Quantcast
Channel: Cerpen Koran Minggu
Viewing all 933 articles
Browse latest View live

Misteri Burung Gagak dan Cerita Lainnya

$
0
0

Cerpen Agus Noor (Jawa Pos, 2 Maret 2014)

Misteri Burung Gagak dan Cerita Lainnya ilustrasi Bagus

JANGAN pernah membiarkan lelaki itu mendekatimu. Apalagi mempersilahkan masuk ke dalam rumah. Bertamu, atau datang untuk minta sedekah, hanyalah alasan, sebelum pada akhirnya ia merenggut sepasang matamu yang paling berharga.

Kau akan segera mengenalinya. Ia selalu berjalan dengan seekor gagak bertengger di tangannya. Siapa pun yang gampang tergoda, pasti terpesona sorot matanya. Ditambah gaya bicaranya yang meyakinkan setiap kali menjelaskan dari mana gagak itu muncul dalam hidupnya. 

”Burung ini berasal dari hati perempuan yang mati dibakar di pinggiran hutan. Ia dituduh berzinah! Ia hamil, padahal belum menikah. Karena ia bukan santa yang bisa hamil tanpa suami, maka orang-orang pun merajamnya; tubuhnya dilempari batu hingga rusak, dan tak bisa lagi dikenali wajah yang semula paling cantik di kampung itu. Belum terpuaskan, penduduk pun membakar perempuan itu. Saat api padam, dari tubuh gosong yang telah menjadi arang itu muncul burung gagak.“

Bila kau terpesona ceritanya, ia akan melanjutkan.

”Suatu malam burung ini muncul dalam mimpi orang-orang yang membakar perempuan itu. Mematuki mata orang-orang itu, yang ketika bangun langsung menjerit karena telah kehilangan mata. Sejak itu banyak sekali yang kehilangan biji mata, dipatuki burung gagak ini. ’Jangan takut,‘ ia akan menenangkanmu, ’karena gagak ini hanya akan memakan biji mata pemerkosa‘!“

Tapi, saya pernah mendengar, sesungguhnya lelaki itulah yang memperkosa perempuan itu. Semua yang diceritakan adalah caranya mengelabui. Sementara burung gagak itu mematuki matamu agar tak ada saksi mata.

Jogjakarta, 29 Januari 2014

Pesan Terakhir

BARANGKALI, inilah kasus pembunuhan yang tak akan bisa saya pecahkan sepanjang karier saya sebagai detektif. Saya mendapat kiriman tiga mayat dalam peti. Semua dengan kondisi kematian yang identik: leher terikat, ada bekas diseret, tusukan di bagian dada berpola persis dan serupa, sebutir peluru di kepala, lambung penuh racun, dan pesan:

”Kami bertiga saling membenci, tapi kami sepakat mati baik-baik. Tentulah menyenangkan bila permusuhan kami diakhiri dengan kematian yang menurut kami paling indah. Kami harus mati dengan cara sama, agar tak ada lagi dendam di antara kami. Pada hari yang telah ditentukan, kami bertemu. Kami mendiskusikan bagaimana sebaiknya kami saling bunuh. Rasanya ini seperti perjamuan terakhir untuk kematian. Kami setuju mencoba beberapa cara. Pertama kami saling menjerat leher dengan tali, kemudian dengan serentak yang satu menyeret yang lainnya. Ternyata itu tak membuat kami mati. Lalu kami saling menusukkan pisau ke jantung. Ini pun belum tuntas. Maka kami segera saling menembakkan pistol: satu peluru ke kepala yang lain. Tapi ini pun tak membuat kami mati. Lalu kami melanjutkan menenggak racun yang sama, dan duduk melingkar masing-masing memegang gelas, diulurkan ke mulut sebelahnya. Serentak kami teguk racun itu.

Kami menulis pesan ini setelah mati. Di antara kami bertiga, rupanya ada yang berkhianat, dan lolos dari kematian. Kami mengirimkan mayat kami agar Tuan Detektif bisa menyelidiki: siapa, di antara mayat kami bertiga ini, yang berkhianat…”

Sampai hari ini saya masih berdiri memandangi mayat dalam tiga peti mati itu.

Royal Amabarrukmo, 25 Januari 2014

Profesor yang Mati dalam Botol Infus

SECARA teoritis manusia bisa masuk ke dalam botol. ”Bukan hanya jin!” ujar Profesor Paklikku. Struktur kimia H2O dan hydrogen dalam tubuh manusia memungkinkan itu. Ia terobsesi ketika mengetahui profesor Yahudi, Isaac Yitzhak, berhasil membuat onta berjalan menembus lubang jarum; dan ilmuwan Ibnu Jabir Al-Khwarizmi yang hidup di bawah tanah –5 Imam dan 10 penguasa Arab telah menfatwakan halal hukumnya membunuh ahli alkemis ini—berhasil membelah sehelai rambut menjadi tujuh bagian. Ini pencapaian gemilang yang memungkinkan manusia bisa selamat ketika berjalan melintasi titian neraka.

Sementara keberhasilan Isaac Yitshak akan menghindarkan manusia dari bencana semesta dengan cara memasuki lubang cacing waktu. Bila mampu memasukkan manusia dalam botol, Profesor Paklikku yakin ia akan dikenang sebagai ilmuwan yang menyelamatkan spesies manusia dari kepunahan saat datang bencana banjir, yang jauh lebih besar dari musibah Nuh, di masa depan.

Ia memulai eksperimennya dengan terlebih dulu menyuling kadal, tikus, meningkat ke kelinci dan kucing. Baru kemudian menyuling bayi yang memiliki kandungan air 75%-80%. Proses penyulingan yang rumit itu baru diketahui setelah berlangsung puluhan tahun. Ketika menggerebek laboratoriumnya, polisi menemukan 212 bayi yang diawetkan dalam tabung-tabung kaca.

Kami, perawat dan dokter di Rumah Sakit Jiwa ini, ekstra intensif memonitor Profesor Paklikku, sejak polisi menitipkan ke sini. Terlebih, meski telah diawasi 24 jam dan diisolasi, ia berhasil mencuri asam sulfat untuk membakar 3 pasien lain. Lelehan tubuh sisa pembakarannya dilarutkan dengan etanol ke botol infus. Otak genius memang tak mudah ditebak. Otak gila hanya dipahami orang gila. Dan itu terjadi suatu pagi.

Profesor Paklikku menceritakan ”bagaimana cara paling gampang memasukkan manusia dalam botol” pada anak idiot yang baru seminggu lalu masuk Rumah Sakit Jiwa ini. Anak itu tersenyum, ”Orang paling goblok juga tahu! Itu sangat gampang. Segampang memasukkan gajah dalam kulkas. Tinggal buka pintu kulkas, suruh gajah itu masuk, lalu tutup pintu kulkas. Nah, saya bisa memasukkan Tuan ke dalam botol, bila Tuan mau.”

Seorang perawat yang mengantar obat ke kamar Profesor Paklikku menjerit, ketika menemukan tubuh profesor itu mengapung dalam botol infus yang tergantung.

Sevel Tebet, 2 Februari 2014

Teka-teki Tiga Terdakwa

KETIGANYA perempuan. Ketiganya sama cantik, dan dikenal bersahabat baik. Sebut saja, mereka berinisial A, B, dan C.

B didakwa C membunuh suaminya. ”Sudah lama B ingin membunuh suami saya,” kata C saat melapor. Ini ada kaitan dengan masa lalu mereka, yang pernah gagal bertunangan, dan meninggalkan dendam. ”Saya yakin, B, merencanakan pembunuhan itu dengan A. Sejak dulu mereka memang ngincer suami saya. Cih, dasar perempuan suka ganggu suami orang!” kata C, sembari memperlihatkan beberapa bukti.

Sementara A, pada saat yang sama, men-tersangka-kan C karena berdasar bukti-bukti, diyakini telah membunuh suaminya. ”Yang terakhir bertemu suami saya, tak lain C,” kata A, sehari setelah suaminya ditemukan mati bugil di hotel.

A yakin kalau C melakukan pembunuhan itu bersama B. ”Mereka memang iblis yang mau melakukan apa saja demi mendapatkan suami saya,” ujarnya.

Bersamaan dengan itu, suami B mati mengenaskan. ”Sudah pasti, suami saya diracun. Bener-bener sadis. Suami saya bukan aktivis, kenapa diracun! Pelakunya A,” tegas B. ”Dia sejak dulu memang mencintai suami saya. Tapi mana mau suami saya ama perempuan murahan kayak dia. A pasti kalap, lalu bersama C merancang niat jahat meracuni suami saya. Dasar pelacur! Saya menemukan celana dalam A di dekat mayat suami saya,” B membeberkan itu ke wartawan.

Tiga suami mati terbunuh pada saat bersamaan. Tiga perempuan menjadi terdakwa tiga pembunuhan itu. Tiga perempuan yang kini terbaring di meja autopsi saya. Bisakah, Tuan Puan, membantu memecahkan teka-teki ini?

Bandara Soeta, 24 Januari 2014

Kepompong

SETELAH bertahun-tahun perburuan yang hampir mustahil berhasil, polisi akhirnya mengendus keberadaan Krowak, penjahat paling dicari yang telah membunuh 69 perempuan. Semuanya calon pengantin.

Krowak membunuh dengan sadis, sekaligus unik. Semua mayat ditemukan tidak dalam keadaan rusak, tetapi telah tak berdaging. Entah dengan cara bagaimana Krowak meremukkan tulang dan daging para korban itu, tanpa membuat lecet sedikit pun kulitnya. Para intel yang frustasi kadang berkelakar, ”Mungkin itu yang disebut teknik bandeng fresto duri lunak.“ Maksudnya, Krowak membuat lunak terlebih dulu tulang dan daging korban, kemudian mengerut perlahan-lahan, seperti bila kau mengerut alpukat dengan sendok. Daging yang telah dikeluarkan dari tubuh para korbannya itu kemudian diganti dengan kapas, seperti bila kau membuat boneka.

Bisa kau bayangkan, tubuh para calon pengantin itu tetap terlihat utuh, tapi sudah tak berdaging, karena menjadi semacam boneka –yang dirias dengan cantik—kemudian dikirim ke pengantin laki-laki. Seorang mempelai laki-laki yang menjadi gila menemukan kepompong tergeletak dekat mayat calon istri-nya. Kepompong itulah yang menjadi petunjuk.

Seorang informan memberi tahu perihal rumah tua di pinggir kota yang halamannya penuh kepompong. Sepasukan polisi segera mengepung. Tak ada celah secuil pun bagi Krowak melarikan diri. Penggerebekan berlangsung cepat. Di dalam rumah ditemukan banyak boneka dan kepompong, juga berkarung-karung kapas. Tak ada perlawanan, karena polisi menemukan tubuh Krowak tergeletak di kasur yang busuk. Tubuh Krowak tak berdaging. Hanya berisi kapas.

Ada kepompong di pojok dekat lemari, seakan menatap dari dalam kegelapan. Ketika akhirnya para polisi pergi, kepompong itu menyeringai. Tak seorang polisi pun melihatnya.

Garuda GA 355, 31 Januari 2014

Anjing Jejadian

KAU tengah mengendap-endap pulang, takut kepergok peronda, ketika tiba-tiba anjing itu muncul di tikungan jalan. Bulan mati. Mata anjing itu seperti menyala penuh dendam. Kau langsung teringat gunjingan orang-orang kampung, perihal suami janda yang barusan kau tiduri. Laki-laki itu menghilang. Ia pencoleng paling dicari. Para penembak misterius, yang telah membunuh ratusan gali, pasti telah menghabisinya. Tapi mayatnya tak pernah ditemukan. Ketika di kampung seekor anjing hitam berkeliaran tiap tengah malam, orang-orang mulai yakin, itu anjing jejadian si pencoleng.

Anjing itu menggeram, seakan mengendus bau tubuhmu yang masih berkeringat. Sembari pelan-pelan mengambil batu, kau menatap anjing itu. Anjing jejadian bisa dikenali dari kelopak matanya. Ekor, kaki, kepala, dan seluruh tubuh anjing jejadian benar-benar persis anjing; tapi kelopak matanya tetap tak sempurna, masih terlihat seperti kelopak mata manusia. Dan itulah titik kelemahannya. Orang-orang zaman dulu selalu membunuh anjing jejadian dengan cara menusuk matanya. Sekuat tenaga kau menyambitkan batu tepat mengenai matanya. Kau mendengar lolong mengerikan menjauhi kampung.

Sampai rumah kau mendapati istrimu begitu panik menggendong anakmu yang terus-terusan menangis.

”Kenapa?“

”Entahlah,“ jawab istrimu. ”Ia mendadak terbangun. Seperti ada yang tiba-tiba menyambit matanya. Lihatlah…”

Kau melihat mata anakmu terus meneteskan darah. Kau melihat mata anjing itu.

Borneo Beer Kemang, 1 Februari 2014

Buronan

MEREKA memburuku. Aku dituduh membunuh diriku sendiri. Sungguh tuduhan tak masuk akal. Tapi mereka yakin ini memang pembunuhan yang sangat rapi: aku memotong-motong tubuhku sendiri, dan memasukkannya ke dalam kopor yang kini selalu kutenteng ke mana pun pergi. Sejak itu aku tak diketemukan. Mereka menuduhku melarikan diri. Mereka ingin membuktikan bahwa kopor yang selalu kubawa ini memang berisi potongan tubuhku sendiri.

Aku ingin menjelaskan, tapi aku yakin mereka tak akan pernah percaya ceritaku. Suatu malam aku pulang, sedikit mabuk, karena habis minum bersama seorang kawan yang setelah bertahun-tahun tak bertemu mendadak muncul ke kantor. Terus terang, dia memang pacarku dulu. Masih cantik, meski terlihat sedih. Ia baru saja seminggu jadi janda. Suaminya mati terbunuh.

”Aku yakin ia dibunuh seseorang yang dulu pernah menjadi pacarku, karena ia tahu suamiku suka menyiksaku,” katanya. ”Ia juga marah, karena memergoki istrinya tidur dengan suamiku.”

Kuajak ia minum. Bertanya apa yang akan ia lakukan. Ia bilang tak tahu, dan hanya menangis menyandarkan kepalanya ke bahuku. Lalu ia pergi, dan aku pulang. Sampai di rumah aku memergoki istriku sedang tidur bersama seorang laki-laki. Aku mengenalinya. Dia laki-laki yang suka menyiksa istrinya. Aku benar-benar tak paham, bagaimana mungkin istriku mengkhianati laki-laki sebaik aku, dan serong dengan laki-laki yang bahkan pada istri sendiri pun suka memukul. Aku tak ingin ini menjadi gosip murahan penduduk kota. Kubereskan semuanya, dan aku pergi membawa kopor yang kini selalu kutenteng ini. Aku mendatangi rumah perempuan yang tadi sore menemuiku. Aku yakin ia masih mencintaiku. Tapi rumahnya terkunci. Tetangga bilang perempuan itu sudah mati dibunuh sekitar sebulan lalu, karena cekcok dengan seorang perempuan yang ketahuan tidur dengan suaminya.

Entah apa yang diceritakan istriku, pada polisi. Kini mereka memburuku. Mereka ingin tahu di mana aku menyembunyikan potongan-potongan tubuhku yang sampai saat ini tak pernah ditemukan.

Largo Bistrot, 4 Februari 2014

Segelas Sunrise

HATI-HATILAH pada orang yang tak pernah marah. El Picho, si bromocorah pelabuhan, tak menyadari itu. Baginya, Dul hanya anak lembut yang butuh perlindungan. Hingga kuli-kuli kasar, para pelaut pemabuk, juga para pemangsa dan turis-turis pedofil, tak ada yang berani menyentuh bartender tampan berkulit halus itu.

”Di sini, kamu jauh lebih aman dalam lindunganku ketimbang dalam lindungan pendeta dan Tuhan,” kata El, setiap usai menggagahi Dul. El suka tatapan belia itu.

El tahu Dul mencintainya. Atau memujanya. Atau dia memang takut kehilangan perlindungan. Apa pun, El menyukai Dul, karena pemuda semanis kucing angora itu tak pernah mempersoalkan hubungannya dengan Al, penyanyi bar yang bertahun-tahun menjadi simpanannya juga.

”Hidup ini keras,“ kata El, ”belajarlah menerima bahkan yang tidak bisa kamu terima.“ Dul hanya mengangguk tersenyum setiap Al menginap di kamar El. Bahkan Dul kerap sabar menunggu di depan pintu kamar. Duduk bersandar memandangi ribuan burung terbang melintasi cakrawala yang perlahan menggelap sementara El dan Al bercinta dalam kamar. Lalu menyiapkan minuman kesukaan El. Segelas sunrise. Ini cocktail favorit El. Kombinasi soda, gin, sedikit vodka, dengan irisan limau segar dan rahasia yang hanya diketahui Dul. Minuman, yang bila dinikmati setelah bercinta, membuat kerongkongan terasa mengembang.

Segelas sunrise itulah yang telah disiapkan Dul ketika El keluar kamar. Tubuh El yang kekar mengilat berkeringat. El tersenyum. Ia makin menyukai Dul yang tak pernah marah. Nyali besar memang bisa menghilangkan kewaspadaan. El lupa. Tak pernah ada orang yang tak pernah marah. Yang ada hanya orang yang pintar menyembunyikan kemarahannya. Dul menyodorkan segelas sunrise. Dengan pipet El segera menyedotnya.

El tak pernah tahu, Dul telah memasukkan tusuk gigi dari bambu –dia pilih yang ujungnya paling runcing– dan menaruh tusuk gigi itu di dalam sedotan.

Tebet, 13 Februari 2014

Halte

HALTE  itu hanya terlihat di malam hari. Bila gerimis turun dan jalanan dirayapi kesunyian, samar-samar kau akan melihat halte itu seperti bayangan yang menyembunyikan diri. Di halte itu kau akan melihat seorang perempuan berdiri sendirian. Kau akan menyaksikan, bila hujan turun deras, perempuan itu menghambur ke tengah jalan yang lengang, bermain hujan. Bergerak seperti melayang, merentangkan kedua tangannya, seolah hendak memetik setiap butiran air yang bagai kesedihan berjatuhan. Sampai perlahan tubuh perempuan itu lenyap. Setelahnya, kau hanya akan mendengar isak sedih berkepanjangan.

Ketika pagi menampakkan diri, kau tak akan menemukan halte itu lagi. Juga perempuan itu.

Ada yang bilang, ia perempuan yang mati diperkosa bertahun-tahun lalu di halte itu. Ada yang bilang, ia perempuan yang masih saja terus menunggu kekasihnya. Ada yang bilang, itu hantu seorang pelacur yang mati digorok. Beberapa orang sering berulang-ulang menceritakan semua kisah itu pada saya.

Ah, andai saya bisa pergi dari halte itu.

Jakarta, 17 Januari 2014

Agus Noor, cerpenis tinggal di Jogja


Filed under: Agus Noor Tagged: Jawa Pos

Antara Debu Merah dan Ciuman Catalina

$
0
0

Cerpen Gunawan Tri Atmodjo (Suara Merdeka, 2 Maret 2014)

Antara Debu Merah dan Ciuman Catalina ilustrasi Toto

Debu Merah dan Renda Spanyol

ADA yang menarik tanganku dan mendekatkan wajahku pada wajahnya. Lalu ia menatapku lama. Mataku masuk ke matanya, menemukan kedalaman yang asing. Aku segera berkedip dan sepersekian detik itu pula wajahnya terhapus dari hadapanku.

Aku tahu itu wajah angin tapi tiba-tiba aku teringat Tuhan. Sosok agung yang selalu mengambil sesuatu yang aku miliki dengan paksaan. Aku ingat satu atau dua kejadian ketika pertemuan tak bisa lagi dielakkan dan Dia membuatku merasakan perpisahan, merasakan kehilangan, yang kadang terasa sakit namun lebih sering terasa membebaskan. 

Seperti kejadian barusan. Lewat jemari angin, Dia seperti merenggut sesuatu dari tempatku semula dan memindahkanku ke tempat ini. Tapi aku tak tahu pasti apa yang dibawa- Nya pergi. Aku hanya merasa lapang. Lapang yang teramat luas dan tak terbatas dalam diriku. Sebuah kekosongan yang menyenangkan. Tidak ada apa-apa di situ. Tidak ada diriku yang dulu, tidak ada bayangan dan kenangan. Aku juga tidak melihat pengharapan akan masa depan. Aku seperti berjalan dengan tenang di hamparan kafan. Tapi aku paham bahwa ini adalah jalan yang telah Dia pilihkan.

Aku hanya sebutir debu merah yang kini bersarang di renda spanyol, yang menjadi aksesori elok di baju perempuan ini. Aku bertahan cukup lama di sini sejak gemuruhnya pesta. Senantiasa melekat pada sebuah rongga bordir yang likat. Aku merasa nyaman di renda spanyol ini karena merasa dapat berlindung dari tatapan Tuhan.

Ketika menyembunyikan diri dari Tuhan dan cara kerjanya, aku selalu membayangkan tentang sesuatu yang bernama kebetulan. Barangkali pertemuanku dengan perempuan ini juga cuma kebetulan. Dan kau paham, kebetulan itu seperti keajaiban kecil. Sesuatu yang tak terbeli dan sering hanya terjadi sekali. Tentu saja kebetulan juga tidak direncanakan dan baru bisa dicerna setelah beberapa saat kejadian.

Ketika asyik merenungkan kebetulan yang terlepas dari campur tangan Tuhan, tanpa sebab yang jelas, jemari angin dari jendela yang terbuka kembali melentingkanku ke udara dan mendaratkanku di telapak tangan perempuan itu yang sedang tertidur lelap. Perempuan itu tidak pernah lupa berdoa sebelum berangkat tidur tapi dia selalu lupa pada mimpi-mimpinya.

Semula kuanggap hembusan angin itu hanya kebetulan tapi justru hal sepele itu mengantarku mencuri lihat suratan. Di telapak tangan perempuan itu yang memucat, aku tercekat. Aku berusaha menerbangkan diri lagi tapi tak kuasa. Aku gemetar dan limbung. Aku kadung membaca kematian di garis tangannya.

Aku mencari-cari wajah Tuhan di kamar itu tapi yang kutemui hanya mata berongga milik selarik renda spanyol yang menatap kosong pada diriku yang menangis tanpa airmata.

Jalan Anjing

TIDAK ada yang tahu persis kenapa jalan ini dinamakan Jalan Anjing. Orang tentu saja tidak asal dalam menamai sebuah ruas jalan. Menurut kebiasaan, nama yang dipakai untuk sebuah jalan adalah nama seorang pahlawan atau kata indah lainnya yang mungkin sekalimenyimpan romantika sejarah. Intinya nama-nama yang berbau kebaikan. Maka kau mungkin benar jika mengira dahulu ada sosok anjing luar biasa yang pernah dilahirkan atau hidup di daerah ini. Dan sebagai penghargaan atas jasa-jasanya maka namanya digunakan sebagai nama jalan. Dan dengan penamaan ini, berarti anjing terhormat itu telah mengangkat harkat dan martabat anjing di seluruh dunia dan akhirat.

Tapi perkiraanmu mungkin juga luput karena nama jalan ini tidak merujuk pada satu nama anjing. Nama ini masih terlalu umum sepertihalnya Jalan Bekicot. Tapi mungkin kita akan berpikiran sama ketika melintasi jalan ini yang akan segera mengingatkan pada sebuah film mengharukan yang mendramatisasikan kesetiaan seekor anjing pada tuannya. Konon anjing adalah binatang yang paling setia. Bahkan terkadang anjing lebih setia disbanding orang-orang tercinta, karena seekor anjing adalah pemaaf tulen bagi kesalahan- kesalahan tuannya. Tapi satu hal yang pasti, tidak pernah ada garansi atas kesetiaan sehingga jika kesetiaan itu rusak maka tidak akan ada tempat untuk mereparasinya.

Tapi anehnya di sepanjang jalan ini tidak ditemukan patung atau monumen anjing. Barangkali pemerintah kota termasuk pemuja fanatik kebatinan sehingga menganggap kesetiaan tidak pantas diberhalakan namun mengalir seperti udara yang ditarikhembuskan oleh semua pemakai jalan ini —ini jika kita masih bersikeras mengidentikkan anjing dengan kesetiaan. Tapi sekali lagi, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai penamaan jalan ini. Kau juga boleh beranggapan bahwa anjing adalah binatang yang tidak setia karena tega memakan bekicot, misalnya. Tidak ada seorang pun yang menganjurkanmu untuk belajar setia di jalan ini.

Dan pada pagi yang berlinang hangat cahaya ini seekor anjing melintas di jalan itu. Seekor anjing berbulu tebal kecokelatan dengan muka murung dan gelisah. Dari kesantunan geraknya terbaca kesetiaan. Anjing itu berjalan menunduk seperti dikutuk cuaca cerah. Dia enggan memuja kejernihan langit. Di sebuah tempat yang bersih, di bawah pohon maple yang menggugurkan daunnya anjing itu menghentikan langkah dan merebahkan diri. Daundaun maple berjatuhan dan berputar di udara seperti baling-baling merah yang bahagia.

