku meletakkan guci abu orangtuaku di apartemen.
Di Belanda aku seringkali mengunjungi rumah bibiku, yang adalah adik ayah, di wilayah Groningen, dari merekalah aku selalu mendapatkan bekal yang cukup untuk hidup. Keseharianku sangat biasa, setiap pulang kuliah aku selalu duduk di Sneltrein membawa serangkai tulip, aku melakukannya sepanjang bulan April selama lima tahun aku menetap di sana. Dan meski segalanya terjamin, aku tetap mendaftar ke kedutaan untuk bekerja paruh waktu, di sana aku bertemu seseorang yang kelak menghancurkan hatiku.
“Sekalipun kau patah hati karenaku, tolong jangan pulang ke Indonesia. Jadilah warga Belanda.” Setelah meniduriku bermalam-malam, setelah mencekokiku dengan segala pengetahuannya tentang kepalsuan dunia, laki-laki itu mengatakan itu. Sekian minggu selanjutnya, aku hancur di apartemen sewaanku; mendengar kabar pria itu telah menikah dengan wanita yang dihamilinya.
Kekasihku selanjutnya adalah seorang seniman. Karena itu, di kota yang sama, setelah aku menamatkan kuliahku di Utrecht, aku menetap dan berkarir sebagai pelukis; terkadang aku menulis. Aku sama sekali tidak meneruskan praktik sains yang kupelajari selama empat tahun di sana. Aku lebih terbiasa bertualang di kanal-kanal, berdiskusi tentang teologi ataupun tokoh-tokoh filsafat, ketimbang berdiam diri di laboratorium dan menganalisa molekul.
Tapi takdir berlalu tanpa kendaliku, seorang profesor yang melihat bakatku dan membimbing tesisku selama paruh akhir masa kuliah memaksaku ikut bekerja di laboratoriumnya. Sambil melukis, sambil mempelajari kebudayaan Eropa, sambil menikmati hidup di usia 20-an, aku menyetujui menjadi asistennya dalam beberapa penelitian rumit yang bekerja sama dengan beberapa negara lain di wilayah Indo-European.
Beberapa orang yang kutemui selama penelitian itu, yang memaksaku berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, yang juga membuatku berpisah dari kekasihku yang seniman, ternyata mengenal ayah dan ibuku. Tetapi ketika kutanyai lebih jauh, mereka hanya bilang mereka tahu sebatas nama. Dan segera setelah kejadian itu, aku diberhentikan bekerja mendampingi profesorku.
Seminggu kemudian, aku kembali ke Utrecht, mendapati kekasihku telah menikah dengan laki-laki lain. Aku dibuat terkaget-kaget oleh orientasi seksualnya yang berganti hanya dalam waktu beberapa bulan. Setelah memaki-maki sekian jam dan melemparkan barang pecah-belah ke segala sudut ruangan, aku mengemasi barangku, dan memutuskan pergi untuk selamanya dari negara itu.
Aku pindah ke negara tujuan lain, yang bahasanya selama sekian tahun kupelajari secara otodidak.
***
ZURICH memanglah kota beraura magis. Bahasa Prancis dan Jerman yang kupelajari mulai kupraktikkan di hari pertama, dan sempurna, kurasa aku memang memiliki bakat menjadi poliglot.
Segalanya berangsur membaik, termasuk kondisi batinku. Beberapa minggu kemudian, kudapati kabar tentang kematian keluarga paman-bibiku di Groningen, pembunuhan berantai. Selama seminggu aku kembali ke sana untuk melayat dan mengemasi barang-barang bibi yang diwasiatkan padaku. Cukup mengerikan melihat sepupu-sepupuku yang masih balita menjadi yatim-piatu seketika itu juga. Tetapi apa daya, tak ada yang bisa kulakukan ketika kemudian mereka justru diajak ke Indonesia oleh paman-bibiku. Aku pun turut dipaksa pulang, tetapi aku menolak dan justru memutuskan untuk kembali ke Zurich.
Berniat mengasingkan diri sepenuhnya akibat guncangan yang berasal dari dalam diriku, setelah kembali ke apartemenku di Zurich, aku mulai mendonasikan semua barangku ke beberapa yayasan, dengan tabunganku dan sedikit bekal lainnya, aku memutuskan untuk bertualang mengelilingi dunia. Dulu di bangku kuliah, aku cukup menggemari paham transendental dan, meskipun tidak begitu menarik, aku juga menamatkan jurnal Thoreau.
***
21 APRIL 1998.
USIAKU 31 tahun, telah mengelilingi seluruh dunia, namun setelah kembali ke tanah kelahiran, aku terpaksa ikut menjadi otak penggagas reformasi. Aku melakukannya bersama teman-temanku dulu yang selalu mencita-citakan negara ideal yang sama.
Sementara itu, paman-bibiku pindah ke Belanda, mengajak juga sepupu-sepupu Belandaku kembali ke tanah kelahiran mereka.
Ketika itu, aku merasa dikhianati. Aku masih belum tahu mengapa ayah dan ibuku terlalap api dua puluh tahun lalu. Apakah hal yang sama, yang memaksa mereka mengasingkan diri ke tengah hutan? Namun mengapa hanya mereka berdua?
Orang-orang di sekitarku merasa hebat dengan diri mereka. Sementara aku terus mengikuti gerakan mereka, aku masih merasa aku telah mengacaukan hidupku.
Pada Mei di tahun itu, aku melihat hasil dari apa yang kami cita-citakan sebelumnya di tahun 70’an. Hanya saja, orang-orang itu kini bukanlah teman-teman sekolah yang dua puluh tahun lalu kupuja pemikirannya. Manusia berubah.
***
TUNTAS berpesta dan berbahagia atas kejatuhan musuh, selama sekian bulan berikutnya aku seorang diri menempati rumah kosong keluargaku di bilangan Jakarta. Semua anggota keluargaku, entah dengan cara apa, telah mengganti kewarganegaraan dan sepakat tidak akan kembali ke Indonesia, apa pun yang terjadi.
Aku merasa dikhianati oleh takdir, oleh waktu, oleh orang-orang yang pernah kukenal. Dengan demikian, mungkin hanya orang-orang yang punya waktu untuk berpikir tentang diri mereka sendiri, yang sama merasa sepertiku bahwa kami telah menghidupi mimpi yang demikian panjang. Tempat di mana aku berada sekarang, bukanlah tempat yang puluhan tahun lalu aku harapkan.
Meneguk habis segelas kecil tequila yang tersisa, sambil masih sedikit-sedikit mengingat bagaimana tanganku mengarsir tipis lukisanku tentang seorang gadis dengan topi sombrero ketika di Meksiko, aku memutuskan untuk kembali ke tempat di mana semuanya berawal. Kurasa sebaiknya, sebelum mati, aku harus mengetahui sebab kematian orang tuaku. Bisa saja, dulu, bukan mereka yang mati. Bisa saja akulah yang mati, dan pergi ke tempat berbeda, dan bertemu dengan orang-orang yang sepenuhnya berlainan, dan menghidupi kematianku selama dua puluh tahun. (*)
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Filed under: Dewi Kharisma Michellia Tagged: Jawa Pos
Cerpen Mardi Luhung (Koran Tempo, 21 Oktober 2012)
KAMPUNGKU, kampung pesisir ini dulunya adalah pantai. Pantai yang diuruk sampah. Sampah besar. Sampah kecil. Sampah keras. Juga sampah keriting. Dan sebagai pantai yang diuruk sampah, kampungku pun pernah menjadi rawa. Tempat kadal dan ular berseliweran. Serta nyamuk bertelur. Dan kata orang, di rawa itu, dulu banyak orang yang bertapa. Ada yang bertapa dengan cara duduk di pinggirannya. Berendam setengah badan. Juga memancing tanpa kail tanpa umpan. Hanya lonjoran bambu yang diikat tali. Dan talinya dicelupkan ke rawa.
Tentu saja, untuk orang yang bertapa dengan cara memancing tanpa kail tanpa umpan itu tak akan pernah mendapatkan apa-apa. Hanya kerling mata yang tak pernah pejam. Dan pikiran yang melayang-layang tanpa batas yang akan mendatanginya. Karenanya, kata orang juga, jika orang yang bertapa dengan memancing itu tak kuat, akan menjadi goyah. Semua yang dirasakan dan dipandangnya jadi terbalik. Pohon terbalik, rumah terbalik, kelok terbalik, tiang listrik terbalik. Bahkan cara berjalan pun jadi terbalik. Dan itu akan membuatnya, ketika berjalan pulang pun jadi terbalik. Yaitu mundur.
Nah, cerita tentang orang yang berjalan dengan cara mundur ini begitu sering aku dengar. Malahan, sampai kini cerita itu tak pernah bosan diceritakan di kampungku. Dan dijadikan memedi bagai anak-anak yang tak mau tidur. Padahal, hari sudah larut malam. Dan angin pantai begitu dingin menusuk. “Ayo, cepat tidur, jika tidak digondol si mundur!” Ya, begitulah hardik si ibu pada si anak. Lalu, si anak pun cepat-cepat menyungsepkan kepalanya ke balik bantal. Matanya yang tak ngantuk pun dipejam-pejamkan. Sambil tangannya tak lupa merangkul erat tubuh si ibu. Hmm, menggemaskan!
Oya, menurut orang-orang lagi, memang si mundur itu aneh. Sebab, ketika dia mundur, tak pernah menoleh sedikit pun. Rasanya, punggung dan kepala bagian belakangnya punya sinyal untuk mengira-ngira. Kapan dia mesti berbelok. Maju. Berkelit. Juga melompati batu atau lubangan jalan. Dan ketika berjalan mundur ini, dia juga kerap melambaikan tangannya. Jadinya, orang-orang yang berpapasan dengannya pun jadi takut. Merinding. Dan lari menjauh. Tapi, kira-kira siapa yang pernah bertemu dengan si mundur? Akh, ternyata, sampai kini, aku tak pernah bertemu dengan orang yang pernah berpapasan dengan dia, si mundur itu. Kebanyakan cuma berkata: “Ini menurut si anu, si itu atau si fulan….” Dan ketika dirunut lebih jauh, lagi-lagi itu cuma isapan jempol.
Tapi, meski cuma isapan jempol, cerita tentang si mundur itu sepertinya telah menjadi keyakinan di kampungku. Dan sebagai keyakinan, maka itu pun memengaruhi apa yang akan dan sedang dilakukan orang-orang yang ada. Misalnya, ketika ada yang akan pergi merantau, maka biasanya orang itu akan keluar lewat pintu belakang. Atau ketika akan membuat kenduri, maka yang dimasak pun bukan nasinya dulu, melainkan lauk-pauknya. Dan cara-cara yang terbalik semacam inilah, yang sedikit banyak juga mewarnai pertumbuhan kampungku. Pertumbuhan yang begitu pesat. Dan begitu tak terduga. Juga begitu membuat siapa saja yang turut menyaksikan menjadi geleng-geleng. Bayangkan, kampung yang semula cuma punya lima gang, kini berjumlah hampir dua puluh lima gang. Dan itu belum ditambah dengan cabang-cabang gang yang belum ternamai.
Tapi, meski gang-gangnya telah bertambah, di kampungku hanya gang tujuhlah yang dianggap paling buncit. Dan dianggap yang paling punya kelebihan. Dan ini kenapa? Aku tak tahu. Sebab sampai kini aku belum menemukan jawabannya. Yang jelas, setiap ada kemanten akan dikelilingkan, mesti memasuki gang tujuh dulu. Baru bergerak ke gang yang lainnya. Dan hal ini, sudah menjadi kepercayaan. Juga menjadi keyakinan, jika apa-apa yang akan terjadi di kampung pesisir mesti dari yang paling belakang. Alias mundur. Seperti cerita si mundur tadi. Dan anehnya, gang tujuh itulah yang dalam mimpiku dulu pernah aku datangi bersama Wak Zam dan buaya putih (Oya, oleh penduduk, Wak Zam adalah orang yang dituakan. Sebab, dianggap punya kelinuwihan. Sedangkan, buaya putih adalah makhluk jejadian yang dianggap sebagai si penjaga kampung). Dan tentang mimpiku itu, aku tanyakan pada Wak Zam di suatu sore. “Wak Zam, kenapa mesti gang tujuh?” Tapi Wak Zam tak menjawab.
Aku ulangi lagi pertanyaanku. Wak Zam tetap tak menjawab. Bahkan, ketika aku katakan tentang mimpiku yang bersamanya dengan buaya putih di gang tujuh dulu, lagi-lagi Wak Zam tetap tak menjawab. Dan aku hanya bisa menunggu. Menunggu. Dan menunggu. Dan lima belas menit ke depan, Wak Zam berdiri dari duduknya. Kopinya telah habis. Koran yang dibacanya pun dilipat. Untung saja saat itu warung sepi. Jadi, aku tak begitu jengah dengan ketakmenjawaban Wak Zam. Aku mendengus. Lalu, sambil menggerutu aku meninggalkan warung. Tapi sebelum berbelok, aku sempatkan menengok ke Wak Zam. Astaga, dari kejauhan aku melihat Wak Zam melenggang dengan sesuatu. Sesuatu yang melata. Berekor. Dan berwarna putih. Itu, itu adalah buaya putih! Aku tertegun.
Lalu lamat-lamat aku mendengar nyanyian yang merintih. Nyanyian apa dan siapakah itu? Dari manakah? Aku celingak-celinguk. Satu-dua orang berseliweran. Aku yakin, nyanyian yang merintih itu bukan berasal dari orang-orang ini. Dan ketika mendongak, ahai, aku melihat genting-genting rumah yang ada penuh dengan makhluk bersayap. Ada yang berdiri. Ada yang jongkok. Ada yang bertiduran. Bahkan ada yang mengambang sambil mengepak-ngepakkan sayapnya. Dan semua makhluk itu menyanyi. Menyanyi dengan nyanyian yang merintih tadi. Dan sepertinya, itu ditujukan ke arah seseorang. Ke siapa? Ya, jika boleh aku jawab, ternyata nyanyian yang merintih dari makhluk bersayap itu ditujukan ke arah diriku. Jadinya, aku terpukau. Aku terpukau. Antara sadar dan tidak, aku merasa tubuhku mengambang. Melayang. Terus menaik ke angkasa.
Dari angkasa, aku melihat ke bawah. Aku melihat kampungku, kampung pesisir, seperti sebuah peta yang terbuka. Peta berwarna coklat. Di sebelahnya pantai yang biru terbentang. Di antara kebiruannya itu, aku juga melihat Parto, Lek Dul, Man San dan beberapa lainnya saling bercengkerama. Sambil membetulkan jaring dan perahu. Alangkah bahagianya mereka. Dan alangkah sederhananya apa yang ada di mata, pikiran dan nyali mereka. Memang, mereka adalah nelayan-nelayan sederhana. Nelayan-nelayan yang selalu menganggap bahwa laut adalah ibu. Sedangkan, perahu dan jaring adalah ayah. Pasangan hidup yang akan terus-menerus membimbing mereka tanpa pernah bosan dan capai. Dan malam itu, sebelum aku berangkat tidur, aku masih merasa, betapa asinnya tubuhku. Tubuh yang sore tadi beterbangan di angkasa. Di atas laut yang biru. (*)
(Gresik, 2012)
Cerpen Aba Mardjani (Kompas, 28 Oktober 2012)
MAKSUM menguap sebelum matanya menguak di pagi lembab. Sendirian di pos jaga desa Cibaresah pada hari kesekian belas, laki-laki setengah baya itu buru-buru menarik kain sarungnya, melindungi tubuhnya dari dingin pagi yang basah.
Sesaat kemudian, ia memaksakan diri bangkit, menyibak air banjir yang tak kunjung surut untuk berwudu. Ia ingat, belum mengerjakan shalat subuh.
Maksum bersedekap setelah menyelesaikan kewajiban paginya. Gubuk kecil berupa panggung yang kini ditempatinya masih dikepung air. Sejauh mata memandang, Maksum belum menemukan tanda-tanda kehidupan. Orang-orang masih malas keluar rumah, pikirnya. Orang-orang lebih suka mengungkung diri di dalam rumah. Bercanda dengan anak dan bini. “Sementara aku sendirian di sini,” Maksum melenguh dalam hati seraya meraba saku celana mencari bungkus rokoknya.
Tapi, dia tak lagi menemukannya. Ia menyerapahi Kasdul yang kini entah berada di mana. Kasdul, satu-satunya kawan yang setia menemaninya di pos jaga dipastikannya membawa beberapa batang rokok tersisa sebelum keduanya terlelap bersama kecipak air. Diingatnya Kasdul buru-buru pergi sebelum terdengar suara azan subuh. Meninggalkannya sendirian.
Matahari mulai menampakkan sinarnya bersama waktu yang beringsut siang begitu lambat dirasakan Maksum. Laki-laki itu menatap genangan air yang tak juga surut. Tingginya tetap selutut. Banjir ini datang perlahan-lahan bersama deras hujan entah berapa belas hari lalu. Meskipun hujan tak turun setiap hari, tinggi air setiap hari justru bertambah. Pada hari pertama cuma semata kaki. Keesokan harinya naik dua kali lipat. Hari-hari berikutnya, tanpa hujan pun air tetap tak surut. Bertambah dan bertambah hingga melewati lutut orang dewasa. Kini, Maksum tak ingat lagi sudah berapa belas hari Cibaresah direndam air.
“Mungkin karena makin banyak vila berdiri, makin sedikit daerah resapan air, dan sungai-sungai makin menyempit,” Maksum menggumam. “Orang-orang makin tak peduli pada ruang untuk air.”
Maksum berdiri. Meregang tubuh. Otot-ototnya terasa kaku karena tak banyak bergerak. Ia ingin setiap hari meninggalkan pos jaga itu dan pulang ke rumahnya seperti sebelum banjir datang. Tapi ia mengurungkan niat karena tahu takkan menemukan siapa-siapa lagi di sana. Istrinya yang usianya terpaut hampir 12 tahun darinya, raib entah ke mana. Ada yang bilang Raisah dibawa seekor buaya yang naik ke daratan pada hari ketiga banjir melanda Cibaresah. Lalu Sawiyah, putrinya yang baru berusia 15 tahun, juga mengalami hal yang sama seperti ibunya, dibawa buaya dua hari berikutnya. Maka lengkaplah derita Maksum. Ia pernah menangis untuk dua orang yang amat dicintainya itu, namun tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi, nasib yang sama juga dialami laki-laki lain di desanya. Banyak wanita muda, para janda, dan gadis-gadis muda hilang entah ke mana. Kabarnya, pada malam hari, banyak buaya masuk kampung yang tengah dilanda banjir dan mencari korban perempuan. Dua anak perempuan dan istri Kasdul juga mengalami peristiwa yang sama. Dan seperti Maksum, Kasdul pun cuma bisa pasrah.
“Buaya-buaya itu seperti punya otak,” keluh Kasdul semalam ketika ia dan Maksum kembali berjaga berdua di pos jaga. “Aneh, mereka cuma mengambil perempuan. Muda, cantik.”
Maksum tak bersuara. Larut dalam kenangan duka pada Raisah dan Sawiyah.
“Banjir inilah awal petakanya,” Kasdul menyeringai menahan geram.
Matahari makin naik ketika Maksum menyudahi olahraga ringannya di atas pos jaga. Di hari sesiang ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia juga belum melihat tanda-tanda kehidupan di desanya. Pintu-pintu rumah masih tetap terkatup rapat. Cibaresah jadi serupa desa mati tanpa penduduk dan penghuni. Atau apakah memang para penduduk Cibaresah semuanya telah mati? Lintasan pikiran itu membuat bulu kuduk Maksum tiba-tiba merinding seraya terus memutari pandangannya ke seluruh penjuru kampung. Memang tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali, kecuali air yang deras mengalir ke hilir dengan ketinggian hampir setengah meter.
Maksum baru saja menyelesaikan shalat zuhurnya ketika dari kejauhan ia melihat Kasdul melangkah tertatih melawan arus air. “Ah, ternyata Kas masih ada,” Maksum bergirang hati. “Aku belum benar-benar sendirian.”
Dengan serapahnya Kasdul naik ke atas panggung pos jaga. Tak lupa ia menyerahkan sebungkus nasi untuk makan siang Maksum seperti biasanya. “Ke mana orang-orang, Kas?” Maksum langsung menyergap Kasdul dengan pertanyaan yang disimpannya sejak tadi. “Mengapa kampung kita jadi seperti kampung mati?” Pertanyaan itu entah sudah berapa kali diulangnya setiap hari.
Kasdul tak segera menjawab. Merebahkan tubuhnya seperti ingin melepas beban yang mengimpit. Ditariknya napas dalam-dalam.
“Kas?” Maksum memburu tanpa menghiraukan bungkus nasi yang dibawa Kasdul.
“Ternyata keadaannya makin gawat, Sum,” menjawab Kasdul sambil mengeluarkan bungkus rokok dari saku bajunya.
“Maksudmu?” Maksum mematri pandangan pada wajah Kasdul yang masih rebah.
Kasdul bangkit, melepas napas beratnya.
“Orang-orang makin tak berani keluar rumah, Sum,” suara Kasdul terdengar lemah, nyaris tenggelam oleh derak-derak air yang terus berebutan mengalir ke hilir.
“Apa sebabnya?”
“Banjir.”
“Aku tahu.”
“Banjir yang berlama-lama ini menjadi petaka besar bagi kampung kita, Sum. Yang mengancam keselamatan warga saat ini bukan cuma buaya yang pada malam hari mencari mangsa para perempuan,” Kasdul berhenti sesaat. Maksum masih belum menyentuh makanannya. Ia lebih tertarik mendengar cerita Kasdul. Cerita yang tak selalu sampai ke telinganya karena ia lebih banyak berada di pos jaga di ujung kampung itu.
“Di pinggir-pinggir kampung, macan belang juga mulai berkeliaran mencari mangsa,” Kasdul melanjutkan.
“Macan belang? Bukankah macan belang biasanya cuma ada di hutan-hutan?”
“Betul. Tapi entah mengapa, pada saat banjir seperti sekarang, macan-macan belang itu justru keluar mencari mangsa ke kampung-kampung. Juga pada malam hari. Macan-macan itu memangsa kambing-kambing, kerbau-kerbau, ayam-ayam, bahkan manusia pun disantapnya.”
“Di belakang macan belang, selalu mengintil serigala, Sum. Dia menyantap serpih-serpih dan sisa makanan si macan belang,” Kasdul melanjutkan.
Maksum terperangah. “Tapi, mengapa kita di sini tak pernah mendengarnya?”
Kasdul menghela napas. “Itu karena orang-orang takut bercerita. Mereka dilanda ketakutan. Ada yang bilang, warga yang mengadu soal hewannya yang hilang, esoknya dia sendiri yang hilang.”
“Betul begitu, Kas?”
“Masih ada yang lainnya. Yang tak kalah menakutkan.”
“Apa itu?”
“Ular.”
“Ular?”
