Quantcast
Channel: Cerpen Koran Minggu
Viewing all 933 articles
Browse latest View live

Lima Cerpen Sapardi Djoko Damono

$
0
0

Cerpen Sapardi Djoko Damono (Kompas, 9 Februari 2014)

Lima Cerpen Sapardi Djoko Damono ilustrasi Rifda Amalia

WARTAWAN Itu Menunggu Pengadilan Terakhir

Seperti yang sudah seharusnya, pada hari baik itu saya mati. Kata seorang sahabat dalam sebuah sajaknya yang mahaindah, kita semua ini turis yang dibekali karcis dua jurusan. Dan tentunya, pikir saya, kita tidak boleh menyia-nyiakan tiket pulang itu. Saudara tahu, saya wartawan sebuah majalah berita. Dididik untuk mengembangkan naluri mewawancarai orang. Itu sebabnya ketika harus menunggu giliran maju ke Pengadilan Terakhir, yang entah kapan dilaksanakan, naluri saya mendadak menyembul. Saya celingak-celinguk di antara begitu banyak orang (mati) dan, alhamdulillah, ketemu seorang (sic!) Malaikat yang sedang tugas keliling mengamati kami. Saya mendekatinya.

”Kalau boleh tanya, apa saya bisa menemui Kakek kami?” 

Malaikat semua baik, ternyata. Ia memegang bahu saya, sorot matanya menimbulkan suasana sejuk sehingga saya berpikir sudah berada di sorga. Tetapi kan belum ada keputusan saya nanti dikirim ke mana. Supaya tidak kelihatan konyol sebagai wartawan saya lanjutkan pertanyaan saya.

”Boleh, ya, Mas?” Aku kaget sendiri ketika menyebutnya ’mas’, tapi Malaikat itu memang baik. Saya tidak bisa menerka umurnya, dan lagi apa malaikat punya umur? Saudara pasti tahu, saya meninggal ketabrak angkot ketika sedang naik motor melaju ke sebuah rumah sakit untuk bezuk seorang rekan yang koma. Malaikat itu tahu siapa saya, ya itu jelas.

”Boleh saja, kenapa tidak? Mau wawancara, kan? Mari saya antar ke sana.”

Ia benar-benar Malaikat baik. Setelah sampai di tujuan, ia menuding ke arah seorang yang lagi duduk di bawah sebuah pohon, lalu segera meninggalkan saya.

Saya mendadak jadi kikuk, kaget dan kikuk. Kenapa kesempatan serupa ini tidak pernah saya dapatkan ketika masih jadi wartawan? Saya pun mendekati Kakek kita itu, siap-siap pertanyaan apa yang akan saya ajukan. Dan ketika sudah dekat dengannya, saya berhenti. Saya timbang-timbang lagi apa jadi mewawancarainya atau tidak. Terus-terang, saya takut mengganggunya.

Soalnya, tampak Kakek kita itu sedang mengunyah-unyah buah khuldi. Saya tidak melihat Nenek kita dan ular itu, entah di mana mereka. Tidak perlulah saya melakukan investigasi, toh redpel tidak akan bisa lagi memarahi saya. Namun, bagaimanapun, saya harus melakukan wawancara. Itu bagian hidup saya.

***

Dalam Tugas

Aku sedang bertugas meliput peperangan yang terjadi di negeri sahabat. Tak usah diberitakan bahwa penyebabnya adalah kemauan yang punya kuasa untuk ikut campur urusan rumah tangga orang lain. Tapi aku tidak mau memasalahkannya sekarang ini, tugasku jauh lebih luhur dari pertanyaan filsafat atau politik yang susah menjawabnya.

Aku aman, berada di daerah pihak yang menang saat ini. Beberapa tahanan dibariskan siang itu, disuruh (maksudnya disiksa) macam-macam, dan akhirnya salah seorang lelaki yang pakaiannya kumal dan pakai caping—mungkin ia petani—disuruh maju ke depan. Seorang serdadu mendekatinya, mengacungkan pestol, menempelkan moncong senjata itu tepat di pelipis si petani, dan dor!

Aku tidak bisa berbuat lain kecuali menekan tombol kamera yang sudah sejak tadi aku siapkan, juga untuk menembak. Tidak ada yang mempersoalkan kenapa aku tidak menolong petani itu, dan malah ambil gambarnya.

Si korban roboh. Semua sudah terekam dalam kameraku. Aku setengah tak percaya ketika menyaksikan tubuh yang roboh itu pelahan-lahan naik seperti terangkat angin, ringan sekali, semakin tinggi, semakin tinggi. Namun, aku saksikan nyawanya masih tegak bergeming di tanah. Aku melihatnya jelas. Aku keheranan, tentu saja. Seorang serdadu mendekatiku dan dengan tenang berkata, ”Bung kan wartawan, jangan suka heran begitu, dong. Setiap kali ada pembangkang mati ya begitu. Tenang saja, lama-lama Bung juga terbiasa.”

Aku tengok ke arah suara itu. Aku tak boleh kaget ketika melihat tampang serdadu itu persis redpel majalahku.

***

Naik Ka-Er-El

:Bambu

Aku pernah kerja di sebuah majalah berita ketika masih berkantor di Senen. Setiap hari harus naik angkot gonta-ganti tiga kali dan setiap masuk kendaraan kepalaku membentur bendul pintu yang rendah, sedikitnya dua kali seminggu, begitu. Jadi, satu kali jalan tiga angkot, pulang balik enam angkot; kalau dua kali seminggu berarti seminggu benjut dua kali enam = 12 kali. Sebulan empat kali 12 = 48 kali benjut. Akhirnya tidak ada bagian yang bisa benjut lagi karena seluruh permukaan kepalaku sudah benjut.

”Lha mbok naik ka-er-el saja, Mas. Nyaman,” kata seorang gadis cantik yang duduk dekat ketua redaksi; ia wartawan baru.

Ya, kenapa tidak begitu saja dulu-dulu, pikirku. Begitulah, sore itu menjelang jam empat beberapa pegawai mengajakku buru-buru kabur supaya tidak ketinggalan kereta jam empat. ”Lumayan kosong, Mas, kalau yang jam empat,” kata salah seorang ketika menuju ke Stasiun Cikini.

Sampai di stasiun, saya tidak boleh menunjukkan tampang orang kaget meskipun menyaksikan begitu banyak orang bergerombol menunggu kereta. ”Apa gerbong-gerbong itu nanti muat?” tanyaku dalam hati. Dalam gerbong tak tersisa lagi pegangan tangan, dan memang tak perlu sebab tanpa berpegangan apa pun tak akan jatuh saking penuhnya. Sepatu menginjak sendal, dengkul beradu dengkul, bokong menyenggol bokong.

Sampai di stasiun tujuan, tidak perlu berusaha apa pun aku terbawa turun tergencet orang-orang yang berdesakan. Turun dari gerbong aku berjalan terpincang-pincang menuju angkot D-04 yang sudah berbaris. Sampai di rumah, kalimat pertama yang diucapkan anakku ketika membukakan pintu adalah, ”Lho, Pak, kok sepatunya kiri dan kanan gak sama?”

Aku tak menjawab karena tak tahu harus bilang apa. Dan ketika dalam kamar berganti celana, baru aku sadar bahwa kakiku yang kiri dan yang kanan tak sama panjangnya, yang kiri bukan kakiku ternyata. Pantas tadi jalanku terpincang-pincang. Tanpa pikir terlalu panjang aku ganti celana lagi langsung berlari keluar, menabrak istriku, mendorong anakku, membuka pintu pagar.

”Hei, Bapak mau ke mana?” tanya mereka hampir serempak.

Apa ada yang perlu aku jawab? Berjalan terpincang-pincang aku ke jalan menunggu angkot. Akan aku tanyai semua orang di stasiun apa ada yang melihat orang yang membawa kabur sebelah kakiku.

Aku akan sabar menunggu.

***

Naik Garuda

Yang paling aku nikmati ketika naik Garuda adalah membayangkan diriku sebagai dewa yang ke mana-mana berkendaraan burung perkasa itu. Tapi ada hal lain, yang paling aku kawatirkan adalah kalau di ketinggian sekian puluh kilometer mendadak mesinnya mati dan kami rame-rame nyangsang di hutan atau nyemplung di laut.

Jadi, supaya merasa tenang, begitu menginjak anak tangga paling bawah aku buru-buru berdoa seingatku saja mengikhlaskan seluruhnya: tubuh, nyawa, dan kenangan yang ada dalam benakku.

Yang paling aku benci ketika naik Garuda adalah kalau kebetulan di dekat jendela sebelahku duduk seorang lelaki tua, sendirian saja, yang begitu duduk langsung ngorok. Tawaran permen, minuman, dan roti oleh pramugari (yang susah-susah kerja melalui seleksi) sama sekali tak dipedulikannya. Mungkin tak dirasakannya juga ketika Garudaku menembus cuaca buruk atau disedot udara kosong. Mungkin ia juga tidak berdoa ketika penumpang lain ndremimil setelah mengeluarkan kitab saku yang isinya doa.

Dan yang bikin aku kapok adalah ketika lelaki tua di sampingku itu tidak lagi terdengar ngorok, dan ketika Garudaku sudah mendarat dan ketika kami berebut bangkit mengambil barang bawaan ia tetap tak beranjak dari tempat duduknya. Tampaknya ia sudah bebas dari ikatan dunia, tak mempedulikan kami lagi.

Sejak itu aku benar-benar kapok naik Garuda.

”Tapi Bapak mau naik apa, hayo?” tanya orang kantor yang suka membelikan tiket.

***

Meditasi Sunan Kalijaga

: Nano Riantiarno

Sahabatku, yang barusan lulus dari sebuah sekolah drama terkemuka di Jepang, mengajakku nonton pertunjukan drama ”Meditasi Sunan Kalijaga” yang, menurut kata-katanya, ”pasti akan sangat istimewa.” Aku sudah lama tidak pergi bersamanya; sekarang mumpung ada kesempatan bisa ngobrol lagi dengannya. Depan Gedung Kesenian dipenuhi calon penonton yang berpakaian rapi, ada yang pakai jas, ada yang pakai jaket. Aku jadi agak kikuk sebab hanya pakai baju lengan pendek dan celana jeans yang sudah agak belel. Sahabatku hanya pakai t-shirt.

Sampai di dalam gedung baru aku sadar bahwa memang perlu pakai pakaian lengkap karena AC-nya dingin sekali. Setelah pengumuman basa-basi tentang larangan memotret dan menyalakan telepon seluler, layar dibuka. Lampu gedung dimatikan. Panggung sepi dan gelap. Ketika menjadi semakin terang tampak bayang-bayang seorang mengenakan sorban yang duduk bersila. Tidak ada sosok lain. Tidak ada pula benda lain di panggung. Tidak ada suara. Tidak ada musik. Tidak ada gamelan.

Kami, penonton, semua menunggu. Sepuluh menit. Lima belas menit, tiga puluh menit. Tidak ada di antara kami yang tampak gelisah, semua tenang, setenang panggung. Dan kami dengan tajam mengarahkan pandangan ke panggung, menanti apa yang akan terjadi. Bayang-bayang sosok itu tetap tidak bergerak sama sekali.

Tetapi kami tidak pasrah, kami tetap menyimpan keingintahuan dan, tentu saja, kesabaran menunggu apa yang akan terjadi di panggung. Pada satu titik ketenangan kami, di panggung muncul seekor kucing dari arah kiri, menengok kiri-kanan seperti mencurigai sesuatu, lalu menyeberang panggung. Semua pandangan diarahkan kepadanya, kepala kami pelahan serempak bergerak dari kiri ke kanan sampai kucing itu hilang dari pandangan diikuti oleh paduan suara desah kami, sangat panjang dan pelan, menandakan kekaguman. Setelah itu panggung kembali lengang seperti semula.

Kami sangat lega, setidaknya ada sesuatu yang terjadi di panggung. Dan persis sejam setelah dibuka, layar pun ditutup. Lampu ruangan menyala pertanda pertunjukan usai. Seorang pembawa acara (tampaknya begitu) muncul dari arah kiri, membungkuk sopan.

”Terima kasih atas kehadiran Anda semua malam ini. Kami mohon maaf sebesar-besarnya bahwa selama pertunjukan yang seharusnya khusyuk tadi ada seekor kucing lewat. Itu di luar rencana kami. Untung saja Sunan Kalijaga tidak terganggu meditasinya oleh si kucing. Sekali lagi kami mohon maaf. Lain kali kami tidak akan membiarkan kucing berkeliaran di panggung.”

Gedung pun riuh-rendah oleh tepuk tangan kami.


Filed under: Sapardi Djoko Damono Tagged: Kompas

Subuh Kesembilan

$
0
0

Cerpen N Mursidi (Republika, 9 Februari 2014)

Subuh Kesembilan ilustrasi Rendra Purnama

SUBUH. Mobil jip melaju kencang dari arah selatan, melintasi sebuah mushalla, lalu berhenti di tikungan jalan. Suara musik dari sound mobil memekakkan telinga. Seorang lelaki berumur 35 tahun turun dari jip, lalu berjalan dengan gontai. Jip menderu lagi dengan kencang, seperti pada Subuh yang lain, dan lelaki itu melangkah memasuki gang sempit ke arah rumahnya. 

Bau alkohol masih menyeruak dari mulutnya bergumul dengan aroma busuk selokan di pinggir gang yang mampet. Lelaki itu hampir terpeleset saat kaki kirinya tanpa disadari menginjak lumut di pinggir gang. Untung, ia bisa menjaga keseimbangan tak tercebur selokan. Sejenak ia menyandarkan tubuh ringkihnya di tembok rumah warga. Dalam keadaan mabuk, ia merasa gang ke arah rumahnya itu jauh. Ia seperti berjalan tak sampai-sampai. Padahal, jarak tikungan dengan rumahnya tak sampai tiga ratus meter.

Azan Subuh berkumandang. Ia menggigil; seperti merasa ada suara gaib yang merambat di telinganya. Ia masih bersandar di tembok. Suara azan itu semakin mendenging jelas di telinganya. Ia pun mendengarkannya hingga selesai. Ketika dia hendak melangkah pulang, dari arah depan gang sekilas ia melihat sosok kakek tua berserban yang berjalan tertatih dengan tongkat. Sudah seminggu ini ia selalu bertemu kakek itu di gang. Kakek itu berjalan ke masjid, dia melangkah pulang. Tapi, kali ini ia baru sadar kakek itu bukan warga asli kampungnya. Lalu siapa kakek itu? Tapi, saat ingatannya belum menemukan jawaban, ia melihat keanehan lain. Serban si kakek memancarkan pendar cahaya putih berkilau, membuat matanya silau. Ia hanya termangu diam seperti patung.

Kakek itu terus berjalan dalam gugusan cahaya dan tiba-tiba sudah ada di depannya.

“Selalu ada rumah untuk kembali,” ucap kakek tua itu. Ia tahu, kakek itu berbicara dengannya.

“Ada tempat yang bisa membuat hatimu lebih tenteram, mengapa kau mencarinya di tempat lain?”

Sebenarnya, ia tak paham ucapan kakek itu. Ia ingin bertanya. Sayang, mulutnya terkunci. Ia tak bisa mengucap sepatah kata pun. Bahkan, setelah kakek itu menegurnya, ia merasa ada tangan gaib yang mengangkat tubuhnya untuk minggir, seakan-akan dia disingkirkan dari gang itu untuk memberi jalan kakek itu bisa melangkah. Dan benar, kakek itu lalu melangkah ke mushalla tertatih-tatih. Ia memandang dengan bingung, hingga kakek itu masuk mushalla.

Ia urung melangkah pulang. Ia penasaran, berbalik arah melangkah ke tikungan, mengintip ke ruang mushalla. Tidak lama kemudian, orang-orang di mushalla berdiri. Shalat berjamaah pun dimulai. Ia melihat orang-orang di mushalla itu tenteram dan bahagia.

***

Dulu, lelaki itu dikenal warga bukan sebagai pemuda yang suka mabuk dan pulang Subuh. Ia justru dikenal orang- orang kampung sebagai pemuda yang membanggakan; penyanyi yang berbakat. Pemuda itu bahkan pernah mengangkat nama kampungnya karena ia pernah mengisi acara musik di televisi swasta nasional. Ia jadi bahan pembicaraan orang-orang. Di kampungnya, nama lelaki itu tenar, sering dijadikan teladan dan contoh orang sukses yang merantau ke Jakarta. Para remaja mengidolakan dan ingin meniru jejak lelaki itu merintis jalan hidup menjadi penyanyi.

Dua tahun berselang, tidak ada satu orang pun yang tahu apa yang menimpa lelaki itu. Namanya perlahan meredup. Grup band yang didirikan bubar. Ia seperti hilang dari dunia. Orang-orang tak pernah lagi mendengar namanya, bahkan kemudian mulai melupakan lelaki itu sebagai warga kampung.

Hingga suatu hari, dia pulang kampung. Tapi, ia berubah; suka mabuk dan pulang dini hari. Orang-orang kampung seketika heran. Maklum, dulu saat masih remaja hingga tamat SMA dia pernah belajar agama di sebuah pesantren. Jadi, dia bukan pemuda yang tak mengenal agama. Ia sepenuhnya tahu; mabuk itu dilarang agama. Tapi, kehidupan Kota Jakarta, kata orang kampung, bisa mengubah orang baik menjadi tidak baik, termasuk pemuda itu.

Dari desas-desus yang beredar, orang kampung mendapat kabar bahwa lelaki itu frustasi ketika ia tak kuasa menundukkan persaingan dunia musik di Ibu Kota. Ia tersisih dan dipinggirkan. Pemuda itu kemudian menjadikan minuman keras sebagai tempat pelarian. Ia dulu bukan antipati minuman keras, kadang-kadang ikut minum. Tetapi, tidak kecanduan. Sejak ia tak lagi dikenal dan tak memiliki jadwal manggung itulah ia mulai suka minum. Lama-lama, ia kecanduan.

Sayangnya, di Jakarta ia tak lagi bisa mendapat uang dengan mudah. Ia tak lagi seberuntung dulu. Lama-lama, dia tidak kuat hidup di Jakarta, apalagi menghabiskan wak u dengan minum. Setahun lalu, ia memutuskan pulang dan tinggal di kampungnya. Kebetulan, di kampung sebelah ada pemuda kaya yang suka musik dan punya band. Ia diminta untuk jadi pemandu. Dari situlah, ia bisa mendapat uang walau tidak seberapa. Setiap malam, ia tidak kehilangan akal untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Ia pun nongkrong di tempat mangkal anak-anak muda. Ia diminta mengajari main gitar dan bernyanyi. Dari situ, dia mendapatkan imbalan minuman, bisa mabuk dan baru pulang Subuh.

***

Tapi, semakin jauh ia tenggelam dalam dunia malam, ternyata ia merasa tak mendapatkan kedamaian. Awalnya, ia berharap, pelarian itu bisa memulihkan impiannya bisa membentuk band lagi seperti dulu dan bisa bernyanyi lagi. Tapi, di kampung kecil itu ia tak bisa berbuat banyak. Ia merasa hidupnya semakin suram.

Akhirnya, Subuh yang mendebarkan itu ia bertemu kakek tua yang membuatnya merenung. Ia melihat orang bisa mendapatkan kebahagiaan di mushalla. Dia ingat, masa lalunya ketika hidup di pesantren. Subuh sudah bangun dan mandi rebutan kamar mandi, lalu shalat jamaah di masjid pesantren. Ada nuansa damai yang menelusup dalam hati. Ia merindukan suasana seperti itu lagi.

Subuh itu, setelah ia melihat orang- orang shalat berjamaah di mushalla, ia buru-buru pulang. Jalannya sempoyongan dan matanya masih merah. Ia mengguyur seluruh tubuhnya, kemudian shalat Subuh. Itulah shalat Subuh yang ia tunaikan dengan syahdu setelah hampir lima tahun ia tak shalat.

***

Sudah seminggu ini, ia mengurung di kamar dan tidak keluar rumah. Ia mengaku sakit ketika ada teman-temannya mencari atau mengajaknya pergi. Padahal, ia sedang merenung. Ia merenungkan kejadian aneh Subuh itu. Tapi, setiap kali ia merenungkan kejadian itu, ia tak pernah menemukan jawaban. Apalagi, sosok kakek tua itu. Ia kenal setiap wajah orang di kampungnya. Jadi, ia tak mungkin salah. Lalu, siapa kakek itu?

Diam-diam, sejak kejadian itu, esoknya ia ikut shalat Subuh di mushalla. Tapi, ia tak pernah lagi bertemu dengan kakek itu. Semula, ia berpikir, kakek tua itu mungkin sakit. Tetapi, ia penasaran. Ia pun ikut shalat jamaah Zuhur, Asar, Maghrib, juga Isya. Siapa tahu, pada shalat lain itu ia bisa bertemu kakek itu.

Tapi, ia tetap tak bertemu kakek misterius itu. Ia putus asa dan ingin melupakan kejadian Subuh yang menggetarkan itu. Tapi, pada Subuh kesembilan, sejak kejadian menggetarkan itu, selesai mengucap salam ia melihat kakek tua itu ikut berjamaah. Kakek itu persis ada di belakangnya. Ia memutuskan; usai zikir ia akan menemuinya dan mengajaknya bicara. Tapi, begitu usai zikir dan jamaah bubar, saat ia menoleh kakek itu sudah tidak ada. Ia buru-buru keluar dari mushalla mengejar jejak kakek itu. Ia pikir, tak mungkin orang tua itu sudah melangkah jauh. Benar, ia menemukan kakek itu berjalan tertatih di gang tepat ia bertemu dengannya pada Subuh yang menggetarkan.

Ia pun berlari ingin menuntun kakek itu berjalan. Tetapi, begitu sudah dekat dengan kakek itu, tiba-tiba orang tua itu menghilang. Ia celingukan.

“Tak mungkin!”” Ia mengusap matanya. Ia tak percaya apa yang terjadi.

Sementara itu, di belakangnya, empat orang kampung yang tadi ikut jamaah Subuh pulang melintasi gang itu.

“Gito, kau sedang mencari apa?”

Ia diam tak menjawab. Ia bingung. Ia seperti orang mabuk yang tak tahu apa pun.

“Uangmu hilang di gang ini?” tanya yang lain.

Lelaki berumur 35 tahun itu pun makin pusing. Apalagi, ketika ia kemudian bertanya kepada mereka tentang sosok kakek tua berserban yang berjalan tertatih dengan tongkat kayu dan sering ikut jamaah Subuh.

Keempat orang kampung itu menggeleng dan merasa tak pernah melihat, apalagi mengenal kakek tua berserban putih yang ikut shalat Subuh berjamaah.

“Benarkah?”

Keempat orang itu saling pandang. Mereka mengira, bekas penyanyi itu mabuk lagi dan belum benar-benar tobat. (*)

 

 

Jakarta, 12/11/2013

Penulis adalah cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa, seperti Kompas, The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia, Sinar Harapan, Republika, Jurnal Nasional, Suara Karya, Tabloid Nova, Majalah Femina, Majalah Anggun, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Tribun Jabar, Batam Pos, Radar Surabaya, Surabaya Post, Surya, Lampung Post, Bengawan Post, Solo Post, Inilah Koran, Suara Merdeka, dan Tabloid Cempaka. Dia bekerja sebagai wartawan sebuah majalah di Jakarta. Karya terbarunya: Tidur Berbantal Koran (Elex Media: 2013).