Anjing itu tanpa kekhawatiran melihat lalu-lalang manusia. Ada sepasang kekasih sedang bercengkrama di sebuah bangku di sisi lain pohon maple itu. Barangkali mereka juga sedang mengikrarkan kesetiaan. Lidah anjing itu terjulur seakan sedang menjilat partikel-partikel kegembiraan di udara. Tidak ada yang mengira bahwa sebenarnya anjing itu sedang berdoa. Dia menghadap sosok yang sangat berkuasa dan tentu saja tidak kasat mata. Sebuah doa yang dilandasi selembar kesetiaan yang tulus, yang hanya dimiliki bangsa binatang. Doa pendek agar Tuhan menggagalkan rencana pembunuhan yang sedang disusun tuannya.

 

Pembalasan Dendam Robbie

NAMA panggilannya Robbie. Dia terlahir tidak untuk mengampuni. Dia keras terhadap segala hal bahkan terhadap dirinya sendiri. Dia laki-laki dan tak sepatutnya memberi tempat pada kelembekan hati.

Robbie memiliki seekor anjing dan seorang kekasih. Anjing yang sangat setia dan kekasih yang tak lagi setia. Anjing yang menurutnya rajin mendoakannya dan kekasih yang nyata-nyata berselingkuh di depan matanya. Maka sudah semestinya kekasihnya itu mendapat hukuman. Cinta adalah ikrar kesetiaan dan tak ada pengampunan untuk pengkhianatan.

Robbie bukan seorang pecinta yang rapuh yang senantiasa menganggap bahwa karunia terbesar dari cinta adalah pemakluman. Robbie tidak akan memaklumi tindakan kekasihnya yang mengobral cinta sucinya di hadapan banyak pasang mata. Robbie harus bersikap tegas. Maaf dan pemakluman hanya akan menjadikannya kian lemah dan tidak dihargai.

Robbie rajin membaca kitab suci dan merasa menjadi sosok yang kuat dan tegas karenanya. Banyak tulisan dalam kitab suci yang menuntut umatnya untuk menegakkan kebenaran. Hal senada juga sering didengarnya dari suara para pengkhotbah di tempat ibadah. Hidup di dunia ini penuh dengan larangan. Hidup yang penuh rambu-rambu dengan garis batas yang tidak boleh dilanggar. Jika terjadi pelanggaran tentu Tuhan akan marah. Dan manusia sebagai messiah harus menegakkan aturan Tuhan atas si pelanggar dan kembali membersihkan dunia dari ancaman laknat Tuhan.

Dan Robbie yakin sepenuhnya bahwa kekasihnya tidak hanya berselingkuh tapi juga telah melanggar ketetapan Tuhan. Maka demi kesucian nama Tuhan dan pemurnian atas jiwanya yang ternodai, dia harus bertindak. Dia mengambil pistol yang disimpannya di almari baju dan mengisinya dengan dua butir peluru.

Bagi Robbie saat itu, tangannya adalah tangan Tuhan. Dua butir peluru di pistolnya adalah mesiu perang suci. Sebutir peluru untuk menegakkan hukum Tuhan karena kekasihnya melakukan dosa besar sangat hina yang melanggar ketetapan Tuhan dan sebutir peluru lagi untuk membersihkan hatinya dari pecahan derita pengkhianatan. Robbie berdoa begitu khusyuk agar ibadah sucinya ini berhasil lalu berjalan tenang menuju rumah kekasihnya.

 

Sarah Victoria

PEREMPUAN yang gemar memakai gaun dengan aksesori renda spanyol itu bernama Sarah Victoria. Sarah adalah perempuan periang dengan kegembiraan yang terasa sakral. Dia memiliki aura ketulusan yang selalu memancar dari dirinya. Jika ada anggapan bahwa ada manusia yang dilahirkan untuk tidak mempunyai musuh di dunia ini, mungkin Sarah Victoria adalah manusia itu.

Hidup Sarah Victoria barangkali klise. Dia senang berderma dan aktif dalam beberapa gerakan kemanusiaan. Hidupnya adalah pertolongan bagi sesama. Sarah memiliki banyak kawan yang berusaha membalas ketulusan hatinya dengan kebaikan yang berlipat.

Sejauh ini hidup Sarah terlihat mulus dan bahagia. Sarah memiliki seorang kekasih yang walau berpandangan kolot tapi sangat mencintainya. Kekasih Sarah adalah seorang umat yang taat dan pendoa yang militan. Kekasihnya selalu ada saat Sarahmembutuhkannya. Hidup merekabaik-baik saja dan mungkin dalam waktu dekat akan menalikan kasih dalam sebuah ikatan pernikahan.

Sarah merasa hidupnya adalah lautan berkah. Tuhan selalu bersamanya dan menjaganya dari segala marabahaya. Dengan tindakan baik yang kerap dilakukannya, Sarah merasa telah menjaga dan merawat hubungan baiknya dengan Tuhan. Tak ada yang perlu Sarah risaukan. Dunia seakan adalah semesta kecil dan Sarah Victoria adalah pusatnya.

Dan tentu saja kematian tragis Sarah Victoria mengguncang jiwa siapa saja yang pernah mengenal sosoknya. Kematian Sarah Victoria seperti fiksi mengerikan yang menetas di ranah kenyataan. Pada pagi yang berlarat, mayat Sarah Victoria ditemukan di kamarnya. Ada dua butir peluru bersarang di tubuhnya, sebutir di tengah jidatnya dan sebutir lagi tepat di jantungnya. Dan yang paling mengguncangkan jiwa adalah di tangan kanan mayat Sarah Victoria erat tergenggam rosario.

 

Ciuman Catalina

DI lokasi penggalangan dana untuk para penderita kanker payudara itu, Catalina adalah bintang kejora. Dia jauh dan tak terengkuh oleh sentuh lelaki mana pun. Catalina adalah kerlap cahaya cemerlang yang memantul dari lampu kristal dan denting termerdu dari gelas beradu. Catalina terlihat sangat anggun dan elegan.

Dia nampak jelita dengan gaunnya yang menyala. Ada motif gradasi yang mengesankan ada jutaan noktah merah menyebar di gaunnya. Kecantikannya merekah sempurna. Langkahnya menggoda, membikin tatapan tiap lelaki lamur melebihi mabuk yang ditawarkan berbotol anggur.

Malam itu kenangan seperti pecah. Lagu-lagu dari masa lalu mengalun lembut. Lampu Kristal menawarkan sisi teduh dan temaram. Orang-orang berdansa dengan melankolia yang bersahaja. Tapi tetap saja pusat dari keindahan seremoni dansa itu adalah Catalina. Tiap pria seakan ingin menjadi pasangannya. Tapi seperti udara, Catalina senantiasa meliuk menghindari tiap peluk.

Catalina seperti kupu-kupu elok yang hinggap dari satu meja ke meja lainnya. Sebagai ketua panitia penggalangan dana, dia ramah menyambangi tiap meja para donatur dan penderma. Tapi di meja ke sekian tempat sepasang kekasih bercakap hangat, Catalina hinggap agak lama. Dia mendadak ingin melantai tapi justru tangannya terulur pada si perempuan. Si lelaki hanya melihat dengan tatapan yang susah diartikan ketika melihat kekasihnya berdansa mesra mengikuti gerak tubuh Catalina.

Sebenarnya Catalina dan gadis itu belum pernah saling kenal sebelumnya tapi entah kenapa ada sesuatu yang aneh pada malam itu yang menautkan mereka. Ada keakraban purba yang tiba-tiba menyelimuti mereka. Mereka berdua berdansa seperti sepasang senyawa yang tak lagi bisa diurai unsur-unsurnya. Mereka seperti pasangan abadi dari masa lalu yang kembali bertemu setelah menempuh parak waktu. Mereka adalah puncak keindahan pada malam itu.

Pada sebuah momentum yang ganjil dan ajaib, pada klimaks sebuah lagu cinta, tiba-tiba bibir mereka berpagutan. Dalam dan lama. Itulah sebuah ciuman yang memurnikan sekaligus mematikan. Bibir Catalina menawarkan bara dan perempuan itu membalasnya. Bibir mereka saling melumat. Semua yang hadir di tempat itu menyaksikan adegan ciuman itu dengan jantung berdesir. Mata Catalina dan perempuan itu terpejam dan dunia seakan berhenti sesaat. Tapi sesungguhnyalah dunia tak pernah berhenti berputar, kehidupan sedang menyiapkan kejutan. Selama mereka berciuman sebutir debu merah di baju Catalina terhempas angin dan berpindah ke renda spanyol di baju perempuan itu.

Beberapa perasaan yang belum ternamai lahir dari ciuman itu. Dan tentu saja ada seorang laki-laki yang tiba-tiba memikirkan Tuhan. (62)

 

 

Solo, Maret 2013

— Cerpen ini dikembangkan dari lima judul lagu instrumental milik grup Acoustic Alchemy yakni ‘’Red Dust and Spanish Lace’’, ‘’Road Dogs’’, ‘’Robbie’s Revenge’’, ‘’Sarah Victoria’’, dan ‘’Catalina Kiss’’ yang kebetulan tersusun secara acak di playlist pengarang. Terjadi improvisasi pemaknaan terhadap pengalihbahasaan ‘’Road Dogs’’ sebagai subjudul.

Gunawan Tri Atmojo, cerpenis, tinggal di Solo


Filed under: Gunawan Tri Atmodjo Tagged: Suara Merdeka

Serimpi Sangopati

$
0
0

Cerpen Karisma Fahmi Y. (Koran Tempo, 2 Maret 2014)

Serimpi Sangopati ilustrasi Munzir Fadly

RARA Ireng menatap sekali lagi merah cermai yang lekat di bibirnya. Dipatutnya bayangan pada cermin lonjong di depannya. Sebelumnya ia tak pernah membayangkan tubuh dan rupanya akan sesempurna itu. Ia nyaris tak percaya bayangan itu adalah dirinya.

Ia pernah pergi ke tengah kali dan menatap parasnya. Air bergelombang ketika gethek yang ditumpanginya berjalan pelan menyibak riak sungai yang kecokelatan. Ia merasa ikan-ikan mengikuti bayangannya, seolah mengolok rupanya yang sawo matang. Pada sekilas guratan air yang bergelombang itu, ia menemukan dirinya. 

Tapi di depan cermin lonjong malam itu, ia hampir tak dapat mengenali dirinya. Kulitnya berubah menjadi kuning langsat setelah aneka lulur diborehkan selama ia tinggal di keputren ini. Ia merasa asing dengan bayangan itu. Di pantulan bayangan cermin ia kehilangan wajahnya, kehilangan rupa yang selama bertahun-tahun dimilikinya.

Ia membenahi sanggulnya. Bokor mengkurep itu sungguh berat memasung kepala hingga lehernya. Dengan sanggul ini, kau tak bisa bergerak sembarangan. Sanggul ini akan menjadi kekuatanmu, kata mbah Yayi. Dua bulan penuh ia berlatih menari pada Mbah Yayi di pendopo keputren keraton. Itu bukan hal ringan. Ia bersama tiga anggota pasukan telik sandhi lain ditugaskan untuk mengikuti latihan menari Serimpi untuk menyambut kedatangan sang gupermen kumpeni.

Bergeraklah dengan pikiranmu, jangan hanya menggerakkan tubuhmu. Biarkan gamelan menggerakkan tubuhmu. Biarkan gamelan membawa jiwamu. Bergeraklah dengan pelan, ringan, gemulai seperti mimpi. Itulah tujuan Serimpi, kata Mbah Yayi lagi, menjawil ujung dagunya. Jangan lupa tersenyum.

Pentas tari adalah rahasia yang harus ia penuhi malam itu. Nyalinya benar-benar diuji. Tak seperti tugas-tugas biasanya ketika ia menjadi kesatria, menjadi mata-mata, pemburu atau bahkan pembunuh. Kali ini ia menjadi penari. Jelas ia tak akan mengenakan topeng penutup muka. Kini ia adalah tombak, yang langsung menghadang sasaran. Ini adalah kali pertama ia harus percaya pada kelemahlembutan dalam menghadapi lawan. Tugas berat itu langsung diperintahkan Kanjeng Sinuhun padanya. Berbulan-bulan ia melatih diri menjadi perempuan lembut sempurna dalam balutan gemulai tari agung putri kahyangan.

Rara Ireng menarik napas dalam-dalam. Dadanya berdebar. Kelonengan gamelan di pendopo keraton mulai dimainkan. Sekali lagi dipatutnya kaca. Centhung, garuda mungkur, sisir jeram sa’ajar dan cundhuk menthul masih terpasang apik di sanggulnya. Ia merasa terlalu berlebihan. Namun ia tahu, bedak kuning yang dipasang di mukanya memang untuk menyembunyikan dirinya. Menyembunyikan jati dirinya.

Gamelan berkeloneng merdu. Barisan abdi dalem duduk bersimpuh menunggu Kanjeng Sinuhun. Rara Ireng menghanturkan sembah takzim. Abdi dalem membawa bokor berisi air kembang, mengharap keselamatan dan keberhasilan. Kanjeng Sinuhun berjalan menuju pendopo utama. Dengan tangan menyembah, Rara Ireng berjinjit mengikut di belakang.

AKU tak membayangkan pendopo akan sewingit ini. Ruangan menjadi lebih terang. Niyaga khidmat menabuh gamelan. Nada yang lamat-lamat terdengar menyayat. Aroma kamboja menyengat ruangan. Ini adalah tugas besar yang harus terlaksana. Upaya ini harus berhasil, Kanjeng Sinuhun harus bisa menyelamatkan pantai pesisir utara dari tangan serakah Belanda. Dan demi itulah aku berada di sini. Di garis depan. Pesisir utara adalah tanah air tempat segala cintaku bermula. Apa pun bisa terjadi hari ini. Senjata yang kusemat ini akan menjadi bekal ketika semua harus berakhir tak sesuai rencana. Tak ada lagi permainan. Peluru pun siap ditembakkan. Aku harus mengasah kesabaran. Inilah harga mahal untuk kemerdekaan.

Panji-panji perang tegak berjajar di tepi ruangan. Semoga kumpeni merah itu tak peduli makna panji-panji ini. Aku tersentak. Benar-benar kurang ajar cindhil raksasa ini. Mereka duduk sama tinggi dengan Kanjeng Sinuhun! Kalau bukan demi tugas ini pasti sudah kugorok leher mereka yang gendut berlipat itu dengan cundrik. Tapi aku sadar, kesombongan mereka memang harus ditaklukkan. Dan untuk itulah aku berada di sini. Mengelabui makhluk-makhluk merah itu dan menanggalkan keserakahan mereka.

Lembut suara gamelan memenuhi ruangan. Gaungnya membawa siapa saja pada bayangan surga. Dadaku berdegup kencang. Akankah Serimpi Sangopati ini benar-benar menjadi jalan kematian? Aku menghayati alunan lembut itu. senyum manis harus segera kurekahkan. Senyum yang melambangkan api yang beterbangan dalam diri manusia. Keserakahan dan kesombongan mereka harus ditumbangkan. Kini aku tahu mengapa aku harus merias diri sedemikian rupa untuk tarian ini. Karena itulah satu-satunya hal yang dapat menjadi pembeda. Aku harus bisa melepas diriku sendiri dan benar-benar menjadi penari. Pupur tebal ini bahkan mengelabui diriku sendiri. Mungkin juga akan mengelabui mautku. Juga para kumpeni itu. Mereka tak boleh tahu arti semua ini. Mereka tak boleh tahu siapa aku, anggota pasukan telik sandhi yang biasa menyusup ke sarang mereka.

Gayatri menangkap keresahanku dengan siaga. Dialah yang menjadi angin dalam pementasan ini. Serimpi Sangopati. Drama sederhana tentang pertarungan. Sebuah peperangan yang dilakukan dalam gerak halus gemulai swargaloka. Drama pertarungan manusia menuju mimpi sebelum menghadapi kematian.

Dengung gong lembut bergema membawa angan ke dunia yang tak terjamah. Dunia tanpa bentuk Serimpi Sangopati. Benar nasihat Mbah Yayi, biarkan musik membawa dirimu menari. Aku mengikuti arus itu, alunan yang mengerakkan raga begitu saja. Aku hanyut, menerbangkan para kumpeni ke alam mimpi.

Api, tanah, air dan angin dalam tarian ini menembus ruang mata para kumpeni yang menganga larut dalam kelembutan. Gerak agung ini pun menyihirku. Berkali-kali takjub mataku menyaksikan cindhe kembang ungu tua yang kami kenakan bermekaran. Di ambang cahaya yang semakin temaram, kembang-kembang itu merekah segar. Mereka hidup, menawarkan mimpi ungu surgawi dalam balutan perang berselubung gemulai tari.

Arak pun mengisi ruangan. Inilah hidup yang sebenarnya, mampir ngombe. Dan inilah hidup yang sebenarnya bagi kami, panggung halus yang mencengkeram tulang belakang. Kami akan pertahankan tanah kelahiran kami. Cindhil merah itu terus menenggak arak ketan ke mulut mereka yang lebar. Beberapa kali roncean tiba dhadha tersibak, menebarkan wangi yang gaib. Aroma kematian. Aku menggigil dalam tarian. Musik bergelombang pelan. Angin berembus dingin menerbangkan harum melati, kantil dan kamboja, mengalahkan aroma kecut ragi ketan di cawan-cawan yang tak henti mereka reguk.

Ketika gamelan menaikkan dan mempercepat bunyi, tubuhku mulai mengkilap oleh keringat. Gerak gemulai ini menghabiskan tenaga yang setara dengan seratus kali tikaman belati. Tubuhku duduk, berdiri dan berputar perlahan seperti api yang tenang membakar. Seperti angin jahat yang perlahan menerbangkan nafsu duniawi, seperti menggali tanah sebelum mengubur diri sendiri, seperti berenang melawan arus seribu pusar air di kedalaman. Tubuhku lelah, gamelan sendu terus mengalun.

Kukibarkan sampir putih hingga jatuh ke pangkuan. Sampir putih yang menjadi ketulusanku mengabdi pada negeri ini. Aku mengatur nafas menolak lelah, tak sedetik pun aku boleh lengah. Aku terus menari.

Mata para kumpeni  itu mulai memerah. Hanya cawan arak dan tuak itulah yang mengalihkan pandangan mereka dari pentas. Selebihnya, mata itu menatap kami dari kepala hingga ujung kaki. Jemparing, jebeng, pistol dan cundrik tersimpan rapi di lipatan kain kami. Kami harus terus bersiaga. Sesekali senjata-senjata itu tergenggam dalam adegan perang dalam tarian, dan lagi-lagi kami harus menahan diri dari kepungan mata laknat kumpeni. Kami harus bisa mengelabui kumpeni dengan siasat ini.

Para kumpeni dan Kanjeng Sinuhun telah membahas perjanjian. Perjanjian perihal kedudukan pantai pesisir utara dan hutan-hutan jati di sekitarnya. Kupasang telinga dan kusiagakan mata. Arak dan tuak sudah bekerja. Suasana mulai gempita. Para kumpeni tertawa-tawa. Bau keringat mereka menguar ke udara. Bacin, kecut, seperti aroma keju campur cerutu. Waktu berjalan lamban. Aku yakin tak ada yang sia-sia. Aku percaya pada rencana yang telah dititahkan Kanjeng Sinuhun.

Gamelan melantun sunyi. Sesaat sunyi mencekam, kawanan buto bule itu pun menandatangani kertas perjanjian. Cawak tuak kosong berserakan. Kanjeng Sinuhun mengerdipkan mata pada niyaga. Gamelan kembali menggema. Sesekali tawa mereka meledak memenuhi ruangan. Kanjeng Sinuhun tersenyum. Cita-cita kami telah tercapai. Kami berhasil menaklukkan mereka dalam perang yang gemulai dan tanpa pertumpahan darah. Pertunjukan usai. Kami bersimpuh duduk tegak takzim di pinggir ruangan, mengatur napas lelah agar tak terdengar. Letih luar biasa. Inilah sebenarnya pertarungan kesatria perempuan.

Kanjeng Sinuhun telah menyiapkan kereta kencana dengan dua kuda putih di halaman. Sambil tertawa mereka berjalan sempoyongan, bersender di saka guru pendopo. Tubuh mereka doyong hampir rubuh. Beberapa prajurit jaga membantu mereka memasuki kereta. Mereka menyanyikan lagu berbahasa Belanda dengan sumbang. Kanjeng Sinuhun berjalan ke depan, melepas tamu-tamu hingga hilang dari pandangan.

RARA Ireng membawa kudanya berlari menempuhi riak-riak ombak di sepanjang pantai utara. Ia berhenti di ambang pantai. Dituntunnya Ireng, kudanya yang hitam mengkilat gagah berani. Berdua mereka berjalan beriringan di sepanjang pantai. Ditatapnya pasir pantai yang lolos dari cengkeraman kaum kumpeni. Inilah pesisir yang ia pertahankan dengan gemulai pusaka agung tarian perang beberapa bulan yang lalu agar tak jatuh ke tangan penjajah.

Ditatapnya bulan sabit yang menghias langit. Sesaat lagi fajar merah akan merekahkan pantai. Ia akan menangkupkan telapak tangan untuk bersemadi. Dari arah selatan terdengar derap-derap kuda melaju. Ditajamkannya pandangan dan pendengaran. Gerombolan kuda itu tak berbendera, tak berpanji. Alis hitamnya segera menaut ketika matanya menangkap para penunggang kuda yang melaju ke arahnya. Seketika dicabutnya cundrik dari lipatan bajunya. Cundrik hadiah dari Kanjeng Sinuhun setelah pementasan tari serimpi itu. Ia tahu, makhluk-makhluk serakah itu akan mengkhianati perjanjian.

 

Rumah Ladam,

Januari 2014

 

Catatan

Gethek: rakit dari bambu. Bokor mengkurep: jenis sanggulan rambut. Telik sandhi: regu mata-mata. Abdi dalem: pegawai istana. Niyaga: penabuh gamelan. Cindhil: anak tikus yang masih merah. Cundrik: keris kecil. Cindhe kembang: salah satu jenis motif batik. Mampir ngombe: mampir minum, falsafah hidup orang jawa memahami hakikat hidup di dunia. Tiba dhadha: roncean kembang melati yang biasanya digunakan para pengantin, disampirkan di bagian samping dada. Jemparing: panah. Jebeng: tombak pendek. Buto: raksasa jahat. Saka guru: tiang bangunan.

Karisma Fahmi Y

Lahir di kota Pare, Kediri, Jawa Timur. Ia tinggal di Solo.


Filed under: Karisma Fahmi Y. Tagged: Koran Tempo

Tubuh yang Diam

$
0
0

Cerpen Adi Zamzam (Media Indonesia, 2 Maret 2014)

Tubuh yang Diam ilustrasi Pata Areadi

SEJAK bangun tidur, ia sudah merasakan kekosongan itu. Semakin terasa saat ia memaksakan diri untuk bangun. Kosong yang paling kosong. Seperti lelah yang telah lama menumpuk, hingga ia kembali merebahkan tubuh, sebelum akhirnya berkeputusan untuk pergi ke dokter.

Ia tak yakin, apakah kekosongan yang seperti lelah ini bersumber dari gejala sebuah penyakit atau hanya perasaannya. Karena itulah ia juga tak yakin apakah dokter bisa menyembuhkan keluhan yang dialaminya sekarang, meski akhirnya ia berangkat ke dokter juga. 

“Lelah saja rasanya, Dok,” jawabnya saat dokter menanyakan keluhan. “Rasanya seperti tidak punya kaki, tidak punya tangan, dan tidak punya kepala. Mau mengerjakan apa, mau ke mana, rasanya bingung saja. Tak ada gairah.”

Dokter sepertinya sudah paham dengan keluhan semacam itu. Dan ia kemudian menuliskan resep. “Diminum yang teratur ya, Pak. Sementara ini Bapak istirahat dulu sampai lelahnya hilang.”

*

Ia sudah minum obat dari dokter. Tapi kekosongan yang membawa rasa lelah itu tetap tak mau mengendap dalam tubuhnya. Seperti ada riuh yang tak mau berhenti, bahkan saat ia coba berkonsentrasi dengan televisi yang ia tonton.

Ia merasa kepalanya sedang berada di tempat lain. Kepalanya sedang berbicara di hadapan banyak orang, dari A sampai Z, tentang taktik pemenangan dirinya yang harus dijalankan oleh mereka, tentang bagaimana caranya mengumpulkan dana dan bagaimana caranya mengoptimalkan dana tersebut, bagaimana caranya meraih simpati orang-orang, juga tentang bagaimana-bagaimana lainnya yang berkaitan dengan pencalonan dirinya sebagai orang nomor satu di kotanya.

Ia merasa telinganya tidak sedang mendengarkan suara televisi. Telinganya sedang mendengarkan semua yang dilaporkan oleh mereka. Tentang citra dirinya di mata masyarakat, tentang isu-isu negatif seputar dirinya, tentang aspirasi para pendukungnya, juga tentang konstelasi panggung pemilu. Telinganya harus selalu mendengar semua berita tentang itu, kapan pun, di mana pun. Suara-suara itu tak boleh ia abaikan.

Ia juga merasa kedua matanya tidak sedang melihat gambar televisi semata. Di kedua matanya juga melintas gambar-gambar lain. Perihal keadaan orang-orang yang akan menjadi sasaran kampanyenya, perihal apa-apa yang mesti ia janjikan kepada mereka kemudian, juga perihal semua yang berkaitan dengan pelaksanaan program-program yang telah direncanakan.