“Ya ular. Mengerikannya, banyak ular yang berkeliaran itu punya dua kepala. Dia menggigit, mematuk. Dan anehnya, orang yang digigitnya tidak langsung mati. Cuma badannya yang kurus kering.”
Maksum bergidik. Matanya nyalang menyisir sisi-sisi pos jaganya. Ia khawatir ular berkepala dua yang diceritakan Kasdul tiba-tiba muncul dan mematuk kakinya.
“Kamu serius, Kas?” Maksum penasaran.
“Serius! Bahkan bukan cuma itu, Sum.”
‘Hah? Apa lagi, Kas?”
“Segala macam binatang mengancam kampung kita. Ada tomcat yang gigitannya bisa membuatmu meriang. Bahkan kupu-kupu pun kini sudah menggigit manusia.”
“Kupu-kupu?” Maksum ternganga. Benar-benar ternganga.
“Kupu-kupunya aneh pula, Sum.”
“Apa anehnya?”
“Yang digigit biasanya cuma laki-laki. Siapa pun yang digigitnya langsung hilang ingatan. Lupa diri. Gila. Tak ingat pulang. Pergi entah ke mana. Membiarkan anak dan istrinya di rumah.”
“Kamu bergurau, Kas,” Maksum menggumam.
“Tidak. Aku tidak sedang bercanda. Aku menceritakan yang sebenarnya.”
“Lalu apa lagi, Kas?”
Mata Kasdul menerawang jauh menembus hamparan putih langit.
“Ada tikus, anjing, ulat, kecoa, cacing. Semuanya mengancam kita orang-orang kampung ini.”
Maksum terdiam. Menunggu lanjutan cerita Kasdul.
“Tikus-tikus rakus mengerat makanan apa saja di kampung kita. Begitu juga anjing-anjingnya. Memakan apa saja yang bisa dimakan. Ulat-ulat menghabiskan dedaunan pohon, membuat pohon-pohon tersisa batang-batang. Kecoa juga ada di mana-mana. Kotorannya bertebar di mana-mana. Dan cacing-cacingnya, Sum….”
“Mengapa cacing-cacing itu, Kas?”
“Cacing-cacing itu masuk ke dalam rumah warga begitu saja. Mereka bisa menembus dinding papan, dinding batu. Mulut-mulut cacing itu seperti punya bor.”
“Ah, kamu benar-benar bercanda, Kas,” Maksum memotong tanpa mampu mengurangi debar-debar ketakutan dalam dadanya.
“Masih ada lainnya lagi, Sum.”
Maksum menarik kain sarungnya seolah ingin melindungi dirinya dari serangan hewan-hewan yang barusan diceritakan Kasdul.
“Setan-setan,” kata Kasdul melanjutkan tanpa diminta. “Pada malam hari, setan-setan gentayangan di kampung kita. Menakut-nakuti warga. Setan-setan itu seolah ingin kampung kita kosong. Mereka seolah ingin warga kampung kita pergi. Ke mana saja.”
“Tapi, kenapa aku baru tahu sekarang, Kas?”
“Itu karena kau selalu berada di sini. Kau cuma menjaga kampung kita yang sebenarnya tak perlu dijaga.”
“Apakah kau sudah tahu lama soal ini?”
Kasdul mengangguk.
“Tapi kenapa baru kau ceritakan sekarang?”
“Aku tak ingin kau ketakutan.”
“Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Apakah kita akan diam saja?”
Kasdul terdiam sesaat.
“Kita harus bertindak, Kas, untuk menyelamatkan kampung kita,” suara Maksum mengusik lamunan Kasdul.
“Tidak bisa, Sum. Tidak bisa. Kita bisa ikut mati atau kurus kering seperti yang lain. Diri kita saat ini sama terancamnya dengan yang lain. Dari tengah desa, wabah akan terus menyebar hingga ke seluruh desa selama banjir tak juga surut.”
“Lalu kita akan diam saja?” suara Maksum meninggi. Ia seolah menemukan keberaniannya kembali.
Kasdul tak segera menjawab.
“Sore ini juga kita harus pergi ke rumah kepala desa, Kas. Harus! Kita harus minta pertanggungjawaban Pak Kades. Dia harus bisa membebaskan kampung kita dari banjir yang tak kunjung surut. Dan dari segala hewan yang mengancam warga,” Maksum nampak sangat bersemangat.
“Kau berani?”
“Demi kebaikan, kita harus berani. Kau dan aku harus melakukannya.”
Melihat Maksum yang begitu bersemangat, Kasdul menyerah. Di rembang petang, kedua penjaga pos itu pun melangkah hati-hati menembus banjir yang masih selutut. Tujuan mereka cuma satu, rumah kepala desa.
Sepanjang perjalanan, Maksum dan Kasdul sama sekali tak menemukan warga desa. Pintu-pintu rumah masih tetap tertutup. Kehidupan sudah lama berlalu di desa itu rupanya. Keduanya juga tak tahu lagi apakah rumah-rumah itu masih berpenghuni atau sudah kosong ditinggalkan pemiliknya. Anak-anak yang di awal banjir asyik bermain air, kini tak lagi nampak. Para lelaki yang awalnya tetap melakukan kegiatan, kini raib entah ke mana. Para wanita yang pada mulanya juga masih bisa ditemukan melangkah tertatih di tengah-tengah banjir, sekarang sama sekali tak terlihat.
Setelah melangkah susah payah hampir dua puluh menit, Maksum dan Kasdul tiba di halaman depan rumah kepala desa yang juga tak luput dari sergapan banjir. Keduanya menghentikan langkah dan tak berani lebih mendekat begitu mendengar suara aum macan belang.
Dari kejauhan, Maksum dan Kasdul melihat macan belang itu berjongkok di depan pintu rumah kepala desa. Di jendela-jendela, serigala bertengger diam. Buaya-buaya besar berseliweran di sekeliling rumah besar itu bersama banyak sekali ular berkepala dua. Dinding-dindingnya penuh kecoa dan cacing. Sesekali terdengar lolong anjing dan dengus babi. Tikus-tikus nampak asyik bermain-main. Kupu-kupu beterbangan. Sebagian keluar masuk ke dalam rumah. Sesekali, berkelebat warna hitam setan-setan seolah mengancam siapa pun yang berani mendekati rumah itu.
Maksum dan Kasdul menahan gemetar. (*)
Cerpen Rifan Nazhif (Republika, 28 Oktober 2012)
ENTAHLAH! Terkadang orang tak memedulikan arti namanya sendiri. Di lain pihak, ada yang merasa namanya kurang keren. Tapi bagi lelaki itu, nama yang dia sandang terasa berat.
Moral. Itulah namanya. Dari kecil hingga dewasa, memang dia acuh tak acuh dengan nama itu. Setelah menikah dan memiliki dua anak, kemudian berangkat haji, barulah dia merasa-rasa ada yang tak beres dengan nama itu. Apakah dia memang sudah sangat bermoral sehingga layak dipanggil Moral? Apakah dia memang sudah menjadi hamba yang takwa sehingga berhak dipanggil haji?
Sungguh dia tak ingin dipanggil Moral, apalagi diembel-embeli haji. Karena itu dia sengaja menambahkan namanya dengan Din. Haji Moraldin. Demikian kiranya. Din itu adalah kependekan dari Komarudin, nama bapaknya.
“Panggil saja aku Pak Din!” Begitulah dia memafhumkan kepada orang-orang yang dekat dengannya. Hanya saja, orang-orang terkadang keceplosan juga. Kerap dia masih dipanggil Pak Haji. Atau, Pak Haji Moral. Berulangkali dia kemudian meralat, “Pak Din!”
Mungkin karena diingatkan terus, orang-orang kemudian memanggil Moral dengan sebutan Pak Din. Kendati ketika sedang tak bersamanya, mereka tetap menyebutnya Pak Haji atau Pak Haji Moral.
Bagaimanapun, di kampung itu, orang sangat menghormati dan memercayainya. Tak peduli dia hanya bekerja sebagai tukang jagal sapi di pasar. Tak peduli badannya lebih pendek di bawah ukuran lelaki dewasa di kampung itu. Tak peduli kulitnya hitam, hidungnya sedang dan uban mulai mengisi kepalanya.
Contohnya saja, kalau sedang shalat fardhu berjamaah di masjid, jalannya selalu dilempangkan ke sajadah imam. Padahal di antara jamaah ada yang lebih tinggi darinya. Lebih tinggi masalah ilmu agama. Lebih tinggi masalah fasih membaca ayat-ayat shalat. Lebih tinggi masalah berapa kali berangkat ibadah haji ke tanah Mekkah. Moral menjadi tak enak hati. Begitupun dia tak dapat menolak.
Belum lagi perkara kas masjid. Moral malahan ditunjuk menjadi bendahara. Padahal dia tahu ada si Kholid yang tamatan SMEA (sekarang SMK). Ada Mirdan yang sarjana muda ekonomi. Mursyid yang pernah bekerja di Bank.
“Kami percaya kepada Bapak!” Begitu kata jamaah.
“Tapi saya hanya seorang penjagal sapi. Saya hanya tahu daging yang empuk dan sehat dan segar. Saya agak sungkan memegang uang. Bahayanya besar. Salah sedikit, khilaf sedikit, bisa masuk neraka.”
Orang-orang tak mau mendengar. Moral ternyata harus takluk dan melaksanakan keinginan jamaah. Terbukti, dia memang fasih menjadi imam shalat. Terbukti, dia memang amanah menjaga kas masjid. Apalagi? Hingga orang-orang sering bertanya ini-itu, yang sebenarnya di luar jangkauan akalnya. Orang-orang suka meminta pendapatnya untuk hal-hal yang pelik. Anehnya lagi, Moral tak menyangka apa yang dia ucapkan selalu menyelesaikan masalah orang-orang itu.
“Aku tak tahan lagi, Bu. Orang-orang selalu menghormatiku. Orang-orang selalu menganggapku hebat, alim. Padahal aku hanya tukang jagal sapi. Aku hanya salah diberi nama Moral. Coba, apakah semua yang kulakukan telah bermoral?” keluhnya suatu hari kepada Maisaroh, istrinya.
“Lho, Bapak ini lucu! Bukankah enak bila dihormati orang? Dianggap hebat dan alim?”
“Aku belum siap menerimanya, Bu. Aku belum apa-apanya, baik soal ilmu agama, ilmu-ilmu lain, juga masalah ibadah. Takutnya, aku besar kepala. Takutnya aku ditunjuk mengemban amanah yang lebih berat. Padahal, aku belum tentu mampu. Masa’ tukang jagal sapi disuruh ngurusi kas masjid!”
Maisaroh hanya tersenyum. Dia kembali disibukkan menampih beras dan memberi makan ayam-ayam dengan menir.
***
Moral kemudian seakaan ditodong senjata laras panjang. Saat bincang-bincang di pelataran masjid, usai shalat isya berjamaah, Haji Samijan berkata, “Di kampung ini akan diadakan pemilihan kepala kampung. Jadi, setelah rembukan dengan orang-orang di masjid ini, kami berniat menyalonkan Pak Haji Mor, oh…ya Pak Din.”
“Mencalonkan saya menjadi kepala kampung, begitu?” Mata Moral melotot.
“Iya!”
Moral berkeringat dingin. “Apa pantas?”
“Kami kira sangat pantas, Pak,” sambut yang lain.
Moral langsung meriang. Dia pulang dan meminta diselimuti Maisaroh. Ini bukan mencontoh saat Nabi Muhammad SAW pertama kali menerima wahyu dari Allah SWT lewat malaikat Jibril. Bukan! Moral sebenar meriang. Moral sangat ketakutan. Coba, kalau nanti diangkat menjadi kepala kampung, dia salah menggunakan fasilitas kampung untuk kebutuhan pribadi. Menggunakan kas kampung untuk kebutuhan dapur. Aduh, bisa berabe! Dosanya turun-temurun.
Itulah, saat Haji Samijan mengantarkan selembar kertas tanda kesediaan menjadi salah seorang calon kepala kampung, Moral menolak mentah-mentah menandatanganinya. Bahkan ketika Maisaroh dan kedua anaknya menyodok-nyodok dari belakang, Moral mendelik, panas hati. Dia minggat ke dalam rumah. Dia tak perduli Haji Samijan menganga kecewa. Maisaroh terpaksa meminta maaf berkali-kali. Haji Samijan kemudian hanya menggeleng-geleng geli. Dasar Haji Moral, tingkahnya lain dari yang lain. Rejeki kok sering kali ditolak!
***
Umbul-umbul telah ramai dipasang di sepanjang jalan. Cuaca cerah. Orang-orang ramai. Pedagang musiman muncul, dirubung tua-muda. Anak-anak betah berlama-lama mengepung beberapa pedagang mainan. Nah, apalagi? Semua wajah juga cerah. Sumringah.
Lapangan kampung telah pula dipasang tarup. Beberapa kursi panjang, diselang-seling kursi plastik, pun disesaki orang. Di barisan depan yang menghadap ke panggung, dijejerkan sofa merah muda kepunyaan Haji Samijan. Beberapa orang terhormat telah duduk di situ.
“Ayo, Pak! Buruan!” Istrinya manyun. Moral sengaja mematut-matut peci di depan cermin. Moral enggan menghadiri acara itu. Dia lebih tertarik pergi ke pasar menjagal sapi. Tentu pelanggannya ada yang kecewa karena Moral hari ini tak berjualan.
“Iya! Kenapa buru-buru, Bu! Siapa saja yang nanti terpilih menjadi kepala kampung sini, aku tak peduli.”
“Ayolah! Nanti tak enak kalau acara pemilihan sudah dimulai,” gerutu istrinya.
Sambil terpincang-pincang karena sepatu sebelah kanan belum klop masuk ke telapak kakinya, Moral mengejar istrinya. Heran, acara pemilihan kepala kampung kok dianggap hebat begini. Coba, kalau ada pengajian, istri banyak alasanlah, hingga kerap tiba saat pengajian sudah dimulai. Gerutuan memenuhi kepala Moral.
“Nah, Pak Haji Moral!” Midan tersenyum cerah menyambut Moral di gerbang mengarah ke tarup. Moral pura-pura cengengesan. Padahal dia ingin menegur Midan karena salah memanggil namanya.
“Nah, Pak Din. Duduk di depan saja!” Haji Samijan melambai dari podium. Moral terpacak di belakang. Dia memilih duduk di buncit, di bangku panjang. Maisaroh menarik tangan Moral. Yang ditarik balas menarik. Tapi akhirnya Moral melangkah juga. Dia malu kepada orang-orang yang melihat tingkah mereka.
Moral duduk di sofa merah. Dia seperti cacing kepanasan. Dia merasa tak bebas. Apalagi dia harus duduk sejajar dengan pejabat polisi, orang kelurahan dan beberapa lainnya yang berpangkat. Semoga saja acara ini lekas selesai. Moral berandai-andai di samping Maisaroh yang tersenyum ramah kepada orang-orang di sebelahnya.
Ada lima gambar di lima podium di panggung. Gambar nanas, duku, pisang, padi dan jagung. Setelah acara pembukaan dan beberapa kali kata sambutan membosankan, tibalah pengumuman calon kepala kampung.
Moral berniat membuka kancing atas baju safarinya. Tapi Maisaroh lekas menyikut. Mata Maisaroh membola.
“Untuk gambar nanas, adalah milik Pak Sulkhan!” kata Haji Samijan. Orang-orang bertepuk riuh. Pak Sulkhan naik ke panggung dan berdiri di belakang podium bergambar nanas.
“Gambar duku, Pak Lubai.” Semua itu orang-orang hebat. Mereka memang wajar dicalonkan menjadi kepala kampung. “Gambar pisang, Pak Rofii. Padi, Bu Salmah. Dan pepaya… Pak Haji Moral!” Tak tanggung-tanggung Haji Samijan membuat Moral tersentak. Dia dicalonkan menjadi kepala kampung? Siapa yang memberi izin? Siapa yang menandatangani? Ada yang tak beres! Moral melihat Maisaroh cengengesan. Tahulah dia dari mana asal“asap” itu.
Hati Moral ngedumel. Dia tak hendak naik ke podium. Tapi melihat orang ramai, juga pejabat di barisan paling depan itu, dia terpaksa mengalah. Dia tak ingin malu. Tinggal satu doanya, semoga tak terpilih menjadi kepala kampung.
Puas dengan acara coblos-mencoblos, diumumkanlah siapa pemenang pemilu kepala kampung. Lambat pula dirasakan Moral waktu berjalan. Dia melihat Pak Lubai dan semua saingannya. Dia tak enak hati. Mereka semua sahabat-sahabatnya. Moral seringkali mendapat pertolongan dari mereka, baik berupa material maupun spiritual.
“Pemenangnya, kepala kampung kita adalah Pak Haji Moral…din!”
Seolah panggung rubuh dirasakan Moral. Dia ingin menolak mentah-mentah jabatan kepala kampung itu. Namun melihat antusias orang, dia hanya bisa bungkam di podium. Dia melihat saingan-saingannya. Dia semakin merasa tak enak hati.
“Kami percaya kepadamu, Pak Haji Moral!” kata Pak Lubai saat bersantap di rumah Haji Samijan. “Sebenarnya kami semua yang mencalon ini, ingin memilihmu juga. Tapi tentu tak elok calon kepala kampung hanya seorangan. Jadi, supaya ramai, kami berempat mencalonkan juga. Kami yakin Pak Haji Moral orang yang amanah.”
Moral tersenyum. Dalam hatinya kecut, apakah dia sanggup mengemban amanah itu? (*)
Cerpen Wina Bojonegoro (Jawa Pos, 28 Oktober 2012)
Mungkin senja belum usai saat bayu melambai begitu mesra,di pepohonan itu aku menangkap keberadaanmu. Belum, senja memang belum usai, tetapi remang sudah mengintip setiap sudut rumah bambuku. Kita pernah bersua pada suatu masa, dalam tanya kau berkelakar di helai rambutku….
Apa kata mawar ketika ia hampir layu di ambang petang?
TETABUHAN telah mengipnotis seluruh inderaku, menarik dengan gegas, meliuk dengan sangat. Pekerjaan harus dimulai, inilah dunia tempat aku memilih, untuk kukendalikan dan bertahan, mencari jati diri.
“Darsini! Bergegaslah!” sebuah suara tak asing menyergap kembara lamunanku. Ya, memang aku harus bergegas. Cermin buram diterangi cahaya teplok tak cukup memantulkan paes-ku yang baru kumula. Srimpi, Unthul-ku yang tengah mekar di usia 14 tahun sudah genap dengan konde, kemben dan jarit parang klithik-nya. Tak lupa sampur merah dengan gembyok kuning emas di ujungnya, yang terlihat terlalu panjang untuk tinggi badannya yang belum matang. Ia telah dirapikan tukang paes yang bertugas mengurus segala kebutuhan panggung, mas Saemo. Tak lupa mas Saemo mengikat sampur di belakang leher Srimpi untuk mengurangi panjangnya. Dulu aku pernah kesrimpet ketika menjadi Unthul yu Tulkijah.
Kendang di tangan kang Widji telah menghentak-hentak ingin menyeretku terseok-seok. Tapi maaf, gincu di bibirku belum sempurna. Sasak rambutku belum halus, maka bersabarlah barang semenit atau dua, biar kupersembahkan penampilan paling elok yang pernah kumiliki.
Pemulas bibirku merosot, jatuh ke lantai tanah. Terburu-buru aku memungutnya. Tiba-tiba… mak pett!! Gelap di sekelilingku. Bukan, ini bukan lampu teplokku diserobot angin yang menyusup di jalinan dinding bambu. Gelap ini disertai terpa gasing di kepalaku, berputar dan agak membikin pusing.
“Darsini!! Tamu-tamu sudah mulai datang. Pak Lurah sudah dari tadi menunggu!!” suara diluar pintu seperti tak sabar ingin menyeret tubuhku. Dengan sisa kesadaran yang ada, kupaksa tubuhku berdiri diatas dua kaki yang hanya dilapisi sepasang sandal Nilex warna merah. Separuh kepalaku masih terjerat lindhu, dan mataku yang terbuka tetap menggelap, tetapi aku berusaha melangkah sambil menata nafas. Setelah tenang beberapa jeda, akhirnya penglihatanku kembali normal. Kepala masih nguing-nguing dan suara kendang menghentak-hentak memanggil jiwaku. Benar, gamelan, khususnya suara kendang itu adalah ruhku. Tarianku bergantung pada pukulan kendang. Sedangkan kendang itu ada dalam kuasa mas Widji.
Hingar bingar di bawah terob daun jati dan blarak segera membangunkan aku dari segala lamunan dan kegelapan. Inilah hidupku. Mas Widji menatapku sekilas dari sudut matanya yang cerlang. Aku tahu. Aku tahu. Dan tepuk tangan membahana. Akulah yang mereka tunggu bersama aroma berbotol-botol tuak dan bir dan juga anggur cap Orang Tua.
Seperti biasa Srimpi menantiku di ujung terob. Ia berdiri dengan manis, wajahnya berkilau dengan dagu lancip yang mengagumkan. Matanya besar dan cemerlang. Diperindah hidung mungil yang lancip. Ia pasti akan menjadi penari Sindir yang lebih yahud dariku. Betapa tidak? usia 13 sudah menjadi Unthul, aku dulu memulainya di usia 15 tahun. Sekarang Srimpi 14 tahun, tiga tahun lagi dia bisa menjadi setenar aku. Dan bila saatnya tiba, orang akan lebih memilih yang masih muda dan segar dari pada yang tua dan layu. Ini hukum alam. Aku tak bisa mencegahnya. Tapi kata mas Widji, aku bisa melakukan sesuatu, mengenakan susuk. Mungkin, mungkin kapan-kapan. Biasanya semua penari mengenakan susuk, susuk emas yang mahal harganya.
Tembang Kodok Ngorek mengalun rancak dengan sentakan kendang khas dari mas Widji. Para pria mulai berdiri di pinggir Terob, bergiliran menanti selendang dariku yang kupungut dari nampan di tangan Srimpi. Seorang lelaki asing yang wajahnya nampak klimis, berdiri paling depan. Nampaknya dia berminat untuk menari sampai pagi. Lihat. Matanya sudah memerah. Aura minuman keras telah menerobos bibirnya dan menyembur di wajahku. Asem tenan! Meskipun aku menari seperti ini, aku tak menenggak tuak. Ajaran kang Widji yang selalu ku pegang teguh, orang lain dan para penyawer boleh roboh di bawah terob, penabuh gamelan, waranggana dan penari Sindir tak boleh ikut mabuk. Di saat semua orang terjerembab, harus ada yang tetap waras untuk setidaknya mengangkut mereka ke atas pembaringan.