Filed under: N Mursidi Tagged: Republika

Dongeng Hitam

$
0
0

Cerpen Yetti A.KA (Jawa Pos, 9 Februari 2014)

Dongeng Hitam ilustrasi Bagus

DONGENG Burung Hitam

Namili menyukai dongeng burung hitam sebesar ia menyukai malam dan kegelapan. Saking sukanya, sampai berusia dua puluh sembilan tahun kurang tiga hari dongeng itu ia ingat dengan baik dan sering ia ceritakan untuk dirinya sendiri di pertiga malam sebelum memaksa dirinya tidur karena harus berangkat kerja pada pukul tujuh pagi. Namun sesuatu terjadi, Namili kehilangan jalan cerita dongeng itu pada suatu malam ketika ia memandang ke luar jendela dan itu merupakan saat tergelap dari semua malam. Tidak itu saja, tiba-tiba kepala Namili juga dipenuhi burung-burung hitam dengan jumlah yang berlipat dari yang seharusnya—tentu menurut ingatan dia yang juga mendadak kabur.

”Burung-burung hitam bermata hitam.“ 

”Lebih hitam dari gelap malam, Bapak?“

”Tiga ekor burung hitam yang lebih hitam dari gelap malam.“

”Tiga ekor, seharusnya memang tiga ekor, dan tentu bukan seratus,“ desis Namili antara yakin dan tidak. Kepalanya tambah berat karena terus berpikir. Kerutan kulit menumpuk di dahinya yang lebar–dahi orang pintar, kata bapaknya memuji waktu ia kecil, masa di mana Namili banyak sekali menerima dongeng dari bapaknya. Tapi sejak ia mendengar dongeng burung-burung hitam, hanya itu saja yang lebih sering diinginkannya.

”Kau benar-benar menyukai dongeng itu?“ tanya bapaknya.

Waktu itu Namili tidak tahu apa ia benar-benar menyukainya (tapi yang jelas ia sangat menyukai cara bapak menceritakannya). Kalau ia mau jujur sebenarnya ia ketakutan saat pertama mendengar dongeng itu dan tetap ketakutan tiap mendengarnya lagi. Hanya saja ketakutan itu rupanya menjadi candu. Seolah-olah ketakutan merupakan variasi lain dari kebahagiaan. Seolah-olah ketakutan itu memang ia butuhkan melebihi perasaan lain. Semua itu tidak pernah ia katakan pada bapaknya. Ia tidak mau bapaknya tahu kalau sejak itu pula ia menyukai malam dan kegelapan dengan perasaan takut sekaligus membahagiakannya. Bapaknya pasti khawatir. Pasti saja ia kan menganggap ada yang tidak beres pada Namili.

Sekarang dongeng burung hitam itu tinggal sepotong ingatan pendek saja. Sepotong ingatan pendek yang terus berseteru dengan kenyataan dan itu membuat kepala Namili makin berat. Bukankah ingatan memang harus kalah melawan kenyataan? tanya Namili mencari pembenaran agar perasaannya tidak terlampau galau.

Ada tiga ekor burung hitam dalam ingatan Namili.

Ada seratus burung hitam yang sekarang mendekam dalam kepalanya, bersesak-sesakan.

Mana yang paling benar?

***

Berkali-kali Namili coba menghadirkan ulang dongeng burung hitam yang berasal dari masa kecilnya itu –fase kehidupan yang paling ingin ia abadikan dari semua perjalanan hidupnya. Karena itu, pertama-tama ia harus meluruskan tentang jumlah burung hitam yang cuma tiga ekor, bukan seratus. Seterusnya ia ingin mendapatkan kembali sebagian besar jalan cerita yang hilang itu. Bagaimana bisa sesuatu yang tidak jelas dapat mengacak-acak ingatannya? Ia mesti mengembalikan segala sesuatu pada tempat seharusnya tanpa menunda-nunda lagi. Ia tidak dapat lebih lama lagi menghadapi riuh burung hitam di kepalanya yang makin mengganggu. Ia harus mengusir sembilan puluh tujuh burung hitam di kepalanya jika terbukti kalau itu sebuah kekeliruan yang ditimbulkan dari kepicikan sebuah kenyataan, dan bukan merupakan kebenaran.

Sesaat Namili melongok ke luar jendela yang selalu ia bukan begitu malam tiba. Malam tanpa bintang dan bulan yang sangat ditunggu-tunggunya (semua malam di mata Namili memang tanpa cahaya). Malam yang sepi. Di tempatnya tinggal malam memang cepat sekali sepi. Anak-anak dipaksa tidur cepat karena pagi-pagi harus sekolah. Padahal betapa penting baginya mendengar suara ribut anak-anak, betapa itu akan membuatnya merasa ramai sebelum memasuki dunia yang lebih terasing –tempat ia akan selalu berada dengan pikirannya yang gelap dan perasaan hitam pekat.

Namili menarik tubuhnya dari jendela yang dingin. Ia pikir lebih baik berdiri di balkon saja. Dari sana ia bisa melihat langit lebih luas. Melihat malam yang sangat disukainya. Namili berjalan ke arah balkon yang berada di sisi kanan jendela tempat tadi ia berdiri. Balkon kecil. Tidak banyak dari penghuni rumah kos yang menyukai balkon itu. Teman-teman kos Namili kebanyakan mahasiswi. Mereka tipikal mahasiswi yang rajin dan sibuk sekali bikin tugas kuliah dan jika ada waktu santai lebih memilih membaca buku di kamar ketimbang menyendiri di balkon lantai tiga.

Di balkon Namili memandang lekat-lekat ke arah langit yang makin hitam. Bibirnya tertarik dalam, menimbulkan garis cerah di wajahnya. Di balkon itu ada satu bangku panjang terbuat dari kayu dengan sandaran yang tinggi. Di bangku itu Namili merebahkan diri. Ada ketenangan yang serta merta menyelusup dalam rongga dadanya. Segala sesuatu bergerak damai. ”Ini saatnya,“ gumam Namili. Ia telentang dengan kaki diluruskan hingga menyentuh ujung bangku. Persis sama saat ia berusia kanak-kanak ketika bapaknya mendongengi sebelum tidur. Sekali lagi ia memandang langit tanpa bintang, tanpa bulan, sebelum memejamkan mata lambat-lambat. Angin membuat anak rambut di keningnya bergerak-gerak ringan. Napasnya mulai teratur. Ia akan mulai merunut dongeng burung hitam dalam situasi paling tenang. Ia berharap dengan cara itulah dongeng itu bisa kembali ia genggam.

”Kita mulai,“ bisik Namili pada dirinya. Suaranya berat dan sedikit bergetar. Angin kembali berembus. Sedikit keras dan terasa mengempas.

Tapi baru saja Namili memejamkan mata –sebelum ingatannya bergerak sama sekali—serombongan burung hitam serta merta keluar dari kepalanya. Ia telah kalah cepat, gagal sebelum memulai. Sekawanan burung itu berputar-putar di atas tubuh Namili. Suara yang riuh memaksa Namili membuka mata kembali.

”Kalian ribut sekali,“ gerutu Namili menahan marah.

Dengan kesal Namili kembali menghitung mereka satu per satu. Bagaimana mungkin Namili bisa menghitung dengan tepat burung-burung yang sedang terbang? Bukan tiga, lima atau sepuluh burung, tapi seratus burung hitam, seperti biasa, tidak kurang tidak lebih. Namili menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah yang lelah. Burung-burung itu seolah tahu apa yang ia rencanakan dan mencoba menghalanginya. Seharusnya tadi ia menyusuri dongeng itu pelan-pelan, dari awal saat suara bapaknya muncul di kegelapan, berkata, ”Namili, dengarlah dongeng burung hitam….“

Tiga Botol Ramuan

Sejak kehilangan jalan cerita dongeng burung hitam, Namili sering berdiri murung di balkon. Ia memandang malam dengan matanya yang sedih. Sesekali burung melintas serupa bayangan, bisa jadi bukan burung melainkan kelelawar, dan ia rasakan riak di dadanya. Kecil. Mirip cahaya lilin dalam gerimis. Hidup untuk kemudian mati dengan cepat.

Kepalanya makin berat saja dari hari ke hari. Ia tidak tahu apa jumlah burung yang mendekam di kepalanya masih seratus ekor. Ia malas menghitung lagi. Ia juga sudah tidak memaksakan diri untuk mengembalikan jalan cerita dongeng itu. Ia sudah sampai pada kesimpulan, jika dongeng itu harus kembali padanya, maka biarlah itu terjadi dengan sendirinya. Ia tidak mau memaksa kepalanya terus berpikir.

Dan benar, terkadang sesuatu yang begitu diinginkan seringkali datang saat seseorang sudah menyerah. Begitu juga dongeng itu. Namili sedang berdiri di balkon seperti kebiasaannya, menatap langit hitam yang sangat luas ketika mendadak di pikirannya berkelebat bayangan tiga botol ramuan. Ya. selain burung hitam, dalam dongeng itu juga ada tiga botol ramuan – besar kemungkinan ramuan obat atau sejenisnya. Tiga botol ramuan itu memang objek yang terlepas dan seakan berdiri sendiri. Namili sama sekali tidak tahu apa hubungannya dengan burung-burung hitam, akan tetapi paling tidak ia telah menemukan objek lain yang bisa saja mengantarkannya pada objek-objek berikutnya. Dua dari tiga botol itu sudah kosong. Satu botol yang tersisa berisi cairan warna hitam.

Mata Namili menyala lagi. Buru-buru ia mundur sejarak dua meter dari dinding setinggi dada pembatas balkon. Ia kembali melakukan apa yang beberapa waktu lalu dilakukannya demi mengembalikan jalan cerita dongeng burung hitam, demi mengembalikan segala sesuatu pada semestinya.

Namili telah berbaring di bangku kayu. Telentang. Matanya berhadapan dengan langit malam. Pelan-pelan. Sekarang ia tak melihat apa-apa yang ada di sekitarnya. Hanya gelap, meski bukan gelap yang kosong.

”Namili, dengarlah dongeng burung hitam….“ Terdengar bapaknya membuka cerita. Suara bapaknya bening, begitu dekat di telinganya. Setiap mendongeng bapaknya memang selalu membuka cerita dengan cara yang sama dan hanya meyesuaikan judul cerita saja.

Mata Namili kecil mengerjap-ngerjap.

”Di sebuah hutan, Namili, ada kehidupan yang terus-menerus gelap sepanjang waktu.“

Namili diam. Ia sudah tahu tentang itu.

”Burung-burung hitam yang lebih gelap dari malam itu –mereka hinggap dari batang pohon yang satu ke batang pohon lain, pohon-pohon dengan daun-daun yang juga tak kalah hitam hingga tidak jelas mana burung, mana daun-daun. Tapi kau harus mengingatnya baik-baik, Namili, berapa ekor jumlah burung itu? Jumlah itulah nanti yang akan hidup dalam ingatanmu.

”Tiga ekor,“ kata Namili.

Kepala Namili berdenyut panjang. Bergerak-gerak gelisah. Keringat sudah bermunculan dari pori-pori kulit di sekitar keningnya. Kelopak matanya yang tertutup, gelisah. Ia coba mengulang bagian ketika menjawab penuh keyakinan: tiga ekor.

Ya, tiga ekor burung hitam!

Seketika angin menderu dari arah yang entah.

Seratus burung dalam kepala Namili memberontak keras dan mengakibatkan kepalnya berdenyut lebih panjang. Namun kali ini ia tak akan membiarkan burung-burung dalam kepalanya keluar secepat itu. ia harus menemukan terlebih dulu hubungan antara burung hitam dan tiga botol ramuan dalam dongengan bapaknya.

”Burung-burung hitam itu sangat takut pada botol ramuan. Botol yang menyimpan jalan kematian.”

Namili tersentak, matanya terbuka lebar. Bapaknya raib bersamaan dengan kalimat terakhirnya –bagai tak pernah ada. Burung-burung dalam kepalanya berhenti memberontak. Waktu seakan mati dalam beberapa detik. ”Jalan kematian,“ gumam Namili bersuka cita. Air meleleh dari sudut matanya. Ia sudah membayangkan kepalanya dengan tiga ekor burung hitam saja. Sembilan puluh tujuh burung-burung lainnya harus ia lenyapkan dengan cairan dalam botol ramuan yang menyimpan jalan kematian. Setelah itu ia akan lebih mudah mengembalikan jalan cerita dongeng bapaknya secara utuh. Lalu ia akan menjalani hidup seperti biasa, hidup normal dengan mencintai dongeng burung hitam, malam, dan kegelapan yang berasal dari masa kecilnya –tanpa keragu-raguan, tanpa rasa sakit di kepalanya. Ia sungguh tidak sabar kembali mendongengi dirinya sendiri. Ia ingin keluar dari kerumitan yang nyaris tidak membuatnya tidur selama beberapa waktu dan itu sudah terlalu melelahkan sampai ia tidak ingat hari ulang tahunnya yang sudah lewat. Di mana ia harus menemukan botol ramuan berisi jalan kematian itu? Namili termenung lama.

Jalan Kematian

Dalam mimpi singkat menjelang waktu Subuh, Namili bertemu dengan seorang lelaki yang mirip dengan Bapaknya, hanya jauh lebih tua. Lelaki itu menawarkan tiga botol ramuan yang dicari-carinya dengan berbagai cara dan di berbagai tempat selama beberapa lama ini. Ia sama sekali tidak menyangka justru menemukan tiga botol ramuan itu di dalam mimpi yang sangat singkat.

”Ambillah botol yang kau inginkan,” kata lelaki itu.

Namili mengambil satu botol berisi cairan hitam dengan perasaan yang sulit ia jelaskan. Antara senang dan bingung. Antara tidak percaya dan percaya. Sebelum Namili sempat menjabarkan perasaannya dengan tepat, lelaki itu berkata lagi, ”Berhati-hatilah, bisa jadi kau akan kehilangan segalanya.“

Namili terbangun dengan botol ramuan di tangannya. Tubuhnya dingin dan basah, bibirnya yang kering, pecah –seakan ia baru saja melakukan perjalanan panjang luar biasa. Langit masih gelap ketika Namili mengintip dari jendela. Hanya ada sedikit semburat merah. Ia termangu, bagaimana cara menggunakan cairan dalam botol ramuan demi melenyapkan sembilan puluh tujuh burung hitam? Seharusnya tadi ia bertanya pada lelaki yang ditemuinya dalam mimpi. Namili tidak henti-henti menyalahkan dirinya yang lalai.

Di kepala Namili burung-burung mulai gelisah. Mungkin mereka sudah bangun dan merasakan adanya ancaman. Mereka membuat suara-suara yang menyakitkan. Beberapa mematuk-matuk tengkorak kepala Namili. Mereka berusaha melubangi kepala itu. Burung-burung hitam itu telah menunjukkan tabiatnya yang ganas. Namili bergidik. Ia masih menggenggam botol ramuan, namun ia tetap saja tidak tahu cara menggunakannya.

Burung-burung hitam terus-menerus mematuki dinding kepala Namili. Suaranya menimbulkan bunyi yang menyeramkan. Namili merintih-rintih menahan sakit. Ia berlari ke depan cermin. Di cermin itu ia melihat ujung-ujung paruh burung hitam menyembul-hilang-menyembul di bawah kulit kepalanya. Namili terguncang, lalu menjerit keras-keras.

Ia mundur dengan tubuh gemetar, sangat gemetar. ”Waktunya sudah tiba,“ ia berpikir cepat untuk segera melenyapkan burung-burung itu sebelum kepalanya hancur. Dengan tangan yang juga gemetar dibukanya tutup botol ramuan dan meneguk seluruh isinya.

Seketika Namili merasakan ketenangan yang luar biasa. Burung-burung itu masih melubangi kepalanya, tapi ia tak merasakan apa-apa lagi selain perasaan yang damai. Ia berjalan ke luar kamar. Membuka jendela di ruang bersama yang biasa digunakan anak-anak kos berkumpul, sesekali. Dilihatnya sekilas langit yang sangat gelap. Aneh, pikirnya sambil tersenyum, seharusnya langit sudah lebih merah mendekati Subuh, tapi ini justru kembali ke warna malam. Ia meninggalkan jendela, menuju pintu ke balkon. Dibukanya pintu itu. Langit memang benar-benar gelap, batinnya, merasa bahagia dan mengabaikan keganjilan itu. Di balkon ia berdiri. Di balkon ia semakin merasa bahagia. Ia bahkan tidak merasakan lagi aktivitas burung-burung di kepalanya. Semua seolah diam. Tapi saat itu juga pelan-pelan kesedihan merayapi hati Namili. Ia belum juga berhasil mengembalikan jalan cerita dongeng bapaknya. Ia ingat pula pada tiga ekor burung hitam dalam dongeng itu. Dan entah kenapa ia menangis untuk tiga ekor burung hitam yang tidak akan pernah ia temukan lagi itu, untuk ingatan masa kecilnya yang hilang, seakan ia tengah menangisi dirinya. ***

GM D22, 2013

Yetti A.KA, buku kumpulan cerpen terbarunya Kinoli (Jawakarsa Media, 2012)


Filed under: Yetti A. KA Tagged: Jawa Pos

Warung Nyi Taslima

$
0
0

Cerpen Badrul Munir Chair (Suara Merdeka, 9 Februari 2014)

Warung Nyi Taslima ilustrasi Hery Purnomo

TAK ada kopi yang lebih nikmat daripada kopi buatan Nyi Taslima. Kopikental hitam agak pahit dengan larutan daun pandan yang aromanya mengundang selera, kopi yang dipetik dari kebunnya sendiri lalu disangrai pada kuali lempung, dengan tambahan rempah rahasia, resep warisan nenek moyang. Gula merah sari siwalan yang dipilih Nyi Taslima menjadikan kopi buatannya semakin kental dengan rasa manis yang hanya sesekali datang, sebab gula merah itu tak sepenuhnya larut dalam seduhan.

Ah, ketika mencium aromanya, seakan-akan seduhan kopi sudah menyentuh kerongkongan. 

Setiap pagi, tukang becak dan kernet angkot yang sedang menunggu penumpang sering mangkal di warung Nyi Taslima.Warung yang menghadap jalan raya, beratapkan asbes dan berdindingkan papan kayu. Kursi-kursi memanjang mengelilingi meja persegi tempat menyajikan aneka makanan dan camilan.

Warung Nyi Taslima memanglah strategis karena terletak di tepi jalan raya tak jauh dari pertigaan di persimpangan jalan ke arah kota dan pantai utara. Biasanya, para penumpang angkot yang kebanyakan pedagang ikan, kerap menunggu di bangku warung itu, menunggu angkot penuh atau menunggu sopir menghabiskan segelas kopi.

Begitupun kami, anak-anak sekolah yang baru belajar ngopi, kerap kali mampirdi warung Nyi Taslima untuk membeli sarapan nasi bungkus, atau berteduh dari sengatan matahari ketika pulang sekolah dan sekadar menikmati aneka gorengan juga camilan kecil sembari menyaksikan para kernet, sopir, dan tukang becak bertaruh bermain kartu remi.

Bi Sumi, anak perempuan Nyi Taslima, sering cemberut dan mengomel ketika kami ikut nimbrung menyaksikan sopir angkot dan tukang becak itu berjudi.  “Kalian masih SMP, jangan ikut-ikutan jadi pemalas. Sekolah saja yang pintar,” begitulah Bi Sumi sering menasihati kami.

“Cepat pulang, orang tua kalian pasti menunggu!”  Secara halus Bi Sumi seringkali mengusir kami yang sedang asyik menikmati permainan dan secangkir kopi.

‘’Lebih baik jadi pemalas daripada jadi maling!’’ Jupri, si tukang becak itu menyindir Bi Sumi, disambut gelak ngakak orang-orang yang berada di warung siang itu. Kulihat wajah Bi Sumi pucat, sedangkan Nyi Taslima diam-diam menitikkan air mata.

Di kampung kami, sudah menjadi rahasia umum jika Abdur Rajah, suami Bi Sumi, adalah seorang maling. Tak terhitung lagi sudah berapa kali Abdur keluar masuk penjara. Untungnya Abdur tak pernah sekalipun mencuri di kampung kami. Biasanya, Abdur bersama komplotannya membobol rumah di kecamatan sebelah, sebelum kemudian Abdur kembali tertangkap dan dijebloskan ke penjara dua hari yang lalu.

Namun ramainya berita tentang tertangkapnya Abdur untuk kesekian kalinya tak pernah bisa mengalahkan ramainya warung Nyi Taslima. Rasa kopi di warung itu tentulah lebih enak untuk dinikmati daripada perbicangan basi tentang tertangkapnya Abdur. Perbincangan yang menarik di warung itu hanyalah perihal kartu remi dan taruhan, pertandingan bola tadi malam, tentang cuaca yang menyebabkan nelayan rehat melaut, hingga perihal angkot dan becak mereka yang sepi penumpang.

Sepinya penumpang menjadi alasan parasopir dan kernet angkot itu untuk berlama-lama mangkal di warung Nyi Taslima. Bermain kartu remi dibumbui taruhan menjadi pelepas penat, selain juga untuk menambah penghasilan bagi yang menang. Abdur bukanlah topik menarik untuk dibicarakan, mungkin mereka merasa tak enak hati dengan Nyi Taslima dan Bi Sumi. Lagipula, Abdur tak pernah lama mendekam di penjara. Dalam waktu kurang dari satu bulan, Abdur kembali bebas dan sesekali menampakkan batang hidungnya di warung Nyi Taslima.

***

Kemasyhuran warung Nyi Taslima di kampung kami memanglah tiada tandingan. Namun lazimnya setiap ketenaran, warung Nyi Taslima juga tak lepas dari cerita miring dan gunjing. Begitu banyak cerita yang didengungkan orang-orang kampung perihal warung Nyi Taslima, keluarga, dan kopi nikmat buatannya.

Pernah kami mendengar cerita dari kakek salah seorang kawan kami. Dulu, sebelum tanah di tepi jalan itu ditempatiwarung Nyi Taslima, di lahan itu berdiripohon asam besar yang kerap mencelakakan para pengguna jalan. Tak terhitunglagi berapa jumlah kendaraan yang mengalami kecelakaan di sekitar pohon asam itu, juga tak sedikit kendaraan besar seperti truk dan bus, yang menghantam batang pohon asamitu hingga menelan banyak korban.

Ketika pohon asam itu kemudian ditebang, semakin banyak saja kejadian ganjil. Seorang sopir angkot mengaku pernah menabrak seorang perempuan yang tiba-tiba menyeberang di sekitar pohon asam yang baru ditebang itu hingga tubuhnya hancur dan ususnya terburai. Namun anehnya, tak ditemukan sedikit pun bercak darah di angkot dan badan jalan, apalagi bekas adanya tabrakan.

Maka ketika Nyi Taslima mendirikan warung di tepi jalan yang terkenal angker itu, semakin banyak cerita miring yang beredar. Tentang tumbal empat ekor kepala kambing yang ditanam di setiap sudut warung. Tentang sesajen yang dihadiahkan Nyi Taslima kepada makhluk halus penunggu lahan itu setiap Selasa Kliwon, cerita ini sedikit masuk akal karena diperkuat dengan tutupnya warung Nyi Taslima setiap hari itu.

Namun cerita yang paling kami sukai tentu saja cerita tentang Bi Sumi. Perempuan berusia tiga puluhan berparas ayu dengan tahi lalat kecil di dagunya. Bi Sumi kerap memakai baju ketat sehingga tonjolan di bagian dada dan pinggulnya tercetak rapi. Senyumnya yang penuh isyarat godaan ketika menghidangkan menu pesanan tak jarang membuat para kernet, sopir angkot, dan tukang becak, para pelanggan setia warung Nyi Taslima, menelan ludahnya mentah-mentah. Kerlingan mata nakalnya kerap membangkitkan fantasi kami yang beranjak remaja.