Ia juga merasa bahwa kedua tangannya sedang berada di tempat lain. Kedua tangannya tidak sedang menyertai kepalanya yang sibuk sendiri. Kedua tangannya sedang menemani istri tercinta yang memanjakan diri ke mana pun perempuan itu berselera, mulai dari tempat perawatan tubuh sampai butik-butik ternama.

Ia sengaja menyisakan tangannya saja di samping sang istri, sebab kepalanya tak begitu penting saat berada di samping perempuan itu. Selera istrinya untuk memanjakan diri sering tak bisa diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk dirinya. Karena itulah ia selalu hanya menyisakan kedua tangannya saja untuk merangkul sang istri. Sekadar memberi tanda bahwa ia selalu setia menemani dan mendukung keinginan istri.

Tentu saja hal itu juga karena ia tak bisa membebani tangannya untuk berpikir. Saat bersama sang istri, ia hanya menyuruh tangannya untuk bersetia melayani dan membuatnya senang. Lagi pula kedua tangannya tak begitu penting bagi kepalanya lagi, sebab kepalanya bisa dengan mudah menjadikan orang lain sebagai tangan kanan atau tangan kirinya.

Terakhir kedua kakinya. Ia pun merasa kedua kakinya sedang berada di tempat lain. Kedua kakinya tidak sedang menemani kepalanya yang sibuk dengan urusannya sendiri. Kedua kakinya tidak begitu penting bagi kepalanya, sebab kepalanya juga bisa dengan mudah menjadikan orang lain sebagai kedua kakinya. Kedua kakinya juga tidak sedang menemani tangannya yang sedang sibuk menemani istrinya. Kedua kakinya mempunyai kesibukan tersendiri, yakni memanjakan diri dari satu tempat hiburan ke tempat hiburan lainnya.

Kedua kakinya akan sangat senang sekali saat bisa turun ke lantai diskotek yang bingar, joget berdesak-desakan, lalu setelah lelah dia akan menepi dengan seorang perempuan. Kakinya tak perlu khawatir dengan omongan orang-orang, dengan para wartawan yang selalu ingin mendapatkan berita sensasional tentang dirinya, sebab tak ada yang kenal betul bahwa kedua kaki itu adalah kepunyaannya. Karena itulah kedua kakinya bisa dengan leluasa pergi bersenang-senang ke tempat mana pun yang ia suka.

Kedua kakinya selalu hanya membawa uang saat pergi bersenang-senang. Kedua kakinya tahu persis bahwa di tempat semacam itu yang jadi perhatian hanyalah uang. Ia tak pernah membiarkan kepala atau tangannya mengikuti langkah kedua kakinya. Itu jelas berbahaya! Toh hanya dengan kedua kaki ia bisa mendapatkan kesenangan yang memuaskan.

*

Obat dari dokter telah habis, tapi ia masih saja merasakan gejala itu. Kekosongan yang membawa rasa lelah. Seperti selalu dikejar-kejar sesuatu. Seperti ada yang selalu melompat-lompat tergesa di dalam kepalanya. Seperti ada yang selalu berseliweran di depan matanya, bahkan dalam keadaan pejam sekalipun. Seperti ada suara-suara yang tak mau mengendap di liang telinganya.

Ia sering merasa semua anggota tubuhnya sedang tak berdiam meski ia berdiam atau berbaring di pembaringan. Ia sering hilang fokus, konsentrasi, juga gairah. Meski kemudian ia sudah berusaha memanjakan diri sepuas-puasnya. Entah apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya.

Sampai pada keterkejutan di sebuah pagi, saat ia becermin merapikan diri. Tak ada bayangan yang bisa ia lihat dalam cermin. Seolah tak ada orang yang berdiri di depan cermin, padahal ia sedang mematut diri di hadapan cermin. Ia tercenung. Kenapa bisa begitu? Ia merenung. Inikah penyebab dari semua yang ia rasakan selama ini?

Akhirnya ia pun memutuskan. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengambil kembali sepasang tangannya yang selama ini selalu setia menemani si istri.

“Aku tahu kalau selama ini kau hanya memberikan tanganmu untukku. Kau tak pernah benar-benar ada untukku. Lalu kenapa sekarang kau ingin mengambilnya juga dariku?” ujar si istri ketika dua tangan yang selalu menemani diambil kembali oleh suaminya.

“Hanya sebentar,” jawabnya.

“Sebentar? Dulu kepalamu pamitnya juga hanya untuk sebentar. Tapi nyatanya sampai detik ini kepalamu selalu sibuk dengan urusanmu sendiri.”

“Itu tanganku. Kenapa kau melarangku mengambil tanganku kembali?”

“Baik, ambillah. Tapi kalau kau ingkar janji, tak mau mengembalikan tangan itu kepadaku lagi, aku pun bisa mengambil keputusan.”

“Kau itu istriku. Mengertilah sedikit keadaanku.”

“Iya, aku tahu kau suamiku. Tapi kau juga mesti sadar apa kewajibanmu kan?”

Dengan sedikit perasaan kecewa ia pun akhirnya meninggalkan si istri dan lalu bergegas ke tempat di mana kepalanya sedang sibuk membagi tugas ini-itu kepada tim suksesnya.

“Kuambil kepalaku dulu ya? Untuk sementara jangan ganggu kami dengan persoalan apapun. Kami mau liburan sebentar. Untuk sementara kerjakanlah semua agenda yang telah kita susun kemarin,” ujarnya saat menghampiri kepalanya di hadapan para anak buah.

“Liburan berapa lama, Pak? Kenapa kami tak boleh menghubungi Bapak?” tanya salah seorang anak buah yang selama ini menjadi tangan kanannya.

“Mungkin dua atau tiga hari. Doakan saja keadaanku semakin membaik.”

“Bapak sakit?” bernada khawatir. Sebagai orang yang paling dipercaya, sikap perhatian itu hal lumrah.

“Tak usah khawatir. Kerjakan saja semua sesuai rencana. Nanti setelah keadaanku membaik, aku akan menghubungimu.”

Dengan sedikit perasaan lega, ia pun bergegas menuju sebuah tempat hiburan, tempat kedua kakinya sering bersenang-senang di sana. Ia mendatangi tempat itu dengan menyamar, sebab jika ketahuan banyak orang bisa ditebak akibatnya.

Berbagai media akan habis-habisan memakannya. Dan tentu saja itu adalah kemenangan di pihak lawan. Tak bolehada yang tahu bahwa orang itu adalah dirinya. Hanya kedua kaki nakal itu yang tahu. Kedua kaki yang hobi berdesak-desakan dengan perempuan-perempuan diskotek. Kedua kaki yang hobi mabuk.

Kedua kaki itu menolak ketika tahu ia dijemput. Ia bahkan sempat melarikan diri ketika dipaksa ikut.

*

Dugaannya benar. Setelah mengambil tangan dari sisi istri, kepala dari hadapan anak buah, dan kaki dari tempat bersenang-senang, ia pun serasa mendapatkan kesegaran baru. Kini ia merasa telah bertemu dengan dirinya sendiri. Ia menemukan kenyamanan yang paling nyaman.

Tapi kemudian ia merasa bingung dengan apa yang mesti dilakukannya beberapa hari ke depan. Jika ia kembali kepada istrinya, kepada anak buahnya yang amat menunggu, atau mampir lagi ke tempat hiburan itu, kejadian kemarin pasti akan terulang lagi.

Tubuhnya serasa terpencar-pencar. Ia merasa tak memiliki tubuh itu. Setiap bagian tubuhnya seperti memiliki keinginan sendiri-sendiri.

 

 

2014

Adi Zamzam, tinggal di Jepara telah menulis sejumlah buku fiksi

 


Filed under: Adi Zamzam Tagged: Media Indonesia

Arsip Aku di Kedalaman Krisis

$
0
0

Cerpen Afrizal Malna (Kompas, 9 Maret 2014)

Arsip Aku di Kedalaman Krisis ilustrasi -

KALIMAT ini letaknya agak ke kiri, di antara lipatan udara bergaram, botol kecap, dan daftar menu dengan serakan pasir laut tertempel pada ”cover”-nya. Lalat memenuhi meja makan, seperti titik-titik hitam bersayap.

Beberapa kalimat agak berantakan, ketika aku mencoba menatap Ni Komang Ayu. Hewan kecil itu kadang bermain di antara rambut Ni Komang yang terurai panjang, seperti mengukur jarak antara kesunyian dan pikiran-pikirannya. 

Tiga orang dari kota yang berlibur di pulau ini, Nusa Penida (namanya sering disebut sunfish), tampak seperti makhluk bodoh. Mereka sibuk dengan mobilephone masing-masing. Ni Komang akan menemani mereka menyelam di beberapa titik di pulau ini, di Circle Bay, Mangrove. Ia tampak gelisah, seperti menemani gumpalan daging yang masing-masing sibuk memainkan tombol-tombol cahaya itu.

Aku melompat dari kalimat seperti di atas. Hampir menjatuhkan botol saus di atas meja makan. Tiba-tiba angin dari laut bertiup kencang, menerbangkan cerpen ini. Aku mengejarnya. Angin berbalik ke arah pantai. Telapak kakiku tertusuk-tusuk bangkai karang laut, terhampar putih sepanjang Pantai Ped. Aku berhasil menangkap cerpen itu, agak ke kiri, antara seekor anjing putih yang sedang bermain dengan ombak, dan bentangan rumput laut yang ditanam penduduk di sepanjang pantai.

Aku kembali ke meja makan yang penuh lalat itu. Aku duduk agak ke kiri antara banana juice dan pertanyaan: siapa yang telah menuliskan pikiran Ni Komang tadi dalam cerpen ini? Aku merasa tidak pernah menuliskannya. Bahkan Ni Komang tidak mengenalku. Tetapi siapa aku? Aku tidak ingin hadir sebagai misteri dalam cerpen ini. Tokoh-tokoh yang kutulis dalam cerpen ini tidak tahu kehadiranku. Bagaimana caranya mengenalkan diriku kepadanya, karena aku dan Ni Komang sama-sama tidak nyata. Kami berdua sama-sama seorang fiksi.

Kaki Ni Komang mulai bergoyang-goyang, seperti bisa merasakan mengalirnya kalimat di atas ke dalam sel-sel darahnya. Kalimat yang seakan bisa merenovasi sel-sel darahnya. Ia seperti menatapku, tatapan dari seorang laut yang ombaknya tidak pernah terlihat.

Cuaca begitu cerah setelah hujan semalaman. Ni Komang masih harus menjemput seorang tamu lagi dari Sanur yang ketinggalan speedboat ke pulau ini. Di Toyapakeh, salah satu dermaga untuk speedboat, ia berdiri memandangi hamparan laut. Horison yang dibatasi sebuah pulau kecil, Ceningan, di depannya. Membentang seperti garis berkontur dengan bayangan Gunung Agung di belakangnya. Gelombang kabut selalu memperbarui kehadiran gunung itu. Kabut dan laut adalah cermin bergelombang yang memantulkan ilusi tentang cahaya. Itu yang sering dipikirkannya setiap memandangi gradasi dari laut maupun kabut.

Speedboat melaju seperti sebuah titik sedang membelah cermin yang tidak pernah memantulkan kedalamannya sendiri. Perahu bermesin itu terus menyayat buncah-buncah air laut yang berhamburan pada dinding-dindingnya. Teknologi yang rapuh itu sedang meluncur di permukaan laut, membuat titik hitam itu tampak seperti sebuah kesombongan yang rapuh.

”Selamat datang di Nusa,” katanya kepada tamu yang dijemputnya.

”Maaf, saya terlambat,” kata tamu itu. Seorang lelaki berusia sekitar 38 tahun. ”Cisco,” tamu itu memperkenalkan namanya. Aku menduga nama lengkapnya ”Franscisco”, dari Perancis. Ia terkesan cukup tahu bagaimana berhadapan dengan orang Indonesia yang latarnya berbeda-beda.

”Kita masih punya waktu untuk minum. Speedboat untuk menyelam baru datang jam 12 siang ini,” ujar Ni Komang. Tamu itu menganggukkan kepala. Membawa tasnya menuju kendaraan yang akan mengantar mereka ke kafe, di pinggir Pantai Ped. Speedboat akan menjemput mereka di pinggir pantai itu menuju ke titik penyelaman yang akan mereka tuju. Biasanya para penyelam menuju ke titik-titik di mana ikan seperti pari manta yang bentuknya mirip pesawat UFO, atau ikan mola-mola sering ditemukan.

Nita, instruktur untuk menyelam, sudah menunggu di kafe. Ni Komang bekerja sebagai asistennya, mengurus hal-hal yang lebih teknis. Tubuh Nita khas seorang penyelam. Tatapannya hampir selalu mengirim pesan bahwa ia selalu siap memberi perhatian. Tetapi aku merasa tatapan itu kadang mirip kandang macan. Dari kandang itu seekor macan tiba-tiba bisa melompat dan menerkammu. Aku duduk agak ke kiri antara fins (sepatu bersirip untuk nyelam), dan snorkel untuk bernapas saat menyelam yang dibawa Nita.

”Kenapa kita harus menyelam?” Nita mulai menyampaikan beberapa syarat penyelaman yang harus disepakati bersama empat penyelam dari kota yang harus mereka temani.

Speedboat mulai melaju dalam ayunan gelombang laut. Belahan-belahan warna biru kelam, biru kehijauan, putih dari pantulan cahaya menciptakan tema-tema yang selalu bergantian pada belahan-belahan gelombangnya. Dinding-dinding batu yang bercelah, putih oleh buih ombak yang menghantam dinding pulau. Seluruh penyelam sudah mengenakan wet suit, pakaian selam untuk menjaga suhu tubuh dari dinginnya kedalaman laut.

Dinding-dinding kesunyian mulai melayang bersama arus lembut di bawah permukaan laut. Jam untuk menyelam yang melingkar di tangan Ni Komang menunjukkan kedalaman 5 meter, terus turun hingga 8 meter. Jari-jari tangan dari 6 penyelam tampak menari-menari, menyampaikan bahasa isyarat dalam penyelaman. Nyawa mereka mulai bergantung pada snorkel, yang menghubungkan antara napas mereka dan tabung scuba yang menyimpan persediaan oksigen. Tubuh-tubuh yang telah bertambah dengan mesin.

Aktivitas gas dalam tubuh mulai berubah antara tekanan, volume, dan suhu laut. Oksigen, karbon dioksida, dan gas-gas lainnya mulai diserap lebih banyak oleh para penyelam untuk bernapas. Lalu lintas gas yang akan mengubah kesadaran mereka ke batas yang lain: antara keindahan, kelimbungan, dan manipulasi cahaya dalam laut. Ni Komang mendengar suara detak jantungnya sendiri, merayap, seperti gema yang memanjati dinding-dinding air. ”Apakah volume itu, apakah ukuran itu, apakah daya berat itu?” Pikirannya sering bergerak di sekitar pertanyaan ini setiap menyelam.

Mereka terus menyelam melampaui waktu 20 menit lebih. Tiba-tiba
salah seorang penyelam, yang sering memisahkan diri dari penyelam lainnya, menendang tanaman karang di dasar laut dengan kakinya. Beberapa tanaman patah dan hancur. Penyelam itu kesal karena sudah 20 menit menyelam, belum juga menemukan ikan pari manta atau mola-mola. Semua penyelam terkejut dengan tindakannya.

Nita mengejar penyelam itu, menyeretnya naik ke permukaan. Di permukaan laut, macan dari kandang tatapan mata Nita melompat dan menerkam penyelam itu.

”Hei orang kota!” bentaknya. ”Elu pikir elu emang siapa?!” Karena kesal, Nita menggunakan gaya bahasa Jakarta ke penyelam itu. ”Apa elu bisa nyiptain tanaman karang laut! Elu tau enggak, buat tumbuh 7 cm saja, tiap tanaman karang laut perlu waktu 1 taon. Kadang enggak cukup. Yang elu lakuin tadi, itu telah ngancurin waktu berpuluh-puluh taon hanya dalam beberapa detik kehidupan di dasar laut.”

Nita menyuruh penyelam itu naik ke speedboat. ”Bangsat!”

Malam hari, para penyelam menginap di hotel mirip asrama calon pastor, di Toyapakeh. Cisco menginap di rumah penduduk. Milik pamannya Ni Komang, I Gede Wicaksana. Pamannya banyak bercerita tentang masa kanaknya. Tentang ibunya yang bekerja membesarkan keluarga sebagai petani rumput laut. Merantau dari Klumpung, desa kelahirannya, ke Ped. Setiap malam, saat air laut surut, ia turun ke pantai memanen rumput laut. Menggigil dari dingin laut yang bersarang dalam tubuhnya.

Hari makin malam. Aku menyelusup masuk ke ”kamar suci” di bale dangin. Sebelah kiri antara pura keluarga dengan kebun kelapa dan kandang babi. Kamar suci, dalam tradisi Hindu-Bali, biasanya disediakan untuk orang tua menjelang kematian membawanya ke alam Mahabutha, alam yang non-material lagi sifatnya. Cerpen yang kutulis ini, seperti mendapatkan ruang kegelapannya dalam kamar kematian di bale dangin ini. Kegelapan untuk merenovasi cahaya.

Jam 8 pagi Gunung Agung berdiri sangat biru. Kami kembali menyelam, kali ini di titik yang lebih mendebarkan: Ceningan Wall, para penyelam menyebutnya. Pulau Ceningan hanya beberapa ratus meter di depan Nusa Penida, berdiri seperti taring batu yang menjulang dari dasar laut.

Kami menyelam sudah lebih 20 meter. Cahaya matahari merayap kian tipis. Kami mulai menggunakan senter, sementara dasar laut masih belum tampak. Ada seorang yang menyelam sampai 60 meter, dan dasarnya tetap masih belum terlihat. Maha kegelapan terbentang di bawah sana. Adakah proses pembentukan mikro biologi lain di bawah sana? Adakah semesta lain di dasar kegelapan laut?

Dunia visual dalam laut menghasilkan efek suara, seperti datang dari tulang belakang kepalaku. Suara itu menggali timbunan memoriku. Pantulan cahaya di antara lendir-lendir yang melapisi tubuh berbagai jenis ikan, berbagai warna yang menghiasi Ceningan Wall, seperti saling merajut dan melebarkan kembali vibrasi suara-suara itu.

Pada momen ini, aku seperti mendengar lagi tembang doa-doa Hindu-Bali. Mengolah gas-gas non-material dalam jiwaku. Aku ingin menyebutnya sebagai gas-gas spiritual dan estetik. Nyanyian itu membuat lingkaran gema yang menutup batas akhir dari kemampuanku menjangkau sesuatu. Lalu sesajen-sesajen dipersembahkan, seperti sebuah konservasi teologis untuk keliaran manusia dalam menembus hal-hal yang tidak bisa dijangkaunya.

Ada jarak sangat tipis, sekitar 2 meter, antara mataku dan laut. Jarak itu dipisahkan kaca google untuk melindungi mataku dari iritasi air laut. Jarak itulah yang membuat kehidupan di dalam laut menjadi fiksi baru tentang ukuran dan cahaya. Semua yang kulihat dari balik kaca google itu membesar dua kali lipat dan lebih dekat setengah kali lipat.

Perubahan gelembung gas dalam paru-paru dan otakku semakin membesar. Aku merasa kian melayang, mabuk. Ceningan Wall tiba-tiba berubah seperti monitor raksasa, menayangkan kehidupan kota. Tembang-tembang Hindu-Bali juga berubah kian riuh, bercampur berbagai bahasa asing dan mata uang asing. Monitor raksasa itu tiba-tiba runtuh ke dasar kegelapan mahabutha.

Lalu semuanya kembali hening. Keheningan yang seakan bisa kugenggam. Aku mulai melepas regulator dan selang snorkelku untuk bernapas, melepas tabung scuba dari punggungku. Kulihat tabung itu melayang, melepaskan gelembung-gelembung udara, terus turun ke dalam kegelapan mahabutha. Dan aku?

Aku sudah bukan aku lagi tanpa mesin bernapas itu.

Esok pagi, Ni Komang masuk ke kamar suci di bale dangin. Membersihkannya. Ia menemukan buku kumpulan cerpen August Strindberg dalam kamar itu, Cerita dari Stockholm, terjemahan Stefan Danerek. Ia heran, siapa yang telah meninggalkan buku ini di kamar suci? Nusa Penida tidak memiliki toko buku untuk mendapatkan Strindberg. Ia mencoba membaca bagian awal buku ini: Cerpen tentang seseorang yang tidak memiliki aku. Karena, sejak kecil ia dibesarkan ibunya untuk tidak memiliki keinginan. Cerita yang ditulis Strindberg hampir 200 tahun yang lalu.

Ni Komang kemudian menutup buku itu. Ia seperti merasakan ada napas dan bau seseorang yang membaca dalam kamar suci itu.


Filed under: Afrizal Malna Tagged: Kompas

Sungai Buntung

$
0
0

Cerpen Risda Nur Widia (Suara Merdeka, 9 Maret 2014)

Sungai Buntung ilustrasi Hery

ORANG-ORANG di kampungku percaya bahwa sungai itu bertuah. Sungai itu bernama Sungai Buntung, dan entah mengapa dinamakan seperti itu padahal sama sekali tak buntung. Air tetap mengalir deras seperti biasa. Tetapi, orang-orang dahulu meyakini bahwa sungai itu buntung, dan ujung dari sungai yang buntung itu, adalah Laut Selatan.

Setiap hari, pasti ada saja orang-orang yang bertapa di Sungai Buntung. Mereka mengasingkan diri di sana, dengan duduk bersila di bawah pohon, di samping batu besar, atau di bawah sebuah jembatan, yang umurnya sudah tidak dapat dihitung dengan jari lagi. Orang-orang itu akan berhari-hari bertapa di sana, dan seandainya mereka merasa lapar, mereka cukup memakan daun yang tumbuh di sekitar sungai. 

Kebiasaan aneh itu dimulai ketika ada seorang pemuda, yang tiba-tiba dapat meramal nomor-nomor togel. Pemuda itu memang acap termenung di tepi Sungai Buntung. Melamun. Ia dianggap memiliki kesaktian setelah seorang pria yang gemar berjudi, menanyakan nomor togel padanya, dan pria itu menjadi kaya karena nomor yang ditanyakan tembus.

Tetapi, kejadian itu, tak serta-merta dipercayai oleh warga, karena pada mulanya, mereka menggangap hal itu hanya kebetulan saja. Tetapi, pemuda itu kembali memprediksi bahwa akan ada bencana besar yang melanda kampung serta akan banyak memakan korban. Keesokan harinya, kabar itu menjadi kenyataan. Terjadi sebuah gempa bumi, hingga meruntuhkan semua rumah, dan ribuan manusia mati. Pemuda itu pun tidak luput dari kematian. Sejak itu, orang-orang mulai percaya bahwa Sungai Buntung memiliki tuah, yang dapat memberi kesaktian pada seorang.

Kini, Sungai Buntung tidak pernah sepi oleh para petapa yang memiliki berbagai ambisi di dalam kepalanya. Orang-orang itu berdatangan dengan berbagai macam keinginan, ada yang ingin cepat kaya, dimudahkan jodoh, bahkan pernah ada seorang wakil rakyat yang rela menahan lapar, dan dahaga, hanya untuk mencari wangsit, untuk keberhasilan pencalonan dirinya, sebagai anggota dewan.

‘’Akhirnya, Darto memenangkan pemilihan bupati di kotanya.’’

‘’Ya, itu mungkin berkat ia bertapa di Sungai Buntung.’’

‘’Apa kau tidak ingin bertapa di sana, mencari berkah untuk keberhasilanmu?’’

‘’Aku ingin, tetapi aku takut.’’

***

SUNGAI Buntung memang memiliki banyak rahasia yang disimpan. Selain dipercaya punya tuah, sungai itu juga dihuni banyak ular. Belum lama ini, ada seorang petapa yang meninggal dipatuk. Ia ditemukan mati dengan tubuh biru, dan buih berwarna putih keluar dari mulutnya.

‘’Itu mungkin salah satu ujian yang harus ditempuh oleh para petapa kalau ingin berhasil,’’ kata pemuda ketika ronda.

Aku sebenarnya tidak begitu memercayai hal-hal absurd semacam itu, tetapi warga kampungku, seakan telah mendewakan Sungai Buntung. Setiap Jumat Kliwon, warga di kampungku selalu menyiapkan berbagai macam sesajen, seperti bunga tujuh rupa, ayam berumur tiga bulan, kopi pahit, ketan tiga warna, dan kemenyan. Penduduk percaya, penunggu di Sungai Buntung akan mengamuk, dan meminta banyak tumbal, bila tidak dilakukan ruwatan.

‘’Kita semua tidak mau terkena getahnya? Kami takut, kejadian dua tahun lalu, seperti banjir yang hampir menelan semua rumah dan ternak, atau mungkin gempa bumi, akan terulang kembali,’’ kata Ketua Adat yang bersikukuh mempertahankan pemberian sesaji.

Pemangku agama di desaku hanya menggelengkan kepala, karena tak sanggup lagi, menghilangkan kebiasaan buruk warga, mendewakan sebuah sungai.