Kodok Ngorek terus meningkat iramanya. Kukibaskan selendang di antara pacak gulu dan lirikan maut kepada lelaki klimis itu. Berharap dia segera menyelipkan lembaran uang ke dalam kembenku, seperti lazimnya para lelaki penikmat sindir. Senyum manis kupasang sejak tembang Kodok Ngorek berkumandang. Tetapi hampir penghabisan tembang pun lelaki klimis itu tak juga merogoh kantongnya. Maka, demi peraturan kelompok kami, aku harus segera meninggalkannya untuk mencari giliran berikutnya. Hajatan akan datang, lelaki semacam itu pasti tak punya kesempatan menari lagi bersamaku.
Tiba-tiba selendangku tertarik saat aku melangkah menjauhinya. Ia tersenyum, tepatnya menyeringai. Dan sepotong tawa meledak, bersamaan itu segelas tuak teracung di hadapan mukaku.
“Minumlah cah ayu, maka kutangmu akan kusumpal dengan lembaran uang kertas setebal tumpukan daun tembakau. Tapi dengan syarat, izinkan aku membawamu pulang malam ini.”
Memang, ada beberapa penari Sindir yang menerima ajakan untuk minum, tetapi kelompok kami sepakat tidak melakukan itu. Dan bahwa kami, para Sindir sering ditawar begitu rupa, adalah hak para pengunjung. Dan, bahwa beberapa penari memang bersedia dibawa pulang, itu adalah hak setiap penari. Lelaki ini menawarku dengan kepongahan aneh, dia tak menunjukkan uang selembar pun, tetapi berani mengumbar kata-kata.
Aku tetap menari, tanpa memperhatikan tingkahnya yang konyol. Lelaki lain kuhadapi, sementara mas Widji terus mengawasiku dari sudut matanya. Namun belum genap satu tembang berganti, lagi-lagi laki-laki klimis itu merangsek maju ke hadapanku, gerakan tubuhnya nyaris tak terkendali, rupanya minuman keras telah menjajah irama tubuhnya. Karena tak juga nyawer, aku ogah melayaninya. Kalau tak ada penghasilan tambahan dari saweran, seluruh penabuh dan perias serta mereka yang terlibat dalam pertunjukan ini tak ada bonus apa pun.
“Jangan lari dariku cah ayu, aku bakal membuatmu kaya dan terhormat. Kau tahu siapa aku? Hah? Lihat baik-baik wajahku, kenali aku, haha… kau tak kenal aku? Sudagar tembakau dari Kalitidu. Kau tak kenal aku? Hahaha! Darsini, penari tercantik dari Atas Angin, kenalkan… namaku Karsono. Ingat itu.”
Tiba-tiba lelaki klimis itu menyorongkan wajahnya kearah wajahku. Aku berusaha mengelak, dengan melengos ke arah kiri, dia terhuyung. Kembali lagi, nyosor lagi. Perasaan tak nyaman mulai menggoyang konsentrasiku. Perlakuan seperti ini bukan sekali dua, sering kualami. Tetapi Karsono ini berbeda. Dia nekad dan tak berduit. Jika benar dia juragan tembakau, seharusnya sudah menyumpalkan lembaran puluhan ribu ke dalam kutangku seperti dikatakannya. Nyatanya nihil, dia tak menunjukkan selembar pun uang hasil tembakaunya. Kulihat sekilas, mas Widji juga mulai geram. Ia memukulkan jemarinya dengan tenaga dan sedikit amarah pada kulit kendangnya. Aku paham. Maka aku segera berbalik arah, menuju lelaki yang lain yang tadi sudah melambaikan lembaran puluhan ribu. Srimpi mengikutiku dengan gerakan sederhana dan halus. Sementara Yu Semi, seperti biasa berdiri di belakang kami dengan baskom ditutup taplak untuk menampung uang saweran.
Tiba-tiba, seseorang menubrukku. Aku menoleh spontan, selendangku hampir saja menjerat kakiku. Laki-laki klimis juragan tembakau dari Kalitidu itu menerkam tubuhku, memeluk erat dengan gerakan meringkas. Seketika aku menjerit, dadaku sesak.
“Kamu jangan sombong, beraninya menolak Karsono heh?” gamelan berhenti, orang-orang terpaku. Mataku berkunang-kunang. Laki-laki ini selain bau tuak juga badannya bau sekali, seperti tak mandi seminggu. Ia berusaha menciumku dengan kasar, aku menjerit dan berusaha keras menghindari wajahnya. Kudengar suara Srimpi menjerit tertahan. Kemudian kulihat dengan ekor mata dari arah belakang mas Widji berdiri mendekat, diikuti beberapa lelaki lainnya, termasuk pak Jono, tuan rumah yang sedang berbahagia mengkhitankan anak semata wayangnya.
Entah bicara apa, mas Widji dan tuan rumah berusaha meredam si juragan tembakau. Tak lama kemudian, Karsono van Kalitidu meregangkan pelukannya, namun tak segera membebaskan aku. Ia menyeringai lebar dan tiba-tiba ia menyorongkan tubuhku ke lantai, dengan sekali hentak aku terhuyung, kepalaku menggelap dan gelap benar terjadi sesudahnya.
Sejak itu, aku tak mampu menari lagi. Tubuhku mati separuh. Banyak yang bilang aku kena santet, kiriman dari sindir lain yang ingin mengalahkan kepopuleranku. Mas Widji berusaha mengobati aku ke berbagai dukun, sampai Ngasem, Temayang dan Dander. Tak berhasil. Meskipun ramuan, jimat dan air bertuah sudah dijejalkan dalam tubuhku. Aku tetap saja terkapar, menangisi kemudaanku yang belum tuntas. Usiaku masih muda, 24 tahun ketika itu, harus menggunakan penyangga tubuh adalah sebuah beban dan siksaan. Hidupku kemudian menggantungkan pada belas kasihan mas Widji, siapa lagi? Bapak dan emak sudah tak sudi lagi sejak aku memilih hidup sebagai Sindir. Antara aku dan mas Widji seperti terjalin sebuah kerja sama diam-diam, di antara hentakan kendang dan seblak sampur, di antara malam yang lisut dari intai kelalain isterinya. Hingga sekarang, saat aku terkapar, ia masih menampungku, bahkan isterinya memanggilku Dik Darsini.
Lasmini, Sindir lain saingan kelompok kami, segera menjadi primadona, dan Srimpi tumbuh menjadi primadona berikutnya. Butuh waktu tiga tahun untuk menjadikan Srimpi primadona baru yang sanggup mengalahkan Lasmini, seharusnya. Tapi, Srimpi mendapat kehormatan dipercepat setahun.
Hari itu terjadilah, Srimpi menjadi Sindir setengah matang, saat ia dikukuhkan dengan tumpeng dan ayam panggang putih mulus serta dimandikan dengan kembang setaman dari air tujuh sumber. Apa yang harus kuberikan? Setumpuk rasa bangga bahwa muridku telah menjadi sindir? Ataukah cemburu atas keterpurukanku dan nasib yang sial?
Malam itu, upacara digelar sangat meriah. Srimpi begitu memesona dalam usia kinyis-kinyis. Ia mengenakan pakaian merah menyala serba baru yang di belikan mas Widji. Dan seperti kuduga, malam ini Srimpi akan tidur di rumah mas Widji, menyerahkan keperawanannya pada sang guru yang telah membentuknya sedemikian rupa, seperti aku beberapa tahun lalu. Tetapi ada yang aneh dengan malam ini. Isteri mas Widji terlihat sibuk, ia berusaha membuat Srimpi tak bersinggungan dengan mas Widji. Dalam beberapa adegan curi pandang, aku menangkap adanya kegelisahan terpendam di sepasang matanya.
Dan ketika pesta pengukuhan usai, wajah lama itu muncul kembali di rumah mas Widji. Laki-laki klimis yang mengaku sebagai juragan tembakau dari Kalitidu. Ia langsung menghunjam wajahku dengan tatapan mata penuh penghinaan. Rasanya ingin meludahi wajahnya yang menyebalkan. Kenapa harus ada wajah menyebalkan itu di malam besar Srimpi?
“Hmm… apa kabarmu cah ayu? Masih seperti dulu? Jual mahal?” suaranya angkuh dan penuh birahi. Aku tahu, dia hanya ingin menghinaku, menindas kondisiku yang lumpuh separuh.
“Bagaimana rasanya? Menyaksikan muridmu menggantikan posisimu?”
Itu adalah rasa sakit ke sekian setelah keterpurukanku atas penyakit aneh ini. Seharusnya aku masih laku dan bisa mencari uang, tetapi Srimpi dikukuhkan lebih cepat oleh mas Widji, demi kelangsungan kelompok kami. Laki-laki itu jauh-jauh datang ke Atas Angin untuk menyaksikan pesta pengukuhan seorang sindir? Mustahil! Dia pasti memiliki niat tertentu. Kegelisahan di mata isteri mas Widji dan kehadiran Karsono tiba-tiba menjadikan tanda tanya besar. Dia harus naik Colt ke Ngasem, lalu berganti lori atau loco pengangkut kayu, menumpang di atas lori yang hendak mengangkut gelondongan kayu jati untuk diusung ke TPK di kota Bojonegoro. Dari Sekar dia harus berjalan kaki atau menumpang ojek untuk sampai ke Atas Angin. Bisa jadi seharian ia baru tiba di sini. Pasti ada agenda lain selain menyaksikan Srimpi dikukuhkan.
“Jika aku tak berhasil membawamu pulang setelah Widji, maka sekarang aku bisa mendapatkan anak itu sebelum Widji.”
Matanya mendelik garang, penuh rasa kemenangan. Aku terbelalak kaget, rasanya seluruh tubuhku mati kaku, bukan hanya separuh. Dari dalam bilik kudengar suara gaduh. Percekcokan kecil terjadi antara mas Widji dan isterinya.
“Hutang kita banyak, Mas. Menggunung untuk membiayai sindirmu itu. Kali ini mengalahlah, biarkan Srimpi membayar untuk kita.”
“Kau menjual anak buahku?” teriak mas Widji tertahan.
“Harus dengan apa lagi?”
“Dia adalah hakku!”
“Apakah aku dan sindirmu itu tak cukup? Aku sudah mengalah selama ini!”
“Oh… jadi kamu cemburu?”
“Bukan! Ini soal utang piutang saja. Kita harus membayar hutang pada Jagabaya, mandor Katemo dan mantri Kesehatan. Biaya hidup para panjak itu besar mas. Selain itu, kita sudah habis-habisan untuk membiayai sindir cacat itu! Tapi kau masih terus memeramnya, sampai kapan? Sampai rumah atau sawah kita tergadaikan juga?’
Plakk!!
Suara tangan menampar pipi. Sejak kapan mas Widji memainkan fisiknya pada perempuan? Seluruh tubuhku benar-benar kaku sekarang. Karsono van Kalitidu tertawa-tawa senang mendengar pertengkaran dari dalam bilik. Kumisnya menari-nari mengikuti gerak mulutnya. Sederet cincin akik menghiasi jemarinya yang sebesar pisang kluthuk. Semakin berasa ingin muntah melihat laki-laki yang mengaku juragan tembakau itu.
Srimpi tiba-tiba muncul dari dalam rumah, berdiri kaku di antara aku dan Karsono. Ia masih terlihat kinyis-kinyis dengan paes yang belum terhapus. Wajahnya yang kemilau itu terlihat pasrah, ia pun mendengarkan pertengkaran dari dalam bilik seperti aku. Ia menggamit lengan Karsono van Kalitidu keluar dari teras rumah ini. Lalu, laki-laki klimis itu menoleh ke arahku dengan wajah penuh kemenangan.
***
Januari 2012, aku mendapati perempuan penjual lontong tahu di sudut jalan pertigaan Atas Angin. Ia mengenakan kalung emas sepuhan sebesar tali kekang kuda. Kebaya brokat warna hijau lumut dan kain jarik truntum yang dikenakan sangat serasi dengan warna kulitnya yang terang. Gelung besarnya di usia 60-an menurutku terlalu berlebihan. Tetapi gigi emas dua biji menunjukkan dia memang berjaya di masa muda.
“Bu Darsini?” aku menegurnya lembut agar tak membuyarkan angan-angan yang tengah direnda.
Ia mendongak, menatap seksama. Aku mendekat, menyalaminya takzim.
“Anak, siapa?”
“Saya Winarsih, anak pak Widji.”
Seketika wajahnya mengeruh. Sebaris mendung tiba-tiba berarak di wajahnya yang semula cerah.
“Saya tidak kenal, Widji siapa?” ia berusaha mengingat-ingat.
“Widji pemain kendang. Bukankah bu Darsini adalah mantan penarinya?”
Ia menggeleng.
“Mungkin Darsini yang lain.”
“Oh, saya hanya ingin menyampaikan surat wasiat, dari almarhum bapak, untuk ibu.”
Ia memucat. Kami terdiam. Suara batuk dari arah dapur, lelaki sebaya. Kemudian muncul sosoknya, lelaki tua yang sangat rapuh. Ia menatapiku waspada. Bu Darsini bangkit buru-buru.
“Maaf, Nak, warung mau saya tutup, suami saya tidak sehat. Silahkan mencari warung yang lain ya.”
Aku melangkah bingung. Mata bu Darsini menatapku dengan sejuta tanya, begitu pula aku. Laki-laki renta itu hanya memandang tanpa kesan. Aku melangkah, hati-hati menapaki jalan aspal yang dulunya kata ayah, adalah jalanan macadam dan hanya dilewati dokar dan sepeda motor saja. Tiba di sebuah tikungan aku berhenti, menatap desa lain dari ketinggian Atas Angin. Di bawah sana nampak terasering menumbuhkan pepadian menguning dan rumah-rumah bertebaran dalam jarak berjauhan yang disaput awan. Sebuah lukisan alam terhampar indah di hadapanku kini. Aku duduk di atas rerumputan basah, menatap langit yang seakan memeluk desa Temayang atau Sekar atau Deling di bawah sana. Negeri ini memang indah, negeri Atas Angin. Di mana ayahku pernah memulakan hidup. Di ketinggian ini desa-desa sekitar adalah harmoni yang mengukuhkan ketinggian negeri Atas Angin. Kemudian kukeluarkan sebuah amplop dari dalam tasku, wasiat ayahku. Karena tak dilem, maka hatiku sangat berhasrat membacanya, sebab bu Darsini yang ditanyakan almarhum, tak mengakui keberadaannya. Maka perlahan-lahan kubuka lipatan kertas itu, kertas buram coklat, lipatan yang lama tak dibuka.
Keberanian itu adalah, kesanggupan untuk melihat kenyataan di balik punggungmu.
Baru sampai pada kalimat sebaris itu, niatku meredup. Kalimat pembuka yang mengerikan. Gigil halus meruam dalam dadaku, merasa berdosa telah membuka sesuatu yang bukan hakku. Maka kulipat kembali surat itu, kembali kumasukkan dalam amplop dan membiarkannya abadi di sana. Setiap masa menyimpan sejarahnya masing-masing, biarlah begitu. Seperti ibuku yang memilih bungkam setiap kutanya soal Srimpi dan Karsono van Kalitidu. (*)
(Surabaya: Mei-Juli 2012)
Catatan:
Paes = Dandanan
Unthul = Penari anak-anak/calon penari
Teplok = Lampu tempel dari bahan bakar minyak
Jarit/jarik = Kain batik yang dikenakan sebagai rok tanpa dijahit
Klutuk = Pisang yang banyak bijinya, biasanya untuk bahan bumbu rujak
Kinyis-kinyis = Kemilau, muda belia
Panjak = Penabuh gamelan
Cah Ayu = Anak Manis
Waranggana = Penembang pada group gamelan
Terob = Tenda biasanya untuk hajatan
Kesrimpet = Terjerat
Sampur = Selendang panjang untuk menari
Nilex = Merk sandal plastik jaman dulu era 70-an
Gembyok = Manik-manik pemberat yang biasanya dipasang di ujung selendang
Lindhu = Gempa bumi
Sindir = Penari Tayub/ronggeng
Kodok Ngorek = Judul tembang jawa, artinya Katak Bernyanyi
Blarak = Daun kelapa
Pacak gulu = Gerakan leher ke kiri-kanan patah-patah
Cerpen Hermawan Aksan (Suara Merdeka, 28 Oktober 2012)
BUKANKAH sudah kuingatkan kau, Kanda Jayadrata, jangan sekali-sekali menjulurkan kepala di bingkai jendela. Terbukti, sekejap saja kau lengah, nyawa taruhannya. Ah, andai kau mau menunggu hingga beberapa saat lagi. Andai kau lebih dulu yakin bahwa semua yang terjadi bukanlah tipuan, entah siapa yang melakukan. Andai kau mau mendengar suaraku, istrimu, meskipun lirih dan tidak lebih dari suara perempuan.
“Lihatlah, Dinda,” seperti biasa, suaramu tegar, dengan wajah yang menunjukkan tidak akan ada apa pun yang bisa menghalangimu, wajah yang kadang masih juga mengingatkanku pada seseorang yang tidak mungkin lagi kugapai, “Langit gelap, pertanda matahari sudah tenggelam dan tibalah waktunya bagi Arjuna untuk segera memenuhi sumpahnya membunuh dirinya sendiri.” Senyum menghias wajahmu. Juga senyum yang mengingatkanku pada senyum dia—lelaki yang sangat kucinta sekaligus kubenci setengah mati.
“Tidak, Kanda,” jemariku menegang. “Kegelapan ini terlalu aneh dan membuatku curiga. Aku merasa bahwa waktunya terlalu tiba-tiba. Aku juga merasa bahwa kegelapan ini hanya sementara.”
Beberapa jenak kau masih memandang langit yang remang, lalu menoleh menatapku dengan kepala sedikit miring dan mata sebelah memicing. “Bagaimana Dinda bisa mengukur kecepatan waktu yang berlalu?”
“Aku tidak bisa mengukur, Kanda. Aku hanya merasakan.”
Kau tertawa nyaris tanpa suara. Ada nada tak percaya. “Bagaimana perasaan dapat menentukan sebuah keniscayaan mengenai waktu?”
“Entahlah. Mungkin karena aku wanita.”
Kau tertawa lagi. Kali ini dengan suara. “Seperti itulah alasan yang selalu disampaikan perempuan.”
Kau memalingkan lagi wajahmu menatap langit, lalu melangkah mendekati jendela.
“Jangan, Kanda!”
Tanganku meraih pundakmu. “Sabarlah beberapa saat lagi, Kanda.” Langkahmu tertahan. “Tunggu sejenak hingga bintang-bintang benar-benar bekerlipan dan rasi gubuk penceng tegak lurus di langit selatan.”
Hanya sekilas kau menatapku dengan sudut matamu. “Kau tahu, Dinda,” lalu kautatap lagi langit, “barangkali awan menaburi cahaya bebintang, dan aku tidak ingin ketinggalan menjadi saksi ketika Arjuna menghunus Kiai Kala Nadah, atau pusaka yang mana pun, dan menusukkan pusakanya itu ke dasar ulu hatinya sendiri. Pastilah itu peristiwa yang indah tak terperi, yang pantas dikenang hingga kemudian hari.”
“Siapa yang ingin melewatkan adegan itu? Itulah adegan yang paling ditunggu dari seluruh rangkaian peristiwa panjang Baratayuda.” Dadaku sesak dan sesuatu yang hangat dan basah membuat pandanganku menjadi sedikit kabur. “Air mataku sudah nyaris kering, Kanda, menyaksikan satu demi satu saudaraku gugur di padang Kurusetra. Sembilan puluh sembilan saudaraku, dan kini hanya menyisakan segelintir saja. Aku bisa merasakan betapa tersayatnya hati Bunda Gendari menyaksikan semua ini. Aku tak ingin Kanda gugur menambah panjang derita, apalagi jika dengan cara yang jauh dari lazimnya kesatria.”
Ada jeda yang panjang.
Aku tidak tahu apakah aku anak yang sangat ditunggu di antara seratus putra Ayah dan Bunda.
Aku, si bungsu, satu-satunya perempuan dari seratus bersaudara keturunan Kuru.
Tutur yang sampai kepadaku tidaklah selalu sepenuhnya utuh. Dan dari potongan-potongan cerita itulah aku adakalanya membayangkan betapa kecewanya Bunda Gendari ketika mengetahui putranya tidak benar-benar bulat seratus—sebuah angka yang sangat bermakna karena konon bundaku pernah mendapat isyarat dari para dewa bahwa akan terjadi perang besar di antara keturunan Barata dan untuk menghadapinya dibutuhkan sebanyak mungkin kesatria.
Benarkah hanya pria yang bisa menjadi kesatria? Tidakkah perempuan punya kesempatan yang sama?
Kadang aku merasa bahwa kehadiranku menjadi ganjalan bagi sembilan puluh sembilan saudaraku. Sebab, aku anak yang berbeda, baik dilihat dari jenis kelamin maupun dari rupa. Aku perempuan dan orang bilang aku berparas putih rupawan dan penuh kelembutan, sedangkan mereka lelaki dan hampir semua berwajah merah sarat amarah.
Aku juga kerap mendengar dan menyaksikan betapa pertemuan dan pembicaraan di antara saudara-saudaraku tidak akan pernah menyimpang dari pedang, pertempuran, panah, dan darah yang tertumpah.
Meskipun demikian, seburuk apa pun penilaian pihak lain terhadap mereka, bahkan oleh para dewa, mereka adalah saudaraku dan aku menyayangi mereka. Apalagi setelah aku menikah denganmu, Kanda, aku makin yakin bahwa saudara-saudaraku punya alasan yang kuat untuk itu.
Dan kini, keyakinanku kian tebal setelah melihat betapa Kurusetra menimbulkan duka mendalam bagi kita. Satu demi satu saudaraku tumpas menjelma pahlawan, setidaknya aku yakin bahwa mereka gugur sebagai pahlawan, termasuk putra pertama kita, yang belum juga kudengar kabarnya, apakah ia sudah tiada atau masih bersembunyi sebelum terjun lagi ke medan laga.
Sunyi masih membekap ruang benteng pertahanan ini. Di kejauhan di bawah sana, di Padang Kurusetra, juga nyaris tanpa suara.
Hanya kudengar dengus tak sabar dari lubang hidungmu. “Lalu aku mesti menunggu apa lagi?”
Aku menghela napas yang masih sesak. “Menunggu kepastian.”
“Inilah kepastian itu.”
“Bukan, Kanda.”
“Bagaimana Dinda yakin ini bukan kepastian?”
“Bukankah menjelang gelap tadi kita tidak melihat semburat lembayung di langit barat?”
Kau tertawa. “Tidak selalu ada lembayung yang menandai kedatangan senja hari.”
“Tidakkah Kanda melihat hewan-hewan yang kebingungan karena tiba-tiba saja langit menjadi gelap? Tidakkah Kanda lihat tak satu binatang pun pulang ke kandang?”
Lalu kau menarik napas panjang. “Menurut Dinda, mengapa langit tiba-tiba menjadi gelap?”
“Mungkin sang surya terhalang oleh rembulan. Kau tahu, Kanda, itulah yang dinamakan gerhana, ketika orang-orang masih percaya bahwa sang surya ditelan oleh naga raksasa.”