Maka beredarlah cerita, bahwa warung Nyi Taslima tak hanya digunakan sebagai tempat mangkal para kenek, sopir angkot, dan tukang becak pada pagi dan sore hari, melainkan juga sebagai ‘’tempat penginapan sementara’’ lelaki kesepian pada malam hari.

Sedangkan Abdur Rajah, ah, nama yang membuat bulu kuduk kami berdiri. Siapa yang tak kenal nama itu di seantero kampung ini? Raja Maling, Ketua Bajingan,dan sederet julukan lain yang semakin memantapkan eksistensinya di dunia kriminal. Badan tegap tinggi menjulang. Sorot matanya yang tajam membuat kami tak kuasa menatapnya terlalu lama. Tato naga di lengan kanannya, bekas jahitan memanjang di kening kirinya, ujung kumisnya yang meliuk bagai ombak menjadikan sosoknya semakin sangar dan menakutkan.

Dari bisik-bisik sopir angkot dan tukang becak, kami pernah mendengar bahwa sebenarnya Abdur adalah seorang dukun. Sampai sekarang, masih banyak orang yang meminta petunjuk padanya tentang jodoh, karir, hingga asmara. Tak jarang, para pejabat juga kerap mendatanginya untuk meminta petunjuk agar naik jabatan, menjatuhkan saingan, hingga menaklukkan istri tuanya.

Konon, Abdur tahu kapan waktu yang tepat untuk mencuri,bisa  memperdaya penjaga keamanan, hingga memilih rumah dan target yang tepat ketika akan melakukan pencurian. Abdur bisa begitu mudah keluar penjara karena mengelabui sipir penjara dengan mantra ampuhnya. Kalian boleh percaya, boleh tidak. Entahlah!

Suatu pagi pada hari Sabtu, kami ingat betul harinya karena ketika itu kami mengenakan seragam pramuka, kami melihat Abdur duduk di warung Nyi Taslima. Sorot matanya yang tajam menatap ujung jalan yang mulai ramai. Sebatang rokok kretek dihisapnya dalam-dalam.

Melihat sosok Abdur, saat itu kami sempat mengurungkan niat untuk membeli sarapan di warung Nyi Taslima. Namun tiba-tiba suara berat memanggil kami dan mempersilahkan kami duduk di kursi papan yang sedari tadi didudukinya sendirian. ‘’Duduk di sini!’’ Suaranya berat, hingga membuat jantung kami berdetak lebih cepat.

Ah, bertemu Abdur hanyalah sedikit tantangan bagi kami untuk menikmati kopi nikmat buatan Nyi Taslima, selain antrean yang cukup panjang yang tak jarang membuat kami terlambat tiba di sekolah, juga omelan orang tua yang percaya akan cerita-cerita miring tentang warung Nyi Taslima hingga mereka kerap melarang kami membeli sarapan di situ.

***

Ramai gunjing dan cerita-cerita miring mengenai warung Nyi Taslima tak pernah menyurutkan niat kami untuk selalu mendatangi warung itu. Menyaksikan sopir angkot, kenek, dan tukang becak bertaruh bermain kartu remi. Menikmati kopi kental hitam agak pahit dengan larutan daun pandan yang aromanya mengundang selera, buatan Nyi Taslima. Mengisi perut dengan aneka makanan, gorengan, dan camilan yang tak kalah nikmatnya. Diam-diam mencuri pandang ke tonjolan dada dan lekuk tubuh Bi Sumi yang memantik berahi.

Sepertinya tak pernah sehari pun kami alpa mengunjungi warung Nyi Taslima, kecuali ketika warung itu tutup setiap hari Selasa Kliwon.

Hingga suatu subuh, puluhan orang tak dikenal beramai-ramai mendatangi warung Nyi Taslima. Mengacungkan celurit dan berbagai senjata tajam. Mengenggam batu seukuran kepalan tangan yang kemudian dilemparkan ke warung Nyi Taslima.

“Hancurkan!”

“Warung maksiat!”

Orang-orang yang tidak kami kenali itu semakin membabi buta menyerang warung Nyi Taslima. Menghujani warung dengan batu-batu seukuran kepalan tangan. Mengacungkan celurit dan berbagai senjata tajam. Meneriakkan sumpah-serapah dan ancaman. Tak beberapa lama kemudian, orang-orang itu membakar warung Nyi Taslima tanpa bisa kami hentikan. Api melalap seisi warung Nyi Taslima.Dari kejauhan, kami hanya pasrah melihat asap yang menghitam, warung yang ambruk, mencium aroma kopi yang hangus, mendengar gemeretak kayu yang perlahan menjadi arang. Entah di mana Nyi Taslima dan Bi Sumi? Kami tak melihat bayangan seorang pun di dalam warung.

Pagi menjelang, sisa-sisa arang dan puing warung Nyi Taslima yang berserakan masih jelas dalam pandangan. Kami hanya menatapnya sembari kembali mengingat kenangan. Mengingat para kenek, sopir angkot, dan tukang becak yang bertaruh sembari menyeruput nikmatnya kopi di pagi hari. Mengingat ketika kami, anak-anak sekolah, yang berebutan nasi bungkus di warung Nyi Taslima agar tak kehabisan. Tentu juga mengingat kenikmatan kopi kental hitam agak pahit dengan larutan daun pandan dan gula merah sari siwalan yang rasanya sungguh tiada tandingan.

Entah bagaimana kami harus melewati hari-hari kami, terutama pagi hari, tanpa sarapan nasi bungkus dan menikmati kopi di warung Nyi Taslima. Entah di mana lagi sopir angkot dan tukang becak itu akan beristirahat melepas penat, bermain kartu remi, lalu membagi cerita-cerita kocaknya kepada kami. Entahlah!

Beberapa hari kemudian cerita tentang musabab pembakaran warung Nyi Taslima pun mulai bermunculan. Tentang Bi Sumi yang pada malam harinya sempat berteriak ketakutan. Tentang orang-orang yang tak kami kenali yang merusak dan membakar warung Nyi Taslima, yang menurut kabar burung, adalah orang suruhan. Juga tentang Nyi Taslima dan Bi Sumi yang sampai kini keberadaannya belum kami ketahui.

Cerita demi cerita yang terus bermunculan tak bisa menghibur hati kami yang kehilangan. (*)

 

 

Badrul Munir Chairlahir diAmbunten, Sumenep, 1 Oktober 1990. Karya-karyanya berupa cerpen dan puisi dimuat di sejumlah media massa dan beberapa antologi cerpen seperti “Di Pematang Pandanaran” (Matapena: Yogyakarta,2009), “Bukan Perempuan“ (Grafindo).


Filed under: Badrul Munir Chair Tagged: Suara Merdeka

Neraka Kembar Rajab

$
0
0

Cerpen Triyanto Triwikromo (Koran Tempo, 9 Februari 2014)

Neraka Kembar Rajab ilustrasi Yudah Af

TAK boleh ada makhluk kembar di tanjung yang sepanjang malam warganya merasa memiliki 1.000 bulan itu. Jumlah pohon-pohon bakau yang tumbuh mengitari kampung pun tidak boleh berangka sama. Ketika mencapai 2.222 batang, dengan cepat Rajab, pemuda pemberang yang tidak pernah takjub pada misteri alam, akan menebas satu batang, sehingga orang tidak memiliki kesempatan mempercakapkan keajaiban pohon-pohon bakau. Juga saat jumlah bangau-bangau di tanjung menembus 1.111, dengan cekatan pula Rajab akan mencari cara membunuh makhluk-makhluk yang meliuk-liuk indah di antara cahaya matahari yang menyusup di sesela daun. Rajab bisa saja memanah kepala bangau hingga darah menetes-netes dan melayang-layang dari mata satwa berparuh besar, kuat, dan tebal itu. Rajab juga bisa menembak dengan senapan angin sehingga bulu-buku hewan pemakan cacing dan serangga itu rontok, beterbangan. 

Rajab juga pernah membantai sepasang kucing hanya karena bulu belang-belang hitam di tubuh cokelat satwa kesayangan Nabi itu mirip. Mula-mula Rajab menggantung secara terbalik kucing-kucing itu, lalu berkali-kali kepala binatang yang terus mengeong itu dia hantam dengan linggis. Tentu saja kucing-kucing itu muntah-muntah dan darah segar mengucur dari mulut mereka.

Karena itulah, sejak dulu warga kampung selalu menjauhkan apa pun yang kembar atau mirip dari mata Rajab. Mereka tidak ingin mengulang peristiwa yang menjijikkan sekaligus mengenaskan pada masa-masa sebelumnya. Apalagi pada saat berusia 12 tahun, Rajab pernah memotong kelingking salah satu teman dengan parang tajam hanya karena tak ingin bermain-main dengan bocah kembar. Juga pada saat umur 15 tahun dia berusaha memancung kepala tiga bayi mungil karena di kening tiga malaikat kembar lucu itu ada semacam kaligrafi hitam berbunyi: Allah! Allah! Allah!

”Jangan tertipu. Bayi-bayi ini jika tidak dibunuh kelak akan menjadi iblis!“ teriak Rajab sambil mengacungkan pedang samurai.

Warga berang saat itu. Gemerenggeng kemarahan menguar, tetapi tak seorang pun berani melawan Rajab. Warga merasa akan sia-sia melawan remaja sableng yang kini telah kian menjadi berandal tengik itu. Warga yakin jika mereka gegabah, sangat mungkin pedang samurai Rajab benar-benar akan terayun dan memenggal batang leher bayi-bayi itu.

Untunglah, pada saat kritis, Kiai Siti, tetua kampung yang selalu bertutur santun, menyeruak dari kerumunan. Dia mendekati Rajab, merangkul pemarah kesetanan itu, dan berbisik lembut. ”Siapa bilang mereka akan jadi iblis, Rajab? Juga siapa bilang ada kaligrafi Allah di kening bayi itu. Tak ada apa-apa di kening mereka. Juga tak seorang tahun apa yang bakal terjadi pada hari kemudian…. Kau akan menyesali tindakanmu sekarang ini jika ternyata kelak mereka justru memuliakanmu?”

Rajab tak melawan. Sejurus kemudian tanpa disentuh oleh Kiai Siti, Rajab terkulai. Pedang samurai terlepas dari genggaman. Setelah itu, warga tahu, pada hari-hari berikutnya dia menghilang dari kampung. Tak ada yang tahu ke mana dia pergi. Kabar samar menyatakan: Rajab belajar agama ke Kota Wali dan akan kembali setelah perangainya menjadi halus dan seluruh syariat melekat di hati yang lembut.

”Rajab tidak lahir dari binatang,“ kata Kiai Siti, ”Siapa tahu kelak justru dia yang akan menjadi pemimpin kampung ini.“

***

Rajab memang bukan kepiting atau kambing. Akan tetapi justru karena itulah lulus belajar dari Kota Wali, kehendak untuk membunuh makhluk kembar, tak bisa hilang begitu saja.

Kehendak itu mula-mula hanya tersimpan dalam kegelapan hati. Akan tetapi lama-lama membuncah juga ketika dia mengungkapkan seluruh perasaan-perasaan hitam itu kepada Zaenab. Rajab tahu membicarakan apa pun kepada Zaenab, penunggu makan keramat Syeikh Muso—pendiri kampung yang sangat dimuliakan—bahwa pesan-pesan tidak akan pernah keluar dari cungkup. Rajab juga tahu di telinga Zaenab, apa pun tidak pernah dimaknai secara benar, sehingga hanya kepada perempuan yang seluruh tubuhnya melepuh dan bersisik merah itu, dia berani membeberkan keinginan-keinginan jahat. Atau jika Zaenab perempuan yang dianggap gila itu mau mendesiskan beberapa ungkapan yang terbalik-balik, Rajab akan memaknainya sebagai perintah sungsang.

”Warga kampung kita memang bebal, Zaenab. Karena itu, jangan heran jika hingga sekarang mereka tak paham mengapa aku membenci segala makhluk kembar. Mereka tidak tahu Allah tidak pernah menciptakan nabi atau malaikat kembar,“ gumam Rajab seperti berkata untuk dirinya sendiri.

”Hujan! Hujan!“ Zaenab malah berteriak sambil menunjuk matahari yang menyala merah di langit yang terang-benderang.

Rajab tak memedulikan ucapan Zaenab. Dia tahu siang itu tak ada badai dan hujan yang bakal menenggelamkan kampung.

”Iblis selalu memilih angka kembar untuk menampakkan dirinya kepada manusia. Karena itulah, agar salah satu dari kami menjadi manusia agung, ayahku menyingkirkan saudara kembarku ke kota. Karena itulah Syekh Muso mesti terpisah dari Syeikh Bintoro, saudara kembar  yang hendak membunuh panutan kita itu.“

Zaenab masih terdiam.

”Apakah kau tahu kini kita juga berhadapan dengan sepasang iblis kembar di kampung ini?“

”Seribu matahari hanya untukku, seribu bulan hanya untukmu. Kau tidak perlu berzikir, kau tidak perlu selawat. Kau tak perlu puasa, kau tak perlu salat, kau tak perlu berzakat, kau tak perlu berhaji, kau tak perlu bersyahadat. Seribu matahari hanya untukku, seribu bulan hanya untukmu.“

Rajab tidak terlalu memperhatikan perintah sungsang Zaenab. Apa pun yang diungkapkan Zaenab, dia anggap tidak penting. Karena itulah, Rajab terus mencerocos mengenai sepasang iblis yang mulai bercokol di kampung. ”Warga kampung ini buta semua. Mereka tidak tahu bahwa Kiai Siti dan Panglima Langit Abu Jenar itu kembar. Wajah Abu Jenar dan Kiai Siti memang tidak serupa. Tetapi ketahuilah  hati pengkhotbah sok suci dari kota dan tetua kampung yang rapuh itu sama.“

Tetap tak ada reaksi. Karena itulah, Rajab mendesis lagi, ”Mereka sama-sama memberhalakan Allah. Abu Jenar merasa apa pun yang dikatakan paling benar dan seakan-akan dia jadi Tuhan bagi manusia lain, sedangkan Kiai Siti menganggap Allah mabuk pujian dan sesembahan. Karena itulah, salah satu dari mereka harus dibunuh agar yang hidup jadi manusia agung….“

Kali ini Zaenab terkejut. Dia memang membenci Abu Jenar, tetapi tak ada keinginan sedikit pun untuk membunuh Panglima Langit. Zaenab juga tidak ingin ada pertumpahan darah di kampung itu. Karena itu, dengan perintah sungsang, dia meminta Rajab mengurungkan niat membunuh Kiai Siti maupun Panglima Langit Abu Jenar.

”Galilah Makam Syekh Muso. Masuklah ke kubur. Tinggallah sepanjang hari di dalam kubur. Kiai Siti harus kau tusuk lambungnya dengan linggis. Panglima Langit Abu Jenar harus kau salib di tiang masjid,“ perintah Zaenab tegas.

Karena tahu bagaimana cara memaknai perkataan Zaenab, Rajab bergegas meninggalkan cungkup. Jika tidak segera meninggalkan Makam Syekh Muso, bisa-bisa Zaenab akan mencekik atau mengungkapkan kemarahan dengan berbagai cara. Meskipun begitu, sambil berlari, Rajab masih sempat berteriak-teriak dan mengacung-acungkan tangan ke angkasa. ”Dan ketahuilah, Zaenab, aku tak akan menyentuh Abu Jenar. Aku justru akan membunuh Kiai Siti, pemimpin yang rapuh itu. Kampung ini akan hancur kalau Makam Syekh Muso terus diberhalakan dan Kiai Siti membiarkan perilaku konyol warga dan para peziarah bodoh.“

Zaenab tidak mendengarkan ancaman itu. Akan tetapi Zaenab tahu akan terjadi pertumpahan darah di kampung itu.

***

Rajab agaknya memang tidak punya pilihan lain. Dia sangat yakin bahwa membunuh Kiai Siti bukanlah dosa. Akan tetapi dengan cara apa dia harus membunuh tetua kampung yang selalu dikelilingi warga dan kini senantiasa mempercakapkan apa pun bersama Panglima Langit Abu Jenar di masjid itu? Sangat tidak mungkin menembak sang kiai dengan senapan angin. Mendekati mereka, Rajab seperti berhadapan dengan dua pohon api yang senantiasa menyala. Mendekati mereka, Rajab seperti berada dalam amuk neraka kembar. Rajab berpikir: satu neraka harus dipadamkan agar satu surga bercahaya. Jika kedua-duanya tetap ada, berarti kampung ini hanya berupa ½ surga atau ½ neraka. Jika ½ surga dan ½ neraka terus ada, bukan tidak mungkin manusia hanya menyembah ½ Tuhan. Ini berbahaya. Sangat berbahaya.

Karena itulah, Rajab menyimpulkan: yang paling mungkin adalah mengendap-endap ke rumah Kiai Siti pada malam hari dan membakar tempat itu. Atau jika itu gagal, bisa jadi dia membakar cungkup saat Kiai Siti memimpin doa para peziarah yang sedang tafakur mengelilingi nisan Syekh Muso. Jika terpaksa, apa boleh buat, Rajab harus membakar masjid dengan segala isinya. Membakar—sebagaimana menghanguskan dan meludeskan pasar yang dilakukan orang akhir-akhir ini—menjadi pilihan karena Rajab tahu tak seorang pun bisa menangkap pembakarnya. Rajab yakin para pembakar adalah malaikat-malaikat maut yang tak tersentuh.

***

Akhirnya hari paling laknat itu datang juga. Rajab telah menyiram masjid dengan bensin. Sebentar lagi bom molotov akan dilemparkan. Sebentar lagi api akan menyala. Sebentar lagi tubuh-tubuh terbakar akan meleleh seperti adonan kue.

Sebelum segalanya terbakar, Rajab mencoba meyakinkan diri bahwa segalanya berjalan lancar. Dia tidak ingin ketika melemparkan bom molotov, di langit dia justru melihat tiga rembulan menyala bersama-sama, di kubah masjid kaligrafi Allah berubah menjadi kembar tiga, dan yang tak terduga dari jauh tampak tiga tubuh Abu Jenar dan Kiai Siti bercahaya.

Tidak mungkin segalanya—juga ayat-ayat Allah indah yang senantiasa kubaca—akan berubah menjadi kembar tiga sebagaimana pernah kulihat kaligrafi Allah di kening tiga bayi kembar bukan?

Belum ada jawaban. Otak Rajab serasa meledak. Dia merasa tidak mungkin membakar dirinya sendiri jika ternyata segala yang berada di tanjung, termasuk dirinya berubah menjadi kembar tiga.

Apakah jumlah pohon bakau yang mengepungku juga berubah menjadi 6.666? Apakah jumlah bangau-bangau menjadi 3.333? Apakah Makam Syekh Muso berlipat menjadi tiga? Apakah….

Belum ada jawaban. Juga tak ada yang memberi tahu Rajab betapa beberapa sat lalu makan Syekh Muso telah diledakkan oleh Panglima Langit Abu Jenar. Lalu ketika tiba-tiba dia juga melihat tiga sosok makhluk tinggi bersorban mengendap-endap di masjid, Rajab bergegas menyalakan bom Molotov di tangannya….

 

 

Triyanto Triwikromo beroleh Penghargaan Sastra 2009 Pusat Bahasa. Buku cerita pendek terbarunya, Surga Sungsang, akan segera terbit.


Filed under: Triyanto Triwikromo Tagged: Koran Tempo

Bau Laut

$
0
0

Cerpen Ratih Kumala (Media Indonesia, 9 Februari 2014)

Bau Laut ilustrasi Pata Areadi

KETIKA lelaki itu pulang dari melaut, ia menemuiku. Kupikir ia sudah mati ditelan laut.Tubuhnya legam. Air asin dan matahari telah memanggang kulitnya. Rambutnya kemerahan. Matanya menyipit dan cekung. Aku melihat ceruk ketakutan di situ, sekaligus sejuta perlawanan. Aku memang tidak mengerti laut, meski sepanjang umur aku hidup di tepi laut.Aku tidak paham apa yang mesti ditakuti di laut yang tak ada apa-apa selain ikan, air, dan matahari. Mungkin karena tidak ada apa-apanya itulah ia menjadi takut.

Namanya Mencar, anak nelayan yang menjadi dewasa di dalam kapal. Sejak dia kecil, ayahnya telah membawanya ke laut. Dia bisa melihat ikan dari kejauhan, matanya tajam dan awas. Hingga dewasa, dia terus bertugas memberi tahu awak kapal di mana mereka bisa menemukan gerombolan ikan untuk ditangkap. Dia akan naik ke tiang kapal, bergelantungan serupa layar, dan berteriak dengan semangat sambil menunjuk ke satu titik. 

“Ikaaan…!” Mencar dan aku tak pernah akur.

Semasa kami bocah, ia anak yang menyebalkan. Menakut-nakutiku dengan kepiting besar hingga aku lari menghindarinya. Aku menghindari Mencar sampai aku remaja. Hingga suatu sore aku melihat ayah Mencar mengajak bocah itu melaut. Di tepi pantai, ia memandangku. Ada yang salah pada tatapan matanya. Meski tubuhnya masih anak-anak, sorot matanya telah menjadi mata lelaki dewasa. Aku bahkan lebih tinggi darinya, tapi sorot mata itu membuatku jengah.

Beberapa hari kemudian Mencar kembali. Laut memang penyihir yang maha dahsyat, mampu mengubah semua orang. Mencar, teman kecilku itu, berubah menjadi lelaki pada suatu hari sepulang melaut. Tak ada lagi tanda-tanda bocah di tubuhnya. Badannya liat dan terbakar. Tubuhnya menjadi lebih tinggi. Sorot matanya masih sama, seperti menelanjangiku. Malamnya, itulah yang dilakukannya. Kami bercumbu dengan alas pasir dan atap bintang, serta bau laut yang menerpa wajah kami. Bibirnya terasa asin.

Mencar menjadi kekasihku.

Pada suatu malam, Mencar bercerita, ia bermimpi dengan seorang perempuan yang muncul dari laut.

“Apakah itu Nyai Ratu Kidul?” tanyaku.

“Bukan. Aku tahu itu bukan Nyai Ratu Kidul.”

“Siapa?”

Penjelasan Mencar tak bisa dipercaya.

“Dia perempuan yang tak punya kaki, tapi ekor ikan yang menjuntai dari pinggang ke bawah.” Aku tak pernah memercayai adanya Putri Duyung. “Dia menyuruhku untuk minum air laut di ujung geladak dan buritan sebelum aku melaut lagi besok.”

Para nelayan terbiasa membaca tanda-tanda alam, seaneh apa pun itu. Sore keesokan harinya, para perempuan melepas laki-laki mereka untuk melaut. Mencar menuruti mimpinya. Dia mengambil segelas air dari ujung geladak dan buritan kapal yang ditumpanginya. Para awak kapal bertanya-tanya apa yang dilakukan Mencar. Meski awalnya menganggap itu aneh, mereka mengikuti juga apa yang dilakukan Mencar. Ia turun sejenak dari kapal, berlari dan memegang tanganku.

“Sepulang dari melaut ini, aku akan meminangmu,” ia memelukku demikian erat, hingga dipanggil lagi oleh ayahnya untuk segera kembali ke kapal.

Keesokan malamnya, badai datang. Semua perempuan melongokkan kepala ke luar rumah demi memastikan benarkah badai yang tengah bertandang. Setelah itu mereka masuk ke rumah masing-masing dan bersembunyi sambil merapalkan doa. Selepas badai kami mendengar kabar tentang kapal-kapal yang hancur. Hatiku menjadi suwung. Ibu Mencar setiap hari membawakan sesaji untuk laut dan menangis setiap sore, memohon pada samudra untuk mengembalikan suami dan anaknya.