Sungguh, Sungai Buntung seakan memiliki sebuah bibir yang manis, yang terus membisiki kata-kata rayuan kepada warga-baik berupa ancaman, atau keberuntungan. Tidak ada yang berani melanggarnya, karena setiap warga takut akan tulah, kalau mereka melawan kehendak sungai tersebut.

***

SELAIN di desaku, arus Sungai Buntung juga mengalir ke beberapa desa tetangga seperti Desa Dongkelan dan Tegal. Tetapi, seolah-olah hanya desaku saja yang mendapatkan rahmat sekaligus kutukan dari sungai tersebut. Mengapa kutukan? Selain sebagai tempat untuk bertapa, Sungai Buntung merupakan tempat favorit bagi orang-orang yang telah putus asa untuk mengakhiri hidupnya. Banyak orang yang mati dengan cara tak wajar di sana, baik dengan cara mencerat lehernya, atau meminum racun serangga. Tetapi, yang sering terjadi, yaitu orang mati dalam keadaan tergantung. Tak ayal, sungai Buntung semakin dikeramatkan.

Seorang warga di desaku pun pernah mengalami kejadiaan ganjil di sana, yaitu dihampiri oleh seorang wanita cantik, dan diajak menuju semak belukar untuk berkencan, tetapi ketika mereka telah sampai di tengah semak, wanita itu menghilang, dan menjelma menjadi seekor ular besar.

‘’Aku nyaris kencing di celana malam itu karena dihampiri ular besar.’’

‘’Lantas, apa yang kau lakukan?’’

‘’Lari sekencang mungkin!’’

Sungai Buntung pun dikenal sebagai tempat untuk membuang jin, atau jimat-jimat, yang sudah tidak digunakan lagi. Kami menganggap, Sungai Buntung, merupakan tempat berkumpulnya atau istana bagi makhluk-makhluk halus.

‘’Ketika, aku bertapa, ada seorang anak kecil tak berambut menghampiriku?’’

‘’Anak kecil botak? Tuyul?

‘’Mungkin.’’

‘’Apa yang tuyul itu lakukan?’’

‘’Mengelitiki tubuhku, mereka mencoba menganggu semadiku.’’

Setiap ronda, kisah tentang Sungai Buntung selalu diceritakan. Tetapi, aku masih saja tidak percaya dengan berbagai macam cerita itu, karena sampai saat ini, aku belum pernah digangu oleh makhluk-makhluk halus itu. Aku punselalu melewati Sungai Buntung, ketika malam, bahkan sering singgah di sana,untuk menghabiskan batang-batang rokok, sembari melamun, justru nyamuk-nyamuk kelaparan yang menggentayangiku.

Ya, setiap malam, aku selalu melamun di sana, kegelapan seolah menjadi teman baikku, meratapi nasib. Apalagi setelah aku gagal menikah dengan Nova, kekasihku. Gadis itu, tiba-tiba, membatalkan begitu saja pernikahan kami, yang tinggal menghitung hari. Ia berkilah padaku, dia ingin bekerja di kota sekaligus mencari pengalaman. Tetapi, aku tahu, ia melakukan hal itu, karena ia telah jatuh cinta dengan seorang pemuda lain, yang tinggal di kampung seberang. Ia pun telah mengandung beberapa bulan.

Malam ini, aku berharap, hantu-hantu itu mendatangiku. Tetapi, di mana hantu-hantu itu sekarang? Yang hadir malah hening, serta kegelapan kosong, yang membuatku semakin frustasi. Tidak ada apa pun di sini, selain kerik serangga, atau ilalang yang bergesekan diterpa angin. Dan pantas, tempat ini, selalu menjadi langganan bagi orang-orang malang, sepertiku untuk meratapi nasibnya.

‘’Setan-setan penunggu sungai, bila kalian benar-benar ada, tunjukkan rupamu, atau aku akan menyusul kalian dengan caraku.’’

Malam sedikit gerimis, dan aku sudah siap menjemput mereka. Setidaknya, setelah aku selesai menghisap linting rokok terakhir di tangan, aku akan menjerat leherku dengan tambang. Aku berharap kematianku berlangsung cepat, dan tidak ada seorang pun yang tahu, begitu pun Nova.

Dan benar, tidak ada satu pun hantu di Sungai Buntung, yang mendatangiku, karena ketika aku meloncat dari atas jembatan tua itu, dengan leher yang terbelit, hanya ada kegelapan, serta hening yangmengantarkanku pada kantuk, yang maha dahsyat. Atau (mungkin) hantu-hantu itu sedang berbisik, seraya mengamatiku dari kegelapan. (62)

 

— Risda NurWidia, mahasiswa Jurusna Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta. Cerpennya telah tersiar di berbagai media massa.


Filed under: Risda Nur Widia Tagged: Suara Merdeka

Gangga Sri

$
0
0

Cerpen Gus tf Sakai (Koran Tempo, 9 Maret 2014)

Gangga Sri ilustrasi Munzir Fadly

DARTO berontak, berusaha berteriak. Tetapi tenaganya bagai tak ada dan suaranya bagai tertahan di tenggorokan. Sepasang mata merah. Embus napas dingin. Saat jemari lentik itu semakin kuat mencekik, Darto tak lagi tahan. Tubuhnya seolah sudah hendak meledak ketika sesuatu, tiba-tiba, seperti mengguncang-guncang pundaknya. “Bangun, Darto! Bangun!”

Darto terlepas dari cekikan. Napasnya gelagapan. 

Dibukanya mata. Wajah Tarno di hadapannya. “Kau mimpi, heh?”

Mimpi? Ah iya. Benar mimpi. Gangga Sri….

“Ayo bangun! Tak kaulihat ini semua!”

Darto menggerakkan tangan, mengusap-usap leher. Gangga Sri… cekikan itu benar-benar nyata. Sepasang mata merah. Embus napas dingin. Eh, dingin? Seiring dengan munculnya perasaan lega, kesadaran Darto mulai sempurna. Ia rasakan tangannya yang dingin. Dan seperti basah. Air?

“Sudah tinggi! Banjir!”

Kalimat Tarno terakhir, tak pelak, membuat Darto terduduk. Barulah ia benar-benar sadar akan semua. Dan pikiran normalnya segera bekerja. Darto ingat, sebelum tadi ia tertidur air sudah masuk setinggi mata kaki. Tetapi lihatlah kini. Air sudah menenggelamkan kaki-kaki dipan, dan tak sampai sejengkal lagi akan mencapai bantal butut tempat kepalanya barusan tergeletak. Tiba-tiba Darto juga sadar, tangan kirinya yang dingin dan basah, yang tadi ia gunakan mengusap-usap leher, pastilah sebelumnya terjulur masuk ke air. Sudah pukul berapa ini?

“Pukul tiga!” ujar Tarno, seperti tahu isi kepala Darto, bagai masih menghardik. Pukul tiga? Darto melayangkan pandang ke pintu yang masih terbuka. Di bawah cahaya samar pendar bohlam 15 watt, ia melihat ekor pik-ap Buk Madura juga masih tersorong ke depan pintu. Bibir air, yang sedikit beriak, hampir-hampir telah mencapai bibir bak mobil.

“Kau… tak berangkat?” Darto bersuara.

“Berangkat bagaimana! Emang pik-ap itu sampan!” ketus Tarno.
ADALAH biasa, bila pasang naik, rumah-rumah dan gubuk-gubuk di Muara Baru itu digenang air. Itulah sebab kenapa Darto juga berlaku biasa, tetap bisa tidur seperti malam-malam lainnya. Malam-malam lain yang dimaksud Darto tentu saja adalah malam saat ia memutuskan tak pulang dan memilih tidur di kamar Tarno.

Tentu saja tak tepat disebut kamar Tarno, karena sebenarnya kamar ini milik dan bagian dari rumah Buk Madura yang teletak di bagian samping, menempel ke rumah utama. Mereka berdua tak lebih cuma buruh yang bekerja pada Buk Madura lalu menumpang menginap di rumah juragannya. Dan karena pekerjaan Tarno adalah sopir yang bertugas menemani Buk Madura mengantar ikan ke berbagai pasar ikan yang berangkat malam dan pulang dinihari, Tarnolah yang selalu menginap. Itu sebab kenapa kamar ini disebut, tak hanya oleh Darto, tetapi juga oleh buruh-buruh pelabuhan lepas lain di sekitar, sebagai kamar Tarno.

Dan sebenarnya pula, gubuk Darto tak begitu jauh. Hanya sekitar dua kilometer arah ke barat, di seberang, di bantaran Waduk Pluit. Tetapi selalu, bila pekerjaan mengangkut ikan dari Tempat Pelelangan Ikan ke rumah Buk Madura selesai telah sangat malam lalu diniharinya langsung disambut oleh pekerjaan lain, Darto memilih untuk menginap. Lebih praktis, tak harus bolak-balik. Begitu pulang ia bisa langsung tidur sepanjang siang. Tetapi hari ini, dinihari nanti, ah, air begini tinggi. Dan hujan mulai pula kembali turun. Tetapi, ah, yang kemudian terpikir dan kini mengganggu Darto: mimpi itu. Gangga Sri. Bukan hanya karena cekikan yang seakan nyata. Tetapi karena, sebelum menjelma Ganga Sri makhluk halus penguasa waduk, sosok mengerikan itu hadir dalam wujud istrinya, Surti.

Ah, mimpi yang aneh. Tetapi Darto tak bisa berpikir lama. Ada suara gerutu dari rumah utama, lalu teriakan memanggil Tarno. Buk Madura. Janda lima puluhan tahun yang nama aslinya Fatimah dan oleh anak-anaknya dipanggil Bo Pat itu ternyata cuma memberi tahu, meneriakkan tanggul Latuharhari bobol. Gerakan Tarno yang bergegas, yang seperti melompat dari dipan dan menimbulkan riak dan kecipak, menyadarkan Darto bahwa barang apa pun yang ada di dipan sudah harus dipindahkan.

“Langsung ke atas saja,” kata Tarno saat kembali muncul di pintu. Ke atas yang dimaksud lelaki masih bujangan, walau sudah tiga puluhan tahun, seusia Darto, itu adalah ke rumah utama, ke tempat Buk Madura. Berbeda dari kamar Tarno yang terbuat dari papan, rumah utama adalah bangunan permanen dengan lantai lebih tinggi dan sebagian berlantai dua.

Pasang, hujan, dan tanggul yang bobol. Jadi, inikah yang menyebabkan air begini tinggi?
WALAU sudah menduga, ketika melangkah memanggul barang-barang yang bisa dipanggul dan sampai di pintu kamar, Darto tercengang. Jalan, atau tepatnya gang utama, di depan rumah Buk Madura telah menjelma jadi sungai. Malam, atau tepatnya dinihari, juga tak lagi seperti dinihari karena kesibukan rumah-rumah di kiri kanan gang tak ubahnya bagai siang. Pintu-pintu dan jendela semua terbuka. Dalam serapah gaduh, di bawah tirai hujan dan buram cahaya, orang-orang bolak-balik mengangkat ini-itu ke tempat lebih tinggi atau ke lantai dua.

Tak sampai satu jam, tinggi air mencapai satu meter. Sampah-sampah terangkat, mengapung, ikut mengalir. Udara sehari-hari yang amis ikan, kini, berganti bau lumpur dan selokan. Pikiran Darto berkelebat ke Surti, juga anaknya Cahyo, tetapi ia tak mungkin meninggalkan Tarno. Empat anak Buk Madura semua perempuan, hanya ia dan Tarno yang bisa mengangkat, memindahkan barang-barang berat. Lagi pula, sehari-hari, segala yang berkaitan dengan peti-peti, ember-ember, dan ikan-ikan, memang adalah tugas Darto dan Tarno.

Listrik tiba-tiba mati, tetapi hari telah mulai terang. Saat Darto selesai membuat sampan dari potongan-potongan papan dan kulkas bekas, tak seorang pun lagi yang bertahan di lantai satu. Dan ketika Darto naik ke sampan lalu mulai mendayung, gang itu benar-benar telah serupa sungai: tak hanya sampan Darto, tetapi banyak sampan atau rakit lain, dari berbagai bahan darurat lain, telah hilir-mudik kian ke mari. Beberapa rumah setelah rumah Buk Madura, seorang Buk Madura lain minta menumpang di sampan Darto. “Sampai ujung gang,” katanya. Memang, ada banyak Buk Madura di kawasan pelabuhan Muara Baru. Mereka adalah para perempuan juragan ikan. Mereka menyebut diri mereka pelele, tetapi orang-orang lebih senang menyebut mereka Buk Madura karena perempuan-perempuan juragan ikan itu semua berasal dari Madura.

Sampai di ujung gang, Buk Madura turun. Darto membantunya, menggapai naik ke teras lantai dua sebuah rumah. Hari semakin terang. Pagi telah menjelang. Saat Darto keluar dari gang dan masuk ke Jalan Muara Baru, sungai itu kini benar-benar nyata: tak hanya sampan-sampan atau rakit buatan, tetapi juga sampan-sampan sebenarnya. Juga perahu-perahu motor. Juga perahu karet. “Rumah pompa lumpuh! Pompa penyedot macet!” teriak orang-orang. Oh! Pantas! Setelah hujan, pasang, dan tanggul yang jebol, pompa-pompa di Waduk Pluit ternyata tak berfungsi. Tentu saja air cepat naik. Serta-merta tinggi. Telah berapa sentimeterkah ini?

Ah Surti. Ah Cahyo. Darto mendayung semakin gegas.

Hari itu Kamis, 17 Januari 2013.
KELUAR dari Jalan Muara Baru, masuk ke sebuah gang, muncul di Waduk Pluit, astaga, Darto tak ubahnya bertemu laut! Di hadapannya hanya hamparan air, air, dan air. Bila tak sangat tahu bahwa di situ adalah waduk, mungkin Darto telah merasa ia salah arah, tersesat mendayung ke utara, ke arah laut. Tetapi toh Darto tak mungkin pangling. Nun di sana, di seberang, di belakang gubuk-gubuk bantaran waduk, Darto bisa melihat Apartemen Laguna, Hotel Aston Pluit, dan Emporium Pluit Mall tegak menjulang.

Tak ada lagi daratan! Bila dilihat dari udara, waduk berluas 80 hektare yang kini tinggal 60 hektare karena gubuk-gubuk di bantaran itu, tentulah bagai menyatu dengan laut. Tak lagi turun hujan, tetapi Darto telah tak peduli pada apa pun, kecuali bergegas berdayung ke seberang, ke salah satu gubuk itu. Ada beberapa kawasan di pinggir barat waduk: Taman Burung, Gamas, dan Pohon Jati. Dan gubuk Darto terletak di kawasan Pohon Jati.

Ah Surti. Ah Cahyo.

Dua-tiga ratus meter lagi, tetapi Darto telah dengan jelas melihat pemandangan itu: gubuk-gubuk hampir tenggelam, orang-orang berdiri di atap. Dada Darto berdetak, dirinya mendadak cemas. Adakah Surti dan Cahyo bersama orang-orang di atap itu? Usia Cahyo empat tahun, Surti tak pandai berenang. Beberapa orang terlihat diturunkan ke perahu, mungkin diselamatkan ke tempat lain. Sebuah jet ski melintas di depan Darto. Dua orang di atasnya. Melihat meluncur dari mana, jet ski itu sepertinya berasal dari perumahan mewah Pantai Mutiara.

Sampai di dekat gubuknya, Darto tak melihat Surti dan Cahyo. Ia teriaki tetangga-tetangga di atap-atap gubuk, bertanya, tetapi tak seorang pun menjawab pasti. Ada yang bilang Surti dan Cahyo menyelamatkan diri ke Pluit Junction, tetapi ada yang mengatakan mereka mengungsi ke Lions Club. Ada yang bilang melihat Cahyo dan Surti menumpang rakit ke halte Transjakarta Pluit, tetapi ada yang mengatakan, subuh sekali, bersama beberapa tetangga lain, mereka berombongan ke lapangan futsal Cometa. Ah… Darto memanggil, berteriak, “Surrtiiii! Cahyooo!”

Tak ada jawaban. Darto ulangi beberapa kali. Tetap tak.

Darto mendayung di sela atap-atap gubuk. Memasuki gang, terus ke Jalan Pluit Timur Raya. Lokasi paling dekat, lapangan futsal Cometa, adalah tempat pertama. Lebih satu jam Darto mencari, berteriak-teriak di sana, “Surrtiiii! Cahyooo!”

Tak ada.

Lions Club. Juga tak ada.

Pluit Junction. Tetap tak.

Ketika di tempat terakhir, halte Transjakarta Pluit, Surti dan Cahyo tetap tak ada, Darto mulai panik. Tiba-tiba ia ingat mimpinya: Gangga Sri, sebelumnya berwujud Surti. Oalah! Apakah?

Bergegas, Darto kembali mendayung. Bukan ke tempat lain, tetapi kini kembali ke waduk. Di Jalan Pluit Utara Raya, seperti gila Darto berteriak. Bukan memanggil Surti dan Cahyo, tetapi kini, “Gangga Sriiii! Ganggaa Sriiiiii!(*)

Gus tf Sakai tinggal di Payakumbuh, Sumatera Barat.


Filed under: Gus tf Sakai Tagged: Koran Tempo

Incogni-type Lalu Debu

$
0
0

Cerpen Afrizal Malna (Media Indonesia, 9 Maret 2014)

Incogni-type Lalu Debu ilustrasi Pata Areadi

LELAKI itu 17 tahun. James namanya. Sudah berdiri di atas bibir kematian. Telapak kakinya jadi lebih pucat, menahan keseimbangan berat tubuhnya. Ia masih mengenakan pakaian tidur dengan bau malam yang tersisa. Kota di bawah apartemennya tampak seperti jurang dengan taring-taring yang terus bergerak menebarkan topeng-topeng kesepian.

Hidup seperti pagi yang selalu kehilangan hari kemarin. Mata James mulai terpejam. Ia tidak mau memandang kematiannya melayang ke bawah taring-taring itu. Bulu matanya lentik. Lelaki yang tersamar dalam topeng kecantikan. Tidak terlalu sulit untuk memejamkan mata. Tapi telinganya mulai lebih sensitif, menangkap dan mengurai setiap suara. Setiap suara, dari berbagai jenis, berubah jadi lentingan cerita yang melayang mencari susunannya. Tiba-tiba terdengar suara klakson taksi. 

Ibunya, yang baru saja merayakan perkawinan keduanya, tiba-tiba datang. Keluar dari taksi seorang diri dengan wajah panik. Usia perkawinan yang sangat pendek, hanya 48 jam. Suara klakson itu mengubah rencana bunuh dirinya menjadi kehidupan pagi hari, seperti biasanya di New York: sarapan pagi dengan rencana bunuh diri yang gagal.

Hujan masih turun, seperti suara serangga menggerogoti atap rumah. Pipa yang tertanam pada dinding kamar terdengar terus mengucurkan air hujan. Seperti ada makhluk yang sedang berusaha keluar dari sekapan dinding kamar. Dinding itu hidup. Tembok itu adalah alam yang terperangkap dalam beton. Jamur tumbuh di beberapa bagian tembok yang lembab. Semesta ada di mana-mana, menciptakan mikrobiologi dalam dinding kamarku.

Film itu terus bergerak, gambar demi gambar, seakan-akan aku sedang duduk di sebuah kereta dengan jendela yang terus mengubah yang kulihat menjadi layar-layar yang terus berlalu. Tapi ini bukan jendela kereta. Ini sebuah laptop. Aku sedang menonton Someday, judul film itu. Ditulis dan disutradarai Roberto Faenza. Film yang dibuka dengan proyek bunuh diri yang gagal. Aku duduk sendiri di depan monitor. Di belakangku banyak aku-aku yang lain dari aku-yang-sendiri, ikut nonton bersamaku. Kamarku penuh oleh mereka. Seluruh aku-yang-sendiri itu bernama James. Namaku juga James.

Aku tinggal di Jakarta, bukan di New York. Di sebuah kawasan elite Kebayoran Baru. Kamarku satu-satunya ruang yang bersih, jika dibandingkan dengan seluruh ruang dua lantai dalam rumah ini. Rumah milik seorang teman, tempat aku menumpang. Rumah yang lebih digunakan sebagai gudang. Barang-barang terserak di mana-mana. Kulkas bekas, peralatan masak, perabot rumah tangga, foto-foto keluarga, mainan anak-anak. Pesawat telepon rusak, komputer rusak, AC rusak, peti-peti kayu, kardus, koper tua, lukisan-lukisan tak terurus. Mereka semua menebarkan kenangan. Buku-buku sebagian telah dimakan rayap. Buku tentang sejarah tuhan, filsafat, sastra, arsitektur, seni, wayang, sampai langkahlangkah bermain catur. Barang-barang bekas: memori yang tersekap antara kardus, debu, dan kegelapan. Memori yang gentayangan, membuat suara bersama tikus, kecoa, atau kucing yang numpang melahirkan anaknya.

“Aku suka rumah ini,“ kata istriku suatu hari. “Rasanya aku ingin membekukannya, menjadikannya museum kota.“

Aku tertawa melihat cara istriku bergurau. Karena aku tahu, satu-satunya yang tidak bisa dilakukannya adalah bergurau. “Aku tidak pernah bisa memelukmu di sini. Kamu jadi seperti milik mereka, James,” lanjut istriku.

“Kamu tidak bisa melihat cinta di sini?” tanyaku.

“Tidak. Aku lebih melihat luka dan pelarian. Kamu begitu cocok bergaul dengan mereka,” lanjut istriku.

“Kaca pembesar seperti tumbuh dalam pikiranmu di antara barang-barang bekas ini. Sebuah cerita, gelas yang sedih, lemari yang sepi. Sampah!” istriku mengucapkannya seperti menelan ludahnya sendiri.

Sesuatu telah membuatnya marah. Tapi ia selalu tidak ingin memperlihatkan kemarahan. Kini istriku tinggal di Solo. Memilih sebuah kamar kos hanya untuk bisa bangun pagi. Sementara di sini, ia selalu bangun siang, cepat lelah. Bau tubuhnya masih tertinggal bersama memori dari benda-benda bekas itu. Bau tubuh yang sering jadi konstruksi tunggal dari susunan sunyi di rumah ini.

Ulang tahun istriku, kami rayakan dengan perjalanan ke museum Sangiran, yang menyimpan fosil manusia purba. Hampir satu jam berjalan dengan motor dari kamar kosnya di Solo. Ikan-ikan, batu, raksasa-raksasa, pertarungan untuk hidup. Udara purba yang menyimpan cahaya dalam kegelapan. Teori evolusi hadir seperti fiksi yang sedih dalam museum itu.

Di samping museum, kami memesan mi rebus di sebuah warung. Beberapa anak muda dari Sragen ikut makan di sana. Kebanyakan mereka bekerja sebagai buruh pabrik, terbiasa dengan makanan murah dalam plastik. Mereka sering datang ke museum bukan untuk melihat isinya. Hanya untuk nongkrong, mencari pasangan atau pacaran. Kota, seperti Sragen, memang tidak memiliki ruang untuk mereka. Tidak ada taman yang diciptakan untuk cinta.

“James, tolong matikan mesin dalam pikiranmu itu. Aku di sini bersamamu,” tegur istriku. “Mereka bukan barang bekas. Mereka anak muda yang masih nyoba ini dan itu. Tidak ada formula seperti mi rebus ini untuk mereka.”

Aku memeluknya. Aku sangat takut ia terluka karena gesekan yang terus bergerak dalam pikiranku. Anak-anak muda di sekitar warung melihat kami. Sebuah pelukan di tempat umum, untuk mereka sama seperti mencari ladang persembunyian.

Stop!” lanjut istriku. “Aku sedang memelukmu, bukan?”

“Maafkan aku,” jawabku limbung. Mataku memandangi patung manusia purba, seorang Soloensis, seorang Jawa purba. Berdiri tinggi. Telanjang. Tanpa topeng peradaban. Istriku minta dipotret di bawah patung itu, sambil mengacungkan simbol perdamaian dengan jarinya. Seekor monyet tiba-tiba menimbulkan suara gaduh, ia mengguncangguncang kandangnya yang terbuat dari besi. Aku tidak tahu, kenapa museum ini juga memiliki koleksi monyet. Evolusi dalam kandang besi? Kehidupan diawali dari makhluk-makhluk yang tumbuh dalam air, lalu menyebar ke darat. Ratusan juta tahun lalu.

Siapakah aku di antara ratusan juta tahun yang lalu itu? Meteran apa yang bisa digunakan mengukur kesunyian purba ini? Jembatan waktu yang membuat bayanganku gemetar dari monumen manusia purba itu hingga ke kandang monyet. Bumbu mie rebus yang masih melekat di lidahku, terasa seperti bau mayat yang diawetkan.

Baby, ayo pergi,” aku mulai merajuk. Istriku mengerti kalau aku mulai tertekan. Ia menggandengku setengah memeluk, naik ke motor. Di perjalanan yang cukup sepi dari Sangiran ke Solo, istriku berteriak. Merayakan angin yang berhamburan di antara sawah-sawah.

“Kita bukan siapa-siapa!” teriaknya sambil mengendarai motor. Aku dibonceng. Aku tak bisa mengendarai motor. Bayangan makhluk Soloensis menghantuiku di antara gajah, badak, banteng, buaya sebagai bagian dari makhluk-makhluk purba. Aku memeluk pinggang istriku, seakan ada serbuk-serbuk purba yang bersarang pada pinggulnya. Tulang pinggulnya kadang kurasakan seperti rahang seekor buaya yang kuat. Cinta, ia selalu purba, pikirku.