“Gerhana akan berlangsung perlahan, sedikit demi sedikit, Dinda. Tapi kegelapan ini, seperti yang kaubilang, terjadi begitu tiba-tiba.”
“Bukankah tenggelamnya mentari di ufuk barat juga tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan perlahan-lahan?”
“Lalu, bagaimana menurut Dinda?”
“Sudah kukatakan, tunggulah beberapa saat lagi.”
Kau terdiam. Tapi dari raut wajahmu aku yakin bahwa kau tidak sabar lagi. Ah, kau memang kesatria yang tidak sabaran.
Mirip dengan Bima—lelaki yang pernah kudamba….
Maafkan aku, Kanda, kalau aku mengungkapkan pengakuan ini. Aku memang bersedia mendampingimu karena kau mirip sekali dengan dia. Dan menurut tutur yang sampai ke telingaku, kau tercipta dari bungkus ketuban Bima, yang tersia-sia, kemudian diangkat putra oleh Resi Sempani dari Padepokan Kalingga. Bahkan kau kemudian menjadi penguasa di negara Sindu dengan gelar Prabu Sinduraja.
Tidak orangnya, bungkus ketubannya pun tidak apa-apa.
Tapi percayalah, Kanda, cinta bisa tumbuh seiring dengan perjalanan waktu, seperti yang terjadi kepadamu. Sebaliknya, cinta dapat memudar dan bahkan berganti menjadi benci tak terperi, seperti yang terjadi kepada Bima putra Kunti.
Aku sudah merasakannya bahwa kau adalah lelaki yang berani, penuh kesungguhan dalam pengabdian, dan tak diragukan dalam hal kesetiaan. Kesungguhan dalam menuntut ilmu, misalnya, membawamu dari negeri yang jauh hingga ke Negeri Astina, lalu bergabung dengan keluarga Kurawa seraya menimba pengetahuan dari Resi Drona.
Kau tahu, Kanda, mula-mula aku terpikat olehmu karena kemiripan wajahmu dengan wajahnya, tapi lama kelamaan ada sesuatu yang membuatku benar-benar jatuh cinta. Ketegasan. Karena itulah aku tidak menolak ketika Ayahanda Drestarasta, lelaki yang paling menyayangiku, menjodohkanku denganmu.
Begitu tegasnya tindakanmu, hingga kau membuat Angkawijaya perlaya di medan laga, dalam sebuah pertempuran paling indah di mataku yang, anehnya, di mata mereka, sebaliknya disebut pertempuran paling menjijikkan. Mereka kira kau menewaskan Angkawijaya saat dia sudah tak berdaya. Padahal kau dan Angkawijaya berperang secara kesatria. Namun Arjuna, ayah Angkawijaya, entah menerima kabar dari mana, murka dan bersumpah sebelum matahari tenggelam akan membalas kematian anaknya dengan membunuh Kanda.
Sungguh dendam yang aneh. Aku, serta ayah-bundaku, sudah kehilangan hampir semua, dan tidak pernah ada yang memuntahkan sumpah, selain terus melakukan perlawanan secara kesatria.
Sorak-sorai menggemuruh di Padang Kurusetra. Kau melangkah mendekati jendela. “Apakah itu sorak-sorai bala Astina? Biarkan aku mengintai sekejap, Dinda. Hanya sebelah mata. Untuk memastikan bahwa Arjuna sudah menuntaskan sumpahnya sebagai seorang kesatria.”
Tapi kau tidak hanya mengintai. Kau menjulurkan kepala di bidang jendela.
Aku terkesiap. “Jangan, Kanda….”
Saat itu pastilah kau tidak melihat seleret cahaya keperakan melesat dari kejauhan. Aku pun hanya melihat sekilas dan tidak memahami apa yang terjadi serta bagaimana prosesnya. Hanya kudengar desis seperti dengus naga, lalu kepalamu, Kanda Jayadrata, menggelinding seperti bola, dan amis darah mengambang di udara.
Bahkan menangis pun aku tak kuasa ketika perlahan-lahan kegelapan langit menyibak. Sedikit demi sedikit garis-garis sinar sang surya rebah di luar jendela. Langit menjadi benderang seperti semula.
Hanya seorang yang bisa melakukannya.
Aku pernah mendengar kisah yang dituturkan Ayahanda.
Lelaki yang hanya ada muslihat di kepalanya.
Kresna.
O, para dewa, di manakah makna kesatria jika para pemangku kuasa sendiri yang justru melakukan perilaku tanpa tatakrama? Mengapa kalian biarkan tipu muslihat laknat terus merajalela menguasai jagat? Bagaimana mungkin makna luhur kesatria, yang senantiasa diagungkan leluhur kaum Barata, mesti dikorbankan sekadar demi memenuhi suratan pada kitab dewata bahwa pemenang perang besar ini adalah Pandawa?
O, Kanda Jayadrata, tidak ada lagi tangis kendati batin ini pedih teriris.
Barangkali sebentar lagi tak bakal tersisa kesatria dari Negeri Astina. Barangkali semua akan tumpas demi kejayaan Pandawa.
Sebagai seorang wanita, aku tidak mampu berbuat apa-apa. Atau setidaknya, kalian para pria menganggap kami tak bisa berbuat apa-apa.
Kau pun mungkin tidak pernah menyangka, Ayahanda Drestarasta sudah mewariskan ilmunya yang tiada dua kepadaku, untuk digunakan hanya jika diperlukan. Ayah bilang kesaktian ini suatu saat akan menyebar di tanah Jawa.
Lebur Saketi.
Kau lihat, Kanda, dengan ajian ini, bahkan pusaka Arjuna pun menjadi debu oleh genggaman jemariku.
Apalagi hanya kepala Kresna.
Setidaknya, itulah yang bergejolak di pikiranku.
Tunggulah saatnya. (*)
Bumiayu, 2012
Hermawan Aksanlahir di Brebes. Kumpulan cerpennya Sang Jelata (Grasindo, Desember 2004) dan Ketika Bulan Pucat, Dia Pergi seperti Angin (Saroba, 2009). Novelnya Dyah Pitaloka, Senja di Langit Majapahit (C Publishing, Desember 2005), Niskala (Bentang Pustaka, Juli 2008), dan Cincin Cinta Miss Titin (Kakilangit, September 2009). Mengikuti Ubud Writers and Readers Festival 2010.
Cerpen Iksaka Banu (Koran Tempo, 28 Oktober 2012)
CHEVROLET tua yang kutumpangi semakin melambat, sebelum akhirnya berhenti di muka barikade bambu yang dipasang melintang di ujung jalan Noordwijk. Sebentar kemudian, seperti sebuah mimpi buruk, dari sebelah kiri bangunan muncul beberapa orang pria berambut panjang dengan ikat kepala merah putih dan aneka seragam lusuh, menodongkan senapan.
“Laskar,” gumam Dullah, sopirku.
“Pastikan mereka melihat tanda pengenal wartawan itu,” bisikku.
Dullah menunjuk kertas di kaca depan mobil. Salah seorang penghadang melongok melalui jendela.
“Ke mana?” tanya orang itu. Ia berpeci hitam. Kumisnya lebat, membelah wajah. Sepasang matanya menebar ancaman.
“Merdeka, Pak! Ke Gunung Sahari. Ini wartawan. Orang baik,” Dullah, dengan raut muka yang dibuat setenang mungkin, mengarahkan ibu jarinya kepadaku.
“Turun dulu baru bicara, sontoloyo!” bentak si kumis sambil memukul bagian depan mobil. “Suruh bule itu turun juga!” sambungnya.
Tergesa, Dullah dan aku menuruti perintahnya. Dibantu beberapa rekannya, si kumis menggeledah seluruh tubuh kami. Sebungkus rokok Davros yang baru kunikmati sebatang segera berpindah ke saku bajunya. Demikian pula beberapa lembar uang militer Jepang di dalam dompet. Seorang laskar lain masuk ke dalam mobil, memeriksa laci, lalu duduk di kursi sopir, memutar-mutar roda kemudi seperti seorang anak kecil.
“Martinus Witkerk. De Telegraaf,” si kumis membaca surat tugas, lalu menoleh kepadaku. “Belanda?”
“Tidak bisa bahasa Melayu, asli dari sana,” sergah Dullah. Tentu saja ia berdusta.
“Aku tanya dia, bukan kamu. Sompret!” si komandan menampar pipi Dullah. “Teman-temanmu mati kena peluru, kamu ikut penjajah. Sana, minggat!” ia mengembalikan dompetku sambil menikmati rokok rampasannya.
“Terima kasih, Dullah,” kataku setelah kendaraan kembali melaju. “Kamu baik-baik saja?”
“Tak apa, Tuan. Begitulah sebagian dari mereka. Mengaku pejuang, tapi masuk-keluar rumah penduduk, minta makanan atau uang. Sering juga mengganggu perempuan,” sahut Dullah. “Untung saya yang mengemudi. Bila Tuan Schurck yang pegang, saya rasa tuan berdua tidak akan selamat. Mereka suka menghabisi orang Eropa yang mudah marah seperti Tuan Schurck. Tidak peduli wartawan.”
“Jan Schurck memang pandai membahayakan diri,” aku tersenyum. “Itu sebabnya majalah Life memberinya gaji tinggi.”
“Tuan yakin alamat si nona ini?”
“Ya, seberang Topografisch Bureau. Tidak mau pergi dari situ. Si Kepala Batu.”
Kepala batu. Maria Geertruida Welwillend. Geertje. Aku bertemu wanita itu di kamp internir Struiswijk, tak lama setelah pengumuman resmi takluknya Jepang kepada Sekutu.
Waktu itu, di hotel Des Indes, yang sudah kembali ditangani oleh manajemen Belanda, aku dan beberapa rekan wartawan tengah membahas dampak sosial di Hindia seiring kekalahan Jepang.
“Proklamasi kemerdekaan serta lumpuhnya otoritas setempat membuat para pemuda pribumi kehilangan batas logika antara ‘berjuang’ dan ‘bertindak jahat’. Rasa benci turun-temurun terhadap orang kulit putih serta mereka yang dianggap kolaborator, tiba-tiba seperti menemukan pelampiasannya di jalan-jalan lengang, di permukiman orang Eropa yang berbatasan langsung dengan kampung pribumi,” Jan Schurck melemparkan seonggok foto ke atas meja.
“God Almachtig. Mayat-mayat ini seperti daging giling,” Hermanus Schrijven dari Utrechts Nieuwsblad membuat tanda salib setelah mengamati foto-foto itu. “Kabarnya, para jagal ini adalah jawara atau perampok yang direkrut menjadi tentara. Sebagian rampasan dibagikan kepada penduduk. Tapi kerap pula diambil sendiri.”
“Bandit patriot,” Jan mengangkat bahu. “Terjadi pula semasa Revolusi Prancis, Revoulsi Bolshevik, dan di antara para partisan Yugoslavia hari ini.”
“Anak-anak haram revolusi,” aku menimpali.
“Aku benci perang,” Hermanus membuang puntung rokoknya
“Warga Eropa tidak menyadari bahaya itu,” kataku. “Setelah lama menderita di kamp, tak ada lagi yang mereka inginkan kecuali selekasnya pulang. Mereka tak tahu, si Jongos dan si Kacung telah berubah menjadi pejuang.”
“Kurasa banyak yang tidak mendengar maklumat dari Lord Mounbatten agar tetap tinggal di kamp sampai pasukan Sekutu datang,” Eddy Tayor, dari The Manchester Guardian, angkat bicara.
“Ya. Dan para komandan Jepang, yang sudah tidak memiliki semangat hidup sejak kekalahan mereka, cenderung membiarkan tawanannya minggat. Ini mengkhawatirkan,” Jan menyulut rokok, entah yang ke berapa.
“Bisa lebih buruk. Tanggal 15 September kemarin, pasukan Inggris tiba di Teluk Batavia,” aku menujuk peta di meja. “Sebuah cruiser Belanda yang menyertai pendaratan itu konon telah memicu keresahan kalangan militan di sini. Bagi mereka, hal itu seperti menguatkan dugaan bahwa Belanda akan kembali masuk Hindia.”
“Well, ini di antara kita saja. Menurut kalian, apakah Belanda berniat kembali?” Eddy Taylor menatap Jan dan aku, ganti-berganti.
Mendadak pembicaraan terpotong teriakan Andrew Waller, wartawan Sydney Morning Herald, yang setia memantau perkembangan situasi melalui radio: “Menarik! Ini menarik! Para mantan tentara KNIL dan tentara Inggris pagi ini memindahkan para penghuni kamp Cideng dan Struiswijk.”
Tak membuang waktu, kami semua berangkat pergi. Aku dan Jan memilih mengunjungi Kamp Tawanan Struiswijk.
Mayor Adachi, komandan Jepang yang kami temui, menyambut gembira upaya pemindahan besar-besaran ini.
“Patroli kami kerap menjumpai mayat orang Eropa yang melarikan diri dari kamp. Tercincang dalam karung di tepi jalan,” katanya.
Aku mengangguk sembari mencatat. Tetapi sesungguhnya mataku terpaku pada Geertje yang berjalan santai menenteng koper. Bukan menuju rombongan truk, melainkan ke jalan Drukkerijweg, bersiap memilih becak.
“Hei, Martin!” teriak Jan Schruck. “Gadis itu melirikmu sejak tadi. Jangan tolak keberuntunganmu. Kejar!”
Aku memang mengejarnya, tetapi segera menerima kejutan besar.
“Aku tidak ikut,” Geertje menatapku tajam. “Truk-truk ini menuju Bandung. Ke tempat penampungan di Kapel Ursulin. Sebagian lagi ke Tanjung Priok. Aku harus pulang ke Gunung Sahari. Banyak yang harus kukerjakan,” katanya.
“Maksudmu, sebelum Jepang datang, engkau tinggal di Gunung Sahari, dan sekarang hendak kembali ke sana?” tanyaku.
“Ada yang salah?” Geertje balik bertanya.
“Ya. Salah waktu dan tempat. Pembunuhan terhadap orang kulit putih, Tionghoa, dan orang-orang yang dianggap kolaborator Belanda semakin menjadi. Mengapa ke sana?”
“Karena itu rumahku. Permisi,” Geertje membalikkan badan, kembali menenteng kopernya.
Aku tertegun. Dari jauh, kulihat si keparat Jan menjungkirkan ibu jarinya ke bawah.
“Tunggu!” aku mengejar Geertje. “Biar kuantar.”
Kali ini Geertje tak menolak. Dan aku bersyukur, Jan bersedia meminjamkan motornya.
“Hati-hati sinyo satu ini, Nyonya,” Jan mengedipkan mata. “Di Nederland banyak wanita merana menunggu kedatangannya.”
“Begitukah? Panggil ‘nona’, atau sebut namaku saja,” sahut Geertje.
“Oh, kalau begitu panggil aku Jan.”
“Dan ini Martin,” aku menebah dada. “Apakah kau tak ingin membuang bakiak kamp itu?” tanyaku sambil melirik kaki Geertje. ”Bukankah para tentara di sana menyediakan sepatu untuk wanita dan anak-anak? Mereka juga membagikan gincu dan bedak. Kalian akan kembali rupawan.”
“Sepatunya di dalam koper. Di kamp, aku mahir berlari dengan bakiak,” Geertje tertawa, meletakkan tubuhnya di jok belakang.
Mijn God. Tawa dan lesung pipinya. Betapa ganjil berpadu dengan sepasang alis curam itu. Wajah yang sarat teka-teki. Apakah wanita ini masih memiliki keluarga? Suami? Tapi tadi ia minta dipanggil ‘nona’.
“Gunung Sahari sering dilewati Batalyon X. Mereka menjaga permukiman Eropa. Tetapi tentu saja tak ada yang tahu, kapan serangan datang. Coba pikirkan usulku tadi,” dari kaca spion, kutengok Geertje. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi suara motor Jan teramat bising.
Akhirnya kami membisu saja sepanjang perjalanan.
Di perempatan Kwitang aku meliuk ke kanan, meninggalkan iringan truk berisi wanita dan anak-anak di belakangku. Ah, anak-anak itu. Riuh bertepuk tangan, menyanyikan lagu-lagu gembira. Tidak menyadari bahwa kemungkinan besar tanah Hindia, tempat mereka lahir, sebentar lagi tinggal kenangan.
“Depan empang itu,” Geertje melambai.
Aku membelokkan motor. Rumah besar itu terlihat menyedihkan. Dindingnya kotor. Kaca jendela pecah di sana-sini. Anehnya, rumput pekarangan tampak seperti belum lama dipangkas.
“Sebentar!” kuraih lengan Geertje saat ia ingin berlari ke teras. Dari tas di belakang motor, kukeluarkan belati yang tadi dipinjamkan oleh Jan. Kudorong pintu depan. Terkunci.
“Masih ingin masuk?” tanyaku.
“Ya,” jawab Geertje. “Singkirkan belatimu. Biar aku yang mengetuk. Semoga rumah ini belum diambil alih keluarga Eropa lain.”
“Atau oleh laskar,” sahutku.
Geertje mengetuk beberapa kali. Tak ada jawaban. Kami berputar ke belakang. Pintunya terbuka sedikit. Saat hendak masuk, terdengar langkah kaki dari kebun. Seorang wanita pribumi. Mungkin berusia lima puluh tahun.
“Nona!” wanita itu meraung, memeluk kaki Geertje.
Geertje menarik bahu si wanita agar berdiri. “Jepang sudah kalah. Aku pulang, Iyah. Mana suamimu? Apakah selama ini engkau tinggal di sini?” tanya Geertje. “Ini Tuan Witkerk, teman saya. Martin, ini Iyah. Pengurus rumah tangga kami.”
Iyah membungkuk kepadaku, lalu kembali menoleh kepada Geertje.
“Setelah terakhir menengok Nona, rumah ini diambil Jepang. Tempat tinggal para perwira. Saya memasak untuk mereka. Tidak boleh pergi. Itulah sebabnya saya tidak bisa menengok Nona,” Iyah kembali terisak. “Mana Tuan, Ibu, dan Sinyo Robert?”
“Mama meninggal bulan lalu. Kolera,” Geertje mendorong pintu lebih lebar, lalu masuk rumah. Aku dan Iyah menyusul. “Papa dan Robert, dikirim ke Burma. Sudah kuminta komandan kamp mencari berita tentang mereka,” lanjut Geertje.
“Barang berharga disita. Foto-foto di dinding musnah. Diganti bendera Jepang. Tapi belum lama ini mereka buru-buru pergi. Entah ke mana. Banyak barang tidak dibawa,” kata Iyah. “Saya ambil alat-alat masak dulu di gubuk. Sekalian ajak suami ke sini. Sejak jadi koki Jepang, saya pindah ke gubuk belakang. Setelah mereka pergi, saya tetap tidak berani tinggal di sini. Tapi setiap ada kesempatan, pasti menengok, membersihkan yang perlu.”
“Ajak suamimu. Kita bangun rumah ini. Kalau bank sudah berjalan normal, mungkin aku bisa mengambil sedikit simpanan,” Geertje membiarkan Iyah berlari ke luar, lalu meneruskan memeriksa rumah. Meja-kursi tersisa beberapa, juga lemari. Tetapi tak ada isinya. Sebuah kejutan kami temukan di ruang keluarga: piano hitam yang anggun. Cukup mengherankan, Jepang tidak menyita atau merusaknya. Mungkin dulu dipakai sebagai hiburan.
Geertje meniup debu tipis, membuka penutup tuts. Sepotong irama riang menjelajahi ruangan.
“Lagu rakyat?” tanyaku.
“Si Patoka’an,” Geertje mengangguk, lalu bersenandung menimpali ketukan tuts.
“Engkau menyatu dengan alam dan penduduk di sini. Mereka juga menyukaimu. Mungkin mencintaimu setulus hati,” kataku. “Tapi zaman ‘tuan’ dan ‘babu’ ini akan segera berakhir. Amerika semakin memperlihatkan ketidaksukaan mereka akan kolonialisme. Dunia luar juga mulai mengawasi setiap denyut perubahan yang terjadi di sini. Dan kehadiran kita selama tiga ratus tahun lebih sebagai penguasa negeri ini, makan jantung negeri ini, semakin memperburuk posisi tawar kita. Kurasa Hindia Belanda tak mungkin kembali, sekeras apa pun upaya kita merebut dari tangan para nasionalis pribumi ini.”
“Bila api revolusi telah berkobar, tak ada yang bisa menahan,” Geertje menghentikan laju jemarinya di atas tuts. “Mereka hanya ingin mandiri, seperti kata ayahku dulu. Ayah pengagum Sneevlit. Ia siap kehilangan hak-hak istimewanya di sini. Aku sendiri seorang guru sekolah pribumi. Lahir, besar di tengah para pribumi. Saat Jepang berkuasa, kusadari bahwa Hindia Belanda bersama segala keningratannya telah usai. Aku harus berani mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Dan apa pun yang ada di ujung nasib, aku akan tetap tinggal di sini. Bukan sebagai ‘penguasa’, seperti istilahmu. Entah sebagai apa. Jepang telah memberi pelajaran, pahitnya menjadi jongos atau babu. Setelah kemarin hidup makmur, bukankah memalukan lari di saat orang-orang ini butuh bimbingan kita?”
“Orang-orang itu…” aku tidak meneruskan kalimat. Sunyi sesaat.
“Konon, seorang pemburu menemukan bayi harimau,” akhirnya aku menghela napas. “Dirawatnya hewan itu penuh kasih. Ia menjadi jinak. Makan-tidur bersama si pemburu hingga dewasa. Tak pernah diberi daging. Suatu hari, tangan si pemburu tergores piring kaleng milik si harimau. Darah mengucur.”
“Si harimau menjilati darah itu, menjadi buas, lalu menerkam si pemburu,” potong Geertje. “Engkau mencoba mengatakan bahwa suatu saat para pribumi akan menikamku dari belakang. Betul?”
“Kita ada di tengah pergolakan besar dunia. Nilai-nilai bergeser. Setelah berabad, kita menyadari tanah ini bukan Ibu Pertiwi kita,” jawabku.
“Untuk ketigakalinya kuminta, pergilah selagi bisa.”
“Ke Belanda?” Geertje menurunkan tutup piano. “Aku bahkan tak tahu, di mana letak negara nenek moyangku itu.”
“Di kampung halamanku, di Zundert, ada beberapa rumah kontrakan dengan harga terjangkau. Sambil menunggu kabar tentang ayahmu, kau bisa tinggal di sana.”
“Terima kasih,“ Geertje tersenyum. “Kau sudah tahu di mana aku ingin tinggal.”
Itu jawaban Geertje beberapa bulan lalu. Sempat dua kali aku menemuinya kembali. Memasang kaca jendela, dan mengantarnya ke pasar. Setelah itu, aku tenggelam dalam pekerjaan. Geertje juga tak memikirkan hal lain kecuali membangun rumah. Sulit mengharapkan percik asmara hadir di antara kami.