Beberapa hari kemudian, sebuah keanehan terjadi. Satu per satu nelayan terdampar. Mereka seolah dikembalikan oleh lidah ombak, termasuk ayah Mencar yang pulang dengan utuh. Setelah semua nelayan yang terdampar terkumpul, kami memastikan mereka adalah awak kapal tempat Mencar turut serta. Sementara awak kapal lain menyisakan janda-janda dan anak-anak yatim yang kini harus bertahan sendiri tanpa kepala keluarga.

Semuanya kembali, kecuali Mencar!

Lebih dari sebulan aku dan ibu Mencar setiap sore pergi ke bibir laut dan menyuguhkan sesajen agar Mencar kembali. Saat aku berpikir sudah tak ada lagi harapan, tiba-tiba lidah ombak menggulung seseorang dari tengah laut.Kami menghampiri sosok yang tergeletak itu.

“Mencar! Mencar anakku!” teriak Ibu Mencar. Aku tak memercayai ini, Mencar kembali dan masih utuh. Kupandangi Mencar yang belum mau bicara. Mulutnya diam seolah tak mengerti bahasa manusia. Tapi matanya, mata itu nyalang dan menyimpan sejuta cerita yang tak terkatakan.

Beberapa malam kemudian, aku tak menyangka. Mencar datang mengetuk jendela kamarku. Seperti malam-malam sebelum dia pergi melaut, sebelum badai itu menghantam, inilah yang biasa dia lakukan: mengajakku pergi ke bibir pantai dan bercumbu di bawah bintang.

Mencar, lelakiku, telah kembali.

“Kupikir kau sudah mati ditelan laut.” Mencar diam. Kupandangi ceruk matanya yang sedalam samudra. Aku seolah berenang dalam sorot mata yang telah menjadi keabu-abuan. Matanya kini menjelma liar.

“Apa yang telah terjadi?”

“Maafkan aku, aku sudah kawin dengan Putri Duyung. Aku tak bisa menikahimu.“

***

Mencar tak pernah lagi melaut. Berita bahwa ia sudah kawin dengan Putri Duyung telah menyebar seperti jamur.Dan tiba-tiba, setiap pagi rumahnya penuh oleh para nelayan. Mereka memberikan pundi-pundi pada Mencar. Kini Mencar hanya perlu turun ke halaman rumahnya, lalu mencium bau laut dalam-dalam, dan ia akan membisikkan kepada seorang nelayan ke arah mana mereka harus melaut. Di situlah mereka akan menemukan gerombolan ikan. Hidungnya telah demikian tajam sehingga ia tak perlu lagi melihat ke laut untuk mengetahui letak ikan. Matanya telah melihat laut yang sesungguhnya, seolah dirinya sendiri adalah peta samudra.

Tak lama, keluarga Mencar hidup bagai keluarga raja. Mereka tak perlu lagi bekerja. Mencar menjadi sumber penghasilan bagi orangtuanya. Ibunya melelang keahlian Mencar mencium bau laut setiap pagi. Siapa yang memiliki pundi paling besar, dialah yang akan diberi tahu letak gerombolan ikan di laut. Mencar tak pernah benar-benar keluar dari rumahnya. Ibunya pun selalu berseloroh kepada orang-orang kampung, “Anakku menikah dengan Putri Duyung. Dia Pangeran Laut yang hidup di darat.“

Aku tak tahu apakah benar atau tidak, tapi ada nelayan yang pernah melihat Mencar ke laut tengah malam, dan yakin benar bahwa perempuan berekor ikan menemuinya di bibir pantai. Aku hanya mendengarkan, sambil menelan olok-olok orang-orang yang menanyakan apakah aku akan mencari pacar baru atau bersaing dengan Putri Duyung.

Itu semua membuatku merasa seperti ombak yang pecah di tepi karang, berpencar dan pasrah pada samudra yang menarik kembali air asin yang telah menjadi keping. Seperti itulah sakit hatiku. Retak. Rusak.

Hingga suatu malam, ketika aku yang rentan sedang meresapi kesedihan, seseorang mengetuk jendela kamarku.Aku tahu itu pasti Mencar. Ketika kubuka jendelaku, tanganku menghambur memeluk tubuh Mencar.

“Kupikir kau takkan pernah mengetuk jendelaku lagi.“

“Menikahlah denganku,“ ucap Mencar.

“Tapi Putri Duyung itu?“

“Aku mencintaimu meskipun Putri Duyung itu telah menyelamatkan nyawaku. Temui aku dari pintu depan.“

Aku menutup jendela. Tak lama, terdengar ketukan pintu depan. Ayahku yang sedang membersihkan jala bertanya siapa gerangan mengetuk pintu demikian keras di malam buta.

Kubuka pintu, dan Mencar berdiri di situ.

“Mau apa kamu?“ tanya ayahku, ketus.

“Saya ingin menikahi putrimu, karena saya mencintainya.“

“Kamu sudah menikah dengan Putri Duyung, dan kamu sudah membuat saya kelaparan karena kamu mampu mencium bau laut, sedangkan saya tak mampu membayar keahlianmu. Kamu cuma memperkaya saudagar ikan dan membuat nelayan kecil macam saya makin tercekik.”

“Akan kuberikan mas kawin segerombolan ikan yang bisa menghidupimu seumur hidup. Kau bisa memanennya besok ketika kembali melaut. Dan, kapanpun kau melaut, ikan-ikan akan menghampirimu.”

Setelah Mencar meyakinkan ayahku, kami pun dinikahkan. Adikku menjadi saksinya. Malam itu juga Mencar membawaku ke bibir pantai, dan di bawah bintang kami bercumbu. Ia mengembalikanku ke rumah di tengah malam buta, dan berkata pada ayahku; besok ia akan ikut melaut, menghadiahiku dan keluargaku, ikan yang akan menghidupi kami seumur hidup. Aku tak percaya pendengaranku, Mencar akan kembali melaut.

Aku melepas Mencar, suamiku, yang pergi melaut bersama ayahku. Aku menunggu dengan was-was di bibir pantai, setiap pagi dan sore. Beberapa hari kemudian, ayahku kembali tanpa Mencar. Ia membawa kapal penuh dengan tangkapan laut serta sejumput cerita yang kemudian menjadi legenda di kampung kecil kami: Setelah Mencar menunjukkan di mana ikan-ikan berada, dia berjanji bahwa ayahku akan menjadi saudagar besar, dan di manapun ia berada, ikan akan selalu mendatanginya. Lalu, ayahku melihat sosok perempuan cantik dengan ekor ikan yang menggeliat di sekitar kapalnya. Mencar segera terjun ke laut. Ayahku berusaha mencegahnya, tapi sosok itu memegang tangan Mencar dan menariknya jauh ke dalam laut. (*)

 

 

Ratih Kumala, lahir di Jakarta, 1980.Menulis novel, cerpen, dan skenario. Novel terkininya Gadis Kretek (2012).


Filed under: Ratih Kumala Tagged: Media Indonesia

Bukit Cahaya

$
0
0

Cerpen Yanusa Nugroho (Kompas, 16 Februari 2014)

Bukit Cahaya ilustrasi Herjaka HS

KALAU itu batu, tentunya batu-batu itu adalah emas. Jika itu kerikil, tentu kerikil-kerikil itu intan. Semuanya itu menyatu, membentuk sebuah bukit yang bercahaya, bersinar terang, berkilau memukau, pada malam tertentu di bulan tertentu.

Aku harus menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri.

Kisah itu memang kudengar dari banyak orang. Sepotong demi sepotong, cerita tentang bukit yang bercahaya itu menyambangiku; seperti kehadiran seorang sahabat yang sudah lama tak jumpa. Ada yang muncul ketika di perjalanan pulang kantor, ada yang hadir ketika aku harus keluar kota untuk urusan kantor. Ada yang ”numpang lewat” di Facebook. Dan semuanya, seperti puzzle, kepingan-kepingan itu menuntut untuk disatukan. Anehnya, aku tak kuasa menolak atau mengabaikannya. 

”Kata nenek saya, dulu, bukit itu adalah serpihan Taman Sriwedari, ketika dipindahkan oleh Sokrasana,” ucap Mas Tri Luwih, seorang dalang. Aku kagum.

”Tapi, itu miturut, simbah saya, lho, Mas. Jadi, ketika itu, kan, Sokrasana dimintai tolong kakaknya untuk memindahkan taman milik Batara Wisnu itu, sebagai persyaratan… ah, sampean tahu, kan, kisahnya, he-he-he. Nah, ketika dibawa terbang, ada segenggam tanah yang jatuh.”

”Jadi, cuilan Taman Sriwedari itu menjelma Bukit Cahaya itu?”

”Miturut dongeng, begitu…,” jawab Mas Tri Luwih kalem.

Meskipun aku tahu bahwa itu hanyalah dongeng, tapi yang sampai pada hatiku adalah sebuah keindahan. Sebuah kesejukan yang tulus dan murni, lewat penuturan Mas Tri Luwih, teman sesama penggemar kopi pahit.

Lain lagi potongan kisah yang datang dari Gus Rony, juga teman sesama penggemar kopi pahit. Menurutnya, dari yang dia dengar, tidak setiap saat bukit itu memendarkan cahaya. ”Hanya pada malam ketujuh, di bulan ketujuh.”

”Jadi, hanya setahun sekali?”

”Ya.”

”Kenapa?”

”Embuh… he-he-he…. Saya juga tidak tahu, dan tidak mau tanya-tanya.”

”Sampean tahu dari mana?”

”Lho, kan, saya bilang tadi, kata si empunya cerita… haha-ha-ha-ha-ha….” kemudian dia menyeruput kopi hitamnya yang tanpa gula itu.

Jujur saja, kian banyak potongan-potongan kisah yang seperti memaksakan diri hadir dalam keseharianku, kian kuat keinginanku untuk menyaksikan bukit cahaya itu. Dan kian kuat keinginanku untuk menyaksikan sendiri bukit cahaya itu, kian kuat pula ejekan menerjangku.

Ada yang mengatakan bahwa seharusnya aku masuk jurusan ilmu klenik saja dan bukan masuk ekonomi. Ada yang meledek bahwa aku lebih percaya pada yang maya ketimbang yang nyata, dan entah apa lagi. ”Emang kamu itu si Milo? Itu, yang di film Journey to the Bottom of the World? he-he-he…. Tuh, lihat di jalanan buruh semua demo, minta kenaikan UMR. Tuh, ada gubernur cantik dandannya satu miliar. Itu kenyataan. Gak usah sok mimpi mau lihat bukit bercahaya segala.” Ada saja yang gusar karena kegilaanku dan mengucap semau-maunya tentang apa yang harus disebut kenyataan dan bukan.

Aku diam saja. Ya, aku sendiri heran mengapa keinginan untuk melihat sendiri bukit cahaya itu begitu kuat; sementara diam-diam aku sendiri tahu persis bahwa itu hanyalah dongeng. Ada semacam kekuatan yang saling menarik, yang tengah terjadi pada diriku.

Kuumumkan bahwa tekadku bulat sudah. Aku mengajukan cuti khusus nanti di awal bulan Juli. Bosku, yang selama ini hanya tersenyum, kali ini menatapku dalam-dalam.

”Maaf, sudah tahu di mana persisnya bukit cahayamu itu,” ucapnya dengan nada serius.

”Tahu, Pak, di Dusun Galihkangkung.”

Dia mengernyitkan dahi, mempertajam pandangannya, mencoba mencari di mana si lawan bicara berada saat itu.

”Ya, itu nama yang aneh. Dan saya yakin belum terpetakan,” ujarku dengan suara agak tersekat.

Bosku kemudian tertawa terbahak-bahak. Tak lama dia berkata dengan lantang, memberi tahu seisi ruangan bahwa ada sebuah tempat namanya Galihkangkung dan itu belum terpetakan di Indonesia. Kau tentu bisa membayangkan sendiri apa yang terjadi di ruangan besar itu.

Aku diam saja. Percuma saja jika kukatakan bahwa koordinat satelit tak akan bisa meraba di mana tempat-tempat yang disebut aneh itu berada. Mereka tak akan percaya pada kemustahilan teknologi yang konon canggih itu. Percuma saja aku katakan bahwa apa yang kita percayai sebagai logika, tak lebih daripada sebatok kepala kita sendiri; sementara begitu banyak hal di luar sana, yang jauh, jauh lebih besar daripada batok kepala kita. Percuma saja, toh, mereka memang tidak pernah berusaha untuk memercayai.

Mereka sudah tak percaya pada kekuatan keindahan. Mereka jauh lebih percaya pada perhitungan logika—entah, apa sebetulnya pemahaman mereka tentang logika. Mereka bahkan tak bisa lagi glenikan, ngobrolkosong, senda gurau, atau canda antarsesama manusia, lantaran jauh dalam diri mereka hanya ada rasa curiga dan syak wasangka. Semua unsur kehidupan didasarkan pada untung rugi secara sempit. Mereka lebih percaya pada skala penjualan. Mereka bukan lagi pengikut para nabi, meskipun dari mulut mereka membusa ayat-ayat Tuhan; mereka menyembah uang yang menurut mereka lebih nyata daripada Tuhan.

Maaf, mungkin aku melantur. Tapi, mungkin, itu semua yang membuatku diam-diam membulatkan tekad mencari dan melihat sendiri bukit cahaya itu. Sesuatu yang memberiku kekuatan untuk mencari sumber ketenangan hidup. Ya, barangkali memang itu.

Telah kususuri jalanku, dan aku berada di Galihkangkung. Suasana begitu lengang. Angin benar-benar seperti senyuman malu-malu seorang gadis yang kau jumpai di jalan. Jalanan kecil, tanah hitam padat, bersih. Orang-orang yang berjalan menggiring kerbau, mungkin ke pasar, mungkin ke sawah, bisa dengan mudah kau jumpai. Mereka tidak memandangku sebagai orang aneh, meskipun bagaimana aku bisa sampai di tempat ini kurasakan sebagai sesuatu yang aneh.

Entah bagaimana, Gusti Purusa—dia memang bernama Gusti—memberi tahu bahwa ada salah satu kerabatnya di Galihkangkung. Mengapa bisa Gusti Purusa mau memberi tahu, aku juga bingung, karena sebetulnya aku tidak kenal langsung dengan dia. Ah, sudahlah, aku hanya berprinsip: ada kemauan, ada jalan—seganjil apa pun jalan itu; dan di rumah kerabat Gusti Purusa inilah aku tinggal di Galihkangkung.

”Nanti malam, Mas. Menjelang jam sebelas, kita jalan sampai ke tepian teluk,” ujar Pak Har, si tuan rumah.

”Oh, jadi bukit itu di laut?”

”Ya. Di teluk itu ada beberapa pulau kecil berbukit-bukit, nah salah satunya itulah yang nanti akan kita lihat bercahaya.”

”Pak Har pernah menyaksikan sendiri?”

”Ha-ha-ha… semua yang ada di sini pernah. Bukan hal baru. Kami bahkan sering ke pulau itu, atau mereka, orang-orang itu juga kemari beli kebutuhan kecil. Mereka, ya, seperti kita manusia biasa. Itu sebabnya saya agak heran, kok, Mas tertarik. Lha yang aneh apanya? Ha-ha-ha-ha.”

Sekali lagi aku dibantah oleh keluguan. ”Maksud saya,” ucapku buru-buru, ”mengapa bukit itu bercahaya? Dan hanya pada saat tertentu saja?”

”Ah, Mas ini… ha-ha-ha-ha-ha…. Ya, memang begitu. Nanti kalau bercahaya terus-menerus dikira sumur bor minyak? Haha-ha-ha-ha…. Ndak ada yang aneh, Mas, biasa saja. Malah, kalau setahun sekali, bagus, karena ada yang ditunggu-tunggu, ada yang akan ditonton dari pantai. Memang indah, Mas. Tapi, ya… biasa sajalah, bukan aneh, kok.”

Mungkin saat itu akulah manusia paling bodoh di dunia ini. Dibanting dan diempaskan kenyataan yang melingkupiku saat ini, aku tak bisa lain, kecuali diam.

”Apa, besok mau menyeberang ke sana? Saya antarkan. Tapi, ya, jangan kecewa, wong sama saja seperti di sini,” tambah Pak Har. Aku tersenyum.

Aku menyaksikan kelam di kejauhan. Debur ombak dan angin asin menyapaku dari laut di Teluk Galihkangkung. Di gubuk-gubuk kecil ini kami duduk berdua, ditemani kopi dan rokok. Di sekitarku ada juga tempat-tempat sebagaimana yang kami duduki, dan beberapa orang juga tengah menunggu sesuatu. Sebagaimana di pantai-pantai yang lain, suasana yang kurasakan tak jauh berbeda.

Namun, beberapa saat kemudian ada yang kurasakan aneh. Udara mendadak dingin, padahal angin mati. Malam tiba di kulminasinya. Di keremangan sana, di bukit yang semula hitam samar-samar, kusaksikan cahaya menitik satu demi satu. Menyala kuning kemerahan di sana-sini. Jumlahnya kian banyak, dan entah pada kedipan mataku yang ke berapa, tiba-tiba titik-titik itu seperti membuncah karena seperti kepingan emas yang dituang dari langit. Merambat perlahan meninggi dan meninggi, cahaya yang menjulang, membukit, terang benderang, membawaku melayang.

Tak kurasakan lagi ketakutan. Tak kurasakan lagi kegelisahan. Aku berada pada jantung kedamaian yang sungguh tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Cahaya-cahaya itu, yang membintang jumlahnya, seperti membersihkan seluruh jiwaku. Meneranginya dengan kelembutan. Cahaya itu seperti menggemakan kidung, melaut bunyinya, bagi kebesaran Sang Maha Besar. Cahaya itu seolah mengajakku menikmati keindahan Sang Maha Indah.

Air mataku mengucur deras menyaksikan keindahan yang belum pernah terperangkap jiwaku seumur hidup. Keindahan itu hanya kupercaya, melalui tuturan manusia-manusia berjiwa indah, dan dengan caranya yang indah memasuki jiwaku.

Cahaya itu mengajakku mengelilingi kehidupan yang sesungguhnya indah. Gadis-gadis cantik yang lahir dari permata. Batang-batang delima cahaya yang menundukkan cabangnya manakala tanganmu meraihnya, dan membiarkan rasa madu bilamana kau
mencecapnya, kutemukan di cahaya itu.

Aku tergeragap bangun karena guncangan tangan istriku.

”Mimpi apa, kok sampai nangis sambil tertawa-tawa?”

Aku diam.

”Makanya, sudahlah, lupakan Bukit Cahaya itu. Itu, kan, cuma dongeng,” ucapnya sebelum melanjutkan kembali tidurnya.

Aku hanya merasakan sisa cahaya paling cahaya yang melumuri hidupku. Apakah akan kuceritakan juga mimpiku? Buat apa? Kepada siapa? Siapakah yang saat ini butuh mimpi, yang menurut mereka tidak masuk akal ini?

Tapi aku yakin benar, kalau itu batu, tentunya batu-batu itu adalah emas. Jika itu kerikil, tentu kerikil-kerikil itu intan.


Filed under: Yanusa Nugroho Tagged: Kompas

Di Ujung Desember

$
0
0

Cerpen Ardian Je (Republika, 16 Februari 2014)

Di Ujung Desember ilustrasi Rendra Purnama

ENTAH mengapa, sejak saat itu, dua tahun yang lalu, aku mulai membenci ayah. Abah, begitu panggilannya. Meski aku sadar, perasaan itu tak boleh terbesit. Ketika orang-orang bertemu Abah, mereka akan mendekatinya sambil membungkuk badan, kemudian mencium punggung tangannya yang sesejuk embun pada pagi hari. Mungkin, kesejukan itu datang karena Abah tak lepas dari wudhu.

Tepatnya, di ujung ranting Desember, Abah mempertemukanku dengan Kiai Zamri, sahabat baiknya saat keduanya menimba ilmu di pesantren. Abah memintaku mencium punggung tangan Kiai Zamri. Suhu punggung tangannya cukup sejuk, tapi tak sesejuk suhu punggung tangan Abah, tak sesejuk embun pada pagi hari. 

Kiai Zamri menatapku. Aku, perempuan yang masih hijau dan pemalu, ingin segera pergi dari ruang tamu. Tetapi, Abah melarangku beranjak, malah aku disuruh duduk di sisi kirinya, bertatap muka langsung dengan sang kiai yang berjenggot lebat. Perasaanku gundah, suhu tubuhku pun suam-suam.

Humor-humor ringan mereka menciptakan gelombang lembut pada dua gelas kopi hitam yang tersaji di meja. Kukatakan pada Abah bahwa aku ingin masuk ke kamar, meminum obat, dan beristirahat sejenak. Abah mengiyakan sebelum ia mengembuskan asap rokok yang menghuni pipa tuanya.

Itulah awal pertemuanku dengan Kiai Zamri, pemimpin salah satu pondok pesantren di Lebak, dua tahun yang lalu. Sekali lagi, aku berkata pada diriku sendiri, pada Tuhan yang Maha Mendengar, pada siapa pun dan apa pun yang dapat mendengar suara batinku bahwa aku mulai membenci ayah.

“Allahu akbar… Allahu akbar….”

Azan Isya memecahkan keheningan malam. Aku harus membawa langkahku ke tempat berwudhu, memutar keran, mulai berkumur-berkumur, dan seterusnya. Setelah itu… setelah itu… ah, aku tak akan menemukan Arif, lelaki yang membuat hatiku selalu tersenyum dan rajin menunaikan shalat dan mengaji di masjid pesantren yang diasuh Abah. Mungkin dia sudah berbahagia dengan perempuan lain yang jauh lebih cantik dan salihah dibanding aku yang hanya bisa mengaguminya dari dalam hati.

***

Hijab yang berwarna hijau, pembatas antara santri dan santriwati di masjid dibuka pada Kamis, suatu malam, sebelum ritual pembacaan surah Yaasin dimulai. Aku dan para santriwati hanya merundukkan kepala dan sesekali melirik suasana, menerawang ke arah para santriwan.

Gumam demi gumam merangkak di atas sajadah, perlahan naik dan terbang mengitari pilar-pilar masjid mengunjungi sudut-sudut ruang suci, hingga akhirnya sorot polos bola mataku berhenti pada matanya, mata Arif. Pipiku memerah, buru-buru aku merunduk dan mencari bait pertama pada buku Majmu’ Syarif yang tengah aku pegang setelah ia berhasil memberiku selembar senyum yang ranum.

Siapa dia? Siapa namanya? Dari mana ia berasal? Pertanyaan-pertanyaan itu sering kubisikkan pada dinding-dinding kamarku yang dingin sebelum aku tenggelam dalam tidur. Mata itu, senyum itu, acap kali mendatangiku di alam yang bernama mimpi. Ini terlarang; seorang lelaki dan perempuan yang bukan mahram, berpegangan tangan di tengah padang ilalang yang panjang. Tapi, jujur aku senang dan bahagia.

Aih… mataku terbuka perlahan dan peristiwa itu ternyata hanya setangkai mimpi indah. Aku beruntung, sekaligus rugi besar. Aku beruntung tidak merangkai dosa, tak melakukan larangan agama dan Abah, tapi aku pun mengalami kerugian yang besar, belum sempat bertutur sapa dan sedikit bertanya, seolah waktu berjalan cepat, kencang, mungkin berlari.