Pakaian yang kukenakan rasanya seperti topeng peradaban yang terlalu berat. Aku melepaskannya, menyampakkannya ke jalan. Istriku juga melakukan hal serupa. Kami mengendarai motor dalam keadaan bugil. Orang-orang terkesima melihat kami.

Di lampu merah, saat berhenti menunggu lampu hijau, orang-orang gelisah melihat kami. Mereka seperti baru memiliki mata untuk melihat kebenaran. Begitu rumit untuk melihat kembali ideologi-ideologi masa kini di antara ratusan juta tahun lalu. Missing link tidak ada pada ratusan juta tahun itu. Missing link justru berlangsung antara tubuh kita dengan berbagai topeng masa kini, dan membuat kebenaran harus tinggal dalam ruang yang cacat.

Hujan mengguyur tubuh telanjang kami. Jarum-jarum hujan berhamburan, memijati dan membuat pakaian baru untuk tubuh kami. Pakaian dari hujan. Tubuh kami jadi berkilau di antara air hujan dan sapuan cahaya matahari. Aku menghirup air hujan yang mengalir ke bibirku. Air yang diciptakan langit. Air tanpa botol plastik.

“Nanette! Nanette!” James memanggil-manggil neneknya. Mereka akan nonton teater bersama. Tapi rumah neneknya sepi, walau lampu telah menyala di semua ruang. Ia menemukan neneknya telah mati dalam keadaan duduk di sofa. Hening bersama pakaian malam yang telah dikenakannya untuk nonton pertunjukan teater.

Jarum piringan hitam sudah sampai di ujung lingkarannya, menimbulkan suara terseok-seok.
James menghentikannya, mengangkat piringan itu. Ia bayangkan neneknya baru saja berdansa bersama kematian. James lalu melihat wajahnya di cermin tua dalam rumah itu. Cermin yang telah merekam banyak generasi yang telah dilahirkan keturunan neneknya. Cermin yang berkali-kali memantulkan kematian.

Someday dari Roberto Faenza telah berakhir. Lempengan DVD aku keluarkan dari laptop. Lagu terakhir, komposisi Andrea Guerra dari film itu, masih tersisa. Aku melihat ke belakang: sosok dari aku-akuyang-sendiri telah hilang. Mereka telah berubah jadi potret hitam-putih, memenuhi seluruh dinding kamar. Hujan di luar terus turun, seperti ladang dari sebuah siklus yang mencuci kembali debu-debu.

 

 

 

Afrizal Malna, menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan teks pertunjukan teater. Pada 2012, ia mengikuti residensi DAAD di Berlin, Jerman. Buku terkininya, Museum Penghancur Dokumen, terpilih sebagai pemenang KLA Award 2013.

* Incogni-type Lalu Debu: tipe-tipe penopengan dari debu yang beterbangan.

 


Filed under: Afrizal Malna Tagged: Media Indonesia

Thung Se

$
0
0

Cerpen Sunlie Thomas Alexander (Jawa Pos, 9 Maret 2014)

Thung Se ilustrasi Bagus

SEBAGIAN orang menganggap mendiang ayahku sebagai orang yang beruntung karena terpilih sebagai perantara dewa. Sebagian yang lain masih mengenangnya sebagai orang baik yang ringan tangan. Bahkan sampai sekarang –dan ini menurutku keterlaluan– masih saja ada yang menganggap beliau sebagai orang sakti!

”Kalau bukan karena A Fui (begitulah semasa hidupnya ayah akrab disapa) atas petunjuk dewa yang memintaku mengubah arah pintu dapurku, mungkin sampai sekarang aku masih hidup melarat…“ Atau, ”Dokter sudah menyerah dengan ngilu di punggungku, tapi A Fui hanya menyuruhku menabur beras dan garam di sudut kamar.“ 

Ayahku, kau tahu, kebal api dan tak mempan senjata tajam setiap kali dewa-dewa itu merasuki tubuhnya. Di depan mata kami sendiri, ia membakar tangan dan kakinya, atau yang lebih mengerikan: mengolok lehernya dengan pisau daging tajam! Tak terluka sedikit pun. Hanyalah atas kehendak Dewa Fa Kong ia bisa menembus pipinya sendiri dengan paku.

Tapi itu pada malam hari, ketika ia sebenarnya sudah kecapekan setelah seharian melayani para pembeli di toko kelontong kecil kami di Pasar Lama. Siang harinya ia hanyalah seorang lelaki bertubuh tambun yang selalu tampak keringatan dan penggugup. Selain cepat panik jika ada masalah, kukira ayah juga sedikit penakut. Mungkin itu sebabnya toko kelontong kami tak pernah berkembang jadi toko yang lebih besar. Dari dulu cuma sepetak toko kecil yang terhimpit di tengah-tengah toko elektronik berpintu tiga dan bengkel sepeda yang kini sudah menjelma jadi bengkel motor.

Ia juga sering dipalak para preman pasar. Selain suka meminta uang, preman-preman itu kerap keluar-masuk toko kami untuk mengambil rokok, gula, beras tanpa bayar. Maklum, tak seperti A Kong si pemilik toko elektronik yang berteman baik dengan Kapolsek atau bengkel motor sebelahnya yang menjadi langganan anak Pak Camat, ayahku bahkan tidak kenal baik dengan seorang hansip pun di pasar!

“Kenapa para dewa tidak melindungi suamiku dan menghajar fan kui-fan kui1 busuk itu?!“ tukas ibu sengit di depan Kon Fo Pak2 ketika suatu hari Herman, salah satu preman pasar memporak-porandakan hampir separo isi toko –menumpahkan beras, gula, tepung terigu– setelah ayahku memberanikan diri menolak memberikan uang. Ayah terkencing di celana.

”Para dewa tak mungkin menyakiti manusia. Mereka baru akan turun tangan jika berhadapan dengan ruh jahat atau siluman,” jawab Kon Fo Pak kalem waktu itu.

“Tapi mereka mengobrak-abrik rumah kami setiap kali datang!” gugat ibu dengan suara meninggi di antara isak tangisnya, ”Mereka sama saja dengan para preman itu!”

Ah, umurku baru sebelas tahun ketika hampir setiap malam dewa-dewa itu datang ke rumah kami dan berbuat onar. Mereka membuat seisi rumah kami berantakan; membalikkan meja, melempar kursi, menendang pintu lemari hingga rengkah, dan membanting piring-mangkuk-gelas –membuat pecahan-pecahan belingnya berserakan di lantai dapur. Ibu lagi-lagi hanya bisa menangis. Para tetangga yang berdatangan juga tak bisa berbuat apa-apa menghadapi para dewa itu. Mereka begitu garang!

Pernah suatu malam, Fong Khiu3, tetangga depan rumah yang bertubuh tinggi-besar dibuat terpelanting dengan dagu memar membentur sudut meja saat mencoba menghalangi ayah menggulingkan mesin jahit ibu. Ya, seperti biasa kami hanya bisa pasrah menunggu Kon Fo Pak (yang bergegas dijemput oleh seorang tetangga) tiba, atau amukan itu mereda dengan sendirinya dan kondisi ayahnya perlahan kembali normal.

Kedua adik perempuanku yang tak henti-hentinya menjerit ketakutan dibawa masuk ke dalam kamar oleh bibi sepupuku yang datang belakangan. Kurasakan tangan ibu yang mencekal kuat lenganku begitu kencang, juga dingin.

Dewa-dewa sialan itu (ah, dulu aku selalu cemas kalau mereka bakal mendengar umpatanku dalam hati) bertandang sekitar pukul sembilan malam. Tidak seperti biasa, kali itu tak ada tanda-tanda apa pun sebelumnya. Tidak tercium aroma arak yang santer, tak ada wangi dupa gaharu yang tiba-tiba mengental di udara, atau angin yang mendadak berkesiur kencang.

Ayah baru saja selesai menghitung pemasukan toko, baru seteguk menyeruput kopi panas yang dibuatkan ibu di atas meja dapur, ketika di hadapan kami tubuhnya mulai bergetar. Kedua matanya tampak mendelik dan wajahnya memucat. Sebelum kami benar-benar sadar apa yang terjadi, ia telah menghempaskan cangkir kopi mengepul di atas meja hingga melayang menghantam tembok dan pecah berhamburan. Percikan cairan kopi panas nyaris mengenaiku. Ibu terpekik. Aku dan kedua adikku terbelalak ketika didahului satu teriakan melengking, ayah kemudian menggebrak meja dan menendang kursi yang ia duduki…

Kau tahu, sejak kakekku meninggal para dewa dari khayangan itu tak pernah datang lagi ke rumah kami. Tapi menjelang perayaan Pat Ngian Pan tahun itu –ya, hanya dua hari memasuki bulan delapan kalender lunar– mereka tiba-tiba kembali menyambangi kami dan merasuki ayahku. Hanya dalam waktu dua minggu, keonaran itu terulang untuk kesembilan kalinya!

”Berdoalah… Kita berdoa,“ desah Pastor de Koning yang sampai ke rumah kami lebih dulu dari Kon Fo Pak, dengan suara parau. Kami tidak tahu siapa yang memanggilnya ke pastoran. Ia membuka tas kulit hitamnya, mengeluarkan Alkitab –oh, bukan– Madah Bakti yang kulit sampulnya terlihat begitu kumal dan sudah gompal di beberapa bagian. Lalu dengan suaranya yang berat, ia mulai bernyanyi. Melantunkan sebuah lagu dari Mazmur Daud yang sering kami nyanyikan dalam latihan koor anak-anak calon Katolik setiap Jumat siang sepulang sekolah: ”Tuhanlah gembalaku, takkan kekurangan aku… DibaringkanNya aku di padang rumput yang hijau…“

Ayah memang tidak mengamuk lagi saat pastor Belanda itu tiba. Tapi terduduk di kursi sambil meracau tak jelas dengan suara serak yang terputus-putus. Namun begitu mendengar nyanyian Pastor de Koning, kepalanya jadi teleng dan matanya tiba-tiba berubah sayu. Aku menahan nafas ketika dari bibir ayahku meluncur tembang San Ko4 yang lirih. Sembari bangkit dari duduknya, tangan kanan ayah melambai di depan wajahnya yang gemulai seperti mengibas rambut panjang tergerai yang tak ada.

“Itu Dewi Ho Hsian Ku…”

Kudengar seorang bergumam di belakangku, gemetar menyebut salah satu dari Pat Hsian5 yang beberapa kali telah terdengar kisahnya dari Sam Suk Kong6, adik kakekku nomor tiga, jika beliau datang dari Jebus dan menginap di rumah kami.

Barangkali di lain waktu dan suasana, orang-orang yang sudah tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan tingkah-pola ayahku. Dengan tubuh tambun dan kumis tebal di atas bibir, gayanya yang kemayu (kurasa agak kenes) dan suaranya yang mendayu-dayu bukan saja membuat ayah tampak menggelikan, tetapi juga tak ubahnya bencong kesasar yang mengerikan!

Aku yakin Pastor de Koning kala itu pasti merasa dirinya seperti diejek. Wajahnya yang kemerah-merahan tampak kian memerah. Dan tentu saja tembang San Ko yang saling menimpali dengan lagu dari Madah Bakti terdengar aneh, keduanya memang tak mungkin dinyanyikan seiringan. Karenanya, Bong Sin Fu7 (begitulah kami menggelarinya, artinya Bapa Kuning) itu pun akhirnya terdiam.

Ya, mungkin hanya Kon Fo Pak yang bisa meladeni seorang dewi dari khayangan berbalas San Ko. Itulah yang dilakukan oleh lelaki ceking berumur 60-an itu begitu ia sampai ke rumah kami. Dengan tangkasnya ia menangkis setiap untaian kalimat yang ditembangkan Ho Hsian Ku lewat mulut ayahku.

Mereka beradu sampiran, bertanding isi. Saling menyerang dan menampik, sesekali melemparkan olok-olok. Kali itu kami semua terpukau mendengar indahnya kalimat yang terus bersahutan tak putus-putus. Sampai akhirnya lewat seuntai San Ko pamungkasnya yang sarat rayuan gombal, Kon Fo Pak berhasil membuat wajah ayah merona merah.

Ngiat kong an liong keu an phoi

Jai jap hoi hoi thian fung choi

Jai jap hoi hoi thian lu sui

Koko ta pan thian moi loi8

Beberapa orang yang tak mampu lagi menahan geli, terkikik. Saat itulah Ho Hsian Ku yang kurasa tak sanggup lagi menahan malu meluncur keluar dari tubuh ayahku. Ah, kubayangkan dewi yang konon cantik jelita itu terbirit-birit balik ke khayangan. Tapi kami juga terlanjur malu…

***

TENTU  saja –seperti telah kusinggung sekilas di atas– peristiwa ini bukanlah kejadian terburuk yang menimpa ayahku. Di awal bulan, ketika para dewa itu merasukinya untuk pertama kali, pipi kiri ayah berlubang. Dewa Fa Kong (begitulah kami tahu kemudian) yang merasuki tubuhnya, menembus pipinya dengan sebuah paku sepanjang 3 inci sisa perbaikan palang-palang dapur yang tergeletak di teras belakang. Ibu jatuh lemas saat melihat bagaimana darah mengucur deras dari pipi suaminya.

Ayah mengerang kesakitan sepanjang malam. Pagi harinya pamanku A Chung bersama ibu kemudian mengantarnya ke balai pengobatan. Karena tidak ikut serta, aku tidak tahu apa jawaban yang diberikan ibuku waktu ditanya dokter (yang mungkin menanyakannya) perihal sebab luka tersebut. Pipi ayah dijahit, itu yang aku tahu. Dua hari ia tidak membuka toko. Tapi anehnya luka bulat yang cukup besar itu mengering dengan cepat. Pada hari ketiga saat plester dibuka, lubang itu telah nyaris lenyap tanpa bekas. Hanya menyisakan benang jahitan yang melekat. Dokter tercengang, kami tercengang.

Kami Sam Suk Kong, Dewa Fa Kong memiliki pusaka sebatang panah perak sakti. Karenanya, seringkali para Thung Se yang sedang dirasuki dewa bermata tiga itu melubangi pipi mereka dengan panah replika.

”Mereka menulis mantera phu9 dengan tinta darah untuk mengobati orang sakit,” lanjut Suk Kong sambil mengisap rokok kreteknya. Ibu kadangkala keberatan paman mertuanya itu menuturkan kisah dewa-dewi kepadaku, terlebih soal lelaku Lok Thung10.

”Ia calon Katolik, dan sekolah di sekolah pastor,” tukas ibu sedikit masam. Suk Kong menyeringai dan membalas dengan nada tinggi: ”Kakenya seorang Thung Se, ia harus tahu itu. Lagipula ia belum dibabtis si Holland kan?“

Kulihat ibu merengut. Jika saja bukan Suk Kong, mungkin sudah disemprotnya. Toh ia tak bisa membantah kalau mendiang kakekku, mertua laki-lakinya, memang seorang Thung Se. Kakek –ah, beliau meninggal ketika usiaku baru empat tahun– menurut Suk Kong, adalah Thung Se terkenal yang diikuti oleh Dewa Thai Song Lo Kiun. Semasa beliau masih sehat, rumah hampir tak pernah sepi dari orang-orang yang datang minta pertolongan. Yang sakit, yang memiliki masalah rumah tangga, yang kena sengkala, yang diganggu ruh jahat atau makhluk halus…

”Kayak dukun?“ aku terpukau waktu itu.

Sam Suk Kong tersenyum, ”Kakekmu bukan dukun. Dia tidak punya kemampuan apa-apa kalau sedang tidak dirasuki Thai Song Lo Kiun yang welas asih.“

Aku nyaris tak ingat apa pun tentang kakek. Hanya kenangan samar-samar pada aroma arak dan hagaru yang seolah menyatu dengan dirinya. Tapi aku pernah sekali diajak ayah melihat aksi Lok Thung di pelataran kelenteng Kuto Panji beberapa tahun sebelumnya. Yakin saat aku baru kelas tiga SD.

Pat Ngian Pan, Festival Bulan. Puncak kepercayaan bulan dewa. Orang-orang dengan kening dan pinggang dililit kain merah –di antaranya yang kukenali adalah Paman Chun Tet tukang ikan langganan ibuku dan Hiung Ko11 tetangga depan rumah yang masih SMA –duduk berjajar di bangku panjang yang mengelilingi halaman kelenteng. Tubuh mereka tampak bergetar hebat saat mantera suci dibacakan. Bergantian, kadang secara serentak dua-tiga orang melompat ke tengah halaman, berteriak-teriak memeragakan berbagai gerakan kungfu. Tangan kosong, dengan pedang atau toya. Ya, itu ketika ayah belum menjadi incaran para dewa atau meminjam bahasa Kon Fo Pak: belum mewarisi takdir bapaknya!

“Suamimu orang baik, karena itu banyak dewa menginginkannya jadi perantara,” aku masih mengingat kata-kata pembaca mantera itu pada ibuku. ”Kalau ia mau membuka diri dan memilih salah satu dari dewa-dewi itu, urusan selesai.”

Ibu tercenung kala itu dan menyeka air mata yang mengambang di sudut matanya. Sementara ayah –yang tubuhnya baru saja ditingggalkan oleh segerombolan dewa– terduduk di kursi dengan sekujur tubuh basah kuyup dan nafas naik-turun, dikipas oleh Chung Khiu-khiu.

***

NAMUN apa kata Pastor de Koning?

”Imannya baru sebesar biji sesawi. Ia belum sungguh-sungguh berkenan menerima Kristrus,“ ujar sosok tinggi besar (yang disebut-sebut Sam Suk Kong sebagai keturunan monyet pirang tapi dari jenis yang berbeda dari Sun Go Kong) itu menyimpulkan apa yang terjadi pada ayahku.

Walau demikian, Pastor de Koning tampaknya tidak mau bersikap gegabah. Paling tidak, itu menurut Chung Khiu-khiu yang berbisik-bisik padaku. Pastor Kuning, kata Chung Khiu-khiu, sebenarnya orang yang cukup bijak.

”Pengalamannya luas. Lagipula ia sudah puluhan tahun di sini dan bergaul akrab dengan orang kita. Ia tahu dewa-dewa China juga menganjurkan kebajikan dan berkenan mengorbankan diri buat manusia, bukan cuma Yesus…“

Awalnya aku tidak begitu paham apa maksud paman bungsuku itu. Namun aku masih ingat betul kata-kata yang pernah diucapkan oleh Pastor de Koning saat ia berkunjung ke rumah sehari setelah ibuku dibaptis.

”Gereja Katolik tidak melarang orang Tionghoa bersembahyang untuk arwah leluhur dengan sesajen dan dupa, tapi tidak boleh ada berhala… maaf, dewa di rumah.“

Ia buru-buru meralat ucapannya.

”Mungkin ia takut kualat dan dikutuk para dewa! Hehehe,“ Chung Khiu-khiu terkekeh. Tapi wajah Khiu-Khiu tiba-tiba memerah dan suaranya berubah ketus ketika berujar: ”Tidak kayak Frater Frans. Orang China, tapi justru…“

Frater Fransiskus Liu, guru agama kami di sekolah sekaligus orang yang bertanggung jawab pada persiapan anak-anak calon Katolik. Ia berasal dari Mentok, tapi orang tuanya China Palembang. Suatu hari saat sedang memberi kami pelajaran agama, ia dengan lantang menyebut anjuran kebajikan dari para dewa sebagai tipu muslihat setan yang tak boleh diikuti. Bahkan mengatakan penyembuhan di kelenteng sebagai perbuatan iblis. Tentu saja baginya ritual Lok Thung tak lain dari kerasukan setan! Akibatnya, banyak orang tua yang sedianya mengizinkan anaknya dibaptis, mengubah keputusan mendadak setelah beberapa dari kami pulang ke rumah dan menceritakan apa yang dikatakan si frater. Seminggu kemudian, Frater Frans ditarik ke Pangkalpinang.

Tapi frater kami itu bernasib baik, minimal ia tetap sehat walafiat. Dulu, kata Chung Khiu-khiu, ada seorang pendeta Protestan (bukan kera kuningan kayak Pastor de Koning) asal Medan yang suka melontarkan celaan kepada dewa-dewi China, tiba-tiba kencing darah setelah membongkar altar Kwan Kong di rumah salah satu jemaatnya…

Nah, aku sudah lupa apa persisnya jawaban ibuku menanggapi permintaan Pastor de Koning soal altar. Namun, seingatku, wajah ayah berubah pucat pasi saat mendengar ide tersebut.

”A-aku bisa dikutuk dewa dan dilaknat orang tuaku…,“ katanya tergagap gemetaran. Tapi ia langsung terdiam begitu ibu melotot padanya dengan wajah bersemu merah.

Dua hari kemudian, altar Dewa Thai Song Lo Kiun yang telah tiga generasi mendiami ruang tengah rumah kami pun diturunkan. Tak ada yang bisa mencegah, tidak juga Chung Khiu-khiu. Untung saja ibu bersedia mengadakan ritual kecil (di mana Hiung Ko berjingkrak-jingkrak seperti kebakaran ekor karena dirasuki seekor kera murid Sun Go Kong) ketika altar dengan lukisan dewa tua berjanggung panjang dan hiong lu12 besar tersebut dibongkar. Kami, anak-anak, juga diizinkan ibu bersembahyang di depan altar itu untuk terakhir kalinya dengan dupa.

”Kalau ibumu tak mau mengadakan ritual, aku akan mempertahankan altar itu mati-matian. Aku tak mau keluarga ini celaka!“ tukas Chung Khiu-khiu. Sam Suk Kong yang tidak diberitahu sama sekali perihal pembongkaran altar itu kemudian ngamuk besar ketika datang dari Jebus. Belum pernah kami melihatnya semarah itu. Ibu dicaci-makinya sebagai ”perempuan sundal“, ”menantu tak tahu diri“, bahkan ”tukang cebok pastor Belanda“. Ibu tersedu-sedu. Suk Kong baru berhenti mengumpat dan pergi sambil bersungut-sungut ketika kedua adikku ikut-ikutan menangis dan menjerit.

Dua minggu kemudian setelah suasana yang sempat memanas reda, Pastor Kuning datang membawa salib berukuran cukup besar beserta gambar Bunda Maria dan Hati Kudus Yesus. Sebuah altar baru, berukuran kecil, dibuat di ruang tengah rumah kami. Tapi di sisi dinding yang berbeda, bukan di bekas altar dewa Thai Song Lo Kiun sebelumnya. Tentu saja altar kali ini diperuntukkan bagi Yesus dan Bunda Maria! Dan ibu, setiap malam kemudian selalu menyalakan dua batang lilin putih di atas altar itu dan berdoa rosario dengan khusyuk… (Ah, bertahun-tahun kemudian setelah beliau meninggal pun, kadangkala adik bungsuku Siaw Lan masih sering melihat ibu duduk di depan altar itu dengan untaian rosario merahnya).

Tetapi sejak itu pulalah, tepatnya sejak Pastor de Koning mengadakan misa pemberkatan rumah, ayahku mulai bertingkah ganjil. Ia suka tertawa sendiri dan bergumam tidak jelas. Atau kadang-kadang omongannya ngelantur ke mana-mana tanpa bisa ditangkap apa yang ingin ia katakan. Ia juga sering bangkit dari tempat tidurnya di tengah malam dan berjalan menuju pekarangan dengan mata terpejam sambil menyenandungkan tembang-tembang San Ko.

”Ia takbisa mengelakkan takdirnya menjadi seorang Thung Se,“ demikian kata Kon Fo Pak tegas, sehari sebelum aku dibaptis.

Kurasa aku tak perlu menceritakan apakah ayahku akhirnya berkenan menjadi perantara para dewa itu atau menerima Kristus secara sungguh-sungguh seperti anjuran Pastor de Koning. Sebagai anaknya, tentu saja aku merasa senang dan cukup bangga mendengar beragam pujian orang-orang terhadap beliau yang sarat dengan ungkapan terima kasih dan rasa hormat hingga sekarang.

Hanya saja aku tidak tahu, apakah kau masih akan tetap menganggap ayahku sebagai orang yang beruntung?

Ah, ini hanyalah sebuah cerita lama….***

 

Krapyak Wetan, Jogjakarta, Februari 2014

 

CATATAN

Thung Se: Perantara dewa, orang yang meminjamkan tubuhnya kepada (untuk dirasuki) dewa. Dalam keadaan trance, mereka bisa mengobati penyakit atau mengusir ruh jahat yang mengganggu, juga melakukan berbagai atraksi kanuragan yang mencengangkan.

1. Fan Kui: secara harfiah artinya Setan Terbalik. Umpatan di kalangan Tionghoa terhadap pribumi. Hal ini karena bentuk gramatika bahasa Indonesia yang berkebalikan dengan bahasa China (dan kebanyakan bahasa). Contoh: lam/blue (biru) pit/pencil (pensil) = pensil biru.

2. Pak: Paman tua dari pihak ayah atau lelaki yang lebih tua dari ayah (dialek China-Hakka).

3. Khiu: Paman dari pihak ibu atau lelaki yang lebih tua/muda dari ibu (dialek China-Hakka).

4. San Ko: secara harfiah artinya Tembang Alam. Berbentuk empat seuntai dan berima persis seperti pantun Melayu. Biasanya dua baris pertama berupa sampiran, dua baris terakhir merupakan isi.