Lalu datanglah berita tentang pertempuran keras tadi malam, yang merambat dari Meester Cornelis sampai ke Kramat. Beberapa kesatuan pemuda melancarkan serangan besar-besaran ke pelbagai wilayah secara rapi dan terencana. Di sekitar Senen-Gunung Sahari, sebuah tank NICA bahkan berhasil dilumpuhkan.
Aku mengkhawatirkan Geertje. Sebaiknya wanita itu kujemput saja. Biarlah ia tinggal bersama kami sementara waktu. Semoga ia tidak menolak. Schurck sedang ke luar kota. Tak bisa meminjam motornya. Untunglah, meski agak mahal, pihak hotel bersedia menyewakan mobil berikut sopirnya.
“Di depan itu, Tuan?” suara Dullah membawa diriku kembali berada di dalam kabin Chevrolet yang panas ini.
“Betul. Tunggu sini,” aku melompat ke luar dengan cemas. Di muka rumah Geertje, beberapa tentara NICA berdiri dalam posisi siaga. Sebagian hilir-mudik di halaman belakang. Beranda rumah rusak. Pintu depan roboh, penuh lubang peluru. Lantai dan tembok pecah, menghitam, bekas ledakan granat.
“Permisi, wartawan!” sambil menerobos kerumunan, kuacungkan kartu pengenal. Mataku nyalang. Kumasuki setiap kamar dengan perasaan teraduk, seolah berharap melihat tubuh Geertje tergolek mandi darah di lantai. Tetapi tak kunjung kutemui pemandangan mengerikan semacam itu. Seorang tentara mendekat. Agaknya komandan mereka. Kusodorkan kartu pengenal.
“Apa yang terjadi, Sersan Zwart?” tanyaku sambil melirik nama dada tentara itu. “Korban serangan tadi malam? Di mana penghuni rumah?”
“Kami yang menyerang. Penghuninya lari. Anda wartawan, kebetulan sekali. Kita sebarkan berita ini, agar semua waspada,” Sersan Zwart mengajak berjalan ke arah dapur. “Ini tempat para pemberontak berkumpul. Banyak bahan propaganda anti NICA,” lanjutnya.
“Maaf,” aku menyela. “Setahuku rumah ini milik Nona Geertje, seorang warga Belanda.”
“Kenal? Kami akan banyak bertanya nanti. Ada dugaan bahwa Nona Geertje alias ‘Zamrud Khatulistiwa’ alias ‘Ibu Pertiwi’, yaitu nama-nama yang sering kami tangkap dalam siaran radio gelap belakangan ini, telah berpindah haluan.”
Geertje? Aku ternganga, siap protes. namun Sersan Zwart terlalu sibuk menarik pintu besar yang terletak di tanah, dekat gudang. Sebuah bunker. Luput dari perhatianku saat mengunjungi Geertje tempo hari. Kuikuti Sersan menuruni tangga.
Tak ada yang aneh. Warga Belanda yang sejahtera biasanya memiliki ruangan semacam ini. Tempat berlindung saat terjadi serangan udara di awal perang kemarin. Sebuah ruangan lembab, kira-kira empat meter persegi. Ada meja panjang, kursi, serta lemari usang berisi peralatan makan dan tumpukan kertas. Benar, kertas itu berisi propaganda anti NICA.
Sersan Zwart membuka kain selubung sebuah obyek di balik lemari. Pemancar radio!
“Warisan Jepang,” kata Sersan.
Aku membisu. Sulit mempercayai ini semua. Tetapi yang membuat tubuhku membeku sesungguhnya adalah pemandangan di dinding sebelah kiri. Pada dinding lapuk itu, tergantung satu set wastafel lengkap dengan cermin. Di atas permukaan cermin, tampak sederetan tulisan. Digores bergegas, menggunakan pemerah bibir: ‘Selamat tinggal Hindia Belanda. Selamat datang Repoeblik Indonesia’.
Aku membayangkan Geertje dan lesung pipinya, duduk di tengah hamparan sawah, bernyanyi bersama orang-orang yang ia cintai: “Ini tanahku. Ini rumahku. Apa pun yang ada di ujung nasib, aku tetap tinggal di sini.”
Sejak awal Geertje tahu, di mana harus berpijak. Perlahan-lahan kuhapus kata ‘pengkhianat’ yang tadi sempat hinggap di benak. (*)
Jakarta, 12 Oktober 2012
Cerpen Hammidun Nafi’ Syifauddin (Kompas, 4 November 2012)
DI belakang rumah itu, Emak selalu bercerita. Di bawah pohon mangga yang dulu pernah berjaya. Berbuah luar biasa banyaknya dengan ukuran yang membuat bibir sedikit menganga sambil mengecapkan lidah dan menelan ludah.
Sepanjang musim mangga tiba, anak-anak tetangga selalu bergembira. Mereka akan makan mangga. Begitu yang Eyang lakukan waktu Emakku masih kecil—membagi-bagikan mangga yang sudah masak.
Tak satu pun buah mangga yang kata orang-orang laku mahal itu membuat Eyang terbujuk untuk menjualnya kepada tengkulak. Tak sedikit pula tengkulak menawarkan banyak uang tapi oleh Eyang hanya dikasih dua buah lalu uangnya dikembalikan.
Kalau pagi datang para tetangga silih berganti menyirami pohon mangga dengan air bekas cucian ikan. Biar buahnya tambah manis, katanya. Bahkan sampai sekarang, saat Emak sudah hampir seusia Eyang dulu, para tetangga masih setia menyirami pohon mangga. Kau kenapa tak mau berbuah lagi, katanya.
Dahan paling besar itu sudah lama merunduk. Abangmu kalau marah pasti sembunyi di pohon mangga itu, kata Emak. Itu waktu abangku masih kecil. Tapi sampai aku sudah tak memakai seragam putih abu-abu belum juga kulihat bagaimana rupa abangku itu. Sejak kecil yang kutahu hanya aku punya abang bernama Badrun. Itu saja.
Abangmu si Badrun entah sudah setua apa sekarang, Emak selalu menghembuskan napas panjang kalau memikirkan itu. Kalau keluar kota lalu bertemu seseorang bernama Badrun aku selalu berharap dialah Badrun anak Emak. Oh, saya Ahmad Badrun anak si Suta. Oh, saya Dul Badrun anak si Naya. Tak satu pun nama Emak mereka sama dengan Emakku.
Pohon mangga tak lagi berbuah. Badrun abangku tak pernah pulang. Kasihan Emak dan para tetangga. Emak habis-habisan memikirkan Badrun. Kalau soal pohon mangga ini, biar kami yang mengurus, begitu yang ditawarkan para tetangga.
Kata Emak, Badrun pandai memilih mangga yang masaknya paling sempurna. Dia kalau marah suka sembunyi di pohon, bagaimana bisa tidak hafal. Kalau dia sembunyi sambil nangis, kata Emak matanya jelalatan melihat mana mangga paling masak. Memang dia marah, tapi kalau turun dari pohon, ada empat sampai lima mangga masak dibawanya. Kata Emak, mangga yang diambil Badrun benar-benar manis.
Dia itu sebenarnya anak baik, tak pernah dia pulang sekolah membawa rapor merah. Bapak dan ibu guru selalu mengacungkan jempol untuknya. Cuma sayang, saat dia lulus SMP bapak meninggal. Lalu dia pergi kerja. Dua bulan setelahnya barulah aku lahir.
Tak ada Badrun, tak ada buah mangga. Mereka tinggallah cerita. Pohon mangga itu adalah peninggalan Eyang. Ditanam tepat ketika Emak lahir. Dan sekarang, pohon itu sakit.
***
Kursi panjang berbahan bambu wuluh bikinan bapak itu sudah tak lagi kokoh. Kalau aku rewel waktu kecil dulu, Emak sering menyanyi dan mendudukkanku di kursi bambu itu. Sama, abangmu kalau rewel begitu juga Emak nyanyikan, kata Emak.
***
Ada banyak orang di rumah. Sebagian di sekitar pohon mangga. Mereka duduk di kursi bikinan ayah itu. Dan yang di dalam rumah sebagian membacakan Surat Yasin, sebagian lagi mondar-mandir di depan jendela.
Mata Emak makin mendekati terpejam. Tapi aku tahu dia itu melihatku. Aku masih memikirkan Badrun. Kasihan Emak. Aku keluar sebentar melihat pohon mangga. Lalu masuk lagi menuju Emak.
“Bagaimana kalau Emak kita pindahkan ke bawah pohon mangga,” kataku.
“Jangan! biar di sini saja,” Kang Sarta melarang.
Tangan Emak melambai-lambai. Matanya terus menatapku. Semua orang memperhatikan. Emak sudah tak mampu bersuara. Hanya tinggal jemarinya menuding-nuding pohon mangga.
“Baiklah, kita pindah saja ke sana,” Kang Sarta memutuskan cepat.
Di bawah pohon mangga Emak dibaringkan. Sudahlah Mak, jangan terlalu banyak berpikir. Ini pohon mangga sudah banyak yang mengurus. Para tetangga makin rajin menyiramkan air cucian ikan.
Mata Emak menatap dahan yang merunduk. Di situ Badrun dulu sering bersembunyi. Kang Sarta ikut memandangi dahan itu. Kang Sarta juga tahu kalau Badrun suka bersembunyi di sana.
Aku memanggil Kang Sarta. Soal Badrun, aku akan mengarang cerita buat Emak. Mungkin Emak bisa sedikit lega. Kang Sarta tak mau ikut campur soal itu.
Aku mendekati Emak. Tangan Emak melambai-lambai dan mengelus jemariku. Mengenai kepergianku memenuhi undangan Kang Martin kemarin, ada sedikit kabar tentang Badrun. Kang Martin yang juga sudah lama tak pulang rupanya tahu keberadaan Badrun.
“Kang Badrun baik-baik saja Mak. Kemarin dia titip uang buat Emak. Dia akan pulang, tapi sebelumnya Emak harus sembuh. Pokoknya, kalau Emak sembuh, aku langsung menemui abang. Ingat Mak, harus sembuh dulu.”
Emak menggeleng. Kang Sarta agak ragu. Dia menarikku.
“Bagaimana kalau Emak benar-benar sembuh? Akan kau cari di mana si Badrun?”
“Belum tahu Kang, yang penting Emak sehat dulu.”
“Terus, kalau sudah sehat?”
***
Aku merasa dosaku sangat banyak. Bohong kepada Emak soal Badrun. Hanya Emak yang tidak tahu. Di bawah tempatnya berbaring itu adalah kuburan Badrun. Kemarin waktu Emak tak bisa bangun, aku pergi ke tempat yang ditunjukkan Kang Martin. Di sana memang tempat abangku bekerja. Tapi rupanya di sana pula tempat abang mengembuskan napas terakhir.
Kebetulan saat itu Emak sakit tak bisa bangun selama beberapa hari. Para tetangga sudah sepakat untuk merahasiakan itu. Yang Emak tahu, para tetangga membaca Yasin untuk Emak. Padahal bukan. Yasin itu untuk Badrun.
“Abangku sakit apa, Kang?” tanyaku kepada Kang Martin.
“Wah, aku tak tahu, dia sudah terbaring tiga hari di kamar.”
Ah, makin pusing memikirkan itu. Yang penting sekarang abang sudah dimakamkan. Sekarang atau besok pun dia juga akan meninggal. Tapi satu yang masih aku sayangkan. Emak. Hanya Emak. Kasihan Emak.
Apa lagi di bawah pohon mangga itu mata Emak terus berkaca. Kang Sarta menunjukkan wajah prihatin.
“Druuun,” kata Emak lirih.
“Druuuuun….”
“Badrun belum pulang Mak, Emak sembuh saja dulu.”
“Turun Druuuun turun….”
Para tetangga ikut menatap apa yang ditatap Emak.
“Badrun tidak di situ Mak,” Kang Sarta meyakinkan.
“Druuun, turun Drun, turuun.”
“Mak, Badrun pulang besok Mak, Emak sembuh saja dulu.”
Emak terus memanggil-manggil Badrun. Terus memanggil. Lirih, makin lirih, terus lirih dan lirih. (*)
Cerpen Lina Chan (Republika, 4 November 2012)
USIAKU telah lanjut, 80 tahun kira-kira. Mungkin lebih. Aku tidak ingat betul tepatnya. Yang aku tahu, ketika melihat bayanganku di cermin, baru aku sadari betapa rapuhnya aku! Tubuh peyot, rambut tipis beruban, wajah keriput, kantong mata tebal, dan deretan gigi yang tinggal menyisakan separuhnya karena ompong dan keropos.
Kata orang, aku sudah mulai pikun. Aku sudah mulai ngelantur. Ngomong panjang lebar gak nyambung. Kadang ngomong sendiri, ketawa sendiri, dan katanya, aku sering menjerit-jerit tidak jelas, kemudian menangis sendiri. Tapi, aku tak merasa seperti itu. Seingatku, aku cuma sering bersenandung dan tanpa sadar telah bercucuran air mata.
Aku bukan nenek tua yang pikun. Aku cuma pelupa. Kadang aku lupa membedakan api dan air, kadang aku lupa membedakan nasi dan pasir, kadang aku lupa membedakan pagi dan malam. Sampai-sampai aku lupa namaku sendiri. Mungkin Aisyah, aih bukan! Namaku tak sebagus itu. Mungkin Fatimah… hmm bukan juga. Mungkin Shalihah, mungkin Halimah… bukan, bukan! Aku memang benar-benar pelupa. Aih, biar kunamai diriku sendiri. Ehm, bagaimana kalau Krisdayanti? Nama yang sangat bagus, seperti penyanyi terkenal yang menyanyikan lagu “Menghitung Hari”. Lha kok?! Mengapa hal seperti itu malah aku ingat?
Tapi, biar aku tegaskan sekali lagi, aku tidak pikun! Nyatanya aku bisa bercerita seperti ini. Dan, eh, barusan aku ngomong apa?!
***
Walaupun aku pelupa, aku suka bercerita. Aku bisa bercerita apa saja, mengingat-ingat hal-hal yang menarik yang bisa diingat, khususnya bercerita tentang aku dan untuk diriku sendiri. Seperti hari ini.
Rumahku tampak ramai sekali. Banyak anak kecil di sini. Tetangga sebelah menyebut mereka sebagai “cucu-cucuku yang manis”. Para tetangga senang sekali melihat tingkah anak-anak itu. Aku juga begitu. Mereka anak-anak yang lucu dan menggemaskan. Sayang, aku hanya sesekali ingat, tapi terlalu sering lupa. Saat aku bisa mengingat mereka sebagai cucuku, aku kadang lupa nama mereka dan kapan mereka dilahirkan.
Ah, aku memang pelupa. Yang aku tahu, anak-anak yang mungkin cucuku ini jumlahnya banyak sekali. Mereka berlari ke sana ke mari, bercanda ria, berteriak-teriak, bermain apa saja. Sungguh pemandangan yang sangat memusingkan. Tapi, di sisi lain aku senang mereka di sini. Banyak tawa yang terpancar.
Tapi, ngomong-ngomong, perutku keroncongan. Entah dari semalam atau dari kemarin aku belum makan. Aku lupa. Yang pasti, aku sudah sangat kesakitan. Apalagi, Chiko—salah satu cucuku yang entah nomor berapa—dengan santainya duduk di hadapanku sambil makan nasi goreng. Ah…. Aku ngiler dibuatnya.
Arghhhhh, aku sudah tidak tahan. Zaenab lama sekali mengantarkan makanan kepadaku. Tapi, aku harus sabar menunggunya. Mungkin dia masih sibuk mengurus anak-anaknya, pikirku. Maklum, dia anakku satu-satunya. Dia satu-satunya yang mengurusku, suaminya, dan anak-anaknya yang seabrek.
***
Entah sudah berapa lama aku menunggu Zaenab. Coba aku ingat-ingat, rasanya sudah berjam-jam aku di kursi goyang ini. Sudah beberapa film kartun kesukaan cucu-cucuku yang kutonton. Sudah beberapa tayangan infotainment juga yang kusimak dengan antusias. Selebihnya, aku tak ingat, mungkin aku tertidur. Aku baru terbangun setelah ada bunyi “jreng-jreng-jreng” yang mengentak dari sinetron kesukaanku. Aku ingat, berarti sekarang sudah pukul 07.00 malam. Astaga, aku belum makan.
Zaenab rupanya lupa memberiku makan hari ini. Jika kupikir-pikir, ini bukan kali pertama dia lupa. Dua hari yang lalu, tiga hari yang lalu, dan seminggu yang lalu pun dia begitu. Begitu terus beberapa bulan ini. Apa mungkin Zaenab ketularan virus “lupa” atau “pikun”?
Aku lapar. Aku tidak bisa tinggal diam seperti kemarin-kemarin. Kemarin, aku cuma bisa meringis, menangis pelan, sambil ngomel-ngomel gak jelas, lalu berteriak-teriak. Tapi, jika tangisanku diabaikan, aku hanya bisa diam sambil menerawang, lalu mulai menyanyi lirih.
Sekarang, aku harus paksakan tubuhku untuk mengambil makanan sendiri. Aku tak boleh cengeng dan manja. Dengan berat, aku angkat tubuhku, lalu berjalan tertatih-tatih menyusuri dapur.
Berkali-kali aku nyasar ke kamar mandi, dua kali ke kamar tidur cucu-cucuku, lalu akhirnya setelah tiga kali bolak-balik ruang TV, aku baru bisa menemukan dapur! Jangan ditanya mengapa? Jawabannya sudah pasti karena aku pelupa!
Rasanya penuh perjuangan untuk mendapatkan makanan. Rasa capek yang tak terkira tak kurasakan betul. Yang kupikirkan adalah bagaimana caranya membuat perutku merasa kenyang. Lalu, seperti orang yang kesurupan, aku membabi buta. Kubuka tutup saji di meja makan. Untungnya makanan yang ada masih banyak. Kuambil beberapa potong daging, kumakan dengan lahapnya. Agak lama memang. Maklum, gigiku tinggal bersisa beberapa. Dua buah tahu goreng kulahap juga. Sayur asem yang ada di mangkuk besar pun tak lupa kuminum langsung dari mangkuknya. Aku makan lahap sekali.
Aku belum bisa berhenti makan sampai akhirnya piring yang kupegang terlepas. Prangggggg!!! Piring yang kupegang terjatuh dan pecah. Memecahkan keheningan malam.
Beberapa detik kemudian, terdengar derap langkah menuju dapur. Rupanya, Zaenab terbangun. Tak lama kemudian, dia menemukan aku terduduk di kursi dapur dengan tangan memegangi potongan ayam yang berhasil kuselamatkan. Lalu, dia melihat sekeliling meja makan yang berantakan. Pecahan piring berserakan di mana-mana dan sisa-sisa kotoran makanan berhamburan di meja dan di lantai. Pandangan mata Zaenab beralih padaku. Ia memelototiku. Geram.
“Mak, Mak…. Kapan hidupku tenang, Mak?!!” Zaenab berteriak marah.
Aku hanya bisa diam sambil memegangi perutku yang keras karena kekenyangan. Lalu, aku bersuara pelan, “Emak lapar, belum makan dari pagi.”
“Mak sudah makan tadi pagi! Mak lupa? Kenapa Mak belum merasa kenyang juga, Mak?” Zaenab menggeram kesal. “Tadi pagi Mak sudah makan nasi goreng, siangnya Mak sudah makan nasi dan soto ayam, sorenya Mak juga sudah makan. Sekarang makan lagi? Terus bikin onar di dapur! Duh, Gustiiiiii….” Panjang Zaenab menggerutu.
Aku pura-pura mengerti sambil mengangguk-angguk, persis seperti anak dimarahi ibunya. Aku biarkan dia mengoceh sendiri, sementara pikiranku melayang, bingung, bertanya-tanya dalam hati, kapan aku makan? Sudah banyakkah? Kok masih lapar?
Zaenab yang sudah mulai ‘membaik’ akhirnya berhenti mengomel. Lalu, dia membersihkan ruangan tanpa memedulikanku.
Aih, aku tampaknya harus membantu Zaenab. Dia pasti sudah sangat ngantuk. Aku pun mencoba sebisa mungkin untuk membersihkan kotoran-kotoran yang ada di sekitar meja makan. Tapi, tunggu, perutku sakit sekali. Rasanya melilit. Mulas. Perutku rupanya mulai berkontraksi setelah aku makan banyak tadi. Aku harus segera ke toilet.
Dengan susah payah aku mencapai toilet yang ada di samping dapur. Jaraknya sangat dekat. Aku tidak perlu melewati Zaenab di depanku yang sedang fokus membersihkan dapur, cukup berjalan menyamping, di sudut kanan dapur. Tapi, perasaan mulas, sakit, dan lemas membuatku lama bergerak. Aku paksakan kakiku untuk berjalan secepat mungkin. Secepat yang kubisa untuk ukuran nenek-nenek. Tapi, aku tak kuat. Perutku serasa membuncah. Astagaaaaa… aku benar-benar tidak sanggup lagi. Di tengah jalan, berhamburanlah cairan kotoran-kotoran manusia berumur 80 tahun.
Zaenab pasti akan sangat marah. Dan, secepat yang kubisa, aku paksakan untuk bisa menuju toilet. Aku berharap masih ada waktu untuk bisa membersihkan kotoran-kotoran yang berceceran di lantai sebelum Zaenab melihatnya.
Aku berhasil masuk toilet, membersihkan badanku yang bau oleh kotoranku sendiri. Setelah itu, aku mengambil satu gayung air untuk membersihkan lantai. Aku bergegas. Terseok-seok aku berjalan, hingga akhirnya aku tersungkur. Air berhamburan dari gayung. Secepat kilat aku berdiri, mencoba membersihkan lantai dengan air yang tersisa. Tapi, Zaenab sudah berdiri di hadapanku dengan berkacak pinggang. Matanya menyala sangar. Kali ini tidak ada ampun.
Dia menghampiriku, mencengkeram kuat-kuat tanganku, lalu menarikku dengan paksa menuju kamar. Aku diempaskannya di ranjang. Badanku terguncang, sakit sekali. Aku meringis. Tapi, Zenab tidak mau peduli.
Dia beranjak meninggalkanku sebentar dan tak berapa lama kemudian, sapu lidi yang sudah ada digenggamannya dicambukkan ke badanku sekuat tenaga. Aku bisa melihat kemarahan yang sangat dari Zaenab. Satu kali cambuk aku merasa sakit, dua kali aku meringis, tiga kali aku menangis, empat kali aku menjerit, lima kali aku terdiam, tak ada rasa sakit. Lalu, setelah itu hening yang kurasa. Zaenab sudah selesai dengan kemarahannya dan pergi meninggalkanku.
Seketika, aku ingin menangis. Tapi, tak bisa. Aku cuma bisa merasakan ngilu yang sangat. Aku merasa menjadi manusia yang paling menyedihkan. Apalagi, di umurku yang sudah mencapai 80-an tahun, anakku—yang kuharap mengurusiku dengan baik—selalu membuat hatiku sakit.