Sejak perjumpaan pertama dengan Arif, aku lebih rajin mendatangi masjid dan mengikuti pengajian bersama para santri. Sebenarnya, Abah pernah menyuruhku melakukannya sejak usiaku kanak-kanak. Tapi, karena malas dan menganggapnya tidak penting, aku tak menghiraukannya. Aku merasa senang sekaligus gugup dan berdebar ketika hijab masjid yang berwana hijau tua itu dibuka.

Dengan malu-malu, aku mencari mata Arif. Meski hanya sedetik, aku merasa bahagia dan akan terus mengingatnya ketika aku mengempaskan tubuhku di atas kasur, di kamar nanti; membuat khayalan- khayalan konyol di alam yang kuciptakan sendiri. Terdengar aneh memang, tapi aku suka melakoninya. Aku rasa, manusia mesti menciptakan dunia khayalannya sendiri agar mendapat kebahagiaan-kebahagiaan kecil bagi kehidupannya yang fana.

Hal lain yang membuatku terkesima adalah kelebihan dan keberanian Arif. Di balik sifat pendiamnya, suaranya merdu memanjakan telinga bagi pendengarnya, tak terkecuali kedua telingaku. Suaranya indah melantunkan ayat-ayat Tuhan dengan ragam lagu, seperti bayati, shaba, ziharkah, ros, nahawan. Terkadang, bila Ustaz Maksum, guru seni baca Alquran, tidak hadir, Arif berani menggantikan dan mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada para santri.

Pernah, suatu hari pondok pesantren yang diasuh Abah mengadakan acara wisata agama dan kebudayaan ke Banten Lama. Aku, perempuan yang masih hijau, yang selalu dihantui mata seseorang, sudah tentu mengira bahwa pemilik mata yang selalu menghantuiku itu akan pergi ke sana dan aku pun tak mau ketinggalan. Sengaja aku tidak masuk ke dalam mobil keluarga bersama Abah; aku masuk ke dalam mobil bersama para santriwati, ingin menjalin kedekatan.

Nuansa tempo dulu melintas bersamaan dengan semilir angin pada pagi hari nan cerah itu. Rombongan melakukan perjalanan sekira setengah jam dari pusat Kota Serang. Keraton Kaibon seolah berjalan mundur dari kaca jendela mobil; sejarahnya semakin kusam dan dilupakan orang Banten. Kemudian, setelah sopir memutar kemudi ke kiri dan tubuh mobil mulai bergetar karena kondisi jalan berlubang, Benteng Surosowan menatapku. Beberapa anak kecil memanjatnya, kemudian berlari-lari, bermain dengan ilalang dan sejarah yang belum diketahuinya.

Mobil berhenti. Sandal Abah menapak di bumi Banten Lama. Rombongan mengekor. Kami memasuki area Masjid Banten Lama. Sesak. Banyak para peziarah yang datang ketika itu dari berbagai daerah. Abah duduk, bersila di depan makam Sultan Maulana Hasanuddin dan memimpin ziarah. Doa teruntai dari lisan Abah.

“Amin… amin….”

Ketika para santri mengamini doa- doa Abah, aku hanya ingin menyimpan punggung Arif di sepasang bola mataku. Aku memperhatikannya sejak Abah turun dari mobil. Beberapa kali ia menoleh ke belakang, ke rombongan santriwati. Harapku, ia mencariku.

Putaran jarum jam menyuruhku berkirim surat dengannya. Aku jadi tahu siapa nama lengkapnya, di mana rumahnya, kegemarannya, cita-citanya, hingga perasaan nya padaku. Aku sangat menikmati masa itu.

Andaikan aku bisa memutar waktu, aku ingin kehidupan hanya terjadi pada saat itu; saat dia mengajariku seni membaca Alquran, saat dia menjengukku ketika sakit, saat ia membolos mengaji di suatu malam demi mengajakku memakan nasi sumsum dan berjalan-jalan di alun-alun kota. Sempat pula jemari kita saling berbicara.

***

Abah tepat berada di pelupuk mataku. Aku berbaju putih. Hijab masjid yang berwarna hijau tua dibuka. Selembar kain putih melintang di kepalaku… dan di kepala Kiai Zamri. Para warga dan santri memenuhi masjid.

Sebelum aku duduk di sebelah Kiai Zamri, aku tak menemukan wajah Arif. Sepekan yang lalu, temannya memberitahuku, Arif keluar dari pesantren. Tak jelas apa gerangan alasan di balik keputusan mengejutkan itu. Tak satupun orang yang tahu.

Setelah berpikir ribuan kali, kurasa, aku tahu alasannya….

Hari itu, tepatnya di ujung ranting Desember, aku genap berusia dua puluh dua tahun dan secara hukum negara dan agama aku sah menjadi istri keempat Kiai Zamri. Kata Abah, ini demi kebaikanku, kebaikan keluarga dan pesantren, dan hubungan kekerabatannya dengan Kiai Zamri sebagai sesama pemuka agama.

***

Kini, usai bersujud di waktu Isya, aku mengajari Nurul yang baru berumur enam tahun, anak pertama Umi Ani, istri ketiga Kiai Zamri, suami yang tak kucintai sedikitpun, membaca Alquran. Meski masih kecil, suaranya merdu, seperti suara Arif. Tak lama, Zulfa, anakku, satu tahun, menangis; sepertinya ia membutuhkan hangat pelukku. Kutinggalkan sejenak Nur.

Aku seperti dipenjara, tidak hanya ragaku, tapi juga jiwaku. Istri pertama dan kedua Kiai Zamri tidak menyukaiku, lantaran ia lebih perhatian pada istri keempatnya. Pun demikian sikap istri ketiganya, Umi Uum, sinis akan kehadiranku.

Kini, ku tahu mengapa aku membenci ayah kandungku sendiri. (*)

 

 

Rumah Dunia, Serang, 2013-2014

 

Ardian Je lahir di Sukakarya, Bekasi, 22 Maret 1992; relawan Rumah Dunia; mahasiswa Tadris Bahasa Inggris IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Buku tunggalnya Cerita Daun Cemara dan Purnama (2013).


Filed under: Ardian Je Tagged: Republika


Mukjizat Api

$
0
0

Cerpen Triyanto Triwikromo (Jawa Pos, 16 Februari 2014)

Mukjizat Api ilustrasi Herjaka HS

DONNA menyelundupkan katana ke tanjung yang hampir tenggelam itu bukan untuk membunuh Widanti, utusan Teratai Hijau. Pedang panjang dari Jepang itu hanya ingin dia gunakan untuk bertarung dengan Panglima Langit Abu Jenar karena sang musuh juga sangat mahir memainkan senjata yang dulu pernah digunakan oleh para samurai itu. Akan tetapi seorang warga yang mungkin telah diajari oleh Abu Jenar semacam ilmu yang dikembangkan oleh Miyamoto Mushasi1 menggunakan katana itu untuk memenggal kepala Widanti. Donna sama sekali tidak terpanggil untuk membalaskan dendam Widanti. Dia punya alasan sendiri mengapa harus membunuh Panglima Langit.

Siapa pun akan menyangka alasan utamaku membunuh Panglima Langit hanyalah karena aku pasukan tepercaya Teratai Hijau. Itu salah besar, batin Donna. Membunuh Abu Jenar hanyalah alasan antara. Hanya dengan bergabung dalam pasukan pembunuh Panglima Langit, aku akan bisa berdekatan, bahkan nyaris tidak berjarak dengan Teratai Hijau.

Teratai Hijau, perempuan bloon itu, tak tahu kalau aku adalah musuhnya juga. Akulah yang kelak akan merebut tanjung dari tangan Teratai Hijau. Aku sengaja menyelundup ke ceruk kekuasaan Teratai Hijau agar tahu berapa besar kekuatan Teratai Hijau.

Teratai Hijau sesungguhnya sangat lemah. Dengan beberapa sabetan katana dia akan mudah menjemput ajal. Akan tetapi aku tak bisa serta-merta membunuh Teratai Hijau untuk mendapatkan segala hal. Yang pertama kulakukan: aku harus bertindak budak Teratai Hijau dulu untuk melakukan apa pun agar dia percaya betapa aku memang benar-benar ada di pihaknya. Dan membunuh Panglima Langit, dengan demikian, adalahsemacam ujian kesetiaan yang tidak terhindarkan. Tanpa membunuh Abu Jenar terlebih dulu, aku tidak akan bisa masuk tepat ke jantung kekuasaan Teratai Hijau.

Membunuh Teratai Hijau bisa dilakukan belakangan. Aku akan membunuh dia di kamar saat kami bercumbu saja. Bercumbu? Tidak. Tidak. Aku harus berpura-pura menikmati ciuman-ciuman liarnya yang menjijikkan agar dia tidak merasa dalam bahaya saat bersamaku. Aku harus pura-pura sama sekali tak keberatan bercinta dengan sesama perempuan agar Teratai Hijau selalu dalam rengkuhan tanganku. Berada di dalam pelukanku berarti berada dalam maut yang tak bisa ditepis. Akan tetapi sekali lagi saat ini bukan waktu tepat untuk membunuh Teratai Hijau. Saat ini aku harus berurusan dengan nyawa Abu Jenar dulu.

Karena itu, Donna sangat ingin pada saat yang tepat duel adu katana dengan Panglima Langit, musuh yang justru mustahil dikalahkan itu. Tentu saja dia tak akan mengajak duel Abu Jenar di sebuah restoran Jepang sambil mendengarkan lagu rock yang menghentak dan gitar-gitar yang dicabik oleh pemusik yang kesetanan atau di beranda dalam guyuran hujan salju2, akan tetapi cukup di tanah lapang berpasir yang sesekali dihantam angin laut keras-keras. Langit menggores punggung berkali-kali, tetapi cukup dengan beberapa gebrakan, justru katana-nya menusuk lambung sang musuh. Ya, menusuk lambung hingga darah merah segar muncrat membasahi jubah putih lelaki perkasa yang senantiasa bersorban itu.

Akan tetapi keinginan-keinginan semacam itu tidak bertahan lama. Begitu tahu Abu Jenar memiliki ajian Kucing Sanga, ilmu rahasia yang dipahami warga sebagai warisan Sunan Kudus, dia tak ingin mati sia-sia di tangan Panglima Langit.

”Aku bisa saja memenggal kepala dia. Akan tetapi, karena ajian Kucing Sanga mirip ilmu Rawa Rontek, aku berusaha mempelajari dulu ajian Dasa Rasa, ilmu rahasia penawar ajian Kucing Sanga dari Syekh Siti Jenar yang hanya diajarkan kepada beberapa murid terkasih. Dasa Rasa mirip ajian Pancasona. ”Hmm, kau tahu apa beda Rawa Rontek dengan Pancasona?“ kata Donna ketika melaporkan apa pun yang dia lihat di tanjung kepada Teratai Hijau.

Teratai Hijau menggeleng. Karena penasaran, Teratai Hijau bertanya, ”Semacam ilmu gaibkah? Kalau itu ilmu gaib, aku tak akan mau memercayai.“

Karena tak tertarik membicarakan hal-hal gaib, Teratai Hijau lebih memilih menciumi telinga anak buah sekaligus kekasihnya itu, menggigit dengan sedikit keras, menjilati dan menghirup dengan penuh gairah harum parfum yang tersisa.

”Ajian rawa rontek,“ kata Donna membiarkan telinganya dikulum oleh Teratai Hijau, ”merupakan ilmu langka dan memiliki keajaiban. Itu berarti pedang samurai bisa memenggal leher Abu Jenar, tetapi tak lama kemudian tubuh yang sudah terpotong bisa tersambung kembali. Semula aku juga tak percaya pada ilmu ini sampai aku bertemu dengan keturunan Syekh Siti Jenar dan mempelajari ilmu yang setara Rawa Rontek.“

”Yang kau pelajari itu apakah semacam ilmu gaib juga?“

”Aku tak menganggap kedua-duanya ilmu gaib. Aku mempelajari keduanya sama dengan aku mempelajari matematika. Menjawab persoalan matematika yang rumit tentu ada caranya. Demikian juga mempelajari ajian Kucing Sanga Sunan Kudus dan Dasa Rasa Syekh Siti Jenar.“

Aku membohongi Teratai Hijau. Yang kulakukan saat itu adalah mengobrak-abrik otakku yang sok rasional dulu. Dan karena percaya pada Hokheimer yang menyatakan puncak dari rasionalitas adalah irasionalitas, akhirnya aku percaya pada hal-hal yang tampak di permukaan sebagai sesuatu yang irasional itu. Karena aku sudah sangat percaya pada hal-hal irasional itu, maka aku pun mau saat harus mengucapkan bismillahirrohmanirrohim, niyat ingsun amatek ajiku aji pancasona, ana wiyat jroning bumi, surya murub ing bantala, bumi sap pitu, anelahi sabuwana, rahina tan kena wengi, urip tan kenaning pati, ingsun pangawak jagad, mati ora mati, tlinceng geni tanpa kukus, ceng cleneng, ceng cleneng, kasangga ibu pertiwi, tangi dhewe, urip dhewe aning jagad, mustika lananging jaya, hem, aku si pancasona, ratune nyawa sakalir.

Aku juga puasa Senin dan Kamis selama 7 bulan. Jeda tiga hari, aku puasa 40 hari berturut-turut. Setelah itu aku tidak tidur 24 jam dalam keadaan suci. Aku menjalankan apa pun yang telah dilakukan Syekh Siti Jenar. Berdoa-berdoa-berdoa. Puasa-puasa-puasa. Merapal mantra-merapal mantra-merapal mantra. Aku harus bisa mencapai suwung. Mencapai titik ada-tak ada, tak ada-ada. Mencapai hing hung hang ring rung rang sing sung sang.“

”Apakah kau ingin tahu kehebatan ajian Dasa Rasa?“ kata Donna setelah memagut bibir dan menjilat lidah Teratai Hijau.

”Kau bisa melakukan untukku?“ tutur Teratai Hijau.

”Kenapa tidak? Kau mau memenggal leherku?“ Donna menantang, ”ambil katana-mu dan ayunkan ke leherku.“

Meskipun ngeri, Teratai Hijau mematuhi keinginan Donna. Dia mengayunkan katana ke leher Donna dan darah segar pun memuncrat dari batang leher. Kepala Donna menggelinding. Darah mengucur di lantai.

Tentu saja Teratai Hijau takjub memandang kepala Donna yang terus menggelinding. Namun, Donna tak memberi kesempatan Teratai Hijau untuk terbengong-bengong. Dengan cepat kepala Donna terbang dan menyatu kembali dengan tubuh yang telah berlumur darah itu.

”Kau sekarang percaya ada ilmu semacam ini?“ Donna memeluk Teratai Hijau yang ketakutan, ”Dengan ilmu semacam itulah aku akan menghadapi Panglima Langit Abu Jenar.“

Teratai Hijau masih terpukul. Dia masih belum sanggup menerima kenyataan yang baru saja dialami..

”Aku sedang menunggu waktu yang tepat untuk membunuh Abu Jenar. Aku menunggu seribu bulan bercahaya di tanjung.“

”Seribu bulan?“ Teratai Hijau mulai bisa menguasai keadaan.

”Ya. Itu saat seluruh warga tanjung bershalawat dan berzikir bersama.”

”Maksudmu zikir dan shalawat mereka akan membuat bulan terbelah menjadi seribu?“

”Ya. Dan mulailah percaya pada hal-hal yang tidak pernah kau lihat sebelumnya.“

”Maksudmu kau minta aku memercayai hal-hal yang tidak masuk akal?“

”Ya. Kau harus mulai percaya bahwa Abu Jenar hanya akan mati dengan cara-cara ajaib.“

”Dia tidak akan mati saat kuletuskan pistolku ke jidatnya?“

Donna mengangguk. Pistol. Donna membatin, hanya berguna untuk membunuh orang di dunia rasional, di dunia nyata. Abu Jenar tidak sepenuhnya hidup di dunia semacam itu. Aku sudah tahu dengan cara apa akan kuakhiri hidupnya. Penganut ilmu semacam Rawa Rontek hanya mati dengan dua cara. Pertama, aku akan memenggal tubuh Abu Jenar dan menancapkan leher dengan kepala licik itu di salah satu batang runcing di pohon tertinggi di luar tanjung. Agar tubuh tidak jatuh ke tanah, aku akan membentangkan kedua tangannya di tiang salib yang telah kupersiapkan. Kedua, ini cara yang dianjurkan oleh para penganut Dasa Rasa, aku harus membakar habis tubuh Panglima Langit.

”Dia tak akan mati jika kusewa puluhan serdadu untuk memberondongkan ratusan peluru  dengan senapa laras panjang?”

Donna mengangguk lagi. Dia melihat perubahan wajah Teratai Hijau.

Lalu sambil menunggu Teratai Hijau menerima kenyataan, Donna membeberkan beberapa fakta tentang Abu Jenar. ”Abu Jenar tak akan sepenuhnya mati oleh tanganku. Aku akan bisa membunuhnya akan tetapi penyempurna segala Abu Jenar adalah Kiai Siti.”

”Kenapa harus Kiai Siti?”

”Aku sudah menyelidiki siapa Kiai Siti dan Abu Jenar. Kiai Siti adalah sisi baik Panglima Abu Jenar. Sebaliknya Abu Jenar adalah sisi buruk Kiai Siti.”

”Aku tidak mengerti maksudmu?”

”Mereka sesungguhnya berasal dari keluarga yang sama. Abu Jenar keturunan Syekh Bintoro dan Kiai Siti keturunan Syekh Muso. Panglima Langit mendapatkan segala ilmu dari keturunan Syekh Muso. Karena itu, mau tidak mau aku harus bersekutu dengan Kiai Siti.”

Kiai Siti, Donna membatin, memang tidak tampak sebagai orang sakti. Dia sama sekali tidak pernah menunjukkan ilmu yang dimiliki di hadapan siapa pun. Akan tetapi, aku tahu dialah pemilik tingkatan tertinggi ajian Dasa Rasa. Kiai Siti tidak perlu bertempur untuk membunuh lawan. Hanya mengucapkan beberapa kata saja –jika mau—siapa pun akan gampang ditumbangkan. Sayang, Kiai Siti pantang membunuh siapa pun. Ini kelemahan sekaligus kekuatannya.

”Kau bisa menguasai Kiai Siti?“

Donna menggeleng.

”Kenapa?“

”Dia tidak ingin bersekutu dengan siapa pun.“

”Dia tidak tahu bahwa Panglima Langit Abu Jenar akan menghancurkan tanjung?“

”Dia tahu tetapi dia tak mau memusuhi Abu Jenar.“

”Dia dikuasai Panglima Langit?”

”Tampaknya seperti itu, tetapi sesungguhnya tidak. Dia tidak dikuasai oleh siapa pun.”

Ya, tidak dikuasai oleh siapa pun. Donna membatin. Aku pernah menawarkan diri untuk membunuh Panglima Langit kepadanya, dia menolak.

”Sampean hanya bertugas membakar tubuhnya saja, Kiai. Saya yang akan memenggal kepalanya,” kataku waktu itu.

Kiai Siti menggeleng dan dengan cepat berkata, ”Apakah Sampean juga ingin kepala Sampean terpisah dari badan?”

Aku menggeleng. Aku merasa kepalaku sudah terpisah dari badan dan sulit kupersatukan kembali. Sejak saat itu, aku tak mau menguasai Kiai Siti.

”Jadi menurutmu tetap saja Abu Jenar akan tak terkalahkan?” Teratai Hijau panik.

”Tak terkalahkan? Tentu saja bisa dikalahkan. Aku hanya harus punya alasan untuk bertempur dengannya. Aku hanya harus punya cara membujuk Kiai Siti untuk membakarnya. Tak ada cara lain.“

***

Akan tetapi, hampir tak ada alasan bagi Donna untuk segera membunuh Panglima Langit Abu Jenar. Setiap pengajian yang dilakukan oleh Abu Jenar selalu dikunjungi oleh Kiai Siti.

Saat Kiai Siti menghilang, entah pergi ke kota, entah berziarah ke makam yang diyakini sebagai tempat peristirahatan terakhir Syekh Siti Jenar, Abu Jenar juga menghilang.

Pada saat-saat semacam itu, Donna mempertinggi tingkatan ajian Dasa Rasa. Jika sampai pada tahap tertinggi, dia tidak perlu mempergunakan katana untuk membabat tubuh atau memenggal leher Abu Jenar. Dia hanya perlu menyemburkan api dari jauh, tubuh Panglima Langit akan terbakar.

Donna juga kian yakin hanya apilah yang bakal menghancurkan kedigdayaan Panglima Langit.

Allah menghilangkan Sodom Gomora dengan api. Allah menghukum manusia pendosa dengan neraka api. Apilah pelenyap nyawa terbaik ketimbang alat pembunuh lain. Jadi, aku memang harus mencapai tahapan terakhir ajian Dasa Rasa agar bisa kusemburkan api jahanam ke tubuh Panglima Langit Abu Jenar yang sakti dan tak terkalahkan itu.

***

Allah tidak pernah mau memberikan api ke mulutku. Allah tidak mengizinkan aku membunuh Abu Jenar.

Donna frustasi tak segera mencapai tahapan ilmu tertinggi. Dia tak pernah bisa menyemburkan api. Dia tidak bisa membunuh apa pun hanya dengan mengatakan, ”Yang mati, matilah.“ Akan tetapi pada saat tak terduga, dia mendapatkan telepon dari Fang Fang, ”Teratai Hijau mengajakmu membunuh Abu Jenar secara langsung.“

Donna tergagap. ”Aku belum mencapai tahap tertinggi ajian Dasa Rasa.“

”Tak perlu ajian itu,“ kata Fang Fang, dalam nada jemawa.

”Apakah Teratai Hijau sudah punya cara membunuh yang lebih canggih dari sekadar memberondongkan senapan laras panjang ke tubuh Abu Jenar?“

”Dia mengajakmu membakar tanjung!“

”Melenyapkan semuanya?“ tanya Donna, setengah tak percaya.

”Ya. Melenyapkan semuanya.”

Melenyapkan semuanya? Aku tidak percaya bahwa ternyata Teratai Hijaulah yang justru akan mengakhiri segalanya dengan api.

Ya, dengan api. ***

 

Catatan:

1)      Miyamoto Mushasi adalah seorang samurai dan ronin yang sangat terkenal di Jepang. Dia diperkirakan hidup pada 1584-1645

2)      Donna sangat jijik melihat cara The Bride membunuh O-Ren-Ishii dengan pedang samurai Hattori Hanzo dalam Kill Bill, sehingga jika punya kesempatan membunuh Panglima Langit Abu Jenar, dengan teknik dan tempat yang istimewa  yang lain.

 

 

Triyanto Triwikromo, peraih Penghargaan Sastra 2009 Pusat Bahasa. Buku terbarunya, Surga Sungsang, dalam proses penerbitan.


Filed under: Triyanto Triwikromo Tagged: Jawa Pos

Gogor

$
0
0

Cerpen Yudhi Herwibowo (Suara Merdeka, 16 Februari 2014)

Gogor ilustrasi Farid

SSTTT… jangan ke sana! Kukatakan padamu: jangan ke sana! Aku tak mengucapkan kata-kata kosong. Aku serius! Sangat serius! Aku tahu, aku seharusnya tak perlu mencampuri urusanmu. Aku juga tak ingin seperti itu. Bukankah selama ini selalu begitu? Walau sejak lama kau sudah menjadi orang yang kupilih, dari ratusan manusia di desa ini.