5. Pat Hsian: Delapan Dewa. Berasal dari karya sastra China klasik, ”Pat Hsian Ko Hoi“.

6. Suk Kong: Kakek-paman, saudara laki-laki dari kakek.

7. Sin Fu: secara harfiah artinya Bapa Suci. Sebutan untuk pastor Katolik.

8. Terjemahan harfiahnya: Bulan begitu terang anjing begitu riuh menggonggong/Daun nyiur melambai-lambai langit memerah rejeki/Daun nyiur melambai-lambai embun khayangan turun/Kakak berdandan gadis khayangan datang// (dialek China-Hakka).

9. Phu: kertas kuning persegi panjang yang ditulisi mantera dari tinta merah atau darah, lazim digunakan sebagai penangkal bala atau jimat.

10. Lok Thung: ritual meminjamkan tubuh kepada (kerasukan) dewa, di beberapa tempat di Indonesia disebut juga Ta Thung.

11. Ko: Kakak laki-laki, sapaan terhadap lelaki yang lebih tua (dialek China Hakka)

12. Hiong lu: Guci untuk menancapkan dupa (dialek China-Hakka). 

 


Filed under: Sunlie Thomas Alexander Tagged: Jawa Pos

Dongeng New York Miring Untuk Aimee Roux

$
0
0

Cerpen Triyanto Triwikromo (Kompas, 16 Maret 2014)

Dongeng New York Miring Untuk Aimee Roux ilustrasi Gede Suanda

SESEORANG akan membunuhmu di Central Park yang membeku. Seseorang akan membunuhmu dalam badai salju. Nicole berkali-kali mendengarkan bisikan semacam itu justru ketika tiga hari lalu dia menerima telepon dari Manhattan, dari Aimee Roux: “Mungkin tak lama lagi aku akan meninggal. Temuilah aku sebelum Obama menendangku ke neraka.”

Ada nada guyon sekaligus mengiba-iba dalam suara yang sangat lirih dari sebuah rumah sakit di pusat kota. Justru karena itulah Nicole tak hendak mengabaikan keinginan Aimee, keinginan kekasih yang sudah setahun meneliti respons orang-orang Arab-Amerika terhadap pembangunan 9/11 Memorial dan 9/11 Memorial Museum di Ground Zero. 

“Tiga bulan lalu hingga sekarang aku selalu diserang rasa pusing luar biasa. Setiap serangan itu datang ada semacam delirium: aku melihat gedung-gedung di New York miring dan seakan-akan hendak menangkup, memerangkap aku dalam kegelapan,” kata Aimee, “Jadi segeralah memelukku. Segeralah membawaku pulang ke Paris sekalipun kau selalu bilang: cinta itu nonsens, cinta itu cuma semacam hiasan yang dirancang oleh arsitek bodoh di tepi Sungai Seine. Ayolah, Nicole, tak perlu menunggu ada pesawat menabrak Empire State Building untuk membawaku pulang bukan?”

Nicole ingin tertawa mendengarkan kata-kata yang kedengaran seperti dengung lebah itu. Meskipun demikian dengan nada riang dia menjawab keinginan Aimee. “Baiklah, aku akan menjemputmu. Aku akan menjemputmu.”

***

SAAT itu Nicole tak sedang di Rue Notre Dame. Saat itu dia tidak sedang di ruang sunyi, tempat dia, sebagai antropolog, menulis esai-esai tentang hantu-hantu yang berkeliaran di Bordeaux atau Pirenea akibat penggantungan dan pembakaran kepada ratusan laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang dianggap sebagai penjelmaan serigala.

Akan tetapi, Aimee tahu di mana Nicole berada karena tiga bulan lalu dia mendapatkan surat elektronik dari perempuan mawar yang sangat ia kasihi itu: Aku akan cukup lama tinggal di Salatiga. Aku hendak menulis kisah hantu-hantu yang membuat Arthur Rimbaud beberapa kali berhasrat berubah menjadi serigala. Di Salatigalah kali pertama Rimbaud membikin perjanjian dengan setan. Setan memberi jubah kulit serigala sehingga setiap malam—sebagai serigala—ia berkeliaran ke tangsi-tangsi.

Tak peduli pada kisah para hantu, Aimee mencerocos lewat telepon lagi, ”Ya, ya, cerita Rimbaud sebagai serigala memang menarik. Tetapi kau tak keberatan untuk sementara meniggalkan Rimbaud dan Salatiga bukan?”

Tentu saja tidak, batin Nicole. Meskipun begitu agak gigrik juga Nicole ke New York pada saat pusaran udara dingin dari wilayah Arktik mencengkeram. Jika nekat, berjalan-jalan di Central Park, Nicole akan dihajar suhu minus 14 derajat celcius. Atau jika dia ingin mengajak Aimee beristirahat di pinggiran Danau Michigan, tubuh mereka akan jadi patung es sepanjang waktu.

”Bahkan beruang kutub di Kebun Binatang Lincoln tidak mau keluar kandang saat ini, Aimee. Tetapi untuk cinta, apa yang tidak bisa kulakukan untukmu?“ jawab Nicole mencoba meyakinkan Aimee.

Aimee tersenyum sinis. Dia tahu Nicole tak mungkin bisa menembus badai salju. Dia tahu jika nekat, Nicole akan mengalami hipotermia. Nicole akan bicara melantur, kulit berubah jadi abu-abu, detak jantuung melemah, dan tekanan darah menurun. Itu belum seberapa, bisa-bisa jika tak tertolong, Nicole akan pingsan, tubuh membeku kaku, dan akhirnya mati.

”He-he-he, kau bukan manusia besi dari Planet Krypton yang dungu dan selalu menantang bahaya, Nicole. Tunggulah sampai badai salju reda. Percayalah, malaikat belum berani mencabut nyawaku sebelum kau datang, sebelum kau memelukku.“

Kini Nicole yang meringis. Dia paham cinta memang kerap ingin mengubah siapa pun untuk menjadi hero. Akan tetapi, pada saat sama nekat menembus badai salju pada suhu minus 14 hingga minus 50 celcius adalah bunuh diri yang tak bisa dimaafkan.

***

AKAN tetapi bagi Nicole Chen—yang lebih tampak sebagai Putri China ketimbang bangsawan Perancis—kematian lebih dimaknai sebagai semacam labirin ancaman yang harus dilalui untuk mendapatkan kehidupan penuh anugerah.

Semua rintangan sudah kulalui. Mengapa sekarang harus gigrik membawa pulang dan menikah dengan Aimee hanya karena Manhattan dikepung salju?

Tak ingin jadi pecundang, Nicole pada 1998, pada usia 17 tahun, berhasil membunuh pria beringas yang hendak memperkosa dirinya di Muara Angke dan akhirnya migrasi ke Perancis, lebih memilih menjemput Aimee. Hanya Aimee yang memungkinkan dia berani berhadapan dengan apa pun yang menakutkan. Hanya Aimee yang memungkinkan dia tetap tinggal di Paris sekalipun mukim di Hongkong atau Jakarta lebih pas untuk perempuan blasteran Jawa-Perancis-Tionghoa seperti dia.

Kau mungkin menyangka menjadi manusia tanpa akar—Tiongkok bukan, Jawa bukan, Perancis bukan—sepertiku akan sangat menyiksa. Kau keliru: aku justru tersiksa ketika cintaku yang tak bertepi pada Aimee. Perempuan indah yang suka mengisap ganja itu, ditentang oleh keluarga, terutama ibuku. Mengapa perempuan indah tak boleh mencintai perempuan yang juga indah?

Nicole tak pernah menunggu orang lain untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan konyol yang ia lontarkan pada saat-saat yang juga konyol. Karena itu, tanpa menunggu persetujuan Aimee, dari Bandara Soekarno-Hatta dia terbang ke Bandara John F Kennedy, terbang melawan apa pun yang dia anggap sebagai lingkaran ancaman yang lembek.

***

BERJAM-JAM di pesawat membuat Nicole bosan. Mau nonton Man of Steel, dia sangat membenci Superman yang dalam film ini ditampilkan sebagai sosok yang rapuh. Terbayang pada Kill Bill, tetapi film besutan sutradara Quentin Tarantino yang menjadikan Uma Thurman sebagai perempuan perkasa berpedang samurai Hattori Hanzo yang mematikan itu sudah tidak ditayangkan lagi.

Akhirnya Nicole iseng-iseng menonton La Marque des Anges. Nicole merasa disindir oleh film yang diaptasi dari novel Miserere dan dibintangi oleh Gerard Depardiu ini. Dia merasa menjadi Lionel Kasdam—yang sungguh mati seperti malaikat tanpa sayap—diragukan tak mampu membongkar pembunuhan seorang pemimpin koor gereja dan sindikat penculikan anak. Dia juga merasa menjadi Frank Salek, polisi interpol, yang memiliki trauma dikejar-kejar pembunuh.

Aku bukan jenis manusia yang gampang keok. Aku tak mau gendang telingaku pecah oleh suara-suara yang mungkin saja akan didengungkan secara monoton oleh siapa pun saat aku sampai New York. Aku tak mau seseorang atau siapa pun membuatku pusing sehingga semua gedung miring dan hendak memerangkapku dalam kegelapan. Aku—siapa pun aku—boleh saja berhasrat jadi malaikat, jadi penyelamat Aimee.

Akan tetapi, kebosanan tetap saja menghajar. Tak ada cara lain, Nicole harus melawan dengan tidur. Sayang sekali Nicole punya persoalan dengan alam yang menjadikan Sigmund Freud sebagai psikoanalisis yang kampiun itu. Setiap tidur dia selalu memiliki mimpi berlapis-lapis sehingga begitu bangun, akan terengah-engah dan linglung. Tak tahu dia berada di alam nyata atau dunia khayal.

Tahukah kau apa mimpi Nicole kali ini? Mula-mula dia bermimpi menjadi Aimee yang sedang menatap senja. Dalam mimpi yang dipenuhi warna semburat merah itu dia bermimpi lagi menjadi senja yang tengah menatap seorang pembunuh yang tengah membidik Aimee di sebuah taman. Begitu seterusnya hingga Nicole merasa menjadi pembunuh yang sudah melesatkan peluru ke dada Aimee, jadi Aimee yang bersimbah darah, jadi darah yang mengucur ke taman yang dibungkus salju yang ditatap Aimee yang sekarat, dan akhirnya jadi perasaan mati yang membelit leher sehingga membuat Nicole tercekik.

“Jangan mati dulu, Aimee! Jangan mati dulu! Jangan jadi hantu!” Nicole berteriak tak keruan.

Tentu saja teriakan itu membuat penumpang lain di sebelah terkejut dan berusaha menenangkan Nicole. ”Tak ada hantu di Etihad. Pesawat sudah hampir sampai. Sampean jangan tidur lagi.“

Seperti biasa Nicole terengah-engah dan linglung. Seperti biasa dia tidak tahu sedang berada di alam nyata atau khayal. Yang jelas, Nicole diserang oleh rasa pusing yang luar biasa. Itu membuat Nicole memilih memejamkan mata. Nicole takut sebagaimana Aimee, begitu membuka mata dia akan melihat gedung-gedung di New York miring dan seakan-akan hendak menangkup, memerangkap dalam kegelapan.

“Apakah Anda perlu kami antar ke rumah sakit?” seorang pramugari yang melihat wajah Nicole memucat membisikkan tawaran.

Nicole mengangguk dan mendesiskan nama rumah sakit yang tengah merawat Aimee. Sepanjang perjalanan Nicole akan terpejam. Dia tak ingin menatap gedung-gedung yang menjulang menyibak langit di Manhattan. Dia tak peduli pada tebaran salju yang menyelimuti aneka lampu.

Begitu sampai di rumah sakit, Nicole hanya akan bilang, “Apakah New York masih miring, Aimee? Apakah kota ini membuat siapa pun menjadi orang asing. Aku asing bagimu? Kau asing bagiku?” 1)

***

BEGITU Nicole membuka mata, tak ada satu benda pun yang berposisi miring. Tak juga televisi dan almari di ruang perawatan. Tak juga posisi selang-selang infus. Tak juga perawat yang sedang menunggu Aimee.

Tetapi Nicole sungguh terkejut ketika Aimee bilang, ”Mengapa kau berjalan miring, Nicole? Kau hendak meledekku? Kau tak percaya bahwa berkali-kali New York bisa miring bagiku?“

Nicole terdiam. Dia merasa ada sesuatu yang tak beres di kepala. Ini tak mungkin dibiarkan. Karena itu, dia segera bertanya kepada Aimee, ”Apakah kau pernah diancam seseorang yang bilang: Seseorang akan membunuhmu di Central Park yang membeku. Seseorang akan membunuhmu dalam badai salju.“

Aimee mengangguk. Dia merasa—entah dalam mimpi atau kenyataan—pernah hendak ditembak seorang keturunan Arab-Amerika saat berdiri di Lingkaran Imagine, di lingkaran yang membuat Yoko Ono selalu menangis tersedu-sedu itu.

”Kalau begitu. Tunggu aku di sini. Aku akan ke Central Park. Akan kubunuh siapa pun yang mengancam dan membuat kita gila.“

Aimee yang masih rapuh terdiam. Lalu Nicole melesat ke trem bawah tanah menuju Central Park. Nicole tak peduli apakah dia berjalan miring dan hendak menangkup dalam kegelapan.

Nicole yakin setelah dia dan Aimee akan kian banyak orang yang terperangkap oleh New York yang miring dan tak tahu aturan. 2)

Karena itu, satu-satunya cara menyelamatkan kehidupan kita adalah membunuh siapa pun yang menyulap kita hanya jadi binatang di kota yang menganggap penghuninya cuma sebagai binatang. Dan aku tahu siapa orang itu, Aimee, aku tahu di mana harus kuletuskan pistol yang telah kuberi peredam.

Kini sambil menggigil kedinginan Nicole telah berdiri di Strawberry Fields Memorial. Tentu saja dia tak sedang menunggu arwah John Lenon. Dia menunggumu. Menunggu kematianmu. Kematian siapa pun yang selalu mengancam dan membuat kepala Nicole seperti pecah berkeping-keping dan otak kacau balau berantakan tak menentu.

Aimee, Aimee Roux-ku, aku tak tahu apakah setelah “Imagine” mengalun, aku masih sanggup menulis dongeng tentang New York miring untukmu….

 

 

Catatan:

  1. Teringat komentar penyair Goenawan Mohamad: Lama sekali saya tak ke kota itu: kota tempat setiap orang adalah orang asing dan sekaligus orang New York.
  2. Arsitek Marco Kusumawijaya pernah bilang: New York adalah Babylon modern dan Jakarta yang lebih baik meskipun lebih muda.

 


Filed under: Triyanto Triwikromo Tagged: Kompas

Ayah Tiri

$
0
0

Cerpen Herumawan PA (Republika, 16 Maret 2014)

Ayah Tiri ilustrasi Rendra Purnama

“SEBURUK apa pun keadaannya, rumah adalah tempat kau kembali.”

Ungkapan itu tak tepat untukku.  Rumah justru menjadi tempat yang selalu ingin aku hindari.  Di rumahku sendiri aku tak dianggap ada, selain oleh ibu.  Selama berada di rumah, kuhabiskan sebagian besar waktu di kamar. Jika tak ada hal penting, aku tak akan keluar ruang pribadiku. Atau, aku akan pergi dari pagi dan kembali saat malam. Tiba di rumah hanya untuk melepas lelah. 

Bagiku, apa artinya rumah jika semua kenyamanan dan ketenteraman bisa aku peroleh di luar? Saat dinyatakan lulus di salah satu universitas negeri di Kota Gudeg, Yogyakarta, aku langsung bergegas mengurus administrasinya. Dengan modal pas-pasan dari ibu, aku tinggal di indekos dan selebihnya nyambi kerja tentor bimbel. Lega? Sudah pasti. Akhirnya aku bisa bernapas lega. Bisa menjadi diri sendiri. Dan, tentunya jauh dari gunjingan nyinyir.

Hingga kini sudah berkali-kali ibu menyuruhku pulang, selalu aku tolak halus.  Berbagai macam alasan, aku perdengarkan.  Mulai dari sidang skripsi yang semakin dekat, kerja sampingan dengan ancaman penghentian kontrak kerja, atau lagi-lagi hal yang klise,

“Cuacanya ndak bagus, Bu. Besok saja jika sudah cerah.”

Hubunganku dengan suami ibu memang tidak baik. Sebenarnya, beliau ayah tiriku.  Ayah kandungku sudah meninggal saat aku kecil. Ibu lantas menikah lagi. Kini, ibu tinggal di rumah ayah tiriku. Dari pernikahannya yang kedua, lahir dua orang adikku yang semuanya laki-laki.

Kedua adikku adalah anak emas. Semua yang mereka minta akan terkabul dalam tempo yang bisa dihitung dengan jari. Sedang kan, aku harus menelan bulat-bulat keinginanku. Karena aku tahu jawabannya adalah tidak atau tunggu. Tunggu pun berarti tidak secara halus. Kadang-kadang ibu sering masuk ke kamarku dan menyelipkan sejumlah uang, hasil dari menjahit yang tak seberapa,

“Buat beli kuas dan kanvas, Le. “

Ibu tahu aku ingin jadi seniman. Impian sedari kecil. Satu-satunya hal yang aku warisi dari ayah kandungku. Dan, hal ini selalu ditentang oleh ayah tiriku. Beliau pikir pekerjaan seniman itu tidak akan menghasilkan pendapatan yang layak. Beliau ingin aku mengikuti jejaknya, menjadi polisi.

Saat beranjak remaja, aku sudah dijejali doktrin agar berkenan mengenakan seragam serbacokelat itu kelak. Saat itu ibu belum melahirkan adik-adikku. Tapi, semenjak kedua adikku lahir dan untungnya semua laki-laki, setidaknya aku merasa bebas dari keinginan beliau. Ternyata tebakanku salah.  Beliau masih saja mencatut namaku dan mengungkit-ungkitnya di hadapan kedua adikku. Entah maksudnya memotivasi kedua adikku atau menghina diriku.

“Jangan jadi seperti kakakmu, kerjanya cuma luntang-lantung saja.”

“Kelayapan kayak ndak ada kerjaan.”

“Prestasi sekolah juga pas-pasan.”

“Cuma prakarya sama seni saja yang nomor satu.”

“Olahraga juga ndak suka.”

“Lihat kamarnya, kayak kapal pecah dihantam ombak.”

“Cat sama lukisan di mana-mana. Ayah sampai lupa apa warna dasar cat kamarnya.” Kedua adikku hanya diam melongo mendengarnya. Entah mengerti atau tidak.

Jika ayah tiriku sudah memberi wejangan seperti itu, aku akan diam. Beralih masuk kamar. Lalu, dari mulutnya terucap kata- kata pedas.

“Nah, lihat baru disindir sedikit saja langsung beringsut masuk kamar.”

“Perasaan kok mirip perempuan.”

“Gak gentle, cengeng.” Hati ini terasa tersayat-sayat mendengarnya. Ibu bukannya tak pernah membelaku. Tapi, terakhir kali membelaku, ibu malah merasakan tamparan tangan beliau.

Aku tak tinggal diam, langsung menyerang. Pukulan dan tendangan aku lancarkan.  Beruntung, Lek No, sopir keluarga buru- buru datang melerai setelah mendengar teriakan-teriakan ayah kesakitan aku pukuli.  Jika tak segera dilerai, entah apa jadinya ayah tiriku. Mungkin bisa terbunuh dan aku akan masuk penjara.

Semenjak itu, aku tak pernah menggubris apa pun kata-kata ayah tiriku. Aku tak mau lagi berdebat jika mengingat nanti ibu bisa jadi korban. Karena itulah, kuliah dan jauh dari tempat kelahiranku adalah hal yang membebaskanku.

Pulang? Lebaran lalu aku mudik ke rumah. Ayah tiriku tak pernah menanyakan apakah aku baik-baik saja atau bagaimana enaknya jadi seniman? Tapi, hal lain malah ditanyakan,

“Kamu itu niat kuliah atau nggak sih?  Kuliah kok ndak lulus-lulus.”

“Tahun ini, dua adikmu sudah mau jadi polisi. Kamu dapat gelar saja belum.” Rasanya malas untuk pulang jika gelar belum bisa kusematkan di belakang namaku.

Setidaknya ada rasa aman. Tapi, mungkin aku akan diburu pertanyaan tentang kerja dan juga jodoh. Rasanya tak habis-habis pertanyaan menggelitik dari ayah tiriku nanti.

Ibu pernah bilang, bahkan marah pun tanda sayang. Tapi, yang mengenaskan adalah ketidakpedulian. Ibu selalu memberi nasihat bahwa apa pun yang dikatakan ayah tiriku adalah motivasi agar aku terus berkarya meski memakai cara pengungkapan yang kasar. Aku rasa itu tidak sepenuhnya benar.

Ayah tiriku bisa saja berbicara denganku, memakai nada bicara normal. Seperti saat berbicara kepada kedua adikku. Tapi, itu tak pernah dilakukannya. Selalu nylekit setiap kali berbicara kepadaku. Heran aku melihatnya. Mungkin karena aku hanya anak bawaan ibu.

Malam ini, aku terima lagi pesan pendek dari ibu yang lagi-lagi menyuruhku pulang.  Tapi, dari nadanya kulihat ada sesuatu yang buruk. Saat itu, aku mengabaikan firasat aneh. Tak kubalas pesan ibu hingga berganti hari.

Aku telanjur lupa, sibuk mengurus event seni dua tahunan. Dini hari ibu telepon diiringi isak tangis.

Ndang bali, Le. Ayahmu koma.” Aku hanya bisa diam terpaku. Lalu, memesan tiket bus paling awal.

Sepanjang perjalanan, aku mengingat- ingat bagaimana keadaan fisik ayah tiriku.  Rambutnya memang sudah memutih. Tapi, beliau masih sanggup dinas jaga malam dan belum mengambil pensiun.

Aku teringat percakapanku di telepon dengan ibu, beberapa saat lalu. Tentang kondisi ayah tiriku kini.

“Ayahmu sakit jantung sejak lima tahun lalu.”

“Ayahmu merahasiakan penyakitnya. Uwis, Le. Gek ndang bali.” Aku tertegun mendengarnya.

Sesampainya di rumah, hanya ada Yu Jum, bibiku. Aku mampir mengambil barang pesanan ibu sebelum ke rumah sakit. Sekali lagi ibu mengirim SMS agar aku segera ke rumah sakit. Sambil berpesan jangan lupa membawa klaim asuransi milik ayah di ruang kerjanya.

Selama ini, aku jarang sekali atau rasanya tak pernah masuk ke ruang kerjanya. Ayah tiriku tak suka jika ada yang masuk selain dirinya. Di dalam ruang kerjanya, hanya ada meja, kursi, dan rak buku.

Di atas meja ada beberapa berkas dokumen dan tumpukan koran. Aku mencari-cari dokumen asuransi di laci mejanya. Tak sengaja aku menemukan sebuah lukisan yang terasa tak asing. Lukisan ayah yang berpakaian polisi, ibu, dan aku, berlatar belakang rumah ini. Lukisan pertama kali yang kubuat untuk beliau.

Aku hampir melupakan gambar itu.  Kupikir sudah dibuang ke tempat sampah.  Mengingat sikapnya yang tak suka padaku.  Tak kusangka, ayah tiriku masih menyimpan gambar itu. Di belakang kertasnya tertulis, “Gambar putra kesayanganku.” Ada perasaan haru dan juga sedih di hatiku. Bercampur penyesalan yang tak kunjung akhir.

Saat akan menutup laci meja, ponselku berbunyi, panggilan telepon dari ibu.

“Le, Ayahmu sedo.” Diiringi isak tangis berkepanjangan. Aku terduduk lemas di kursi yang biasa diduduki ayah. Menatap hampa gambar yang kugenggam. Ayah tiriku tak seburuk yang aku sangka selama ini.

 

Yogyakarta, 2 Maret 2014

Kosakata:
Le: sapaan utuk anak laki-laki
Ndang bali: segera pulang
Sedo: meninggal
Nyambi: kerja sampingan
Ndak: tidak

Herumawan Prasetyo Adhie, pegiat sastra dan kini berdomisili di Yogyakarta.
E-mail: libraheruprasetyo@yahoo.com


Filed under: Herumawan PA Tagged: Republika

Cara Mengakhiri Sebuah Makan Malam

$
0
0

Cerpen Afrizal Malna (Jawa Pos, 16 Maret 2014)

Cara Mengakhiri Sebuah Makan Malam ilustrasi Bagus

MUSIM dingin untuknya sama dengan ikan yang bersembunyi dalam lukisan-lukisan Gerhard Richter, seorang pelukis Jerman yang sering melintas dalam pikirannya, setiap musim dingin datang. Menciptakan banyak warna untuk menyembunyikannya kembali dalam sapuan besar warna lain. Warna-warna yang seakan-akan diciptakan untuk melawan atau memberi cahaya hangat atas warna putih kelabu dari musim dingin.