Ini bukan pertama kalinya Zaenab memperlakukanku dengan kasar. Sejauh yang kuingat, dia juga pernah mengguyurku secara paksa ketika aku sudah seminggu tidak mau mandi. Dia juga pernah memukul aku dengan tongkat kayu ketika aku tak sengaja menjatuhkan vas bunga kesayangannya. Dia juga tak segan-segan menendangku jika aku benar-benar membuatnya capek. Jika aku kedapatan menangis karena sakit, dia tidak mau ambil pusing. Dia tinggalkan aku sendiri.
Tapi, aku benar-benar tidak bisa menangis sekarang. Entah karena air mataku sudah habis atau karena aku lupa bagaimana caranya menangis. Yang kutahu, suara tangisku tak merdu didengar, jadi percuma saja jika aku menangis, tak akan ada yang peduli. Aku bukan anak kecil, melainkan nenek-nenek. Suara tangisku tak akan semerdu anak-anak. Mungkin jika aku seperti cucu-cucuku, aku akan lebih diperhatikan. Senakal-nakalnya mereka, mereka adalah anak kecil. Wajar saja. Toh anak kecil. Sedangkan aku?
Aku adalah anak kecil yang terperangkap di dalam tubuh manusia yang tua. Pikiranku lebih mirip anak kecil yang tak tahu apa-apa dan cenderung nakal. Aku suka berbuat hal-hal yang tidak diinginkan, seperti memecahkan barang pecah belah, mengotori ruangan, membuat kegaduhan, dan lain-lain. Itu lantaran aku menjadi pelupa dan lambat bergerak. Tapi, mengapa Zaenab tidak pernah bisa mengerti perubahanku selama ini? Aku tidak lagi seperti manusia dewasa “normal” lainnya. Aku lebih lemah dari seorang anak kecil sekalipun.
Jika saja aku seperti 60 tahun yang lalu. Saat aku melahirkan Zaenab, aku masih sangat kuat. Badanku dulu masih sangat segar, tidak keriput seperti sekarang. Ketika itu, Zaenab kecil masih senang memanggil, “Mak, Mak, aku sayang Mak.” Saat itu, aku sangat terharu mendengarnya.
Lalu, ada apa dengan Zaenab dewasa? Mengapa sudah tak terucap kata sayang seperti dulu?
Apakah karena aku selalu membuatnya repot, membuatnya harus membersihkan dapur berulang kali, terpaksa membuatnya membeli perabotan pecah belah berlusin-lusin, meladeni aku ketika aku harus mandi dan makan, dan banyak lagi “kerepotan-kerepotan” lainnya? Tapi, tidakkah itu wajar? Aku juga pernah melakukan hal yang sama untuknya. Aku yang waktu itu mengidap penyakit jantung didiagnosis dokter terlalu lemah untuk hamil, bahkan untuk melahirkan seorang anak. Namun, dengan doa dan keyakinanku, aku berjuang mati-matian untuk melahirkan Zaenab. Dan, keajaiban terjadi, Zaenab kecil lahir dengan selamat.
Zaenab tumbuh menjadi gadis yang manis. Tapi, seperti anak-anak yang lain, dia juga melakukan kenakalan-kenakalan khas anak-anak. Dia pernah mengompol di kasur sampai kelas satu SMP, dia juga pernah buang air besar di celana, mengotori ruang tamu dengan jejak kakinya yang penuh lumpur ketika ia secara tak sengaja terperosok ke jalanan yang penuh lumpur, pernah memecahkan lukisan sekolah, pernah diskors karena sering bolos sekolah, dan kenakalan-kenakalan lainnya. Selama itu, aku tak pernah marah berlebihan kepadanya. Aku menasihatinya dengan perkataan lembut. Dan, suatu saat aku berharap dia akan melakukan hal yang sama kepada orang yang dikasihinya, terutama aku, ibunya yang mengasuhnya dari kecil.
***
“Ibu Maryam, kok melamun?” terdengar suara lembut dari seorang wanita muda di hadapanku. “Ini makanannya dimakan ya…. Ayo, saya suapi.” Wanita muda itu lantas mengambilkan sesendok nasi, siap disuapkan ke mulutku. Aku menurut saja.
“Nah, begitu, makannya yang semangat dong…. Tapi, jangan banyak-banyak ya. Ibu kan mengidap diabetes, jadi porsi makannya harus teratur dan jangan kebanyakan. Harus kuat ya, Bu….” Wanita itu berkata lembut sekali. Aku menjadi trenyuh.
Sepanjang hari aku selalu dimanjakan olehnya. Sesekali ia memberikanku makanan ringan, menyetelkan film kesukaanku, dan mengambilkan apa pun yang aku mau. Aku bahagia di sini. Namun, sayang, aku nenek tua yang hidup sendiri, suami sudah tiada, dan wanita di hadapanku itu ternyata bukanlah Zaenab ataupun cucu-cucu kecilku. (*)
Penulis lahir di Kuningan, Jawa Barat, pada 20 Agustus 1987. Ia telah aktif menulis ketika kuliah di jurusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran, Bandung. Dia senang menulis cerpen sejak kecil. Saat ini, ia bekerja sebagai editor bahasa di harian umum Republika.
Cerpen Surahmat (Suara Merdeka, 4 November 2012
DI atas kapal, hanya wajah papanya yang Kinan ingat. Laki-laki itu terasa begitu dekat sekaligus begitu jauh. Kesalahan besar telah Kinan lakukan pada papanya tiga tahun silam. Kesalahan yang bahkan tak tertebus dengan perjalanan seminggu Tanjung Emas-Biak.
Tiga tahun lalu Kinan menerima panggilan dari Dinas Pendidikan Biak Numfor. Aplikasi beasiswanya untuk belajar di universitas keguruan di Semarang diterima. Kesempatan mengenyam pendidikan berkualitas terbuka. Sejak dulu di daerahnya sudah beredar kabar, kampus di Jawa bagus-bagus. Bahkan jauh lebih bagus dari kampus terbagus di Papua: Universitas Cendrawasih.
“Mama, Kinan bisa belajar di Jawa sekarang,” kata Kinan sepulang dari kota. Mamanya mendekat sambil menggendong si bungsu yang berumur empat tahun.
Kinan dan mamanya paham, tantangan terbesarnya akan datang dari Papa Wayeni. Memperoleh izin dari papanya, jauh lebih berat dari memenangi persaingan dengan pelamar beasiswa lain. Mamanya paham kondisi itu.
“Biar nanti Mama bantu bilang sama Papa Wayeni,” jawab mamanya.
Sabtu malam, Desa Sapuyone tenggelam oleh pesta. Semua orang bergembira. Daging, minuman, dan ubi-ubian tersaji bersama sopi, minuman keras khas Papua. Kinan berpikir, inilah saat yang tepat meminta restu pada papanya, Papa Wayeni.
Kinan merasa kikuk harus berterus terang. Di mata Kinan, Papa Wayeni lelaki yang amat terhormat. Dia menghormati Papa Wayeni, setidak-tidaknya sama dengan rasa hormat yang ditunjukkan warga desa. Lebih dari itu, Kinan sebenarnya tak ingin membuat papanya terluka. Berpisah dengan anak gadis satu-satunya selama empat tahun, bakal menyakitkan.
Oleh warga, Papa Wayeni diangkat menjadi pemimpin. Itu karena kejadian yang tidak disengaja. Dua truk tentara, pada sebuah pagi yang tak terduga, datang mengacak-acak desa. Mereka menodongkan laras panjang meski tak satu pun memuntahkan pelurunya. Berteriak-teriak mereka menyebut “pemberontak” berulang-ulang.
Papa Wayeni datang menghampiri komandan.
“Tak ada pemberontak di sini. Kalian pergilah dari desa kami,” katanya.
Tentara tak langsung percaya. Dua tentara masuk menggeledah rumah Kinan. Dan celaka, mereka menemukan bendera bintang kejora. Itu bukti yang cukup buat para tentara. Seperti telah terencana, mereka membawa Papa Wayeni pergi. Dia kembali keesokan hari. Papa Wayeni tak bisa berjalan. Kedua kakinya ditembak.
Itu kejadian lima tahun silam. Kinan masih SMP.
“Papa sudah tak sakit, kan?” tanya Kinan sangat pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh sorai warga yang berpesta.
Papa Wayeni memegang lengan Kinan, membimbingnya duduk di sebuah bongkah batu, persis di depannya.
“Seberapa pun sakit. Kalau ada Kinan, jadi hilang semua….”
Kinan menatap wajah papanya dengan tajam. Ia coba menguatkan diri untuk meminta restu pergi ke Jawa. Tapi rasa takut berlebih membuat lidahnya kaku. Ia khawatir papanya marah-marah. Lebih-lebih Kinan izin pergi ke Jawa.
Jawa, bagi Papa Wayeni, sudah kelewat jeleknya. Jawa itu jahat. Orang-orang Jawa jahat. Dari Jawalah tentara dikirim ke Papua. Orang-orang Jawa datang mendirikan toko di sepanjang jalan. Mereka membikin desa sendiri, dengan gedung berlantai dua, jauh dari desa.
“Tidak semua orang Jawa begitu,” jawab mama Kinan, tiap kali Papa Wayeni mengumpati orang Jawa. Mama Kinan bernama Inayah, perempuan asal Tulungagung. Karena itulah ia memberi nama anak gadisnya Kinan, nama yang lebih sering digunakan di Jawa
“Ya, kecuali kau,” jawab Papa Wayeni.
Papa dan mama Kinan dipertemukan oleh jodoh. Tahun 1970-an terjadi gelombang transmigrasi. Kedua orang tua mama Kinan termasuk salah satunya. Mereka datang ke Biak dengan belasan keluarga lain. Tanpa persiapan panjang, mereka menggarap lahan liar. Setelah panen perdana baru mereka membangun rumah gedung dengan teras agak lebar.
***
AYAH mama Kinan, sebutlah kakek Kinan, tak mau kembali ke Jawa. Betapa pun ia sebenarnya merindukan kampungnya di Tulungagung, dia bersumpah tak akan pulang. Dia kelewat trauma dengan teror-teror yang bertahun-tahun dia terima.
Teror bermula pada akhir tahun 1960-an. Seorang laki-laki menaruh karung berisi kepala manusia di pojok halaman. Hari berikutnya, seluruh sapinya disembelih. Pelaku memisahkan kepala dengan badan dan meninggalkannya begitu saja. Puncaknya terjadi pada malam hari. Puluhan orang membawa celurit menyerbu rumah. Mereka membawa kakek Kinan dengan truk besar. Pagi hari kakek Kinan pulang dengan badan menggigil. Sabetan celurit membekas di punggung.
Kakek Kinan sadar aktivitas politiknya yang membuat dirinya menerima teror. Demi keselamatan keluarga, ia memilih pergi jauh. Pilihan jatuh ke Biak, tempat yang bahkan harus ditempuh sehari dari Manokwari.
Kakek Kinan meninggal ketika Kinan belum lahir. Ia dikebumikan di sebuah pemakaman umum lintas agama. Dua tahun kemudian, mama Kinan menikah dengan papa Wayeni, pemuda desa perantau dari Manokwari.
“Papamu jarang mandi, tapi dia baik sama Mama,” kata Mama Kinan pada malam-malam di mana Kinan sulit tidur.
“Waktu kamu masih dalam kandungan, Mama ngidam madu. Tapi papamu tak pintar cari madu. Badannya kelewat besar untuk naik pohon. Akhirnya dia ajak semua kawan-kawannya ke hutan. Mereka tak pulang seharian. Jelang petang papamu datang membawa satu ember madu. Badannya bengkak di sana-sini disengat lebah.”
“Mama sayang Papa Wayeni?” pertanyaan Kinan terjawab oleh helaan napas panjang. Mama Kinan seperti coba merenungkan sesuatu.
“Iya, Kinan. Kecuali saat dia menghardik orang Jawa.”
“Kenapa Papa benci orang Jawa?”
Mama Kinan, untuk kedua kalinya, menarik napas panjang. Ia memandangi Kinan, berpikir apakah tepat anak remaja seusia Kinan diajak bicara soal politik.
“Kakekmu dari Papa Wayeni juga punya nasib yang sama dengan kakek dari Mama. Mereka punya gagasan menjadikan negeri ini lebih baik. Tapi orang lain tak suka dengan gagasan mereka.”
Saat itu Kinan tak mengerti maksud mamanya. Kemudian hari ia mencari tahu sendiri, apa yang dilakukan kakeknya dari Papa Wayeni.
Dulu, tak terang tahunnya, kakek Kinan dari Papa Wayeni tinggal di Manokwari. Bersama ratusan orang lain ia bergerilya. Citanya-citanya membikin Tanah Papua merdeka. Dalam bahasa lain, mereka tak ingin kekayaan Tanah Papua disedot, dibawa entah ke mana.
Kakek Kinan menjadi tentara organisasi. Dia yakin kebebasan Papua adalah jalan paling baik. Sekalipun tak menjanjikan kesejahteraan, pembebasan bisa menghindarkan mereka dari sakit hati. Sakit hati lantaran mereka jadi kuli di kampung sendiri.
Ada pertempuran sore hari di Arfai. Kakek Kinan mengadang rombongan tentara. Seperti pengadangan lain, mereka tak menghitung jumlah lawan. Penyerangan dilakukan secara sporadis. Kakek Kinan tewas. Sudah jadi kebiasaan, keluarga hanya dikirimi bendera sebagai pembawa kabar duka. Itulah bintang kejora yang disimpan Papa Wayeni sebagai kenangan.
Tentara agaknya punya dendam. Mereka memburu keluarga kakek Kinan, bahkan jauh hingga ke Biak. Itulah kenapa dua truk tentara menyergap desa beberapa tahun lalu. Mereka membawa Papa Wayeni dan melumpuhkan kedua kakinya.
***
SORAK-SORAI masih terdengar dari kerumunan pria yang berpesta. Kinan menatap wajah papanya dengan tajam.
“Papa, Kinan ingin belajar ke Jawa. Kinan baru dapat beasiswa kuliah di sana. Empat tahun.”
Papa Wayeni menaruh gelas berisi sopi. Seperti dugaan Kinan, Papa Wayeni marah.
“Kinan ingin tinggalkan Papa? Mau cari apa di sana? Kau ingin belajar dari orang-orang jahat itu? Tak puas kau hidup sama Papa, sama Mama?”
Kinan tertunduk. Itu pilihan terbaik.
“Sudahlah. Orang-orang Jawa sudah meracuni kau. Mereka ingin merebut kau dari kami. Mereka tahu kau pintar. Mereka tak ingin kau membangun Papua.”
Papa Wayeni berusaha berdiri. Tapi kedua kakinya sudah lama mati.
“Kau tahu, siapa yang bikin Papa begini? Kau tahu siapa yang membunuh kakek kau? Kinan, kau tidak bakal dapat apa-apa di sana. Belajarlah di sini, belajar bersama orang-orang Papua.”
Kinan masih tertunduk.
“Mereka sudah minta terlalu banyak dari Papua. Jangan kau pergi juga.”
***
DI balik jendela asrama Kinan memandangi langit. Praktik microteaching membuatnya pulang lebih sore. Teman-teman Kinan sesama mahasiswa Papua menggedor pintu.
“Kau sudah baca ini?” Mereka menunjukan layar ponsel. Kinan bergegas.
“Mereka membawa Papa lagi, Kinan. Mama tidak tahu harus bagaimana.” (*)
Banjarnegara, 1 Oktober 2012
Surahmat, penulis kelahiran Banjarnegara 1988. Bergiat pada komunitas Nawaksara. Menulis esai pendidikan dan kebudayaan di berbagai surat kabar. Novelnya berjudul Bonang terbit tahun 2009 oleh Cipta Prima Nusantara.
Cerpen Rilda A.Oe. Taneko (Koran Tempo, 4 November 2012)
1.
BERAWAL satu. Tahun berlalu. Tak ada orang yang serupa dengan dirinya. Ia tinggal di sebuah kampung, di ceruk bukit-bukit cemara. Tak jauh dari drielandenpunt, titik perbatasan tiga negara: Belanda, Jerman dan Belgia. Penduduk kampung itu berambut pirang, atau kecokelatan, atau kemerahan, atau beruban, berkulit putih, berhidung mancung dan bertubuh lebih tinggi darinya.
Dari puncak bukit cemara, kampungnya terlihat berbentuk bintang, bersudut-sudut dan menjorok pada lembah-lembah bukit, yang dikelilingi oleh perkebunan apel. Rumah-rumahnya terlihat asri, bungalow atau kopel bertingkat dua, bercat putih, berpagar batu, pekarangan rumput hijau yang rapi, lalu balkon yang ditanami bunga musim semi berwarna-warni. Di tengah kampung, menara gereja menjulang tinggi. Setiap satu jam, lonceng gereja berdentang.
Ia kerap berjalan-jalan di bukit cemara. Di dekat sungai kecil, yang mengalir dan meliuk tenang, tempat kuda poni dan sapi hitam-putih biasa minum, terdapat hutan, Eys Boos namanya.
Ia senang pergi ke Eys Boos. Di tiap musim gugur, ia memunguti kastanye yang berserak di sela tumpukan dedaunan. Kastanye itu berduri. Ia injak-injak buah kastanye itu hingga cangkangnya terkelupas dan bijinya, yang cokelat tua berkilat, terlepas. Biji-biji itu ia kumpulkan dan bawa pulang.
Sore hari ia akan merebus atau memanggang biji-biji kastanye itu untuk suaminya, Ad. Ad suka kastanye. Bagi ia sendiri, kastanye itu membosankan, rasanya sama dengan biji nangka. Dan ia sudah bosan memakan biji nangka.
Selain kastanye, Ad suka makanan Indonesia. Apa saja. Ikan bakar, pempek dan tekwan. Nasi goreng, apalagi. Setiap kali membantunya memasak nasi goreng, Ad bernyanyi gembira:
Geef mij maar nasi goreng
met een gebakken ei,
wat sambal en wat kroepoek
en een goed glas tee erbij….
Ad sengaja mengubah kata ‘bier’ menjadi ‘tee’. Ad tidak pernah dan tidak suka minum bir. Ia lebih memilih teh, terutama Teh Sosro rasa melati.
DUA generasi keluarga Ad tinggal di Indonesia. Di sebuah pulau kecil di selatan Pulau Sumatera, tepatnya. Opa, oma, dan papanya bahagia tinggal di pulau itu. Ad sendiri tak pernah berkesempatan untuk menetap. Namun demi kisah lalu, makanan dan juga lukisan-lukisan yang memenuhi masa kecil dan dinding-dinding rumahnya, Ad bertekad untuk datang ke pulau itu. Dan, ketika ia berumur dua puluh dua, impiannya tercapai.
Ad tiba di pulau itu sebagai turis. Ia menapaki jalan-jalan yang pernah dijejaki keluarganya. Menjenguk rumah yang dulu dihuni opa dan omanya. Rumah tempat papanya dilahirkan dan dibesarkan. Dan dikarenakan luapan kenangan, rasa haru dan kebahagiaan, melihat rumah tua yang dihuni angin itu, Ad menangis.
Tanpa sengaja, seorang perempuan menyaksikan tangisnya. Perempuan berkulit gelap, bertubuh kurus dan berambut masai. Perempuan itu mengenakan kaus lengan pendek biru pudar, celana jins pendek yang sobek ujungnya dan sepasang sandal jepit butut. Ia memegang pancingan dan sebuah ember kaleng rombeng. Mata mereka beradu pandang. Mata perempuan itu memandangnya heran dan penuh tanya. Mata yang jernih, besar, penuh semangat dan cantik sekali.
Detik itu juga, Ad sadar ia telah jatuh cinta.
2.
SATU menjadi dua. Ia tiba di Belanda saat musim dingin. Selain kaca-kaca jendela yang dingin jika ia sentuh, juga cuaca di luar yang dingin membeku, ia tidak pernah merasa kedinginan. Ia tak perlu mengenakan pakaian hangat maupun kaus kaki.
Rumahnya yang luas dan indah itu sangat hangat. Sehangat Indonesia.
“Mengapa bisa hangat?” tanyanya pada Ad. “Karena kita punya pemanas,” demikian Ad menjawab.
Lalu salju turun. Ad memberitahunya pagi itu, “Sneeuw… sneeuw. Je eerste sneeuw!”
Ia melompat dari tempat tidur. Salju! Salju pertama dalam hidupnya! Ia berlari keluar, ke halaman belakang. Di bawah hujan salju yang lembut dan putih bersih, ia menari berputar-putar. Ad berlari menyusulnya, membawa jas dan syal. Tapi ia tak perduli. Dengan piyamanya yang mulai basah, ia mengajak Ad turut menari.
Ia senang sekali!
Setahun kemudian, ketika musim dingin kedua datang, dan ia telah mengerti cara kerja pemanas rumah, ia baru sadar Ad selalu menyetel pemanas rumah mereka di suhu tiga puluh derajat celcius. Dan itu, tentunya, sangatlah mahal.
“Mengapa, Ad? Mengapa tidak seperti orang-orang lain? Kita bisa menghemat jika menyetel di suhu delapan belas atau dua puluh derajat.”
Ad tersenyum dan memeluknya, “Supaya kamu merasa seperti di Indonesia. Agar kamu kerasan di rumahmu sendiri.”
Ad menatap wajahnya, tersenyum lembut. Ia ingat, sanak keluarga dan orang-orang di kampungnya selalu terpana melihat Ad tersenyum. Beberapa gadis remaja bahkan tertawa-tawa kecil sambil menutup wajah.
Mereka bilang, ia beruntung sekali. Ad yang tampan, seperti pemain film Hollywood, berpendidikan tinggi dan kaya raya, mau meminang ia yang biasa-biasa saja. Bahkan ibunya pun bersujud syukur. “Sejak kecil kamu tak pernah mengurus diri. Untung saja ada Ad, hingga kau tak perlu jadi perawan tua,” demikian ibunya bilang.
Keluarganya merasa, karena ia menikah dengan bule, dengan londo, derajat mereka di mata orang-orang kampung meningkat pesat. Tapi, bagi ia yang selalu merasa dirinya istimewa, tak pernah hinggap rasa rendah diri dan tidak melihat tinggi pada orang lain, Ad lah yang sesungguhnya beruntung mendapat dirinya sebagai istri.
SATU waktu, Ad menyampaikan berita baik padanya. Ada rumah makan Indonesia di kota, di daerah Markt. Pemiliknya juga orang Indonesia. Ia melonjak senang. Ia sudah bosan menjadi satu. Dan ia pun tak lagi tertarik pada salju.
“Antarkan aku ke sana!”
Pemilik rumah makan itu serupa dengan dirinya. Berkulit gelap, berubuh kecil dan berambut hitam panjang. Namanya Tur. Tur juga berasal dari bagian selatan Sumatera. Mereka langsung berteman baik.
Namun Tur sibuk sekali. Ia harus memasak dan mengurus rumah makannya. Ia pun bertanya, “Adakah orang Indonesia lain di kota ini?”