Sudah belasan tahun, kau memilih tinggal di tanah ini, tanah Botodayakan. Aku sudah mengenal dirimu sejak lama. Bahkan sejak kau masih dalam perut hangat ibumu, aku sudah menandaimu. Awalnya tentu saja, aku tak pernah ingin perduli dengan kau, juga dengan semua manusia yang ada di sini. 

Tapi ternyata kau berbeda. Kau lahir dengan tanda lahir berwarna merah darah. Orang-orang akan menyangka itu sekadar tanda lahir biasa. Tapi aku tentu saja tidak. Tanda lahir itu membentuk sebuah tanda yang sebenarnya berarti sebuah angka. Enam. Ya, enam, aku tak akan salah melihat. Maka sejak itulah aku hadir padamu. Kuperhatikan dirimu, kutandai apa yang terjadi padamu. Hingga saat kau dewasa, aku tahu kau adalah laki-laki yang nyaris mati enam kali.

Itulah yang membuatku memutuskan memilihmu.

Aku ingat sejak kali pertama kau lahir, nyawamu sudah nyaris lenyap. Tali ari-ari ibumu melibat di lehermu. Tak ada yang tahu, sebetulnya kau nyaris mati saat itu. Tapi entah kenapa, kau selamat. Kau lahir dengan tangisan paling keras dibanding bayi lainnya.

Lalu, berselang beberapa tahun kemudian, saat kau tumbuh menjadi seorang bocah yang lari dan bermain ke sana-kemari, kulihat lagi kejadian-kejadian menimpamu. Kau pernah terjatuh dari sebuah pohon besar hingga beberapa tulangmu patah. Kau juga pernah tergelincir di sebuah batu besar yang membuat kepalamu berdarah. Dan kau juga pernah memakan ubi beracun yang banyak tumbuh di puncak-puncak bukit. Saat itu kau sampai tak sadarkan selama enam hari.

Aku benar-benar semakin memperhatikanmu. Aku sudah memilih terus bersamamu. Maka ketika kau meregang nyawa karena tergigit ular berbisa, hingga tubuhmu berubah menjadi biru, saat itulah aku ingat memutuskan untuk muncul di hadapanmu. Aku tahu kau melihatku. Tapi aku tak yakin kau menyadari itu. Kukira saat itu, kau tengah berhalusinasi tentang banyak hal, sehingga penampakanku tak akan berarti apa-apa bagimu.

Kejadian seperti ini berulang beberapa tahun kemudian. Seorang perampok kejam dari desa seberang pernah menggorok perutmu hingga ususmu nyaris keluar. Kau opname sampai beberapa hari, dan aku kembali menampakkan diriku padamu.

Aku mungkin melanggar takdirku. Namun kupikir kejadian-kejadian yang menimpamu membuat kau begitu istimewa di mataku. Aku merasa, kau seakan menantang penciptamu, sosok yang kau sembah tiap hari itu, bahwa cobaan yang diberikannya padamu, semua tak mempan untukmu!

Aku suka itu.

***

SSTTT… jangan ke sana!

Kukatakan padamu: jangan ke sana! Kau seharusnya tahu, kalau tempat itu adalah tempat yang mengerikan. Bukankah sejak dulu, kakekmu selalu berkata, ”Janganpernah kau ke sana. Itu tempat yang berbeda dari kita!”

Mungkin saat itu kau masih terlalu kanak-kanak untuk memahaminya. Tapi itulah yang kemudian dilakukan oleh anak-anak lainnya. Tidak pergi ke tempat itu.

Orang tua-orang tua memang melarang anak-anak dan cucu-cucu mereka ke tempat itu. Mereka mungkin sedikit berlebihan dengan mengarang kisah-kisah mengerikan tentang lelembut dan jin-jin yang bersemayam di sana. Tapi mereka tak sepenuhnya salah.

Kau tahu, kadang ada tempat-tempat yang memang sebaiknya tak pernah kaudatangi.

Aku setuju dengan itu. Karena aku pun mengalami nasib yang serupa. Aku tak seharusnya mendekat pada dirimu, dan manusia-manusia sejenismu. Tapi aku tak tahan hanya dengan berdiam diri di sini setiap waktu. Maka aku menuju tempat manusia-manusia bersemayam terdekat yang bisa kudatangi.

Lalu muncul di hadapanmu.

Sebenarnya itu adalah kemunculanku ketiga kalinya di hadapanmu, tapi itulah pertama kalinya kusadari kau menyadari kehadiranku. Kau melihatku dengan matamu yang berkilat. Kala itu Magrib menjelang. Kau terkesiap, seperti reaksi manusia-manusia lainnya. Hanya saja, bila yang lainnya akan menyusulkan dengan teriak kencang dan berlari terbirit-birit, kau tidak. Kau hanya terpaku. Aku tentu melihat ketakutanmu. Kakimu gemetar, dan napasmu seakan terhenti. Tapi sejenak kemudian, kau bisa menguasai dirimu. Kupikir kau akan membaca satu-dua ayat yang diajarkan ustazmu, tapi ternyata tidak.

Kau hanya menatapku seakan aku hanyalah sesuatu yang biasa.

Sejak itulah aku merasa aman hadir di dekatmu. Aku sama sekali tak mengganggumu, seperti halnya kau tak menggangguku. Aku bahkan sesekali memberi tahumu kejadian-kejadian yang tak kau lihat di sudut-sudut desa lainnya. Kadang aku bahkan memberitahu tentang kejadian yang belum terjadi sekali padamu.

Tapi kau seperti mengabaikanku. Walau aku tahu, kau sebenarnya mendengar suaraku. Aku kerap berbisik tepat di elingamu. Dan itu selalu membuatmu terkejut. Namun kau akan kembali cepat-cepat menguasai dirimu, dengan mengibaskanku seakan memberi tanda jangan menggangu.

Hahahaha….

Aku semakin menyukaimu. Kupikir pada hari yang akan datang, semuanya akan baik-baik saja. Namun ternyata aku salah, sejak kau mendalami shalatmu, aku semakin jengah. Kau semakin mengacuhkanku. Kau bahkan menganggap aku bagai angin yang bergerak segera pergi.

Aku sebenarnya ingin meninggalkanmu, laki-laki bebal yang berlagak sok suci. Tapi kala keinginan itu timbul, aku mendengar perbincanganmu dengan kawan-kawanmu.

“Aku melihatnya lari ke sana. Harimau itu menggigit sebuah pocongan!” seorang kawanmu berteriak histeris.

“Apa itu jenazah Haji Umar yang baru kita kuburkan kemarin?’ tanyamu tak percaya.

“Ya, betul. Kuburan Haji Umar memang telah terbuka. Jelaslah harimau itu yang mengeruknya!”

Kau tampak terkesiap. Namun aku malah menampilkan seringaiku.

Mungkin kau lupa, dulu kejadian sepertiitu pernah beberapa kali terjadi di tahun-tahun lalu. Kau harusnya ingat, setiap musim kemarau tiba, binatang-binatang selalu akan turun ke bawah untuk mencari makan.

Tapi orang-orang tua bebal dan bodoh di desamu berpikir lain. Merekalah yang dulu bahkan menamai harimau itu dengan sebutan Gogor, sambil berteriak mengerikan, “Itu adalah harimau jadi-jadian!”

***

SSTTT… jangan ke sana!

Kukatakan padamu: jangan ke sana! Kali ini, aku berteriak di telingamu. Tapi kau malah mengibaskankudengan kasar. Ini menjengkelkan. Kau benar-benar berlagak bak pahlawan kesiangan. Kau bahkan yang kini mengkoordinasikan kawan-kawanmu untuk memilih melawan harimau itu, dengan mempersiapkan golok, tombak dan pistol rakitan. Sungguh, kau memang bebal! Kau benar-benar tak tahu siapa yang tengah kau hadapi!

Dan kini, kau malah membawa kawan-kawanmu mengarah ke jalur itu?

Apa kau benar-benar lupa ucapan kakekmu dulu? Itu adalah jalur yang seharusnya tak kau datangi. Pohon-pohon berdaun lebat yang seakan tak memberi izin bagi sinar matahari menelisip, setapak yang semakin terjal dengan batu-batu setajam tombak, desis-desis ular berbisa yang seakan bersiul di atas kepalamu, apa kau masih berpikir itu tempat yang didatangi makhlukmu?

Bebal! Kau memang bebal! Kebebalanmu yang malah membuatmu mengawali semua langkah ke tempat itu.

Aku tahu ini adalah jawaban atas kemarahan dan ketakutan yang kau alami. Dulu saat kau kanak, dan desa ini masih dipenuhi pemuda-pemuda seumur ayahmu, tak ada satu pun dari mereka yang berani melakukan ini. Mereka hanya berjaga di area perkuburan dengan obor-obor menyala di segala penjuru. Lalu bila terdengar suara bergemeresak, seakan-akan itu adalah kehadiran Gogor, mereka akan segera melemparinya dengan batu.

Tapi itu tak pernah berhasil. Kukatakan padamu, harimau yang kalian panggil Gogor itu bukan harimau sembarangan. Seketat apa pun kalian berjaga, tetap saja ia bisa kembali membongkar dua-tiga makam, dan membawa jenazahnya pergi!

Itulah yang mungkin membuatmu memilih untuk melawan. Kau seakan tak mau mengulang lagi kisah seperti dulu.

“Kau akan menyesal,” desisku padamu.

Tapi kau tak berkata apa-apa. Kau malah menyelipkan pistol rakitan itu di pinggangmu.

***

SSTTT… jangan ke sana!

Kukatakan padamu: jangan ke sana! Sungguh, ini kalimat terakhirku padamu. Aku tahu kau sudah begitu bersemangat. Sebuah golok dan sepucuk pistol rakitan sudah membuatmu begitu percaya diri. Kau memimpin di depan dengan obor di tangan, sambil tak henti menebasi belukar yang menghalangi jalanmu.

Tapi kukatakan padamu, itu semua percuma. Jalanan di hutan ini bukanlah jalananbiasa. Ini adalah labirin paling mematikan yang pernah ada.

Maka sudah kutebak, hanya beberapa jam berselang, kau sudah terpisah dari kawan-kawanmu. Saat kau menyadarinya, kau tiba-tiba telah berdiri seorang diri di antara hamparan belukar yang tak henti seperti bergerak-gerak karena cahaya obormu.

Aku merasa ini bukan sesuatu yang baik, maka aku berteriak padamu, Kembalilah! Kembalilah selagi sempat! Kau hanya terdiam sesaat. Melirikku sekilas, tanpa ekspresi apa-apa.

“Aku yakin ini tempatnya,” kau berucap seperti membalas ucapanku.

“Jejaknya menghilang di sini, dan hanya ke arah iniyang paling mungkin.”

Maka setelah melihat ke belakang, dan menunggu sesaat, kau memutuskan melangkah sendiri ke depan.

“Ini waktuku menembak kepalanya,” desismu.

Aku hanya bisa mendesis panjang menyayangkan kepongahanmu. Tak kau sangka kau sebebal ini. Apa kau masih mengandalkan keberuntunganmu selama ini?

Dasar manusia bebal! Aku berteriak panjang.

Tapi kau sama sekali tak menggubrisku. Kau sudah menghilang di balik rerimbunan daun-daun yang menutup dirinya. Kali ini, aku tak lagi bisa mengikutimu. Sungguh,a ku tak bisa. Karena aku tahu apa yang terjadi padamu di situ. Ya, hanya butuh beberapa kali hitungan saja, sudah kudengar auman harimau yang dipanggil Gogor itu memecah keheningan, disusul teriakanmu yang panjang dan menyayat!

Aku memejamkan mata kuat-kuat, seiring sedikit penyesalan. Ya, seharusnya aku katakan padamu; kali yang ketujuh, kau tak akan lagi selamat. (*)

 

 

Yudhi Herwibowo, aktif di buletin sastra Pawon Solo. Novel terbarunya bertajuk Miracle Journey (Elex Media) dan Enigma (Grasindo).

 

 


Filed under: Yudhi Herwibowo Tagged: Suara Merdeka

Joseph dan Sam

$
0
0

Cerpen Rilda A.Oe. Taneko (Koran Tempo, 16 Februari 2014)

Joseph dan Sam ilustrasi Yudha AF

”TAHUKAH kamu di mana orangtua kami?“ anak itu bertanya.

Dan pertanyaan semacam itu, baginya, adalah pertanyaan paling menyedihkan yang bisa dilontarkan oleh seorang anak kecil.

***

Buzzer kembali berdering. Ini untuk kali kedua. Kali pertama, anak itu membangunkan ia dari lelap yang baru saja akan nyenyak. Ia kembali melempar selimut dan berusaha bangkit dari tempat tidur. Kepalanya masih berat dan demam belum mau pergi dari tubuhnya. Terhuyung-huyung ia berjalan ke lorong rumah dan mengangkat gagang buzzer.  

”Ya?“

”Bisakah kamu menolong untuk menghubungi orangtua kami?“

Anak itu lagi.

”Orangtuamu pasti datang sebentar lagi.“

Ia tidak mendengar jawaban dari anak itu. Ia menatap tombol bergambar kunci dan ragu untuk menekannya. Ia menggeleng dan menguatkan hati. ”Tidak,“ tekadnya, ”tidak untuk kali ini.“

Ia mendengar suara berbisik, ”Tanya saja, bolehkah kita masuk ke rumahnya.“ Ia tahu anak itu tidak sendiri. Ia bersama seorang adik perempuannya. Mereka baru saja pulang dari sekolah.

”Tunggu saja,“ ia kembali berkata.

”Oh. OK.“

Anak itu terdengar kecewa.

Ia meletakkan gagang buzzer kembali ke tempatnya, menempel pada dinding lorong rumah. Biasanya, ia selalu mengundang anak-anak itu masuk ke rumahnya. Biasanya, ia menawarkan segelas susu hangat dan setangkup roti selai stroberi. Tapi kali ini ia berusaha untuk tidak peduli. Ia merasa ia sudah terlalu banyak memedulikan orang lain dan menyampingkan perasaannya sendiri.

What about me? Aku toh sedang demam dan butuh istirahat,“ pikirnya. Ia kembali ke tempat tidurnya dan berusaha memejamkan mata. Tapi tetap saja, benaknya terus berpikir tentang anak-anak itu: ”Mereka di luar sendirian, kedinginankah mereka? Mungkin sekali mereka lelah dan lapar.” Kemudian ia berusaha membunuh perasaannya. ”Mengapa aku harus peduli, sementara orangtua anak-anak itu saja tidak?”

Umur anak-anak itu enam dan lima tahun. Keduanya bertubuh kurus, bermata biru, berambut pirang kecoklatan dan berkulit sangat pucat. Mereka tiga bersaudara. Adik perempuan mereka masih berumur tiga tahun dan belum sekolah. Mereka semua terlihat serupa. Hanya saja yang perempuan berambut ikal panjang, hampir menyentuh pinggang. Bersama orangtua mereka, anak-anak itu tinggal di gedung apartemen yang sama dengan dia.

Pertama pindah ke apartemen itu, enam bulan yang lalu, ia merasa senang mendapat tetangga yang baik. Ketika ia sedang sibuk mengatur barang-barangnya, tetangga itu mengetuk pintu rumahnya dan menyodorkan seloyang Victoria sponge cake. Saat itu ia mempersilakan mereka masuk ke rumahnya untuk berkenalan. Andy, Toni, Joseph, Sam dan Bobbie, demikian nama anak-anak mereka.

”Anak-anakmu sungguh elok,” ia memulai percakapan. Toni mengangguk dengan bersemangat dan mulai memuji-muji kebaikan anak-anaknya.

Toni bertubuh kurus dan pendek, berbeda dengan Andy yang berbadan besar dan berleher lebar. Andy berkepala botak, sementara ia tidak pernah tahu warna asli rambut Toni. Seingatnya, selama ia tinggal di apartemen ini, rambut Toni selau berganti-ganti warna: pirang, ginger, cokelat dan hitam. Mereka berdua selalu mengenakan pakaian olahraga bermerek Reebok, Nike atau Adidas. Mereka berdua senang tertawa-tawa kecil.

Satu hari sejak hari itu, ia mendapati lorong lantai apartemen mereka, yang tadinya bersih dan lapang, kini dipenuhi mainan anak-anak: tiga buah sepeda, tiga buah skuter, satu buah mobil-mobilan, satu buah motor plastik dan dua buah kereta dorong.

***

Ia kembali menggeliat. Matanya tak juga bisa terpejam. Ia tidak mendengar suara-suara dari luar. Ia membayangkan anak-anak itu sedang duduk kedinginan di tangga. Ia ingin bangkit dari tempat tidur dan mengundang anak-anak itu masuk ke rumahnya. Namun ia kembali mengurungkan niat. Tidak, dia tidak kesal dengan anak-anak itu. Tidak sama sekali. Tapi kepada orangtua mereka, ia sungguh merasa gemas. Bagaimana bisa mereka membiarkan anak-anak mereka sendirian, tanpa penjagaan dan pengawasan orang dewasa?

Ia berpikir, jika ia terus mengundang anak-anak itu bertandang ke rumahnya, bagaimana orangtua mereka bisa belajar dan kemudian mau berubah? Setidaknya dengan membiarkan anak-anak itu menunggu di luar, ia berharap mereka akan protes ke orangtua mereka dan kemudian orangtua mereka memikirkan hal tersebut lebih serius lagi: membagi waktu mereka berdua dengan lebih teliti atau membayar baby sitter untuk menjaga anak-anak mereka. Yang terjadi selama ini, Andy dan Toni seolah menganggap ia pasti selalu ada untuk anak-anak mereka. Seakan-akan sudah seharusnyalah ia menjaga anak-anak mereka ketika mereka sedang tidak ada. Terkadang, ia merasa dimanfaatkan secara licik oleh Toni dan Andy.

Seminggu sejak ia pindah ke apartemen ini, Toni mengetuk pintu rumahnya. Toni mengundangnya minum teh dan ia memenuhi undangan tersebut. Di sela basa-basi tentang cuaca, segelas teh dan sepiring Hobnob, Toni bertanya, ”Bisakah kamu menjaga Bobbie besok pagi? Tak lama, sekitar tiga jam saja. Dari jam 9 sampai 12.”

Ia tidak menyangka mendapat pertanyaan demikian di pertemuan pertama mereka, setelah perkenalan. Ia terdiam dan berpikir. Ia masih mengerjakan lukisan yang sama sejak dua bulan lalu, dan ia benar-benar ingin menyelesaikan lukisan itu secepatnya.

Toni, yang melihat ia lama berpikir, segera menambahkan, ”Bobbie anak yang baik. Dia tidak akan menganggumu. Nanti aku bawakan beberapa mainan untuk dia. Dia akan duduk tenang dan bermain sendirian.“

Setelah mendengar perkatan Toni yang seakan mendesaknya begitu, ia tahu ia tak bisa menolak. Akhirnya ia mengangguk.

Keesokan harinya, Bobbie, dengan piyamanya yang pudar, ditinggalkan Toni di rumahnya. Bobbie membawa sebuah papan gambar, boneka Barbie lengkap dengan mobil-mobilan berwarna merah muda dan sebuah kotak makanan. Semua bendak yang Bobbie bawa terlihat rusak dan kotor, termasuk kotak makanannya. Ia mempersilakan Bobbie duduk di sofa dan berkata jika Bobbie butuh sesuatu bilang saja, tak perlu sungkan. Ia pikir Bobbie akan duduk tenang bermain dengan mainannya. Tapi nyatanya tidak. Bobbie mengikuti ke mana pun ia melangkah sambil bertanya, ”Apa itu?“, ”Kamu sedang apa?“ dan ”Boleh saya ikut  bermain denganmu?“

Akhirnya ia menyerah. Ia meletakkan kembali cat dan kuas ke kotaknya. Sepertinya ia tidak akan bisa melukis selagi Bobbie ada di rumahnya. Ia menghabiskan waktu menemani Bobbie menggambar dan mewarnai. Tiga jam setengah berlalu ketika akhirnya Andy datang menjemput Bobbie.

Lima hari sejak itu, ia berpapasan dengan Toni di Market Square. Dan Toni, dengan riangnya, berkata, ”Terima kasih banyak sudah menjaga Bobbie. Rabu besok aku perlu bantuanmu lagi, boleh ya? Aku akan antar Bobbie jam 9 tepat ke rumahmu.“

Dan tanpa menunggu jawabannya, Toni melambaikan tangan dan berlalu dengan teman-temannya.

Sepertinya ia tertidur sekejap tadi. Jantungnya berdebar keras dan kepalanya berdenyut. Ia lupa menutup tirai dan di luar hari sudah pekat. Ia sempat kehilangan orientasinya akan waktu. Apakah ini malam hari atau telah pagi? Ia berbalik dan melirik jam di dinding. Pukul 4:30. Ternyata hari masih sore dan ia hanya sempat tertidur selama 45 menit. Ia melangkah ke dapur; menghidupkan ketel dan menuangkan sebungkus bubuk Lemsip ke mug. Untuk kedua kalinya, Rabu itu, Bobbie ditinggalkan Toni di rumahnya.

Untuk kedua kalinya, ia harus menemani Bobbie bermain selama hampir empat jam. Kali kedua ini, Bobbie terkencing di karpet ruang tamunya. Ia harus membersihkan karpet itu, membasuh Bobbie ke kamar mandi dan mencari pakaian yang bisa Bobbie kenakan (sebuah kaus yang menjadi daster bagi Bobbie).

Ketika akhirnya Toni datang menjemput Bobbie, ia bertanya. ”Sebenarnya apa yang kamu lakukan setiap Rabu pagi?“

Toni dengan wajah lelah, dan seperti mengeluh, berkata, ”Aku melakukan kerja sukarela di sebuah toko charity.“

Toni mengucapkan terima kasih dan menghilang di balik pintu rumahnya. Sementara ia masih tercenung di depan pintu. Kerja sukarela? Ia hampir tak percaya apa yang ia dengan. Ia tak habis pikir bahwa Toni bisa meninggalkan anaknya untuk sekadar melakukan kerja sukarela. Tidak masuk akal baginya. Dulu, ia harus berhenti dari pekerjaannya demi mengurus anak-anaknya. Dan sekarang Toni menyuruh ia menjaga Bobbie secara sukarela, tanpa bayaran, demi Toni bisa pergi menjadi relawan? Ia menggeleng-gelengkan kepala. Sungguh ia tidak habis pikir.

Beberapa hari dari itu, Toni meminta tolong untuk hal yang sama dan dia menolak. Ia beralasan sibuk mengerjakan lukisannya. Toni terlihat tidak senang akan penolakannya itu.

Ia memegang mug berisi Lemsip dengan kedua tangannya, mencoba menghangatkan tubuhnya yang menggigil. Beberapa kali, ia hirup Lemsip itu. Ia sudah terbiasa hidup sendiri. Sejak anak-anaknya dewasa dan pindah ke kota lain, lalu suaminya meninggal setahun yang lalu, ia harus melakukan semua hal sendiri. Termasuk belanja dan memasak di kala ia sedang sakit. Ia tidak pernah meminta bantuan orang lain. Ia tidak ingin merepotkan dan membebani orang lain dengan urusannya. Selama ini, ia merasa bangga telah mengurus dan membesarkan anak-anaknya seorang diri. Tidak pernah sekali pun ia meninggalkan anak-anaknya kepada orang lain, termasuk orangtuanya sendiri atau pun baby sitter. Tidak, ia mengingat-ingat, sekali pun tidak pernah ia mendahulukan kepentingannya dan keinginannya sendiri.