Jurg, tukang pos yang banyak mengoleksi foto-foto Paus itu, berusaha membenamkan tubuhnya dalam udara hangat dari mesin pemanas kereta. Ia menggerakkan jari tangannya yang terbungkus sarung tangan tebal dari wol. Di luar jendela kereta, salju kian mengubah peta. Menciptakan posisi yang membingungkan untuk melihat arah, untuk tahu di mana dirinya berada di antara wajah kota yang hampir terbalut warna putih salju. 

Ia keluar kereta dengan langkah tergopoh-gopoh. Tubuhnya bergerak cepat meninggalkan Bahnhof Platz agar tidak merasa ada angin dari musim dingin yang menguntitnya. Jurg terus melangkah melewati Neuengasse di Bern. Melintasi berbagai pertokoan dan kafe yang menjanjikan rasa hangat yang lain. Rasa hangat dari mata uang Frank Swiss. Seorang pengamen memainkan musim dari botol-botol kaca, toples, dan gelas-gelas wine. Suaranya seperti ikut menggerakkan trem-trem kota yang melintas dengan bentangan kabel-kabel listrik di atasnya. Lonceng gereja terdengar dari Gereja Moenster di Moenstergasse. Suaranya seperti gema masa lalu dari ruang-ruang gotik.

Di depan Schlachaus Theater Bern, setelah memasuki Rathausgasse, ia berhenti. Membetulkan letak kerah mantel panjangnya. Mengibaskan butir-butir salju dari bahu mantelnya. Jurg mengeluarkan sebatang rokok putih dan membakarnya. Asap rokok mulai memenuhi paru-parunya, membangkitkan ingatan-ingatan lama tentang berbagai alamat yang dilaluinya untuk mengantar surat dari berbagai negara. Ia berdiri di depan pintu gedung teater itu. Bangunan tua yang tidak berubah. Mengingatkannya pada sebuah pertunjukan yang telah berakhir 21 tahun yang lalu: Migration Aus Dem Wohnzimmer, 24-25 Mei 1993.

”21 Tahun?“ desahnya sambil mengembuskan napas dari mulutnya untuk bisa merasakan sisa-sisa rasa hangat dari tubuhnya. Dalam tasnya masih tersimpan katalog pertunjukan itu. Istrinya menemukan katalog itu dalam perjalanannya ke Solo, di rumah Halim HD, temannya dari Indonesia. Katalog dengan grafis hitam-putih. Gambar sisir, gelas, dan pesawat telepon. Ia mengeluarkan katalog, melihat isinya. Dua aktor dalam pertunjukan itu telah meninggal. Jurg kembali mengembuskan napasnya, seperti ada lorong menuju ke dunia lain terbentang dalam tenggorokannya.

Pertunjukan dari 21 tahun yang lalu itu seperti masih terus berlangsung tanpa penonton, tanpa tiket. Pertunjukan dari musim dingin yang selalu meninggalkan rasa tersesat, di mana pun ia berada. Petunjukan dari sepeda-sepeda yang membeku, diparkir tidak jauh dari gedung teater itu. Cahaya lampu kota rasanya ikut membeku. Ia seperti bisa mengenggam cahaya yang membeku itu. Tak ada penonton, tak ada tiket, bahkan tak ada panggung. Lelaki itu berusaha menyakini dirinya kembali tentang pertunjukan yang masih terus berlangsung itu, setelah 21 tahun berakhir.

”Jurg,“ tiba-tiba seorang perempuan memanggil namanya.

“Kanthi!” sambut lelaki itu.

Mereka berdua berpelukan. Ia melihat tangannya melingkar di bahu perempuan itu, seperti bukan lagi bagian dari tubuhnya. Jurg menarik tangannya dari bahu Kanthi.

“Kamu seperti tidak pernah berubah setelah 21 tahun yang lalu,” kata Kanthi kepada Jurg.

”Kamu juga, seperti gedung teater ini, tidak pernah berubah,” jawab Jurg.

Kanthi memandangi gedung teater itu, seperti kamar mayat untuk waktu. Terpaku di tengah banyak ingatan yang berhamburan bersama udara dingin. Jurg menarik tangannya.

”Bagaimana penyakitmu?“ tanya Jurg.

Kathi pernah beberapa kali dirawat di rumah sakit jiwa karena depresi. Ia seorang wartawan yang pernah dikirim ke Kuwait tahun 1991 untuk meliput Perang Teluk. Dalam waktu tidak sampai sebulan, Kathi kembali ke Bern. Setelah itu ia harus keluar-masuk rumah sakit jiwa yang merawatnya. Sebuah grafiti: ”Amis raus! (Pergi orang-orang Amerika!)“, di tembok Gereja St Marien sering menghantuinya. Bagian dari protes atas campur-tangan Amerika dalam Perang Teluk.

”Penyakitku mungkin sudah sembuh,“ jawab Kathi. ”Tetapi orang di sekelilingku… kamu tahu tentang itu, bukan? Aku sudah tidak ada, Jurg. Lupakanlah,“ lanjut Kathi sambil menggigit bibirnya di akhir kalimat yang diucapkannya.

Jurg mengangguk dan kembali memeluk Kanthi. “Kamulah wartawan yang memotret dari dalam, Kanthi,“ bisik Jurg di telinganya.

Mereka melanjutkan perjalanan, melewati Zentrum Nord menuju ke apartemen Bot, tempat sahabat mereka menetap. Bot mengundang mereka untuk makan malam. Bot seorang tukang. Tukang yang keahliannya tidak terlalu jauh di sekitar cat, hanya untuk mengecat dinding tembok tua dinding kayu. Ketiganya bertemu di depan gedung teater yang sama, 21 tahun yang lalu. Waktu itu Jurg sedang mengantar surat untuk seorang sutradara yang bekerja di gedung teater, Bot sedang mengecat salah satu dinding teater yang sudah terlalu kumuh, dan Kathi sedang bertugas meliput pertunjukan teater yang sedang berlangsung di gedung itu.

”Apa yang kamu lakukan sekarang?“ tanya Jurg.

”Menulis novel yang pernah ditulis orang lain,“ jawab Kathi.

Jurg terkejut. ”Menulis novel yang pernah ditulis orang lain? Kamu hebat, Kathi!”

”Ya, itulah caraku membaca novel. Seakan-akan aku sendiri yang menulis novel itu,” Kathi berusaha menjelaskan dirinya. ”Dan kamu, Jurg?“

”Aku, kau tahu, aku terus mengumpulkan foto-foto Paus dari berbagai zaman,“ jawab Jurg. ”Aku masukkan foto-foto mereka ke dalam toples. Toples-toples itu tersusun rapi dalam rak-rak lemari perpustakaanku.“

“Hebat!” celetuk Kathi.

Di depan sebuah kafe mereka berhenti. Melihat salah seorang seorang aktor dari pertunjukan Migration Aus Dem Wohnzimmer sedang memainkan sebuah adegan dari 21 tahun yang lalu itu. Aktor itu berdiri dengan kostum seorang Paus yang membungkus tubuhnya. Kostum yang lebih mirip sebuah bangunan yang berdiri dengan tubuhnya sebagai konstruksi utama untuk bangunan itu. Aktor itu mengucapkan salah satu petikan dari puisi Vera Filler:

dia orangnya, yang belum pernah kamu lihat

dimana pun kamu pergi

atau, kalaupun dia ada di sini

entah bagaimana saya merasa kehilangan dia juga

Aktor itu mengucapkan petikan puisi Vera Filler sambil menyeruput spaghetti di meja makannya. Jelujur-jelujur spaghetti terus menyelinap masuk melewati bibirnya, seperti tidak pernah putus. Sebaliknya, puisi Vera Filler keluar dari mulutnya, seperti mengelupasi rangkaian waktu yang menyelimuti dinding kafe. Jurg merasa seperti ada sebuah alamat yang tiba-tiba mencekik lehernya, sebelum ia sampai di alamat itu untuk mengantar sebuah surat. Surat untuk seseorang yang tidak pernah ada.

Kathi menarik lengan Jurg untuk melanjutkan perjalanan. Mereka melintasi jembatan dengan Sungai Aare mengalir di bawahnya. Sungai yang jernih seperti kolam renang itu, dengan arusnya yang deras, permukaannya kini telah membeku.

Tinggi salju sudah hampir menyentuh bibir jendela apartemen Bot, ketika Kathi dan Jurg sudah sampai di tempat tinggal temannya ini. Apartemennya kecil. Mereka duduk di sebuah meja memanjang dengan taplak putih di atasnya. Sebuah makan malam yang berlangsung di ruang dapur Bot yang sederhana. Berbagai jenis pisau untuk makan terletak di tengah meja dalam sebuah gelas. Hanya itu satu-satunya yang bisa dilihat di ruang dapur itu. Selebihnya hanya peralatan dapur dan dinding tembok warna putih.

Bot menyambut keduanya dengan hangat. Berpelukan. Menepuk-nepuk bahu.

”Musim dingin yang menggetarkan,“ kata Bot, seperti kepada dirinya sendiri.

Bot menyambut mereka berdua dengan makan satu mangkuk mushroom sup panas. Bau keju dari sup terasa lembut mulai menggenangi ruang. Dan roti yang telah dimasak renyah. Bot melanjutkan dengan mengeluarkan green salad. Semua hidangan Bot sendiri yang meracik dan memasaknya. Bau bumbu di ruang makan itu ikut membuat lapisan lain dari rasa masakan yang mereka makan.

Bot tiba-tiba terdiam. Kathi dan Jurg ikut terdiam. Kemudian berdiri, mengambil dua botol wine, putih dan merah. Keduanya seperti menyimpan memori yang berbeda untuk Jurg, yang saat itu terlihat sangat bahagia. Wajah bahagia itu tiba-tiba tenggelam dalam tatapannya melihat kedua botol wine itu, seperti pasangan abadi yang tak pernah terpisahkan.

”Aku selalu membuka dua wine  sekaligus untuk sahabat-sahabatku,“ ucap Bot.

Tatapan Jurg masih tak bergerak. Memori dari wine terus berlintasan, seperti mesin fotokopi di kepalanya. Bot menyalakan CD player-nya. Lagu Royals dari Lorde terdengar seperti ritme tepukan-tepukan serempak yang berlangsung dalam timbunan salju. Di luar jendela timbunan salju mulai menyentuh bingkai jendela putih di dinding dapur itu. Kathi mengeluarkan kameranya, memotret jendela putih itu dengan sosok kumpulan berbagai jenis pisau makan di tengah meja, sebagai latar depan yang fokusnya dibuat kabur.

Jurg membuka tasnya, mengeluarkan sebuah surat untuk seseorang yang tidak pernah ada. Tetapi alamatnya ada. Alamatnya jelas. Dalam daftar kependudukan pemerintahan kota, nama itu juga tidak pernah ada. Jurg tidak pernah putus asa, ia mencari nama itu di internet. Tapi orang itu tidak pernah ada. Tetapi Jurg yakin bahwa orang itu sungguh-sungguh ada. Ia terus menyimpan surat itu. Surat yang membuatnya seperti bisa memiliki harapan bisa bertemu dengan orang itu, suatu hari.

Bot dan Kathi memandangi surat itu. surat yang ditujukan untuk seorang sutradara yang bekerja di Schlachaus Theater Bern, 21 tahun yang lalu. Lalu Bot bercerita tentang seorang penyair yang selalu berjalan. Hidupnya memang hanya untuk berjalan, hingga suatu hari orang menemukannya dalam keadaan mati, di sebuah musim dingin. Mayatnya membeku di atas permukaan Sungai Aare yang juga telah membeku. Tetapi ia justru seperti hidup dalam tubuh mayatnya sendiri.

Bot mengambil pisau, membuka amplop surat itu. Lalu mengeluarkannya. Semuanya tercengang, surat itu ternyata hanya berisi kertas kosong. Putih. Tak ada tulisan apa pun. Kathi memejamkan matanya. Ia kembali teringat aktor dengan kostum Paus yang membacakan puisi Vera Filler, di kafe yang mereka lewati sebelum sampai aparteman Bot:

dia orangnya, yang belum pernah kamu lihat

dimana pun kamu pergi

atau, kalau pun dia ada di sini

entah bagaimana saya merasa kehilangan dia juga.

Jurg mengembuskan napasnya melihat kenyataan itu. Menatap kertas kosong itu, seakan-akan tetap ada tulisan yang terkubur di dalamnya. Dari wastafel terdengar Bot yang mulai mencuci piring dan gelas bekas makan malam mereka. Semua percakapan berhenti, tergantikan suara air dan gesekan-gesekan kecil dari peralatan makan yang sedang dicuci Bot. Kathi dan Jurg menghabiskan sisa wine. Merayakan rasa kehilangan seorang yang tidak pernah ada dalam kehidupan mereka. Rasa kehilangan itu terasa nyata. Kathi mengambil surat yang hanya berisi kertas kosong itu.

”Aku akan mencoba menuliskan bagaimana kertas kosong ini harus ditulis kembali sebagai kertas kosong,“ katanya sambil berusaha memasukkan surat itu ke dalam tasnya. Karena Kathi tidak hati-hati, surat dalam amplop itu terjatuh. Jurg merebut surat itu. Memasukkan kertas kosong itu ke mulutnya, mengunyahnya dan menelannya.

Makan malam itu berakhir dengan perasaan yang sama dialami ketiga orang sahabat itu. Perasaan bahwa makan malam itu tidak pernah terjadi. ***

 

 


Filed under: Afrizal Malna Tagged: Jawa Pos

Sanca

$
0
0

Cerpen Agus Salim (Suara Merdeka, 16 Maret 2014)

Sanca ilustrasi Farid

SAAT lelaki itu muncul dari balik kegelapan malam, hujan sedang turun deras dengan hebatnya. Angin mengamuk.Daun-daun pohon mangga, nyiur, dan akasia diombang-ambingkan. Suara gemuruhnya membuat hati siapa saja menjadi giris. Termasuk aku. Petir menjulurkan lidahnya yang bercabang-cabang. Menimbulkan suara seperti ledakan meriam. Membuat sekujur tubuh bergetar. Langit seperti retak. Aku berpaling dan sesekali menutup telinga. Aku yakin, saat itu semua warga sedang asyik sembunyi di balik selimut sarung dengan mata rapat terpejam. Malam benar-benar telah dihantam gigil. 

Kecuali aku. Mataku masih terbuka. Aku tidak bisa tidur kala itu. Setiap hujan deras disertai angin kencang dan juga petir yang menyambar-nyambar aku pasti tidak bisa menutup mata dengan tenang. Selalu saja ada bayang-bayang buruk yang berkelindan di mata. Mungkin karena aku terlalu sering menyaksikan tayangan televisi tentang banjir yang membenamkan rumah-rumah warga. Aku takut banjir itu datang kemari.

Aku terus memandangi jendela yang berkali-kali dibentur angin dan bulir-bulir hujan. Jendela kamarku lurus dengan pintu rumah ibumu. Jadi aku bisa leluasa menatap dengan seksama siapa saja yang menghampiri rumah ibumu. Aku menyaksikan lelaki itu melangkah pelan-pelan seperti maling, mengendap-endap dengan tubuh membungkuk, menuju pintu rumah ibumu. Ia mengetok-ngetok pintu. Pintu terbuka. Dan dalam sekejap mata lelaki itu sudah berada di dalam rumah ibumu. Walau merasa ngeri, aku tetap membuka mata karena tidak ingin ketinggalan sebuah peristiwa.

Pintu rumah ibumu tidak tertutup sepenuhnya. Masih sedikit menganga. Ibumu memang lengah. Andai saja ayahmu pulang malam itu, pasti kelakuan mesumnya akan langsung ketahuan. Tapi sayang ayahmu tidak kunjung pulang. Mungkin terjebak hujan deras saat lembur di kantornya. Selalu seperti itu.

Setelah satu jam terlewati, lelaki itu keluar disertai ibumu. Mereka sempat bermesraan sejenak sebelum melepaskan genggaman tangan. Lelaki itu mengecup pipi ibumu. Mesra sekali. Ibumu melambaikan tangan saat lelaki itu pergi dengan berlari. Secepat angin lelaki itu menembus hujan. Lalu kemudian lenyap di kepekatan malam.

Bukan hanya malam itu saja sebenarnya lelaki itu mendatangi rumah ibumu. Mungkin sudah berkali-kali. Aku lupa berapa kali tepatnya. Setiap lelaki itu datang, pasti bersamaan dengan hujan yang turun deras. Ini seperti sudah direncanakan.

Beberapa hari kemudian, setelah malam itu, ibumu diketahui hamil. Ayahmu curiga dan marah. Pertengkaran hebat tidak bisa dihindarkan. Pertengkaran itu terjadi di depan rumahmu. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Juga bisa mendengar apa saja yang dikatakan ayah dan ibumu dengan seksama.

’’Bagaimana kau bisa hamil, Sani? Sedang aku ini sudah divonis mandul oleh dokter.’’

’’Jangan tuduh aku yang macam-macam, Mas. Aku hanya tidur denganmu. Tidak dengan lelaki lain.’’

’’Dalam sebulan ini kita sama sekali tidak bercinta. Bagaimana bisa benihku sampai kepadamu kalau kita tidak berhubungan intim? Ayolah Sani, jujurlah kepadaku.’’

’’Pokoknya aku tidak selingkuh.’’

’’Aku tidak percaya. Cepat katakan. Siapa lelaki yang telah menghamilimu. Biar aku tebas batang lehernya. Cepat katakan! Kalau tidak mau mengaku, lebih baik aku pergi dari rumah ini.’’

’’Terserah kamu.’’

’’Baiklah, jika kau tidak mau mengaku. Sejak detik ini aku menceraikanmu.’’

Ayahmu kalap. Semua benda-benda berbahan beling dilempar dan ada juga yang dibanting. Pecahlah hingga berkeping-keping. Temasuk kaca jendela rumah, dilemparinya dengan batu. Banyak warga desa menonton dari jauh. Aku juga tidak keluar rumah.

***

BEBERAPA hari kemudian, setelah kepergian ayahmu, desas-desus dan gunjingan tentang pertengkaran itu mulai lenyap. Warga desa juga sudah melupakan perihal kenapa ibumu bisa hamil.

Ibumu merawat kandungannya sendirian. Namun sesekali lelaki itu datang malam-malam sekadar menaruh bungkusan di depan rumahmu. Esok harinya ibumu mengambilnya. Tidak banyak yang tahu apa isi dari bungkusan itu. Tapi aku yakin bungkusan isinya uang.

Lepas sembilan bulan lebih sedikit, kau lahir. Peristiwa kelahiranmu sangat sunyi. Walau suara tangismu mengusik telinga, tidak ada satupun warga yang datang berkunjung sekadar menjenguk. Hanya Wak Ju, dukun beranak yang masih belum tergantikan posisinya oleh bidan, menjadi saksi kelahiranmu.

Kau diberi nama Sanca. Aku menduga ibumu sengaja memberi nama kepadamu dengan nama sejenis ular dengan alasan tertentu. Atau mungkin saja ibumu sedang menggabung dua nama menjadi satu: Sani (nama ibumu) dan nama lelaki gelapnya itu.

Kau tahu, lelaki yang menghamili ibumu itu adalah seorang dukun ternama di desa ini. Yang kemudian kuketahui bernama Carta. Aku tahu nama lelaki itu dari ibumu. Nama lelaki itu sangat aku kenal. Bahkan setiap hari aku mendengarnya. Entah, kenapa ibumu mau berterus terang padaku, bercerita tentang lelaki gelapnya itu kepadaku. Dan semenjak peristiwa pertengkaran besar antara ibu dan ayahmu, lelaki itu menghilang dari desa ini. Entah ke mana ia pergi.

Namun suatu ketika aku dengar kabar dari temanku yang ada di desa Manding, Carta hidup dengan seorang janda beranak dua di sana. Janda itu kaya. Berkat modal yang diberi oleh janda itu, Carta maju dalam pemilu legislatif tingkat kota dan berhasil meraup suara banyak sehingga saat ini ia menjadi seorang wakil dewan kota. Ia berhenti menjadi dukun. Tidak, tepatnya istirahat jadi dukun.

Saat usiamu enam bulan, ibumu meninggal dunia karena serangan jantung. Ada kabar buruk dari seorang kawannya yang sesama pedagang di pasar: pasar terbakar. Semua toko, kios, tenda dan lapak hangus terbakar. Termasuk toko ibumu. Tidak ada yang tersisa. Ibumu tidak kuat mendengar kabar itu, lalu rubuh tak sadarkan diri, sebelum akhirnya meninggal.

Lalu bagaimana kau bisa sampai ke tanganku? Begini. Kau itu tidak dihanyutkan ke sungai sebagaimana Musa yang dihanyutkan di Sungai Nil sehingga bisa sampai kepadaku. Setelah ibumu meninggal, kau itu dititipkan oleh Wak Ju kepadaku. Saat ibumu meninggal, memang hanya Wak Ju yang mengurus. Padahal ia bukan kerabatmu. Warga hanya sedikit yang datang. Itu pun karena terpaksa.

Semua sanak keluargamu tidak ada yang bersedia merawat dan membesarkanmu. Mereka tidak mau menanggung malu. Kau sudah dicap sebagai anak haram yang dilahirkan dari hubungan terlarang.

Aku bersedia memeliharamu karena aku tidak memiliki keturunan. Sebenarnya aku bisa memiliki keturunan tapi suamiku tidak mau anak dariku. Entah apa sebabnya. Sudahlah, aku tidak mau membahas suamiku. Bagiku, ia aku anggap sudah tiada.

***

KAU pasti bertanya-tanya dari mana aku dapat uang untuk membiayai hidupmu. Ayahmu selalu mengirimi aku uang.Meski tidak banyak, tapi itu cukup untuk belanja sehari-hari,dan selalu berlebih. Yang aku ketahui dari kabar-kabar yang berkelebat, ayahmu menikah lagi dengan seorang perempuan yang banyak memiliki sawah. Ia ikut jadi petani. Berhenti kerja kantoran. Ia sukses dengan istrinya yang sekarang. Aku bersyukur.

Tapi keberutungan ayahmu tidak bertahan lama. Saat musibah datang, banjir dengan ketinggian lebih dari atap rumah, memberangus sawah dan rumah-rumah, termasuk rumah ayahmu, kiriman uang dihentikan. Dengar-dengar istri ayahmu bangkrut. Semua padinya gagal panen. Rumahnya ambruk. Sedang modal sudah banyak dikerahkan untuk menanam padi. Istri ayahmu gila. Dan beberapa hari kemudian, setelah akibat dari musibah banjir itu berangsur bisa dipulihkan, ayahmu meninggal dunia. Entah apa sebabnya, aku tidak tahu.

Aku hanya bisa menduga, ayahmu meninggal karena tidak kuat menerima tekanan hidup: istri gila dan harta tinggal tanah yang belum bisa menghasilkan apaapa. Banyak dari warga desa yang ada di sekitar rumah ayahmu mengungsi sejauh-jauhnya. Dan aku dengar kabar ada yang tidak ingin kembali ke desa itu. Ada yang mengira desa tempat ayahmu tinggal itu sudah dikutuk. Sehingga musibah datang dengan leluasa.

Saat-saat bersamamu, mulanya banyak yang mencibir dan menggunjing. Namun lama-kelamaan menjadi normal kembali. Awalnya aku dianggap telah bersekongkol dengan lelaki yang menghamili ibumu. Aku terima itu dan tidak melawan. Aku anggap itu sebagai akibat dari kecerobohanku.

Aku memang ceroboh. Seharusnya aku tidak menerimamu. Dan terserahlah siapa yang akan merawatmu. Tapi aku merasa kasihan kepadamu. Kau tidak bersalah. Kau bukan anak haram. Kau itu suci. Dan Tuhan tidak sembarangan dalam menciptakan makhluknya.Semuanya sudah terencana dengan matang. Tidak ada yang tidak disengaja.

Maka pesanku, jadilah anak yang baik. Menuruti semua nasihatku. Jangan bertindak bodoh yang nantinya bisa dikait-kaitkan dengan proses penciptaanmu. Bisa runyam masalahnya. Dan aku bisa dapat getahnya.

Aku menyekolahkanmu agar kau pandai. Setidaknya kau bisa menjadi generasi penerusku. Aku ini perempuan bodoh. Tidak berpendidikan. Orang tuaku tidak sanggup menyekolahkanku karena terbelit perekonomian sulit kala itu. Dan aku dipertemukan dengan lelaki tampan yang kala itu mau menikah denganku. Aku menikah di usia remaja. Masih tak tahu apa-apa. Tapi anehnya, semenjak awal menikah hingga sekarang, suamiku tidak mau menyetubuhiku. Entahapa alasannya. Aneh, bukan?

Suamiku memang lelaki aneh.Pekerjaannya sehari-hari sebagai dukun. Ia terkenal dengan dukun yang sakti. Pasiennya banyak. Ia bisa menggandakan uang. Banyak orang datang hanya ingin cepat kaya. Mereka yang datang kebanyakan tidak mau repot-repot bekerja tapi ingin banyak uang. Suamiku dikenal sebagai dukun pesugihan. Dan ia telah bersekutu dengan jin yang berbentuk ular.