Tur memberitahunya, di Brouwersweg 100, tiap musim semi ataupun musim panas banyak mahasiswa Indonesia datang. Dan, dengan diantar Ad, ia datang ke Brouwersweg 100.
Betapa terkejutnya ia, dan juga Ad, ketika melihat orang-orang Indonesia yang tinggal di sana. Tidak hanya satu atau dua, tapi puluhan!
Puluhan manusia yang serupa dengan dirinya. Berbicara dalam bahasanya.
Mereka mengenakan pakaian musim dingin, walaupun matahari musim semi hangat menyinari. Mereka bahkan mengenakan kupluk wol yang tebal! Sungguh mereka terlihat norak sekali! Aih, ingin rasanya ia melonjak-lonjak senang dan memeluki mereka satu per satu!
3.
DUA menjadi puluhan. Ia berkawan dengan mereka semua. Ia mendengarkan cerita mereka, keluh dan kesah. Ia turut bahagia ketika mereka bahagia. Dan ia juga merindui Indonesia, sama seperti mereka semua!
Demi bebas datang ke Brouwesweg 100, tanpa menunggu Ad pulang bekerja, ia belajar mengemudi. Ia belajar giat. Tak lama ia lulus, mengantungi verblijf Belanda yang terkenal susah didapat. Ad membelikannya sebuah sedan merah.
Dengan sedan itu ia melaju ke Brouwersweg 100. Dengan sedan itu ia membawa seabrek makanan yang ia masak sendiri berhari-hari, untuk ia makan bersama teman-temannya. Ia mengumpulkan baju-baju, jas-jas musim dingin, dari tetangga-tetangga dan kenalan keluarga Ad, untuk ia bagikan pada mereka. Ia pun mengajak mereka berjalan-jalan dengan mobilnya. Setiap hari ada saja kegiatan bersama.
Belanda yang awalnya senyap menjadi meriah.
4.
PULUHAN menjadi ratusan. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di kota itu mengadakan pertandingan badminton. Dan Ad ternganga. Begitu banyaknya orang Indonesia di Belanda! Bagaimana mungkin bertahun-tahun ini istrinya merasa satu? Merasa sendiri?!
Melihat istrinya bersenang, Ad pun turut bahagia. Istrinya tak akan pernah kembali merasa sepi. Dengan manusia sebanyak ini, kemungkinan menjadi sunyi akan sangat kecil sekali. Ad tersenyum lega. Setidaknya ia tak perlu lagi merasa bersalah dan berbeban berat. Memboyong seorang perempuan, jauh dari sanak keluarganya, pulaunya dan juga lautnya, dan terus-menerus berusaha membuat perempuan itu bahagia, tentu bukanlah mudah.
NAMUN, perpisahan tak bisa dielak. Teman-temannya itu, yang kepada mereka hatinya merasa dekat, tak pernah berniat datang ke Belanda untuk menetap. Mereka kembali pulang ke Indonesia.
Ia melepas mereka dengan berurai air mata.
“Mahasiswa yang lain akan datang,” Ad menghiburnya.
Ia terdiam dan mengangguk, membenarkan. Toh, ia akan memiliki teman-teman baru. Temannya akan bertambah banyak setiap September datang.
Ia mencoba membuka dirinya lagi. Mengulang semua lagi: mengenal mahasiswa-mahasiswa yang datang. Melalui hari-hari bersama mereka. Merasakan hangatnya kedekatan. Namun di tiap September ia kembali menangis. Ia selalu menjadi yang ditinggalkan. Dan ia sangat benci perpisahan! Ia benci perpisahan!
5.
BERAKHIR satu. “Bangunlah. Apa tidak ingin ke Brouwesweg 100?” Ad mengguncang tubuhnya. Ia menggeliat, membalik badan, memunggungi Ad.
Ad mendesah. “Apa rencanamu hari ini?”
Ia tidak menjawab, menarik selimutnya lebih tinggi, menutupi kepala. Ia tahu Ad tak perlu jawaban. Ad tahu ia tidak akan pergi ke Brouwesweg 100. Ad tahu ia akan kembali berjalan-jalan di Eys Boos, memunguti kastanye, sendiri, seperti dulu.
Ad berpamitan padanya dan berjanji akan pulang lebih awal. Diam-diam Ad menaikkan setelan suhu pemanas rumah. Tiga puluh derajat celcius. Supaya istrinya merasa seperti di Indonesia. Agar istrinya merasa kerasan di rumahnya sendiri.
Ad menyiapkan sarapan dengan berat hati: setangkup roti volkoren, mentega blue band, melk chocoladehagel dan segelas susu bendera. Ia mengunyah dengan mulut yang terasa pahit. Ad merindukan nasi goreng buatan istrinya.
Di garasi, Ad memanaskan mobilnya dan sedan merah milik istrinya. Sedan itu sudah berbulan-bulan mendekam di garasi saja. Menanti tuannya yang seolah tak lagi peduli. Ad mendesah dan bersenandung lirih.
Ketika kami dipulangkan dari sabuk jamrud
Belanda terasa sangat dingin tak terkira
Parah lagi makanannya
Bahkan lebih parah dari perjalanan
Kentang, daging dan sayuran
Juga nasi dengan gula!
Aku lebih memilih nasi goreng….
Dulu, menyanyikan lagu itu membuat Ad bahagia. Namun sekarang entah. (*)
Lancaster, Maret 2012
: Untuk seorang kakak dan kenangan di Eys Boos.
Filed under: Rilda A.Oe. Taneko Tagged: Koran Tempo
Cerpen Sungging Raga (Jawa Pos, 4 November 2012)
GADIS itu bernama Kunnaila, lahir di bawah rembulan, tumbuh sepanjang ilalang. Orangtuanya hidup bergelantungan tepat di garis kemiskinan, ibunya sering bersedih kalau sedang memandangi senja, ayahnya lebih suka duduk melamun dan membayangkan dirinya sebagai masinis kereta yang pergi mengunjungi kota demi kota. Mereka tinggal di rumah susun, yang tali jemurannya melintang sampai ke tetangga, yang suara televisinya tembus sampai ke dapur tetangga, yang semua seluk-beluk rumah tangga berhubungan erat dengan tetangga.
Di usia lima belas tahun, Kunnaila sudah bisa mengatakan bahwa hidup ini penuh liku-liku seperti dalam sebuah lagu. Pada suatu pagi, ketika sedang bermain di stasiun Kertasemaya, seorang masinis kereta api jatuh cinta kepadanya di pandangan pertama. Masinis itu masih cukup muda, belum tiga puluh tiga tahun, baru saja naik pangkat setelah lama jadi asisten. Ia melihat Kunnaila seperti melihat bidadari versi 0.6 beta, diunduh dari langit dan dilepaskan di platform bumi yang fana. Saat itu Kunnaila sedang duduk menunggui barang dagangan milik ibunya, yang memang sudah cukup lama menjadi asongan di kereta api Kutojaya, sebuah kereta murah dari Tanah Abang tujuan akhir Kutoarjo dan sekitarnya.
Pandangan pertama itu pun mengirimkan pengikutnya. Beberapa bulan kemudian, masinis itu mencari-cari alamat Kunnaila untuk melamarnya, tanya sana-sini, mencoba dan mencoba lagi, akhirnya ketemulah sebuah rumah susun yang miring seperti menara Pisa di kota Roma. Singkat cerita, lamaran diterima, ayah Kunnaila sangat senang karena anaknya dipinang masinis, sebuah pekerjaan yang gagal diwujudkannya. Kunnaila akhirnya menikah di jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan abad yang sebenarnya tak cukup baik menurut perhitungan weton Jawa, tetapi Kunnaila tak menisbahkan nasib pada kalender dan catatan orang kuno, maka rumah tangga tetap diresmikan.
Oleh suaminya, Kunnaila dibawa ke daerah terpencil di Banyumas, di tepi sungai Serayu. Masa romantisme itu berlalu cepat, berganti hari-hari yang keras perangainya. Kunnaila tinggal di rumah kecil yang asri, ada pekarangan, ayam-ayam tetangga berkeliaran, juga bau kandang sapi. Kalau suaminya sedang bertugas mengemudikan kereta, Kunnaila suka main ke rumah tetangga, berkenalan akrab dengan lingkungan, ikut membicarakan gosip kelas kampung, tetapi kalau tidak, ia duduk melamun di depan tanaman kesayangannya, bernyanyi lagu yang sedang tenar di radio. Sebenarnya Kunnaila ingin juga main ke stasiun Kroya, duduk menunggu senja seperti gadis-gadis belia dalam cerita pendek, atau makan pecel kecombrang, atau sekadar melambai pada suaminya yang memberangkatkan kereta sambil menarik tuas klakson semboyan 35, nguoooongngng, “Selamat jalan, sayang, jangan lupa oleh-oleh bawang merah asli Brebes….”
Namun semua itu tak mungkin dilakukannya. Kunnaila jarang ke stasiun, ia harus betah mendekam di rumah, tak ada memori perjalanan, bahkan Kunnaila lupa kalau mereka sebenarnya belum berbulan madu. Hanya pernah sekali suaminya mengajaknya ke Kafe Mercusi, di tepi sungai Serayu, menelusuri jalan setapak di persawahan, menyeberangi jembatan kereta dan jalan raya. Kunnaila berharap bahwa itulah saat paling indah untuk ditulis di buku harian “Biografi Kunnaila” halaman pertama. Meski tanpa bulan madu, hidup Kunnaila bahagia dan berkecukupan. Oleh sang suami, ia dibelikan handphone, majalah wanita, dan parfum beraroma musim semi. Kebahagiaan itu bertambah lengkap satu setengah tahun kemudian, Kunnaila hamil dan melahirkan anak lelaki.
Anaknya lahir dengan sangat sehat berkat bantuan dukun yang tinggal di seberang Serayu, tetapi dukun itu tidak mau dibayar dengan uang, dia hanya minta dibelikan satu tiket kereta eksekutif Purwojaya jurusan Cilacap-Jakarta, katanya mau jenguk anaknya yang sudah jadi pengusaha. Bayi Kunnaila lucu sekali wajahnya, selalu nampak tersenyum, selalu terbayang bagi Kunnaila bahwa butiran senja bisa terpeleset di pipi bayinya. Kunnaila berangsur bahagia, hidupnya menuju sempurna. Apalagi beberapa tetangga bilang, anak itu kelak akan membawa keberuntungan, sebab anak itu jarang menangis.
Namun ternyata, ucapan itu tak berdasarkan ramalan yang valid. Rotasi hidup tiba-tiba memutar Kunnaila seperti jarum jam yang bertabrakan. Suatu malam, pukul dua, Kunnaila menerima telepon, katanya, kereta suaminya mengalami kecelakaan, tabrakan. Menabrak apa? Pohon asam? Gardu listrik? Warung makan Tegal? Oh, ternyata menabrak kereta…. Apa? Kereta suaminya sedang berhenti, lalu datang ditabrak kereta lain dari arah depan? Astaga. Kunnaila bersyukur, suaminya ternyata tak apa-apa, justru masinis kereta yang menabrak lebih tragis, dipanggil Yang Kuasa. Tetapi sepertinya tak semudah itu koreografi musibah melepaskan tengkuk Kunnaila. Setelah malam itu, suaminya belum pulang, ia bingung, ingin datang ke lokasi kejadian tapi tak tahu bagaimana. Akhirnya, sang suami pulang tiga hari kemudian, hanya untuk memberi kabar bahwa suaminya terancam jadi tersangka.
Setengah tahun kemudian, Kunnaila mulai hidup terlunta, anaknya memang tumbuh sehat, tetapi suaminya tak hebat. Pekerjaannya sebagai masinis akhirnya berhenti karena ia dituduh bersalah di kasus tabrakan itu. Apakah orang yang diam dan ditabrak bisa dianggap bersalah? Tanya Kunnaila pada keadilan yang sebenarnya tak pernah ada. Tetangga bilang, itu karena yang menabrak sudah tiada, jadi, segala kesalahan ditimpakan pada yang masih hidup.
Kunnaila ingin menjerit saja rasanya. Suaminya dipecat tanpa pesangon dari perusahaan, dan dihukum penjara tujuh tahun.
Bayangkan, tujuh tahun! Kunnaila memang sudah biasa ditinggal bekerja oleh suaminya selama beberapa hari, tapi kalau tahun? Nanti dulu. Kunnaila tak punya kemampuan bekerja, anaknya semakin besar saja, sudah hampir berhenti menyusu. Kunnaila mencoba untuk menjadi buruh cuci, cuciannya tak bersih, Kunnaila menyapu di kompleks kelurahan, selalu saja ada sampah yang tertinggal. Kunnaila menjahit, semua kain bolong tak ada bentuknya. Kunnaila diam, ia lapar. Akhirnya ia ikut menjadi penambang pasir di tepi sungai Serayu, kadang juga pencari batu, pokoknya pekerjaan yang tak terlalu menuntut kualitas, tetapi mengedepankan tenaga dan kuantitas. Kunnaila jadi lebih sering bekerja, ia sudah bosan mengunjungi suaminya di penjara, sebab setiap kunjungan pasti dimintai biaya oleh petugas Lapas.
“Dasar buaya,” begitu Kunnaila mengumpat dalam hatinya.
Maka jadilah ia hidup seolah tanpa siapa-siapa, kecuali anaknya yang selalu menangis kalau lapar tiba. Walhasil, bukannya menemukan jalan keluar, Kunnaila semakin menjerit dalam hati. Ia jadi suka sakit-sakitan, kena darah tinggi, kadang terjatuh ketika mengangkut pasir, atau merasa pusing ketika sedang menyiapkan masakan. Untung ada tetangga yang baik hati, Watono namanya, lelaki yang sudah lama duda, ditinggal pergi istrinya yang kena guna-guna. Watono sering memberi perhatian pada Kunnaila, kadang membantu menyapu pekarangan, menimba air di sumur, menggendong bayi Kunnaila, bahkan sebenarnya ingin menggendong Kunnaila juga. Namun Watono telah berjanji bahwa dalam cerita pendek ini dia tak berniat macam-macam pada Kunnaila, dia tak mau memaksakan konflik dan jalan cerita sesuai kehendaknya, dia hanya ingin dirinya muncul dalam cerita pendek ini meski cuma satu paragraf.
Katanya, agar bisa diceritakan kembali kelak pada anak dan cucunya. Hidup memang selalu menawarkan perpindahan tokoh yang kadang tak diduga. Namun meski ada Watono, Kunnaila tetap merasa sia-sia. Orangtuanya di Kertasemaya nyaris tak pernah menjenguk. Sementara dalam benak Kunnaila, sosok suaminya hanya tinggal foto 3×4 pada buku nikah, tak ada figura terpajang di ruang depan, tak ada aroma di atas bantal, hanya kasur yang senyap, dengan bekas kotoran tikus dan liur entah milik siapa.
Barang-barang mulai dijual, Kunnaila juga sering kali berhutang di warung Engkong Sarap, sementara pendapatan dari kuli batu dan pasir tak juga menunjukkan grafik perubahan signifikan. Kunnaila stres, tetapi anaknya tidak, hanya menangis kalau lapar kembali tiba. “Menangislah sepuasmu anakku, toh aku tak akan mengutukmu jadi batu….”
***
Wanita itu bernama Kunnaila. Hidupnya meliuk seperti ilalang, penderitaannya setebal hujan. Malam ini, Kunnaila seolah menemukan jalan pintas untuk mengakhiri semuanya. Ia diberi dua bungkus racun tikus gratis dari warung Engkong Sarap. Satu untuk anaknya, satu untuk dirinya. Ia siapkan gelas dan air. Hampir tak ada lagi yang bisa menghalangi Kunnaila dari rencananya ini, bahkan malaikat maut sudah memarkir kudanya di pekarangan, istirahat sebentar memandangi rembulan. Namun di saat-saat terakhir Kunnaila tersadar, ini tak menyelesaikan masalah, justru akan membuat matinya tidak tenang, gentayangan seperti kenangan. Maka Kunnaila segera membuang benda beracun itu jauh-jauh, lalu ia gendong anaknya masuk kamar, ia timang-timang penuh kasih sayang, ia tidurkan dengan sabar.
Di kamar tak gemerlap itu, Kunnaila meletakkan anaknya di kasur, ia usap kening anaknya yang berangsur terlelap dalam pakaian bayi bermotif bunga, “Besok kau jadi orang hebat, anakku.” Begitu ia berharap. Dan setelah mengusir malam dari jendela, Kunnaila pun ikut merebahkan diri di samping anaknya, ia menghela napas, merasa lelah dengan semuanya, hingga tak terasa airmatanya terbit begitu saja…. (*)
Sungging Raga. Tinggal di Situbondo, Jawa Timur. Banyak menulis fiksi.
Cerpen Afrizal Malna (Kompas, 11 November 2012)
BAU tanah seperti ladang kenangan, perputaran dari yang tumbuh tanpa perubahan, dan rumah-rumah air tanpa banjir. Bau daun, dahan-dahan pohon, lumut yang memberi warna pada batu dan kayu, semua seperti kalimat padat yang membuat hutan seperti konser kebisuan.
Membuat partiturnya sendiri melalui daun-daun yang tumbuh, layu, dan membusuk. Siklus kehidupan dan kematian yang rumit dan kompleks berlangsung sepanjang hari dalam hutan itu, seperti sebuah pertapaan untuk waktu.
Matahari membuat penggaris-penggaris cahaya, mengukur jarak daun menjelang tumbuh dan layu. Laba-laba membuat sarang dari air liurnya, mengubah waktu seperti jaring-jaring kematian. Daun kering melayang jatuh. Semuanya seperti anak-anak kalimat yang membuat sayatan lain dalam induk kalimatnya. Sebuah generalisasi yang justru berlangsung untuk mengukuhkan perbedaan dalam pelukan hutan.
Hutan dengan langit-langit kecilnya di antara daun-daun kering yang melayang jatuh, menyimpan kenangan tentang yang berlalu dan berulang. Akar-akarnya saling menjalin, merajut tanah dengan air yang membasahinya. Waktu membangun arsitektur keheningan di dalamnya, terjalin dalam konstruksi kekosongan.
“Krak”
Sebuah dahan patah dan jatuh. Lepas dari batang pohonnya. Patah dan jatuh yang tak terbayangkan. Seperti ada pesawat yang gemetar pada setiap pohon tua dalam hutan itu. Hutan hanya membuat jalan melalui sungai yang dibentuknya sendiri berdasarkan gerak dan berat air, menelusuri relung-relung tanah. Ke bawah dan ke bawah, menemui relung-relung lainnya. Jalan yang tidak pernah berbalik melawan hutan itu sendiri. Uap putih tipis terus membubung, berangsur-angsur, dari daun-daun yang membusuk menjadi udara. Tak ada halaman belakang dan tak ada halaman depan. Sebuah sirkuit kehidupan dan kematian yang tidak memisahkan kedatangan dan kepergian. Ruang yang membatalkan semua awal dan akhir. Denyut hutan menembus ke dalam yang bukan aku lagi.
Nama hutan itu Arca Domas. Dilindungi oleh pikukuh, ketentuan adat yang tak boleh dilanggar. Pikukuh yang membatalkan listrik dan mesin, pikukuh yang tak boleh melukai tanah. Tanah tidak boleh digali, dipacul atau dibajak. Kontur tanah harus tetap terjaga dari erosi. Tanah hanya boleh ditusuk dengan bambu yang ujungnya telah diruncingi untuk kemudian ditanami. Pikukuh yang melarang menggunakan sabun, kaca maupun cermin. Pikukuh yang terus-terusan membatalkan perubahan. Kayu panjang tak boleh dipotong, kayu pendek tak boleh disambung.
Dalam hutan Arca Domas itu, sepanjang waktu yang terdengar hanyalah berbagai jenis suara serangga, burung, dan suara binatang lainnya. Tidak ada suara lain. Kini, hutan dalam rajutan berbagai frekuensi tinggi-rendahnya desing suara serangga, berulang, konstan, terdapat tiga orang makhluk. Mereka bertiga merasa telah terperangkap hidup di bumi melalui sebuah peristiwa yang tidak mereka mengerti. Peristiwa itu terjadi begitu saja. Berangsur-angsur, seperti berubahnya ulat menjadi kupu-kupu. Mereka bertiga juga tidak tahu asal-usul mereka.
Telah berhari-hari ketiga makhluk itu mondar-mandir dalam hutan itu, memakan apa saja yang bisa mereka makan. Di bumi, untuk pertama kalinya mereka merasakan tentang lapar, lelah, dan sakit. Untuk pertama kalinya juga mereka mengenal hidup, usia, waktu, cinta, kesepian, bosan. Sesuatu yang harus membuat mereka waspada. Mulai mengenal kesedihan, kebahagiaan, kenangan, dan kematian. Untuk pertama kalinya juga mereka mengenal tentang konsep Tuhan, alam semesta, dan keturunan. Konsep-konsep yang aneh karena mereka sendiri tidak tahu bagaimana lumut diciptakan. Bagaimana tanah ada. Kesadaran yang kemudian lebih banyak dipelihara melalui kepanikan, seakan-akan ada dunia lain sebelum ada dan setelah ada yang membayanginya.
Bayangan yang membuat malam dan siang. Bayangan yang mulai membelah ruang di sana dan di sini. Mereka mulai belajar merangkak dalam hutan itu, belajar berdiri, berjalan, berjalan maju dan mundur, berputar, melompat, tidur dan belajar menghapus air mata. Belajar memanjat, mandi dan berenang di sungai. Belajar membedakan bentuk-bentuk dan warna, cuaca, membedakan bau tanah dan bau tubuh mereka. Belajar mengalami yang telah berlalu dan yang akan dilalui. Belajar membedakan antara aku, kamu, dan dia. Mereka mulai memberi nama-nama dari yang mereka alami, menjadi kata yang menyimpan pengertian-pengertian dari yang pernah mereka alami. Belajar membuat kalimat untuk menyimpan kisah-kisah dari yang mereka alami. Akhirnya mereka mengukuhkan keterperangkapannya melalui bahasa. Mereka ketakutan ketika mengetahui nafsu untuk hidup begitu menguasai mereka. Sehingga mereka mulai berburu, memakan binatang, memakan bentuk-bentuk kehidupan lainnya.
“Punten”
Mereka terkejut sendiri dengan ungkapan ini. Rasanya dalam, seperti ada liang dalam diri mereka. Liang yang membuat tangan mereka seperti tenggelam ketika mengucapkannya. “Punten.” Ungkapan permisi yang menghidupkan seorang aku sebagai seorang kamu juga. Ungkapan yang membuat liang dalam dirinya seperti terbuka dan mengisap semua keangkuhan dan perbedaan ke dalam konstruksi kekosongan. Ungkapan yang membuat mereka tahu bahwa hutan juga memiliki ruang dalamnya. Seperti ruang tamu yang terbuat dari aspal, batubara, berbagai logam, gas, dan minyak tanah.