Sekarang suami dan anak-anaknya tidak lagi memerlukan pengasuhannya dan perawatannya, ia akhirnya bisa memperoleh kembali hal yang dulu dengan tulus ia serahkan kepada mereka: kebebasannya. Sekarang ia bisa melakukan apa pun yang ingin ia lakukan. Menjaga dan mengurus anak-anak kecil tidaklah termasuk dalam daftar hal-hal yang ingin ia lakukan. Namun, sejak ia tinggal di apartemen ini, rata-rata tiga kali seminggu ia harus membukakan pintu rumahnya untuk Joseph dan Sam. Beberapa kali, bahkan, Toni dan Andy tidak kembali hingga jam delapan malam. Menelepon mereka pun percuma: mereka tidak pernah mengangkat telepon darinya. Karena Joseph dan Sam kelaparan, ia harus memasak dan menyediakan makan malam untuk mereka. ia merasa harus melakukan semua itu. Ia merasa tidak tega. Tapi, tidak kali ini, kali ini, ia bertekad untuk tidak menaruh belas kasihan.

***

Ia menghabiskan Lemsip di mug-nya dengan sekali teguk, berharap sekejap lagi parasetamol akan bekerja dan menghilangkan nyeri di kepalanya. Ia baru saja berbaring di sofa dan berniat menonton televisi ketika ia mendengar ketukan di pintunya.

Toni berdiri di depan pintu. Bobbie berdiri tak jauh darinya. Ia melihat ingus hijau di antara hidung dan bibir Bobbie.

”Apa Joseph dan Sam ada di rumahmu?“

Ia menggeleng.

”Apa kamu tahu di mana mereka?“

Ketika anak-anak menanyakan di mana orangtua mereka, baginya itu sungguh menyedihkan. Dan sekarang, ketika seorang ibu menanyakan di mana anak-anaknya berada, ia kehabisan kata. Ia kembali menggeleng.

Toni mulai terlihat khawatir.

”Tolong kamu jaga Bobbie sebentar. Aku harus mencari Joseph dan Sam.“

Toni gegas menuju pintu keluar. Ia mendengar Toni memanggil-manggil nama kedua anaknya. Ia mengajak Bobbie masuk ke rumahnya, mengambilkan segelas susu dan membuatkan setangkup roti stroberi untuk Bobbie. Sebelum Bobbie mulai makan, ia mengambil tisu dan mengelap ingus yang sedari tadi menggantung di hidung Bobbie. Ia duduk di hadapan Bobbie yang dengan lahap mengunyah rotinya. ”Ke mana Joseph dan Sam pergi?“ pikirannya melayang. ”Apa mereka bosan menunggu di luar dan memutuskan main ke taman, tak jauh dari apartemen ini? Apa mereka pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli jajanan, demi menahan lapar?“

Dua jam berlalu dan ia tidak mendengar kabar dari Toni. Di luar apartemen, kapas-kapas putih salju melayang perlahan dalam pekat malam.

Pukul delapan malam, ia mendengar suara-suara pintu dibuka dan orang ramai bercakap-cakap. Ia membuka pintu rumahnya. Toni terlihat menangis tersedu-sedu sementara Andy memeluknya. Tiga orang polisi berdiri tak jauh dari mereka.

“Kalian tahu bahwa kalian tidak boleh meninggalkan anak-anak sendirian?” tanya seorang polisi.

”Tapi biasanya mereka menunggu kami pulang. Tidak pergi ke mana-mana,” Andy membela diri.

”Biasanya mereka pergi ke rumah tetangga kami,” Toni menimpali.

Saat itu Toni menoleh ke arahnya dan menyadari keberadaannya.

”Apa Joseph dan Sam memanggilmu tadi?“

Ia mengangguk.

Seperti menemukan harapan baru, mereka segera mendekatinya.

”Lalu apa yang terjadi?“ tanya seorang polisi.

”Aku menyuruh mereka menunggu orangtua mereka.“

”Kamu tidak membukakan pintu?“

Ia menggeleng.

”Mengapa?“

”Aku sedang demam,“ jawabnya.

”Jam berapa itu?“

”Sekitar setengah empat.“

”Lalu apa yang kamu ketahui setelah itu?“

Ia mengangkat bahu, ”Aku tertidur.“

Toni meraung, ”Setidaknya kamu bisa membukakan pintu utama dan membiarkan mereka menunggu di lorong!“

Ia terdiam. Mereka semua memandangnya lekat. Seakan menyalahkan ia.

”Bobbie! Bobbie! Kita harus pergi sekarang!” Toni berteriak, gegas mengambil Bobbie yang muncul dari dalam rumah.

Ia berdiri canggung di depan pintu. Hingga akhirnya tiga polisi itu pergi keluar apartemen bersama Andy dan Toni membawa Bobbie masuk ke rumah mereka, membanting pintu sekuat ia bisa; ia menutup pintunya pelan-pelan.

***

Lima hari berlalu sejak hari itu. Beberapa kali polisi dan pekerja sosial datang ke rumahnya atau menghubunginya lewat telepon. Toni dan Andy tidak pernah lagi menegurnya ketika mereka berpapasan di lorong apartemen. Di tiang-tiang lampu jalan dan dinding-dinding gedung di sekitar kota, selebaran dengan foto Joseph dan Sam ditempel. Di koran-koran dan televisi, berita tentang hilangnya mereka berdua menjadi pokok berita.

Ia sering terbangun dari tidurnya di tengah malam dan menemui dirinya menangis dan berkeringat. Terkadang, ia berdiri berjam-jam di depan buzzer, mengangkat gagangnya, dan menekan tombol kunci, berkali-kali. Ia pun kerap berdiri di depan jendela, menunggu Joseph dan Sam pulang. Namun yang ia lihat hanyalah pekat malam, kapas-kapas salju yang terbang dipermainkan angin dan pantulan wajahnya di kaca jendela; seorang perempuan tua, bertubuh kecil dan kurus, berambut perak, berwajah keriput dan terlihat nelangsa. Ia acap kali mereka mendengar dering buzzer, bergegas berlari untuk mengangkat gagangnya, tapi hanya desir angin yang menyapa. Tidak lagi ia dengar suara Joseph dan Sam.

It’s too late,” gumamnya. Dan bukankah “terlambat” adalah kata yang paling menyedihkan yang bisa diucapkan manusia?

 

 

Lancaster, Desember 2013.

 

Rilda A.Oe. Taneko berasal dari Lampung dan sejak tahun 2005 ia menetap di Inggris. Kumpulan cerita pendeknya, Kereta Pagi Menuju Den Haag (2010).


Filed under: Rilda A.Oe. Taneko Tagged: Koran Tempo

Tubuh Sukro Menggeletar

$
0
0

Cerpen S Prasetyo Utomo (Media Indonesia, 16 Februari 2014)

Tubuh Sukro Menggeletar ilustrasi Pata Areadi

GUNDUKAN makam Nyai Laras terselubung remang senja. Mandor Karso, yang tinggal di surau dekat makam Nyai Laras, melihat kedatangan seorang lelaki setengah baya berkaki kanan buntung. Langkah kakinya berdetak-detak di jalan setapak. Kruk yang menyangga kaki kanannya tiap ayun menakik tanah basah.

Lelaki berkaki kanan buntung itu datang diam-diam berziarah. Tubuhnya serupa bayangan. Duduk di batu menghadap makam Nyai Laras, lelaki itu meletakkan kruknya. Menunduk. Larut dalam doa.

Berdiri di surau, Mandor Karso melihat lelaki setengah baya itu berdiam diri setelah berdoa. Mandor Karso berhasrat menemuinya. Ingin mengenal siapa sebenarnya dia. Mandor Karso bertanya pada beberapa orang di sekitar surau, siapa lelaki berkaki kanan buntung yang senantiasa berziarah ke makam Nyai Laras? Satu-dua orang berusia tua masih mengingatnya sebagai keturunan Nyai Laras, bernama Sukro. 

Semasa muda, lelaki itu bertubuh sempurna. Ia menjual bukit peninggalan Nyai Laras yang kini diratakan dengan jalan raya, didirikan mal dan pertokoan. Satu dua orang berkisah; uang penjualan bukit itu dihambur-hamburkan Sukro di meja perjudian dan digunakan untuk menikah lagi.

Ia ayah kandung Aji, yang kini menjadi santri Kiai Sodik. Telah lama Sukro dibebaskan dari penjara di pulau kecil, semenjak tertangkap merampok dan membunuh. Kaki kanannya buntung saat melarikan diri dari pulau pengasingan itu, berenang di pantai Segara Anakan yang berhutan bakau. Ia diburu buaya. Kaki kanannya digigit. Terputus.

Kini ia mengenakan kruk ke mana pun pergi. Kruk yang terbuat dari kayu bakau. Ada bekas kruk menakik tanah basah makam Nyai Laras.

“Apa yang kaulakukan di sini?“ sapa Mandor Karso, mendekati makam.

“Ini makam leluhurku. Aku ahli waris Nyai Laras. Tinggalkan aku sendiri di makam ini. Kau tak perlu merisaukanku.“

Takut, Mandor Karso surut. Meninggalkan makam. Diurungkannya segala niat berbincang-bincang dengan lelaki berkaki kanan buntung itu.

Sukro tak ingin berdebat dengan Mandor Karso yang sangat setia menjaga surau dan makam Nyai Laras. Dalam hati Sukro masih ingin menjelaskan silsilah dirinya.

Nyai Laras memiliki seorang putri, Nyai Dewi. Nyai Dewi memiliki seorang putri, Nyai Kinanti. Nyai Kinanti memiliki seorang putri, Ibu Sari. Dari rahim Ibu Sari inilah lahir seorang anak lelaki yang kini merantau jauh ke Ibu Kota, dan adik lelakinya bernama Sukro. Anak lelaki pertama menerima warisan berupa rumah, surau, dan ladang luas. Sukro menerima warisan bukit gersang yang di puncaknya dimakamkan Nyai Laras. Sukro menjual bukit gersang itu dengan harga sangat murah. Ketika bukit diratakan dengan jalan raya, didirikan mal dan pertokoan, makam Nyai Laras yang semula berada di puncak bukit dipindahkan ke pekarangan rumah yang sudah lama dikosongkan.

Menjelang senja ini suasana makam Nyai Laras menjadi lain. Aji, anak kandung Sukro dari istri kedua, tak bisa menahan diri untuk berziarah ke makam Nyai Laras. Telah beberapa tahun ini Aji tinggal di pesantren Kiai Sodik. Makam Nyai Laras tak begitu jauh dari pesantren Kiai Sodik. Begitu Aji mencapai makam, seorang lelaki setengah baya dengan kaki kanan buntung, tengah berdoa. Lelaki setengah baya itu tergeragap.

Getaran perasaan Sukro sebagai ayah, cepat sekali menentukan sikap: ini anak lelakiku. Telah bertahun-tahun ia berpisah dengan Aji, menitipkannya pada keluarga Pakde, kakak lelakinya. Tapi Aji meninggalkan rumah Pakde, memilih hidup di pesantren Kiai Sodik.

“Aji? Kau sudah sebesar ini?“ seru Sukro, tak menduga akan bertemu dengan anak lelakinya.

Tak dapat menahan kangen, Sukro memeluk Aji. Memeluk rapat. Menepuk-nepuk punggung anak lelakinya. Dia seperti tak percaya, mereka bertemu di makam Nyai Laras. Kini Aji tumbuh menjadi lelaki dewasa. Tegap. Gagah.

Merasa canggung, Aji tak membalas pelukan Sukro. Ia tak menduga bakal ketemu ayahnya dalam ziarah di makam Nyai Laras. Dia merasa asing dengan lelaki yang mengatakan diri bernama Ayah. Hanya sewaktu berumur lima tahun, ia pernah bertemu ayahnya, yang menjenguk di rumah Pakde.

Memang bila memandangi wajah ayahnya, Aji merasa memandangi wajahnya sendiri. Tapi bila melihat sepasang matanya yang garang, Aji seperti melihat sesuatu yang aneh. Sesuatu yang bukan dirinya.

Ketika pelukan Sukro mengendur, Aji masih termangu memandangi lelaki berkaki kanan buntung, dengan kruk di bawah ketiak.

“Bagaimana Ayah bisa buntung begini?“

Sukro terus-menerus menatap Aji, anak lelakinya, yang telah dia telantarkan. “Aku melarikan diri dari pulau pengasingan. Ketika aku mencebur ke Segara Anakan, berenang ke laut, seekor buaya menyambar kakiku. Beruntung aku ditolong seorang nelayan, hingga sembuh dan dapat melarikan diri. Aku mencarimu ke mana-mana, hingga ke pesantren Kiai Sodik. Tidak bertemu. Kau sedang pergi. Aku diterima Kiai Sodik. Di pesantren itu aku ditangkap, dan dikembalikan ke pulau pengasingan, sampai masa hukumanku habis.“

“Ayah tinggal di mana?“

“Sudahlah. Jangan pikirkan Ayah.“

“Ayah tak ingin tinggal bersamaku?“

Bimbang, Sukro menggeleng. “Tidak, Nak. Jalan hidup kita berbeda. Aku memiliki jalan hidup sendiri, yang berbeda denganmu. Biar aku hidup sendiri. Aku sudah aku hidup sendiri. Aku sudah sangat bangga ketemu kau di sini. Aku tidak pernah menduga, akan memiliki seorang anak yang menjadi santri.“

“Lalu, pekerjaan Ayah sekarang? Masih merampok?“

“Tidak lagi, Nak. Ayah jadi tukang parkir.“

Dengan kruk di bawah ketiak tangan kanan itu, Sukro bergerak lamban meninggalkan makam Nyai Laras, menjelang magrib. Ia menjauh dari keremangan senja.

***

Di makam Nyai Laras, senja meredup. Tanpa diduga orang-orang berwajah garang menyergap Sukro. Orang-orang kekar itu sangat sengit menghampiri si lelaki buntung. Wajah mereka dengki. Lima orang lelaki bertubuh kekar, dengan pandangan beringas, mengepung Sukro, rahang-rahang mereka bergemeretak.

“Serahkan wilayah parkir yang kau kuasai,“ ancam lelaki beringas dengan luka bacok di pipi kiri, “atau uangnya kau setorkan padaku?“

“Kau kira aku seorang pecundang? Aku tidak akan tunduk pada kalian!“

“Cuah! Tak ada jalan lain bagimu!“

“Kalian tak bisa memaksaku!“ seru Sukro, tenang menghadapi lima lelaki beringas. “Aku tidak pernah takut pada kalian.“

Serentak, seketika, kelima lelaki kekar itu menghajar Sukro. Lelaki berkaki kanan buntung itu terjatuh, dengan dagu dan mulut yang pecah, melelehkan darah, terkena hantaman.

Tubuh Sukro diinjak-injak. Kruk dibuang jauh. Lelaki buntung itu tergagap-gagap. Mandor Karso, yang menyaksikan pengeroyokan lelaki buntung itu, buru-buru menghampiri tubuh yang terkulai. Ia mengambilkan kruk, membangunkan lelaki buntung itu. Sukro tidak mengerang sedikit pun. Ia berjalan, tertatih-tatih, dan lambat-lambat meninggalkan makam Nyai Laras.

***

Menjelang subuh rekah, penangkapan Sukro berlangsung di rumah kontrakannya. Lelaki-lelaki bersenapan, berambut cepak, mengepung rumah kontrakan itu saat pagi berkabut, mendobrak pintu. Tak terdengar suara tembakan. Hanya teriakan-teriakan. Bentakan lelaki-lelaki kekar berambut pendek, seperti geledek. Lelaki berkaki kanan buntung itu dibawa dengan mobil bak terbuka. Tak tampak kesedihan pada wajah Sukro, ketika duduk di bangku panjang mobil bak terbuka itu. Tangannya diborgol. Duduk dihimpit lelaki-lelaki bersenapan. Tenang. Dingin. Tak peduli.

Aji yang mengunjungi rumah kontrakan Sukro, mendapati pintu depan terpental rusak, didobrak paksa. Tergeletak di ruang tamu itu sebuah kruk yang biasa digunakan Sukro ke mana pun pergi. Aji meneruskan perjalanan ke kantor polisi. Berada di ruang tunggu, dia menanti bersua ayahnya.

Wajah Sukro tenang. Tak tampak kesedihan terpancar di wajah itu.

“Kamu jangan bersedih dengan keadaan ini,“ kata Sukro.

“Ayah tak melakukan perampokan itu, kan?“ Tapi Sukro terdiam. Memandangi Aji, seperti seseorang yang menjajaki telaga sebelum ia mencebur ke dalamnya. Sukro menemukan ketenangan telaga pada sepasang mata anak lelakinya: bening, menenggelamkan siapa pun yang merindukan kesegaran.

Sukro bimbang. Menimbang. Dan ia memutuskan untuk berterus terang, “Aku memang melakukan perampokan itu, Aji.“

Aji memandangi wajah ayahnya dengan tatapan yang semula terkejut. Ia mencari ketenangan dalam dirinya sendiri.

“Suatu saat, mungkin Ayah akan bersamaku,“ kata Aji. Mohon diri. Mencium tangan lelaki setengah baya berkaki kanan buntung itu. Meninggalkan kantor polisi. Dia harus kembali ke pesantren.

Punggung tangan Sukro terasa dingin, basah, tercecer luruh tetesan dari sudut mata anak lelakinya.Tubuh Sukro menggeletar, mula-mula lembut. Lama-kelamaan mengguncang seluruh nadinya. Ia tak pernah merasakan guncangan sederas ini.  (*)

S Prasetyo Utomo, sastrawan kelahiran 1961. Bekerja sebagai dosen IKIP PGRI Semarang. Pada 2007, ia menerima Anugerah Kebudayaan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen Cermin Jiwa. Buku fiksinya Bidadari Meniti Pelangi (2005).


Filed under: S. Prasetyo Utomo Tagged: Media Indonesia

Darah Pembasuh Luka

$
0
0

Cerpen Made Adnyana Ole (Kompas, 23 Februari 2014)

Ilustrasi Cerpen karya Bambang AW

LUKA di lutut kiri Tantri tumbuh lagi. Mula-mula hanya bintik kecil dengan bunga nanah yang anggun. Tapi kemudian membesar. Bintik itu mengembang seperti gunung kecil dengan kawah nanah yang siap meledak jadi borok.

Tantri ngeri. Karena luka sekecil apa pun yang muncul pada lutut kiri adalah soal amat besar bagi hari-hari yang akan dilewatinya. Bukan hanya hebatnya sakit yang akan dirasakannya, namun lebih karena luka pada lutut kiri akan menyeret ingatannya kepada sebuah gumpalan waktu yang teramat kelam. Waktu, yang jika mampir dalam kotak ingatan, akan memberi Tantri sebongkah rasa sakit melebihi rasa sakit dari luka paling parah. 

Gumpalan waktu yang kelam itu memang memberi tanda-tanda akan muncul kembali. Saat luka di lutut kiri Tantri benar-benar jadi borok, Bontoan tiba-tiba pamit dari rumah sembari menjinjing sebilah pedang. Hulu pedang yang dibalut sarung dari kulit sapi itu sempat diacungkan ke arah langit sebelum diselipkan di bawah jok mobil merah jenis jip tanpa atap. Mobil itu pinjaman dari seorang tokoh partai dan Bontoan boleh memiliki seutuhnya jika tokoh itu berhasil menjadi anggota Dewan pada pemilu tahun ini.

”Ke mana, Kak?” tanya Tantri.

”Ke Jalan Pahlawan. Ada spanduk dan gambar partai dirusak massa,” sahut Bontoan dingin. Lelaki itu melompat ke jok depan, menginjak gas dan mobil melesat di jalan menuju pusat kota.

Belakangan ini lelaki yang sudah tiga puluh tahun hidup bersamanya itu memang seperti preman kampung yang selalu siap membalas dendam, entah kepada siapa. Gelagat itu muncul sejak ia dipecat sebagai satpam di sebuah tempat hiburan malam di Kuta karena berkelahi dengan tamu. Usai dipecat, ia mengancam bekas bosnya dengan todongan pedang, tapi justru kemudian ia sendiri bonyok dikeroyok sepuluh orang. Belakangan diketahui pengeroyok itu anggota ormas yang cukup ditakuti di Bali.

Bontoan masuk rumah sakit. Keluar dari rumah sakit ia masuk penjara. Pengadilan memutuskan ia bersalah membawa senjata tajam dan melakukan pengancaman. Sedangkan para pengeroyoknya bebas karena dianggap membela diri. Keluar dari penjara, Bontoan dibujuk teman-temannya masuk ormas di Denpasar. Bontoan langsung mau. Ia mau karena ormas itu musuh dari ormas yang dulu mengeroyoknya. Tantri tahu ormas adalah organisasi kemasyarakatan yang dibentuk secara legal bahkan pengurusnya kerap dilantik Gubernur atau Bupati. Namun baginya ormas tak lebih dari himpunan massa yang kadar kekuatannya diukur dari seberapa banyak jumlah anggotanya dan tingkat kemasyurannya dihitung dari seberapa sering mereka berkelahi.

Sejak masuk ormas, Bontoan kerap keluar rumah tanpa kenal waktu. Kadang pamit kadang pergi begitu saja. Apalagi menjelang pemilu. Bontoan selalu keluar rumah membawa senjata tajam. Alasannya macam-macam tapi lebih sering berhubungan dengan partai. Ini karena ormas Bontoan memang disewa oleh sebuah partai politik dengan tugas mengawal tokoh-tokoh partai, mengamankan kegiatan partai sekaligus menjaga atribut-atributnya. Lelaki itu bersemangat dan selalu terkesan terburu-buru, karena ormas yang dulu pernah mengeroyoknya kini disewa oleh partai politik lain, sebuah partai yang menjadi saingan dari partai yang dibela Bontoan.

Kenyataan itulah yang membuat Tantri makin ngeri ketika Bontoan pergi membawa pedang untuk membela spanduk partai yang dirusak massa. Terutama karena situasi itu terjadi bersamaan dengan borok yang terus mengembang di lutut kirinya. Partai politik, massa, pedang dan luka di lutut kiri adalah hal-hal yang berhubungan dengan satu titik waktu paling kelam dalam riwayat hidup Tantri.

Luka di lutut kiri Tantri pernah muncul sekira tahun 1965. Saat itu ia baru kelas empat SD. Seperti saat ini, luka itu juga muncul dan tumbuh begitu saja. Tanpa diawali dengan goresan benda runcing semisal ranting kayu kering atau sisi pipih rumput ilalang. Tanpa dimulai dengan sayatan benda tajam semacam pisau dapur atau hulu kapak besi. Luka itu muncul begitu saja. Ibunya selalu rajin mengolesi luka Tantri dengan ramuan rempah dicampur tumbukan daun-daun semak. Bahkan Tantri sempat dibawa ke rumah mantri kesehatan di desa tetangga. Ia disuntik dan diberi salep. Tapi luka di lutut kiri Tantri tak kunjung sembuh.

Ketika luka itu jadi borok, Tantri seakan mengawali derita panjang di tengah kubang kutuk yang tak terelakkan. Awalnya ia masih bisa memaksa diri berjalan kaki ke sekolah, menempuh jarak tiga kilometer, dengan menyeberangi dua sungai berbatu, mendaki tiga bukit kecil dan menuruni tiga jurang di tengah-tengah hutan bambu. Meski ia harus menyeret paksa kaki kirinya, namun ia bisa melewati jalan-jalan sulit dengan hati gembira. Itu karena teman-teman sekolahnya selalu siap membantu sekaligus menghiburnya dengan lagu-lagu dolanan sepanjang perjalanan.