Bukan hanya aku istri suamiku. Kata orang, aku adalah istri kesembilan. Aku tidak terkejut. Tidak mau terkejut. Sudah biasa menurutku. Karena memang banyak lelaki di desa ini yang memiliki harta berlebih kesenangannya memiliki istri banyak. Kau tahu Pak Haji Musleh? Istrinya sepuluh dan dikumpulkan dalam satu rumah. Pak Unais, Naufal, dan Ridwan, juga sama. Dan masih banyak yang lainnya.

Aduh, kenapa aku jadi bicara tidak keruan? Padahal aku sudah bilang tidak ingin membicarakan suamiku lagi. Sekarang aku ingin bertanya kepadamu, pernahkan kau becermin dan menatapi wajahmu lekat-lekat? Apa yang kau bisa tangkap saat becermin?

’’Tidak ada, Nek. Lagi pula aku tidak suka memperhatikan wajahku. Aku hanya becermin seperlunya. Menyisir rambut dan membenahi baju.’’

Wajahmu itu tampan sekali. Mirip sekali dengan Carta. Lelaki itu memang diberkahi ketampanan wajah. Tapi sayang perilakunya busuk.

’’Saya melihat sebuah foto seorang lelaki yang ada di dinding kamar Nenek. Itu siapa, Nek?’’

Itu Carta. Suamiku. Mungkin saat ini dia sudah menjelma ular. Aku berharap seperti itu. Aku tekankan kepadamu, mulai sekarang jangan banyak tanya lagi tentang lelaki itu padaku. Aku muak mendengar namanya. (62)

 

 

Rima, 2014

— Agus Salim, cerpenis kelahiran Sumenep, Madura, 18 Juli 1980. Cerpennya dimuat di beberapa media massa.

 


Filed under: Agus Salim Tagged: Suara Merdeka

Putin

$
0
0

Cerpen Thelma Wibikusuma (Koran Tempo, 16 Maret 2014)

Putin ilustrasi Munzir Fadly

IA masih naik beruang. Begitulah ia ketika pertama kali kulihat. Di sebuah foto. Di internet.

Ya, sampai kini aku tak dapat mengetahui apakah ia benar-benar naik beruang atau tidak. Waktu itu aku belum mengenalnya. Seperti diketahui, internet adalah sarang segalanya. Kebenaran, kebohongan, yang berguna dan yang tidak, semua campur baur jadi satu.

Seperti gado-gado. 

Kubungkuskan untuknya, gado-gado dari warung Bu Har, yang letaknya di tepi jalan raya di mulut gang tempat tinggalku.

Aku dijemput sebuah Mercy, yang tampak seperti mobil sewaan atau milik pejabat yang dipinjamkan padanya. Bukan milik pengusaha.

Rusia terlalu jauh, terlalu berbeda iklim dengan negara kami untuk diajak berbisnis yang cepat menghasilkan uang.

Yang menjemputku pun orang kami sendiri, bersama dengan orang asing. Mungkin pengawal orang yang akan kutemui itu.

Maka kutanyai orang asing yang ternyata memang pengawal itu. Urusan beruang, katanya, tanyakan saja pada atasan saya. Ia tak berwenang menjawab.

Walah, kok sama saja dengan negara kami pada era 1980-an.

Sopirnya, orang Sidoarjo yang merantau ke Jakarta dua belas tahun yang lalu. Dia memberi jawaban menggantung saat kutanya siapa yang meminjamkan mobil ini pada orang-orang asing itu untuk kepentingan pribadi. Jelas ini bukan kepentingan negara.

Kemarin sore kulihat di telepon genggamku (yang bisa kupakai chatting dan browsing) ia berjabat tangan dengan presiden negaraku. Ia kelihatan bagaikan dewa. Tinggi kekar. Kulihat komentar seseorang di bawah berita itu: demikianlah seharusnya tampilan seorang pemimpin negara. Orang itu memberi tautan ke halaman Facebook-nya. Saat kuklik, ada nama lengkap, alamat, dan sebagainya. Ditulisnya juga ia akan ke negara lain, entah apa aku lupa, tiga hari lagi. Dipampangkannya foto tiketnya.

Jaga kesehatan Pak, jangan sampai keracunan seperti Munir….

Jadi, setelah melewati beberapa pemeriksaan, aku disuruh duduk di sebuah ruangan. Gado-gadonya kuberikan pada si sopir Mercy setelah aku melihat bangunan hotel tempat ia menginap. Bangunan yang mewah sekali. Aku jadi keder, takut dihina karena membawakan makanan murah. Juga aku baru sadar, perut mereka beda dengan perut kami. Seperkasa apa pun seseorang, kalau tidak biasa makan cabai, ia bisa berabe juga.

Jantungku seperti berlompatan di dada. Sekitar 15 menit aku menunggunya.

Aku ingat perkenalan kami. Di sebuah chat di website. Waktu itu aku 100% yakin ia berbohong saat memberikan identitasnya. Aku sendiri memberikan identitas palsu.

Sampai di mobil tadi pun aku masih setengah percaya setengah tidak. Sekarang pun aku masih belum sepenuhnya percaya.

Pintu terbuka. Bukan dia. Orang asing lain. Oh, pikirku, jadi pengawal pribadi pemimpin Rusia itu berpura-pura jadi dia untuk menarik perhatian lawan bicara?

Ternyata aku dipersilakan ke ruangan lain.

Pintu ke ruangan itu berpelitur mengkilap. Bukan berarti pintu-pintu lain yang kulewati di hotel ini tidak berpelitur mengkilap. Hanya saja debaran jantung terlalu cepat, terlalu panjang durasinya, membuat mataku memperhatikan detil-detil yang sebelumnya tidak kulihat.

Pria bermata biru yang tadi menjadi sasaran prasangka burukku membukakan pintunya.

Aku masuk. Ada orang-orang. Mereka memberi isyarat untuk belok ke kiri. Ada pintu berpelitur lain, yang dibukakan oleh seorang pria bermata biru lain, yang berpakaian resmi sama seperti yang tadi.

Oh debaran jantung dan indera yang tiba-tiba menajam….

Dan di sanalah ia duduk. Benar-benar dia. Atau orang yang mirip dengan dia. Kudengar beberapa diktator mempunyai ”kembaran“, orang-orang yang dioperasi plastik agar mirip dengan mereka, untuk ditaruh di acara-acara di mana mereka boleh jadi sasaran penembak jitu.

Jadi aku tak tahu yang kujumpai benar-benar si pemimpin Rusia atau bukan.

Sesaat kemudian, ia mengiyakan saat kutunjukkan foto ia mengendarai beruang. Namun bisa jadi ia membodohiku. Bisa jadi pula orang yang ada di hadapanku ini hanya orang yang dioperasi plastik agar mirip ia. Maka jawabannya tidak harus kupercaya.

 

PERTEMUAN itu terjadi lima belas tahun yang lalu. Sejak itu beberapa kali aku bertemu dengannya, juga dengan seorang pengusaha asal Singkawang yang meminjamkan Mercy untuk mengantar-jemput aku.

Aku keliru. Ternyata ada komoditi yang cepat mendatangkan uang bagi pengusaha yang bekerja sama dengan Rusia. Memang untuk apa pemimpin negara dingin membeku itu datang ke negara kami bila tidak ada itu?

Tapi aku, si pengusaha Singkawang itu, dan si pemimpin Rusia melakukan bisnis lain.

Gado-gado Bu Har memang tidak jadi dicicipi oleh pemimpin Rusia itu. Namun empat bulan kemudian, putri bungsu Bu Har kukirimkan sebagai contoh. Kubekali dia dengan jaket banyak-banyak.

Namaku tidak penting. Pengusaha Singkawang itu menggaetku untuk bekerja sama memenuhi pesanan. Murni kebetulan aku terseret dalam bisnis mereka. Bisnis apa? Kau tak akan percaya.

 

TEMPAT tinggalku sengaja tidak kupindahkan. Tetap di gang sempit, meski hartaku beranak pinak karena bisnis yang kugeluti. Namun pertemuan dengan rekan bisnis selalu kulakukan jauh dari sana.

Mobil mewah itu menjemputku berkali-kali.

Sebelum itu klienku hanya orang-orang dalam negeri. Orang-orang bergosip bahwa aku menjual diri.

Wah, bukan, aku bukan orang bodoh. Gadis-gadis yang kupekerjakan itulah yang menjual diri. Cerita-cerita yang beredar dari mulut ke mulut mengatakan bahwa gadis-gadisku kubuat kecanduan obat tertentu, dan mereka mendapat jatah dariku bila bekerja keras. Itu cerita bohong. Sekitar setengah jumlah mereka tidak pernah menyentuh obat. Mereka pintar. Salah satunya adalah putri bungsu Bu har, sang penjual gado-gado di mulut gang.

Namun dengan adanya bisnis baruku, aku jadi bertanya-tanya apakah anak buahku yang tak mau menyentuh obat-obatan karena takut kecanduan itu benar-benar pintar. Sudah kukatakan kau tak akan percaya bisnis apa yang kugeluti dengan pengusaha Singkawang dan pemimpin Rusia itu. Jelas bukan bisnis jual diri.

 

GADO-GADO Bu Har kehilangan rasanya sejak hari itu, hari yang seharusnya jadi hari kepulangan putri bungsunya. Tentu aku tidak bodoh. Semua anak buahku kusuruh mengabaikanku bila kami berpapasan di luar. Tak boleh ada yang tahu tentang bisnisku. Mereka pun tidak saling mengenal. Tak terkecuali putri Bu Har. Ia berkata ada tiket promo ke negara tetangga. Bukan ke Rusia.

Bu Har mengisahkan berulang-ulang pada siapa pun yang mau mendengar, ia tidak mengecek karena putrinya itu kos di Jakarta bagian lain. Agar dekat dengan tempat kerjanya.

Ya, ia bekerja kantoran. Dan ia bekerja padaku hanya sebagai sambilan.

Putri Bu Har tak pernah tahu tempat tinggalku. Aku tahu bahwa ia anak sang penjual gado-gado karena semua anak buahku kumintai fotokopi KTP. Selama ini kami tak pernah bertemu di luar urusan pekerjaan.

Aku menghibur Bu Har saat kebetulan membeli gado-gadonya pagi itu. Aku butuh makan lebih banyak serat, dan hanya ia yang menjual gado-gado di sekitar situ. Menyetir tak mungkin karena mobilku ada di bengkel. Berjalan lebih jauh aku malas.

Kukatakan padanya selama tak ada kabar yang menyatakan sebaliknya, anak bungsunya mungkin masih hidup. Penjual gado-gado itu memberiku ekstra kerupuk. Kukatakan padanya bahwa aku yakin jantung putrinya masih berdetak. Tapi mana mungkin aku tahu pasti, karena aku baru saja menerima kabar bahwa penerima donor jantung itu barusan meminta ginjal baru. Yah, tidak tepat disebut donor, bila diserahkan dengan tidak rela, bukan?

Basa-basi kukatakan pada penjual gado-gado yang tinggal sendirian itu agar jangan menelan obat penenang walaupun ia susah tidur memikirkan nasib anaknya. Di negara ini memberi nasihat tanpa diminta adalah tanda keramah-tamahan. Ia menjawab bahwa sejak muda ia tak pernah minum obat, bahkan obat sakit kepala pun tak pernah. Dan awal tahun ini ia ikut pemeriksaan darah kolektif yang memberi potongan harga, dan semua kadarnya normal. Kutanyakan golongan darahnya. Sama dengan putrinya, sama dengan orang yang jadi tuan rumah bagi jantung putrinya.

Aku pamit lalu menghubungi orang kepercayaanku setelah makan beberapa suap. Kuberikan alamat dan ciri-ciri Bu Har. Ia adalah pria perantau yang kuberi gado-gado yang tak jadi kuberikan kepada pemimpin Rusia itu.

Dari sopir rekan bisnisku, pria perantau itu sekarang jadi eksekutorku.

Kalau nanti Bu Har tidak berjualan lagi, aku yakin akan ada penjual gado-gado lain di tempat yang sama.

Dan gado-gado yang pernah hendak kuberikan kepada (mungkin) si penunggang beruang ternyata segera turun kasta jadi penghuni tempat sampah.

 

 

Thelma Wibikusuma

tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur

 


Filed under: Thelma Wibikusuma Tagged: Koran Tempo

Angkutan dari Rusun

$
0
0

Cerpen Gus tf Sakai (Media Indonesia, 16 Maret 2014)

Angkutan dari Rusun ilustrasi Pata Areadi

PAGI ini tak bisa lagi Iman tak marah. Kapal gratis ke Muara Baru masih belum bisa jalan, sementara Rahmat anaknya yang sekolah pada sebuah SD di Pluit tak mau berangkat dengan bus. Tapi tentu saja Iman mestinya ngerti. Dengan bus, dari Marunda, Cilincing, ke Pluit, Penjaringan, jaraknya 10 kilometer. Pukul berapakah Rahmat akan sampai di sekolah?

Tetapi Iman sudah bilang ke Rahmat agar bangun lebih pagi. Rahmat saja yang tampaknya seperti malas. Ah, ada apakah sebetulnya? Walau sejak pindah ke Marunda banyak hal memang tak lagi sama, namun Iman punya firasat bukan karena itu Rahmat berubah. Ya, ada sesuatu yang seperti berubah. Kelas 4 SD, 10 tahun, memang usia nakal-nakalnya. Apakah ada sesuatu yang terjadi di sekolah? 

“Aku juga tak tahu,” kata Warsinah, istrinya, saat kemarin Iman bertanya. “Tapi yah, dibanding di Pluit, di sini Rahmat lebih banyak main.”

“Mm, apa karena main? Apakah karena asyik main ia jadi malas?”

Iman masih menggerutu, masih uring-uringan, saat pamit pada istrinya. Sapaan beberapa orang yang tengah duduk-duduk minum pagi di kios dan gerobak-gerobak lantai dasar, ia balas seadanya. Di halaman yang luas, Iman agak tertegun. Dilihatnya truk-truk dan orang-orang, para pekerja bangunan, ramai, menurunkan berbagai peralatan. Sepagi ini. Mmm. Pasar sayur itu, rupanya, benar-benar akan ada di depan rusun mereka.

***

Sampai di tempat mangkalnya, pasar ikan Muara Baru Jalan Gedong Panjang, hari memang telah agak siang. Tetapi bagi Iman, telat atau tidak memang tak soal, karena pasar ikan itu hanya tempat kerja antara, sebelum kemudian ia mangkal di Taman Waduk Pluit. Selain ‘mengisi’ langganan, orang-orang yang biasa utang rokok atau barang kecil ini-itu, pasar ikan adalah tempat Iman menitipkan asongan kepada seorang juragan ikan yang dulu, sebelum ia pindah ke Marunda, adalah juragannya.

Taman Waduk Pluit menjadi tempat asongan utama, karena di situlah sumber uang kontan Iman. Semua pembeli adalah orang asing, orang-orang yang sebelumnya Iman tak kenal, para pengunjung taman, yang entah datang dari mana. Hari-hari biasa Iman bisa untung Rp40 ribu-Rp50 ribu, sedangkan Sabtu dan Minggu bisa mencapai dua kalinya. Ditambah upah Warsinah yang membantu-bantu di sebuah kios lantai dasar rusun, penghasilan mereka cukup untuk bertiga dan kadang bisa mengirim ke Yeni, kakak Rahmat yang tinggal bersama orangtua Iman dan sekolah di sebuah SMP di kampung mereka di Magetan.

Siang Iman akan istirahat seraya menunggu Rahmat pulang dari sekolahnya pada sebuah SD dekat Emporium Pluit. Bersama, mereka lalu makan siang di sebuah warung dan, sesudahnya, dibantu Rahmat, Iman akan terus mengasong sampai malam. Sungguh tak terbayangkan, lokasi yang Januari lalu masih berupa perumahan kumuh, dipadati gubuk-gubuk di bantaran waduk, tak lebih sembilan bulan, telah menjelma jadi taman. Dan salah satu dari gubuk itu, tentu saja adalah gubuk Iman. Kadang, dengan setengah bercanda, Iman suka bertanya ke Rahmat, “Ayo, di mana dulu rumah kita?”

“Di situ!” tunjuk Rahmat, seraya berlari-lari ke sebuah lokasi di sisi waduk.

“Bukan!” sanggah Iman. Dan seraya menunjuk agak ke tengah, ke sisi bagian dalam waduk, ia bilang, “Di sana….”

“Kok di dalam waduk?” Rahmat protes.

“Ya tentu. Waduk kan diperlebar….”

Memang, selain dikeruk, waduk juga diperlebar. Luas yang dulu 60 hektare, untuk menanggulangi banjir, akan dijadikan 80 hektare. Sampai pertengahan November itu, baru sisi barat waduk yang jadi taman. Selain area pusat taman yang diresmikan Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta yang biasa dipanggil Jokowi, 17 Agustus 2013 lalu, sudah ada pula area teater terbuka, jalur jalan untuk joging, dan bangku-bangku. Jokowi bilang, “Bertahun-tahun ke depan, taman ini akan jadi hutan kota. Tak ada lahan komersial. Semua untuk warga. Gratis.” Warga juga boleh berdagang, tetapi asongan, karena tak boleh ada bangunan.

***

Masih juga kapal belum bisa jalan. Sudah lebih seminggu. Dan seperti harihari lalu, Rahmat masih juga seperti malas. Kadang mau sekolah, kadang tidak. Dan, hal lain yang juga mulai terasa dan membuat Iman kini kepikir, adalah ongkos bus. Bolak-balik Marunda-Pluit bisa mencapai Rp20 ribu. Ah, kapankah cuaca kembali baik sehingga kapal Marunda- Muara Baru bisa pula kembali jalan?

Bila terus begini, semua akan kacau. Kondisi keuangan keluarga juga akan tak lagi mencukupi.

Ah, andai saja masih seperti dua bulan lalu, saat bus Marunda-Pluit masih beroperasi.

Memang, bagi warga yang dipindahkan akibat normalisasi waduk ke rusun-rusun yang lokasinya jauh, disediakan angkutan gratis. Dan untuk yang dipindahkan ke rusunawa Marunda, selain dengan kapal Marunda-Muara Baru yang lewat laut, disediakan pula bus Marunda-Pluit yang lewat darat. Tetapi karena perjalanan dengan kapal lebih cepat, hampir semua orang memilih angkutan laut, dan angkutan darat jadi sepi. Lama-lama bus jadi kosong, dan dua bulan lalu kemudian berhenti. Tetapi, kenapa harus berhenti? Tidakkah, sebelum diputuskan berhenti, warga rusun mestinya lebih dulu ditanyai?

Ah, banyak hal memang tak berjalan sebagaimana mestinya. Dan satu hal yang membuat Iman was-was, adalah unit-unit rusun yang disewakan ke orang lain. Karena berbagai pertimbangan, banyak yang sehabis kerja tak pulang ke rusun dan memilih menginap di sekitar waduk. Dari semula menginap, lama-lama mereka menyewa kamar di Muara Baru, lalu rusun mereka kontrakkan. Bekerja sama dengan oknum pengelola rusun dan calo-calo, sewa unit rusun yang paling mahal Rp159 ribu per bulan, bisa menjelma jadi Rp700 ribu. Bila ketahuan, bukan hanya si penyewa asli, penyewa di seluruh lantai juga akan dikeluarkan.

Dan, bukan itu saja, juga kios dan gerobak-gerobak di lantai dasar. Katanya, akan diundi secara terbuka. Tetapi ada kios yang berganti pengelola, dan si pengganti ternyata famili atau masih satu keluarga.

Ah, Iman berdesah. Dan, tiba-tiba ingat Rahmat. Hari itu, karena Rahmat tak mau sekolah, Iman juga jadi enggan kerja. Di samping paginya juga hujan. “Ke mana ia?” tanya Iman kepada istrinya.

“Entah. Tetapi tadi ia ke bawah. Katanya ke lapangan. Karena hujan, ada temantemannya yang juga tak sekolah.”

Iman melangkah, keluar dari unit rusunnya, berjalan ke arah tangga. Dari teras tangga di lantai dua, Iman bisa memandang ke lapangan serbaguna yang terletak antara Blok A-6 dan Blok A-5. Dan di lapangan itu, di bawah sana, dilihatnya Rahmat, bersama teman-temannya, sedang berlarian berteriak-teriak bermain bola.

Iman juga ingin berteriak, memanggil, tetapi tiba-tiba membatalkannya.

Pemandangan itu, serombongan anak berlarian mengejar bola, tiba-tiba mengingatkan Iman ke suatu masa, di kampungnya, Magetan, 30 tahun lalu.

Iman seperti tertegun. Terpaku lama. Dan lalu, mendadak, seolah ada yang tibatiba bergejolak di dadanya, Iman berbalik. Ia melangkah setengah berlari ke unit rusunnya. “Aku tahu, Inah! Aku tahu!”

***

Apa yang menurut Iman ia tahu, adalah dunia dan permainan itu. Melihat Rahmat dan teman-temannya bermain bola, Iman terbayang masa kanak-kanaknya di Magetan. Betapa mengasyikkan. Betapa menggembirakan. Selain berlarian mengejar bola, ada makebo-keboan, engklek, gobak sodor, boyo-boyoan. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan di Marunda, tak bisa didapatkan Rahmat di Pluit, apalagi saat mereka dulu di bantaran. “Mas yakin itu yang menyebabkan Rahmat malas sekolah?” tanya Warsinah.

“Sangat yakin,” tukas Iman, “dan baik Rahmat kita pindahkan.” “Ke sini?”

“Iya. Ada SD tak jauh dari sini, di Sipitung.”

Warsinah seperti berpikir.

“Dah, jangan berpikir. Dan masih ada lagi.”

“Masih ada lagi? Apa….?”

“Pasar sayur… kau lihat orang-orang sedang bekerja, membangun pasar di depan. Aku akan mendaftar.”

“Mendaftar? Ikut jualan sayur?”

“Iya.”

Warsinah seperti terpana. Sesaat, lalu senyum mengembang di bibirnya. “Kita… kita betul-betul hanya akan di sini? Mas juga takkan lagi ke Pluit?”

Iman mengangguk. Warsinah mendekat, menyentuh tangan Iman tak percaya. Tetapi kembali Iman mengangguk. Memastikan. Dan, senyum Warsinah kini benar-benar mekar. Mengembang lebar….

***

Cerpen ini merupakan bagian dari sebuah karya yang lebih luas.

Gus tf Sakai, pengarang kelahiran Payakumbuh, 1965. Menulis novel, cerpen, dan puisi. Ia mendapat penghargaan SEA Write Award dari Kerajaan Thailand untuk kumpulan cerpen Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (2004), juga Khatulistiwa Literary Award (KLA) untuk kumpulan cerpen Perantau (2007). Buku terkininya Kaki yang Terhormat (2012).


Filed under: Gus tf Sakai Tagged: Media Indonesia

Jalan Sunyi Kota Mati

$
0
0
Cerpen Radhar Panca Dahana (Kompas, 23 Maret 2014)   KOTA adalah tempat bagi semua yang pergi. Seperti hari itu. Ashar sudah lama lewat dan halte yang kudekati dijejali orang-orang yang tak kukenali. Kutatap mereka satu-satu, seolah saudara dekat yang besok tak kutemui lagi. Tapi, mengapa semua berubah hanya dalam satu kedipan mata. Seperti tak ada […]

Lembudana-Lembudini

$
0
0
Cerpen Eka Nur Apiyah* (Republika, 23 Maret 2014) “JON, ke sini!” panggil seseorang pada Joni. Suaranya lirih hampir tak terdengar sedangkan napasnya berjungklatan tak teratur. Joni langsung mencari sumber suara. Ternyata itu suara Sapri, teman sekampungnya. Dengan rasa malas, Joni mendekati temannya itu. “Kamu ngapain sih, Pri, ngumpet di situ?” “Ssstt … jangan keras-keras, Jon, aku […]

Liontin untuk Mathias Dadores

$
0
0
Cerpen Handry TM (Suara Merdeka, 23 Maret 2014) Janganlah kau pahami cinta seperti membeli setangkup roti. Ketika kedinginan semalaman kau lantas kobarkan unggunan api. Roti kau lempar sekenanya ke tengah bara, dan kau tunggui.   Brisbane, Mei 1998  ‘’LAKUKAN apa yang mesti kau lakukan, Amelia. Tapi jangan kamu membenci diriku seolah menyingkirkan beban napasmu yang […]

Taman Pohon Ibu

$
0
0
Cerpen Benny Arnas (Jawa Pos, 23 Maret 2014) PEREMPUAN itu telah membesarkan seorang putri sedari ia mengandungnya. Ia senantiasa memberikan ragam nasihat seolah janinnya sudah gadis benar, seolah anak gadisnya ada di hadapan. Ya, bila kalian pernah membaca atau mendengar kisah seseorang yang rela digandeng Izrail demi mempersilakan oroknya mencium bumi, maka ialah ibu yang […]

Maharet

$
0
0
Cerpen Dinar Rahayu (Koran Tempo, 23 Maret 2014) DI KAWASAN awan Kerberus, Ganesha tersungkur. Bentuknya yang seperti donat raksasa itu seolah tercabik-cabik tangan raksasa hanya untuk kepuasan belaka. Ia benar-benar seperti Dewa Ganesha yang berkorban untuk secarik tulisan ilmu pengetahuan. Menurut mitologi, dewa berwajah gajah itu memotong satu gadingnya untuk dipakainya sebagai pena untuk menuliskan sejarah […]
Viewing all 933 articles
Browse latest View live