Aku tidak bisa melihat ketiga makhluk itu. Aku merasakan mereka hanya melalui perpindahan gerak angin saat mereka berjalan di sampingku atau melalui dengus mereka. Mereka tidak bisa aku lihat. Tetapi mereka ada. Mereka seperti menggerakkan tanganku untuk menuliskan semua ini, sebagai penulis yang dipinjam.
Awalnya aku melihat seorang gadis yang berjalan bersama seekor kelinci berwarna merah dalam hutan itu. Gadis dan kelinci berwarna merah yang berada di tengah hutan seperti ini telah membuatku takjub. Aku seperti baru saja bertemu dengan kehidupan lain. Aku mengikuti gadis bersama kelinci merah itu. Sekali-kali gadis itu menoleh ke arahku. Tetapi mereka tetap berjalan, masuk lebih dalam lagi ke dalam hutan. Kelinci merahnya melompat-lompat. Matanya hitam, jernih, tanpa prasangka. Bulu lembutnya seperti menyimpan cahaya. Daun telinganya yang panjang menjulang ke atas. Kadang kelinci itu menatapku, lalu melompat-lompat lagi mengejar gadis itu. Kadang aku kehilangan mereka. Kadang mereka terlihat lagi, masih terus berjalan seperti sebelumnya. Kadang mereka seperti berada di sebuah padang rumput yang tidak ada batasnya, mengubah hutan menjadi hamparan rumput yang memenuhi seluruh yang bisa kulihat.
“Siapakah gadis itu? Siapakah kelinci merah itu?”
Setiap pergantian tahun, Pendeta Bumi, yang telah ada sebelum keterperangkapan ketiga makhluk itu, melakukan upacara Seren Taun, upacara pergantian tahun dengan seluruh umatnya sebagai Urang Kanekes, Baduy. Upacara yang sama juga berlangsung di Kanekes, Lebak, Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi, Kampung Naga, Cigugur, dan Kuningan. Sebuah agama Buhun yang telah ada jauh sebelum agama-agama polytheis dan monotheis menguasai dunia. Mereka menjaga hidup melalui pikukuh yang mereka rawat.
Mereka semua, sebagai urang Kanekes yang jumlahnya 11.174, termasuk anak-anak kecil, duduk bersila dalam upacara itu. Semuanya mengenakan pakaian putih-putih dan hitam-hitam, tanpa alas kaki. Mereka berkumpul seperti hutan dalam arsitektur keheningan dan konstruksi kekosongan. Tidak ada satu pun di antara mereka yang bicara atau bercakap-cakap. Mereka duduk seperti mandita, bertapa untuk menjaga harmoni hutan. Ketika mereka mulai bernyanyi bersama, jumlah 11.174 orang itu tetap merupakan bagian dari arsitektur keheningan dan konstruksi kekosongan. Tidak berubah menjadi kekuasaan mayoritas. Partitur-partitur kekosongan mengalun melalui nyanyian mereka.
Nyanyian merdu dan indah yang membuat seperti ada angin berembus dari tubuh mereka, gemericik air sungai, bahkan tanah tidak merasakan kehadiran dan keberadaan mereka. Mereka yang hanya hidup dengan cara tidak ingin mencelakakan orang lain atau melakukan yang tidak disenangi orang lain. Mereka mengikuti jalan air, bukan jalan api. Antiperang, melukai atau membunuh. Kalau kamu mau hidup, yang lain juga boleh hidup.
Pendeta Bumi menyatakan tiga syarat untuk bisa membebaskan diri dari bumi: melanggar adat istiadat, menjadi gila atau bunuh diri. Ketiga orang makhluk itu seperti terbakar mendengar persyaratan itu. Mereka sudah tidak tahan berada di bumi. Tidak tahan berada bersama planet yang tidak masuk akal ini, di mana kehidupan dijalani hanya untuk menunggu datangnya kematian. Dan selama penungguan itu, orang menciptakan berbagai versi kehidupan: berbuat jahat kepada orang lain atau berbuat baik. Membunuh orang lain atau menyelamatkan orang lain. Menguasai atau membebaskan. Merampok orang lain atau menolong orang lain. Korupsi atau hidup dari kerja keras yang dilakukan sendiri. Bertemu atau berpisah. Mengakui kepercayaannya sendiri, tetapi menyerang kepercayaan yang lain.
Mereka mulai terbakar mendengar ketiga persyaratan itu. Semakin besar api membakar mereka untuk bisa membebaskan diri dari dunia, mereka merasa semakin terperangkap dalam bumi. Lapisan-lapisan perangkapnya semakin bertambah banyak. Setiap lapisan dipenuhi teriakan, jeritan, dan tangisan. Benda-benda di sekitar mereka bertambah banyak. Benda-benda untuk tidur, untuk mandi, untuk makan, untuk berjalan, untuk melihat, untuk berkata-kata, untuk mencium, untuk membeli dan menjual. Padahal tubuh mereka hanya satu, tunggal. Tetapi benda-benda yang mengelilingi mereka membuat tubuh dan diri mereka menjadi majemuk. Mereka berjalan dan hidup bertambah berat bersama dengan seluruh benda itu. Napas dan jantung mereka kian sesak.
Mereka bertiga saling melihat dan saling menunggu, syarat apa yang harus mereka ambil di antara ketiga syarat itu agar mereka bisa membebaskan diri dari perangkap bumi? Semakin mereka saling melihat, tubuh dan diri mereka bertambah majemuk. Bertambah banyak dengan lipatan 3, dan lipatan 3 lagi, dan lipatan 3 lainnya yang tak ada ujungnya. Akhirnya mereka melihat ke dalam diri mereka masing-masing. Mencoba mendengar tubuh mereka di luar bahasa. Mereka mulai memasuki tubuh mereka sendiri seperti memasuki air yang dipenuhi akar-akar tanaman dan daun-daunan. Bau rempah-rempah dan bau sperma.
Aku lihat gadis bersama kelinci merah itu melayang-layang dalam hutan. Ia menyanyikan nyanyian cinta yang tidak kumengerti. Tubuhnya mengeluarkan uap yang wangi. Tubuh yang seakan-akan diciptakan dari wangi kembang melati.
“Punten,” kataku kepada gadis itu, ketika ia melayang di atas kepalaku. Gadis itu hanya tersenyum, lalu kembali menghilang dalam kerimbunan hutan. Tetapi wangi kembang melatinya seperti menetap. Upacara kemudian berakhir. Penguasa bumi dan umatnya meninggalkan tempat upacara. Hutan kembali hening. Suara-suara serangga, burung, dan binatang-binatang lainnya mulai kembali terdengar.
Ketiga orang makhluk itu tidak menempuh satu pun dari 3 persyaratan untuk bisa meninggalkan bumi. Mereka memilih diam, bisu, seperti para Urang Kanekes itu. Mereka mulai belajar melupakan bahasa. Belajar untuk tidak percaya bahwa mereka berpikir. Belajar tidak melihat dengan melihat. Belajar berjalan dengan tidak berjalan. Mereka mulai membatalkan suara-suara serangga dalam hutan itu dengan mendengar untuk tidak mendengar. Membatalkan seluruh isi hutan dengan melihat tanpa mengakui yang dilihat.
Mereka mulai merasakan telah memasuki ketiga persyaratan itu tanpa patuh dan tanpa mengikuti ketiga persyaratan itu. Yaitu dengan cara tiada. Menjadi yang hyang. Bersembunyi agar “ada” tidak menjebloskan mereka kembali ke dalam fiksi “keberadaan”. Ketiga orang makhluk itu lalu mulai melihat yang dilihat menjadi mengelotok, mengelupas, lalu berubah menjadi yang tak terlihat. Pohon, daun-daun, batang-batang pohon, batu, lumut, tanah, serangga, burung, semua dalam hutan itu mulai mengelotok, mengelupas, dan berubah menjadi yang tak terlihat. Semuanya bergerak menjadi yang hyang, yang hilang tetapi ada. Tak terlacak, tetapi ada.
Gadis bersama kelinci merah itu kembali muncul. Ia berdiri di atas sebuah batu besar. Kelinci merahnya melompat-lompat, berjalan ke arahku. Kedua daun telinganya seperti antena yang bergerak-gerak. Kelinci merah itu kini telah berada di depanku. Aku menyentuhnya, lalu memeluk dan menggendongnya. Ia mulai mengendus-endus hidungku, seperti berusaha mengenali bau tubuhku. Lalu ia mengembuskan napasnya berkali-kali ke hidungku. Aku mengisap bau napasnya. Gadis itu memanggilnya. Kelinci merah bergerak, dan melompat dari gendonganku, berlari ke arah gadis itu.
Mereka kemudian kembali menghilang. Kini sunyi. Suara serangga juga tidak terdengar. Aku mencoba mengingat kembali bau napas yang dikeluarkan dari hidung kelinci itu. Aku mencoba membandingkannya dengan bau napasku sendiri, dengan cara mengembuskan napasku ke telapak tanganku yang kubuat seperti bentuk mangkuk. Lalu aku mencium bau bekas napasku yang masih tertinggal di telapak tanganku.
Bau napasku ternyata sama dengan bau napas kelinci merah itu.
Setelah peristiwa itu, aku tidak pernah melihat bayanganku lagi. Tubuhku seperti tidak memiliki lagi bayangan, walau cahaya datang dari berbagai sudut. Sementara itu ketiga orang makhluk itu, kini tinggal di hulu sebuah sungai. Sungai Ciujung di pegunungan Kendeng. Mereka hidup hanya untuk menjaga air di hulu sungai itu. Mereka tidak lagi meminjam tanganku untuk menulis. Karena air terus mengalir, menulis kisah-kisahnya. (*)
Cerpen Danang Probotanoyo (Republika, 11 November 2012
SENJA temaram menjemput malam. Kumaidi duduk di kursi rotan tua yang nyaris berbentuk bulat mirip telur ayam. Kursi dan meja pasangannya tersebut pemberian Pak Sudjono (almarhum), bekas komandan peleton di PETA tempat Kumaidi bergabung dulu.
Kursi itu masih kokoh walau pliturannya nyaris tak berbekas. Hanya meja nakas pasangannya yang sudah kelihatan reyot. Itu pun diusahakan Kumaidi agar bisa lebih lama lagi masa pakainya dengan diperkuat beberapa paku pada siku-sikunya. Kursi dan meja itu dikirim sendiri oleh Pak Sudjono pada tahun 1978 sebagai hadiah sekaligus bentuk solidaritasnya terhadap kekurangberuntungan nasib Kumaidi, sebagai sesama ekspejuang kemerdekaan. Pak Sudjono sendiri mengakhiri pengabdiannya kepada republik sebagai pensiunan di pabrik gula terbesar di kota mereka. Kondisi kontras dialami Kumaidi yang hingga sekarang masih terus berjuang, berjuang dan berjuang. Bedanya hanya pada medannya. Pada dekade 40-an, Kumaidi berjuang di medan perang demi eksistensi republik. Setelah kemerdekaan hingga sekarang, perjuangan Kumaidi di medan kehidupan riil sehari-hari demi eksistensi perutnya dan perut Sutinah, istrinya.
Sedikit gemetaran—khas orang lanjut usia—kedua telapak tangan keriput Kumaidi perlahan-lahan memilin klobot yang di dalamnya menyembul tembakau. Setelah tergulung ala kadarnya, diambilnya korek gas murahan untuk menyulut. Sekejab Kumaidi pun larut dalam kepekatan asap dan bau “rokok klobot” yang menyengat bagai dupa yang biasa ditemui di makam-makam tua di Jawa. Sesekali tangan kanannya meraih gelas berisi kopi pahit pekat sebagai selingan dalam ritual rutinnya setiap senja. Sruput, ah, nikmatnya.
“Pak, akan ke mana kita esok hari, kalau para petugas tramtib dan kecamatan itu datang melakukan eksekusi.”
Suara Sutinah membuyarkan keheningan dan keasyikan Kumaidi, ketika secara tiba-tiba sosok perempuan tua itu menyeruak dari dalam rumah ke teras, tempat Kumaidi bersemayam. Kumaidi menyedot klobotnya lebih dalam menyebabkan pipinya bertambah kempot. Sambil menghela napas panjang, Kumaidi berujar, “Entahlah Bu, aku sendiri belum tahu.” Sruput, kopi yang tinggal separo pun dimasukkan sedikit ke tenggorokan.
“Anak, kita tak punya, saudara-saudara pun sudah pada tiada di kampung halaman,” ujar Kumaidi lirih dan sendu. Masih membekas di pikirannya kedatangan Pak Lurah pukul setengah empat sore tadi.
“Saya hanya bertugas menyampaikan surat pemberitahuan eksekusi kepada Pak Kum. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, Pak, karena pemerintah maunya begitu,” ujar Pak Lurah dengan sedikit tercekat, ketika menyampaikan surat eksekusi tanah dan rumah Kumaidi. Kedatangan Pak Lurah sore itu sudah untuk yang keempat kalinya selama jangka waktu tiga bulan belakangan.
“Kalau untuk mempertahankan negeri ini dari cengkeraman Belanda dan Nipon aku bisa habis-habisan, sampai jiwa dan raga aku pertaruhkan,” ujar Kumaidi getir, sambil mengepalkan tangan dan memukulkannya pelan ke paha.
“Kan, nggak lucu kalau aku harus mengangkat bambu runcing untuk mempertahankan secuil tanah dan gubug reot ini, padahal jelas-jelas ini tanah negara.”
“Apalagi uang tali asih sebesar setengah juta telah kita terima sebulan lalu dan itu pun telah habis buat nebus sepeda onthelku di pegadaian demi ngobati bronkitismu.”
“Yang penting kita sudah selesai mengepak milik kita, jangan sampai ada yang tertinggal.”
“Bintang gerilya dan SK veteranku jangan sampai keselip, Bu. Itu satu-satunya kebanggaan milik kita, sekaligus penyambung hidup kita.”
“O, ya, Pak, apakah tunjangan veteran bulan ini telah kamu ambil di bank?” tanya Sutinah.
“Ini simpan, tadi cuma aku kurangi buat beli mbako dan segelas es cincau di jalan, panas amat siang tadi, aku sampai seperti mau pingsan ngayuh sepeda.”
***
Tanpa terasa malam menggulung waktu. Namun, Kumaidi belum juga beranjak tidur. Lagi pula dalam kondisi dan situasi seperti yang sedang ia alami, apalah nikmatnya tidur apalagi leyeh-leyeh menikmati siaran televisi merek Grundig 14 inchi miliknya. Toh, TV tua itu telah dibungkus seprei oleh Sutinah dan dionggokkan di samping rumah beserta harta benda dekil lainnya. Kumaidi mondar-mandir di depan rumahnya. Dalam hitungan beberapa jam ke depan bakal diratakan dengan tanah oleh pihak berwenang lantaran berdiri di areal yang konon milik negara dan akan dijadikan “Jalur Hijau”. Itulah yang sering dilontarkan Pak Camat.
Sesekali ia berjalan di bekas reruntuhan rumah para tetangga yang telah mereka tinggalkan sebulan lalu. Ada yang terpaksa pulang ke desa tempat asal mereka. Ada yang mencari kontrakan di gang-gang kumuh seputaran kota. Ada juga yang nekat pindah ke pinggir rel kereta api dan kolong jembatan layang. Sekarang di areal tersebut tersisa satu rumah reyot milik Kumaidi. Setelah mondar-mandir melihat situasi, Kumaidi pun duduk di atas dipan kayu tua di bawah Pohon Waru, di depan bekas rumah Mat Jumali, pedagang sate keliling. Dipan itu tidak dibawa yang empunya karena kondisinya memang rusak. Sewaktu tetangganya masih komplet tinggal di lingkungan tersebut, dipan itu difungsikan untuk sosialisasi dan bercengkrama antartetangga di waktu sore hingga malam.
Sambil matanya nanar menatap hilir mudik kendaraan di kejauhan, tangan tuanya memegang rokok klobot kegemarannya. Tampak percikan api di kegelapan menyerupai kunang-kunang setiap Kumaidi menyedot klobotnya. Kriet…. Sejurus kemudian Kumaidi turun dari dipan. Kakinya meraba-raba tanah mencari sandal plastik merek Lily miliknya. Maklum, tempat itu gelap gulita karena sudah sebulan aliran listrik di daerah itu diputus. Listrik di rumah Kumaidi masih bisa menyala karena kreativitas seorang mantan tetangganya yang “nyanthol” kabel PLN di pinggir jalan, tak jauh dari pemukiman Kumaidi. Si tetangga kasihan lantaran melihat pasangan lansia tersebut tinggal di situ sendirian tanpa penerangan sama sekali.
Pelan-pelan Kumaidi membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci. Dilihatnya dengan penuh rasa sayang dan iba sang istri tengah pulas tidur di atas tikar tanpa dipan dan kasur. Pelan-pelan sepeda onthel tuanya dikeluarkan. Tanpa membangunkan sang istri, Kumaidi pun berlalu. Empat puluh menit mengayuh sepeda sampailah dia di pemakaman tua. Pemakaman itu tampak terawat dan berlampu neon di sana-sini. Pohon Kamboja dan Sri Rejeki menyemarakkan kuburan tersebut. Ya, pemakaman asri tersebut adalah Taman Makam Pahlawan tempat bersemayamnya jasad para kolega Kumaidi, termasuk Pak Sudjono mantan komandan peletonnya di PETA.
Dengan hati-hati Kumaidi menyandarkan sepeda tuanya di pintu masuk makam yang terbuat dari besi. Kakinya melangkah. Sesekali ia berdiri tegak semampunya sambil menyilangkan telapak tangan memberi hormat ke arah beberapa batu nisan. Dia berhenti dan duduk bersila di atas rerumputan makam dan tafakur di depan batu nisan Pak Sudjono. Sambil melelehkan air mata, ia terlihat komat-kamit seolah mengadu kepada mantan komandannya tersebut. Setengah jam kemudian, matanya melihat ke arah pojok makam tak jauh dari tempatnya bersila. Ada sinar harapan merona di wajah sepuhnya. Kumaidi melihat arloji di bawah keremangan lampu neon makam, dia pun bergegas meninggalkan makam tersebut.
“Ah, untung masih jam setengah dua belas malam, masih cukup waktu,” katanya dalam hati penuh kemisteriusan.
***
Pukul setengah lima pagi, Sutinah dibangunkan.
“Ayo, Bu, lekas kita berkemas untuk pindahan. Aku tak ingin nantinya kita yang diusir petugas dari tempat ini. Aku tidak ingin anak-anak muda tersebut menghardik kita.”
“Tapi, kita mau ke mana, Pak? Apalagi sepagi ini.”
“Sudah, ikuti saja perintahku, tolong kau bantu angkat kardus besar ini ke atas boncengan sepeda. Dua buntalan taplak meja berisi barang-barang yang tak terlalu berat, nanti kamu tenteng di kanan-kiri. Aku nanti yang menuntun sepeda dengan kardus besar ini.”
Sutinah pun menuruti kemauan sang suami.
“Lho, kemana barang-barang yang lain, Pak? Kemana kayu-kayu tua, gedhek tua dan selembar tipleks yang kemarin sudah kita persiapkan di samping rumah.”
“Semalam semuanya telah aku pidahkan ke calon tempat kita yang baru.”
“Hah, sendirian kamu pindahkan semuanya?”
“Ya, pada siapa lagi mesti minta bantuan, lagian kan aku tinggal nuntun si onthel, dialah yang mengangkut semuanya.”
Sutinah pun penuh tanda tanya besar dalam benaknya, perihal ke mana dia akan diajak pindah oleh Kumaidi.
“Ayo, lekas kita jalan, mumpung belum bayak orang yang melihat.”
Sepasang lansia tangguh itupun berjalan perlahan secara beriringin. Kumaidi di depan sambil menuntun sepeda yang telah dibebani kardus besar, sedang Sutinah mengiringi di belakangnya sambil menenteng dua buntalan di kanan-kiri.
Satu setengah jam, sampailah mereka di tempat yang dituju.
“Ayo, masuk Bu, nggak usah bengong, kan sudah seringkali aku mengajakmu ke mari.”
“Tapi, ini kan makam, Pak, tempat Pak Sudjono, Pak Waluyo, Pak Hadi dan teman-teman seperjuangan bapak lainnya dimakamkan.”
“Iya, ini satu-satunya tempat yang disediakan pemerintah untuk menghargai kita-kita yang dulu telah berjasa mengusir penjajah dari republik. Memang, ini disediakan untuk kita setelah tak ada umur alias wafat, tapi apa salahnya jika kita menyesuaikan diri dulu di sini barang sebentar, sampai ajal menjemput.”
Mata tua Sutinah mulai meneteskan air mata, disekanya satu persatu buliran air matanya dengan ujung kebaya lusuhnya.
“Sudah, Bu, kita terima saja, apa yang diberikan negeri ini kepada kita, tak ada faedahnya kita menyumpahi terus anak-anak muda yang tak tahu balas budi atas pengorbanan kita dulu. Mereka sudah hidup di alam merdeka berhak untuk menikmatinya, kita ikhlas saja.”
“Di sebelah mana kita nantinya akan tinggal, Pak?”
“Itu, di sebelah pojok, utara nisan Pak Sudjono, kayu-kayu, tripleks, gedhek dan barang-barang lainnya telah aku taruh di sana. Nanti kita tinggal merakitnya jadi gubug sederhana. Tempatnya lumayan lapang. Ada kalau cuma tiga kali empat meter, tempatnya pun strategis karena dua sisinya sudah ada tembok pagar makam.”
“Tapi, Pak, apakah nantinya kita tak di usir lagi dari sini.”
“Ini hak kita, Bu, mau kita ambil sekarang apa nanti tak ada bedanya bagi orang lain, lagian teman-teman di sini sangat mendukung dan sangat senang menerima kita sekarang.”
“Siapa yang kau maksudkan teman-teman di sini, Pak?”
“Pak Sudjono cs-lah!” jawab Kumaidi tanpa beban.
“Tapi, pak….”
“Aku, tahu mereka sudah terbujur kaku di sini. Semalam, waktu aku nyekar mereka dan mengadukan nasib kita, karena kelelahan aku tertidur sejenak dengan memeluk nisan Pak Sudjono. Dalam tidur sekejab itu aku bermimpi bertemu Pak Sudjono dan yang lainnya. Mereka sangat senang bertemu aku, dan menyuruh aku untuk tinggal di sini. Bahkan, mereka berjanji kepadaku tak akan rela bila ada yang berani mengusik kita di sini.”
Sepasang lansia itu pun menangis sesenggukan sambil berpelukan erat satu sama lain. (*)
Catatan :
Klobot : Kulit Jagung kering
Nyekar : Tabur bunga ke makam
Penulis adalah alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM). Selain menulis cerpen, ia juga menulis opini, esai, dan resensi buku. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di media massa cetak nasional maupun lokal. Pernah mendapatkan penghargaan dari Mabes TNI AL sebagai pemenang lomba penulisan artikel di media cetak tingkat nasional. Sebuah buku fiksi sosialnya dalam proses masuk ke penerbit.
Filed under: Danang Probotanoyo Tagged: Republika