Seminggu berlalu, kaki kiri Tantri tak bisa digerakkan. Namun ia tetap ke sekolah. Ganggas–ayah Tantri–harus menggendongnya setiap pagi ke sekolah dan setiap siang saat pulang ke rumah. Ganggas seorang ayah yang kuat secara fisik dan mental sekaligus penyayang keluarga. Kekuatan tubuhnya membuat banyak orang takut, apalagi ia dikenal sebagai pelatih di sebuah perguruan bela diri milik Uwak Kajeng, seorang tokoh partai politik di wilayah kecamatan. Tantri terharu. Ayahnya yang ditakuti kini justru mengabdi sepenuh hari pada dirinya. Saat pagi, Tantri digendong ayahnya hingga masuk kelas. Ayahnya terkadang menunggu hingga Tantri duduk di bangku dengan nyaman. Begitu pelajaran dimulai, ayahnya pulang karena harus bekerja di sawah. Saat siang, ayahnya kembali ke sekolah, menjemputnya dari atas bangku lalu menggendongnya pulang. Namun lama-lama Tantri kasihan dan akhirnya minta berhenti sekolah.

”Kenapa berhenti? Ayah masih kuat menggendongmu!” kata Ganggas ketika Tantri mengutarakan keinginannya.

”Tantri malu. Tantri ingin sembuh!” kata Tantri. Ia memegangi kaki kirinya sembari mendongakkan kepala memandang ayahnya. Mata bocah itu berkaca-kaca.

Ganggas terhenyak. Keinginan Tantri membuatnya sadar bahwa selama ini ia lebih sering menyelesaikan persoalan dengan kekuatan tubuh, dan jarang menggunakan pikiran dan hati. Ia sadar betapa malu Tantri digendong setiap hari, meski sebagai ayah ia bangga bisa pamer kasih sayang kepada anak sekaligus pamer kekuatan tubuh di hadapan warga desa.

Ganggas kemudian menemui Uwak Kajeng, tokoh partai yang juga pemilik perguruan bela diri tempat ia menjadi pelatih. Selain memberi uang untuk biaya sewa mobil dan berobat, Uwak Kajeng juga memberi petunjuk untuk mengantar Tantri ke rumah dokter ahli penyakit kulit di Mengwi. Ganggas mengantar Tantri ke dokter itu. Tapi berkali-kali diobati, borok di lutut kiri Tantri tak juga sembuh. Ganggas datang lagi ke rumah Uwak Kajeng. Dengan mudah Ganggas mendapat uang dan ia disarankan mengantar Tantri ke rumah dukun di kaki Gunung Batukaru. Ganggas menurut. Di rumah dukun itu Ganggas mendapatkan penjelasan yang susah diterima nalar.

”Ini bukan luka biasa. Luka ini dikirim dengan kekuatan gaib oleh seseorang yang iri pada keluarga Bapak. Obatnya susah. Luka ini bisa sembuh jika dibasuh dengan darah manusia!” papar si dukun setelah memeriksa luka Tantri dengan cara aneh.

”Darah manusia?” Ganggas kaget. Tantri hanya mendengar.

”Ya. Itu pun darah dari manusia yang terluka atau mati tidak wajar!” tegas si dukun.

Dukun gila! Ganggas menyumpah dalam hati. Tanpa ingin mendengar penjelasan lebih lengkap lagi, Ganggas langsung mengajak Tantri pulang. Di rumah, Tantri melewati hari-hari dengan terbaring saja di kamar. Ibunya tetap rajin mengobati luka Tantri dengan ramuan rempah-rempah dan tumbukan daun semak. Namun borok itu tetap ada.

Ganggas putus asa. Ia jarang pulang dan lebih banyak mengurus perguruan bela diri. Saat ia sibuk merekrut murid dari berbagai desa, terjadi konflik politik. Ganggas diburu massa. Sebenarnya ia tak tahu politik. Namun sebagai pelatih bela diri di perguruan milik Uwak Kajeng, ia dianggap antek-antek Uwak Kajeng yang partainya tiba-tiba dicap pengkhianat bangsa. Uwak Kajeng sendiri menyerah lalu dijemput massa dan digiring entah ke mana. Sedangkan Ganggas menolak untuk menyerah. Ketika massa menyerbu perguruan, Ganggas sudah siap dengan pedang di tangan. Seorang diri ia hadapi massa yang jumlahnya lebih dari seratus orang.

Tantri yang terbaring di kamar kemudian mendengar kabar ayahnya terbunuh. Mayatnya diseret massa di jalan. Kepalanya pecah ditumbuk benda tumpul. Darah mengucur deras dan berceceran di jalan. Mendengar kabar itu, Tantri tersedu. Ia ingat kata-kata si dukun. Dan ia membayangkan darah ayahnya. Ketika mayat Ganggas digotong warga desa ke rumahnya, darah segar masih mengalir dari lubang luka di kepala. Tantri sempat bimbang. Namun dengan keluguan seorang bocah ia meraup darah itu dengan tangan lalu dibasuhkannya ke borok di lutut kiri.

”Maaf, Ayah! Maaf, Ayah!” kata Tantri berkali-kali sembari terus menangis. Warga desa, termasuk ibu Tantri, tak mengerti, dan hanya Tantri yang paham tentang apa yang sedang dilakukannya. Sehari setelah mayat Ganggas dikubur, borok di lutut kiri Tantri langsung kering dan tiga hari kemudian benar-benar sembuh. Namun Tantri merasakan sesak seakan dipukul rasa bersalah yang tak kunjung enyah hingga kini.

Kini, menjelang pemilu, borok yang muncul di lutut kiri Tantri menyeret kembali ingatan tentang ayahnya, Uwak Kajeng, dukun di kaki Gunung Batukaru, partai politik, massa, pedang dan tentu saja darah. Ingat semua itu, ia makin ngeri. Dan kengerian itu mencapai puncak ketika seseorang mengabarkan bahwa Bontoan terbunuh ketika sedang mengamankan atribut partai. Ia dikeroyok massa. Mayatnya diseret di jalan. Darah mengucur deras dari lubang luka di kepala.

Tantri berusaha menahan tangis. Ia memandang borok di lutut kirinya dengan tajam. Dan ia membayangkan darah suaminya. (*)

 

 


Filed under: Made Adnyana Ole Tagged: Kompas

Orang Alim dari Klampis

$
0
0

Cerpen Dadang Ari Murtono (Republika, 23 Februari 2014)

Orang Alim dari Klampis ilustrasi Rendra Purnama

TIDAK ada alasan yang mendasari kepulangan terburu-buru Sakti kali ini selain untuk menemui Gus Malik, orang alim dari Klampis, dan menyampaikan pesan yang dititipkan sesosok makhluk bersayap pada malam Jumat kemarin, ini juga sesuai ia berwirid sepanjang Kamis. ”Gus, makhluk itu mengaku bernama Jibril. Dan ia mengatakan bahwa Gus sebenar-benarnya ahli neraka!” Sakti bercerita dengan mimik ketakutan. Tapi, ketakutan Sakti tak ada seujung kuku kegetiran Gus Malik. Wajah orang alim itu dengan segera berubah. Melebihi pucat pasi seonggok mayat. Badannya gemetar dan apa yang kemudian keluar dari mulutnya adalah kalimat samar yang terbata-bata. 

Orang-orang mengenal Sakti sebagai santri yang tak pernah berdusta. Segala tindak-tanduk dan ucapannya adalah kebenaran. Bertahun-tahun Sakti nyantri di sebuah pesantren di daerah Jombang, Jawa Timur. Sekali pun jarak antara Klampis yang berada dalam wilayah Surabaya dengan Jombang hanya sekitar 100 kilometer, Sakti hanya pulang setahun sekali ketika Idul Fitri. ”Aku belajar sungguh-sungguh di sana dan tak ingin ada waktu yang terbuang untuk sesuatu yang kurang penting,“ katanya bila ada yang bertanya kenapa ia pulang sejarang itu.

”Dan, orang tuaku bahagia dengan keputusanku. Mereka ingin aku pintar menguasai ilmu agama dan kelak bisa jadi orang alim, seperti Gus Malik,“ lanjutnya. Kali ini adalah untuk pertama kalinya Sakti pulang tidak pada hari raya Idul Fitri. Dan kali ini pula, untuk pertama kalinya ia ingin menjadi orang alim yang tidak seperti Gus Malik.

Kabar yang dibawa Sakti dengan cepat menyebar dan membikin gempar seantero Klampis. Publik semakin bertanya-tanya, bagaimana mungkin orang sealim Gus malik bisa menjadi ahli neraka. Padahal, sosok paruh baya itu sudah dua kali naik haji, tiga kali umrah, dan tak pernah melewatkan sebagai imam shalat lima waktu di masjid serta kerap khutbah Jumat, bahkan tampak bersih dari maksiat. Rumor itu pun ramai terdengar di warung kopi, sekolah, masjid, dan berbagai tempat.

Sebagian orang pun bergumam, ”Bila Gus Malik saja masuk neraka, bagaimana kita yang membaca Alquran saja masih patah-patah?“ ”Jangan-jangan Sakti berbohong,“ kata sekelompok warga. Dugaan buruk mengenai Sakti mulai terbentuk. ”Tapi kita tahu, sejak kecil Sakti tidak pernah mengetahui ada kebohongan darinya,“ beberapa orang yang membela Sakti mulai membikin kubu. Dan, pendukung Sakti mulai mengembangkan prasangka, ”Jangan-jangan Gus Malik menyembunyikan sesuatu yang tidak baik.“

Sesungguhnya, Gus Malik selama ini tidak pernah menyembunyikan sesuatu yang tidak baik seperti dugaan kubu Sakti. Dan, Sakti tidak berbohong seperti prasangka pendukung Gus Malik. Sesosok makhluk bersayap yang sekujur tubuhnya bercahaya memang mendatangi Sakti malam itu. awalnya, Sakti mengira ia tengah bermimpi. Tapi faktanya, ia masih dalam kondisi terjaga dan merasakan cubitan di tangannya.

Makhluk itu benar-benar nyata dan meminta Sakti memperingatkan Gus Malik. ”Sebanyak dan sekhusyuk apa pun ia beribadah, pada akhirnya ia tetap akan menghuni neraka,“ kata makhluk yang mengaku jibril tersebut. Sakti, setelah berhasil menenangkan keterkejutannya bertanya, ”Bagaimana bisa?“ Alih-alih menjawab pertanyaan Sakti, makhluk itu malah mengepakkan sayap, dan perlahan, tubuh yang mulai terangkat itu kian samar, menembus atap rumah, lalu sama sekali lenyap dari pandangan Sakti. Sakti menggigil. Suhu ruangan tiba-tiba merosot tajam. Semalaman ia tidak bisa tidur. Dan, keesokan harinya, seusai shalat Subuh, ia bergegas mencegat bis jurusan Surabaya menuju kediaman Gus Malik.

Banyak perubahan pada diri Gus Malik setelah Sakti menyampaikan kabar itu. Sakti kembali ke pesantren keesokan harinya dan ia tidak mengetahui perubahan-perubahan pada diri Gus Malik tersebut. Selama di pesantren, entah kenapa tidak ada yang mengirimkan kabar kepadanya perihal Gus Malik. Dan, baru pada Idul Fitri tahun itu, ia kembali pulang dan mendapati bukan Gus Malik yang menjadi khatib sekaligus imam shalat Id seperti tahun-tahun sebelumnya.

Dari orang tuanya, Sakti mendapat cerita bahwa Gus Malik sudah tidak pernah lagi pergi ke masjid, tidak pernah mengaji, tidak pernah ikut sima’an atau tadarus Alquran, dan pada Ramadhan tahun itu itu, tidak sehari pun berpuasa. ”Percuma, toh aku akan tetap masuk neraka,“ jawab Gus Malik bila ada yang bertanya alasan perubahannya. Dan, yang lebih mengejutkan Sakti adalah Gus Malik telah menjadi pemabuk, ahli judi, dan kerap berkunjung ke lokalisasi Doli. Istri dan anak-anak Gus Malik yang malu dengan perubahan Gus Malik pulang ke rumah mertua Gus Malik di daerah Mojokerto.

”Banyak orang yang menyalahkanmu atas perubahan sikap Gus Malik,“ ujar orang tua Sakti. ”Tapi, aku mengatakan hal yang sebenarnya. Dan, karena aku menyayangi Gus Malik maka aku menyampikan kabar itu agar beliau bisa menyiapkan dirinya,“ ujar Sakti membela diri.

Gus Malik meninggal tiga tahun setelahnya ketika tengah berkencan dengan seorang pelacur di Doli. ”Over dosis obat kuat,“ terang polisi yang melakukan penyelidikan. Dan, sepuluh bulan kemudian, Sakti terkena penyakit perut yang parah. Ia dilarikan ke rumah sakit oleh kawan-kawannya sesama santri di pondok pesantren. Tapi upaya penyelamatan itu terlambat. ”Sakitnya sudah terlampau parah. Kami tak bisa berbuat apa-apa,“ jelas dokter yang menangani Sakti. Hari itu pula orang tua Sakti bergegas ke Jombang, tak lama usai mendapat kabar dari kiai di pesantren Sakti. Sepasang orang tua itu menangis mendapat Sakti yang sudah teramat kurus tubuhnya. Keduanya membacakan surah  Yaasin di telinga Sakti lantas berdoa, ”Gusti, bila anak kami masih Kau kehendaki hidup maka cepatkanlah kesembuhannya, namun bila tidak, maka lekaskanlah mau menjemputnya agar ia tak tersiksa.“

Orang tua Sakti tidak tahu dan tidak bisa melihat bahwa ketika mereka tengah membaca surah ke-36 Alquran itu dan berdoa, sesosok makhluk bersayap dengan tubuh bercahaya mendatangi Sakti. Sakti ingat, makhluk itulah yang dulu menemuinya dan mengaku bernama Jibril. Dan kini, makhluk itu berkata, ”Bersujudlah padaku sekali saja dan aku akan menyembuhkan sakitmu, menyelamatkanmu dari maut.“ Makhluk itu menyeringai. Dan kali ini, Sakti melihat sepasang taring mencuat. Dan alangkah merahnya mata makhluk itu. []

 

Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Mojokerto. Sebagian tulisannya pernah terbit di beberapa surat kabar. Buku ceritanya yang sudah terbit berjudul Wisata Buang Cinta (2013). Saat ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam Kelompok Suka Jalan.


Filed under: Dadang Ari Murtono Tagged: Republika

Puang Rohani

$
0
0

Cerpen M Dirgantara (Suara Merdeka, 23 Februari 2014)

Puang Rindu ilustrasi -

SAYA baru bangun pagi itu, dibangunkan telepon. Malam sebelumnya saya menghadiri pesta koktail seorang teman. Dia merayakan kemenangannya di Grammy untuk kategori “Lagu Tahun Ini”. Dia mengalahkan saya untuk kategori itu, tapi saya menang untuk kategori lain. Kepala saya masih berat, leher saya kaku dan bunyi-bunyi saat saya bergerak.

Isi telepon dari suami Zubaedah itu singkat saja: Anda dimohon hadir di acara pemakaman Puang Zubaedah. Anda diminta menyumbang satu lagu. Saya tahu Anda teman dekatnya. 

Grammy tahun ini memang bertemakan: Puang Zubaedah, Sang Legenda Musik. Entahlah kenapa Zubaedah tiba-tiba mampus dua hari yang lalu bertepatan dengan perayaan Grammy. Mungkin dia memang merencanakannya agar dapat mencicipi ketenaran terakhir kalinya, sebab memang ia sudah kehilangan semua ketenarannya.

Saya kelabakan tiba-tiba. Di kepala saya berputar-putar alasan menolak tawaran menyumbang satu lagu. Sebagai penyanyi, apa yang keluar dari mulut saya diperhatikan orang. Saya tidak ingin dicaci habis-habisan karena penampilan buruk di acara pemakaman ini. Saya cukup sakit hati membaca komentar-komentar orang di Youtube untuk video berjudul “Vocal Terburuk Puang Rohani” atau “Si Suara Emas Itu Telah Hilang” atau “Rohani Tidak Bisa Bernyanyi Lagi”.

Saya tidak punya cukup tidur untuk benyanyi. Ditambah lagi semalam habis menegak koktail beberapa gelas. Penampilan saya tidak akan bagus. Saya tahu itu. Saya tidak bisa tampil pokoknya.

Tapi ini acara pemakaman yang diliput dunia. Bila tidak tampil, karena alasan apa saja, saya pasti dicaci. Orang-orang yang hadir akan memandang saya sebelah mata. Bagaimana bila saya ke Oscar atau Grammy tahun depan? Saya tidak ingin seperti orang asing di antara tamu-tamu lainnya.

“Terima kasih kesempatannya. Saya merasa turut berbelasungkawa. Saya terhormat bisa tampil. Lagu mana yang mesti saya bawakan?” kata saya tadi.

“’Ketika Kamu Percaya’. Akan bagus bila Anda menyanyikan itu.”

Sial! Lagu itu susah sekali. Setidaknya saya butuh tidur lima belas jam untuk menyanyikannya dengan baik. Saya tidak mungkin meminta bantuan sound system untuk menempel suara atau lebih gila lagi, lipsync saja. Mereka bukan fans-fans saya yang kurang jeli. Saya akan ketahuan seketika. Semuanya akan berujung memalukan: “Puang Rohani Lipsync di Pemakaman Zubaedah”.

Seandainya saya tidak ikut pesta koktail itu. Seharusnya saya tahu saya akan hadir di pemakaman ini. Seharusnya saya sadar diri sebagai penyanyi kelas dunia, saya akan diminta menyanyi di pemakaman mantan penyanyi kelas dunia.

***

PERTEMUAN saya dengan Zubaedah pertama kali di Oprah Show. Waktu itu judulnya “Legenda Hidup”. Kami berdua diundang, saya masih mengingatnya. Dia berpakaian putih-putih dengan rambut dicat blonde. Kami bersalaman dan bertukar sapa, lalu menyapa pemirsa. Sebenarnya saya sedikit ragu berjabat tangan, sebab beberapa waktu sebelumnya saya melihat wawancaranya di televisi.

“Pendapat Anda tentang Puang Rohani?”

“Saya tidak tahu siapa itu,” jawab Zubaedah sambil tersenyum.

Hah! Pura-pura tidak tahu. Saya tahu Zubaedah merasa tersaingi. Suara saya lebih dari dia dan lagi pula saya lebih muda. Apalagi semenjak Zubeadah jadi pecandu, suaranya makin pas-pasan. Saya akui saya pernah senang sekali mendengar suaranya sewaktu saya masih berkerja sebagai pramusaji di sebuah restauran lelaki dewasa. Waktu itu saya masih mengirim kaset demo saya ke mana-mana. Lihat, sekarang saya penyanyi paling sukses!

Kami berdua bernyanyi di acara itu. Saya berusaha membuat suaranya tenggelam agar saya nampak berjaya. Tapi seharusnya saya sadar diri, suaranya lebih tebal. Suara saya seperti ranting-ranting kering dirubuhi beringin. Setelah itu, saya melihat video itu di Youtube dan merasa malu sekali. Suara saya tidak kedengaran di klimaks lagu. Padahal saya melotot berteriak. Sialan!

Setelah Oprah Show itu selesai, Zubaedah mengajak saya bekerja sama dalam satu lagu. Jadilah lagu kami “Ketika Kamu Percaya”.

***

 “NDO’ pulang jam berapa?”

“Mungkin tiga jam lagi, mudah-mudahan acaranya tidak molor.”

Saya mencium anak saya dan masuk ke mobil. Suami saya tidak ikut, dia punya pemotretan hari ini.

Saat saya mati nanti, foto saya akan ada di Facebook juga tidak yah? Saya merasa ini tidak masuk akal. Ide memasukkan foto mayat ke Facebook itu gila!

Sebelum mandi tadi, saya iseng membuka halaman Facebook buat menyapa penggemar, lalu membuka halaman Facebook Zubaedah. Lalu saya temukan fotonya di peti mati. Jarak dekat!

Tidak ada yang damai dari foto orang mati. Percayalah. Hanya kulit pucat seperti bedak, kelopak mata bengkak lebam. Saya tidak percaya kata-kata: “Zubaedah meninggal dengan damai dan bercahaya”. Tidak ada itu.

Saya meneguk teh lemon hangat, mencampurkannya madu, lalu meneguknya lagi. Saya berharap ini bisa membantu. Setelah mengecek-ngecek, bersenandung meraih nada tertentu, saya tahu ini tidak membantu banyak.

“Sudahlah, keluarkan kemampuan Anda, apa saja yang Anda miliki sekarang.”

“Maksudmu?”

“Lalu yang Anda pikirkan adalah permintaan maaf karena menyanyi buruk.”

Saya diam sebentar menangkap-nangkap maksudnya.

“Brilian!”

Ah, tidak salah saya memilih perempuan ini sebagai manajer. Meski saya curiga dia main mata dengan suami saya.

“Kita sudah sampai, kaca mata Anda? Oh ya, silakan. Kita duduk di baris empat puluh.”

***

ACARA inti selesai, tersisa persembahan-persembahan. Saya tampil di urutan empat, setelah penyanyi-penyanyi pria tampil. Saya memang penyanyi perempuan nomor satu, pantaslah ditaruh pertama juga di antara perempuan. Saya senyum-senyum sendiri.

Saya perhatikan semua orang penting ada di situ. Tentu saja mantan suami saya juga ada di situ bersama isteri barunya. Sejujurnya saya tidak pernah mencintai lelaki itu. Saya mau menikah dulu semata-mata untuk mempermulus karir saya di label rekamannya. Saya tidak berselera dengan pria botak dan gendut.

Penampil pria terakhir selesai, dia penyanyi rock legendaris dan teman main Zubaedah di filmnya yang paling terkenal, Sang Pengawal yang Dijatuh Cintahi yang Dikawal tapi Diburu-Buru Fans Maniak.

“Anda selanjutnya, silakan siap-siap ke panggung.”

“Oh, ya, baik.”

“Kita semua sangat kehilangaan saat ini. Seorang legenda musik, teman baik kita, saudara kita, yang membawa secercah kebahagiaan ke pada kita. Beliau pergi menuju surga.” Saya menyeka mata saya. “Sebagai pribadi yang pernah bekerja sama dengan beliau, saya tahu benar beliau adalah pribadi yang sangat baik dan ramah. Beliau mengajari saya banyak hal. Tidak akan ada lagi yang bisa menggantikan beliau di hati kita semua, di hati saya.”

Saya mulai bernyanyi. Fals di beberapa bagian tentu saja, terutama di transisi suara dada dan suara nasal. Untunglah di bagian klimaks saya terbantu paduan suara di belakang.

Sesaat setelah turun dari panggung saya meraih telepon genggam dan berciap di Twitter: “Maaf dengan penampilan buruk saya hari ini. Tenggorokan saya tercekat di depan peti mati beliau. Saya terlalu sedih.” Setelah itu saya memeriksa kotak sebutan dan beberapa orang memaklumi penampilan saya. Mereka berkata: “Kami tetap mencintaimu, kamu tetap satu-satunya di dunia.”

Ah, senang rasanya terbebas dari beban yang tiba-tiba. Saya bisa pulang bermain dengan anak saya dan tidur nyenyak malam ini. Saya harus menampilkan yang terbaik untuk konser saya minggu depan.

 

Desember, 2013

M. Dirgantara, cerpenis yang sedang menyelesaikan studinya di jurusan Sastra Inggris USD, Yogyakarta.


Filed under: Uncategorized Tagged: Suara Merdeka


Tulah

$
0
0

Cerpen Wi Noya (Jawa Pos, 23 Februari 2014)

Tulah ilustrasi Bagus

PEPATAH bilang, ”Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.“ Masihkah diyakini banyak orang? Pasalnya, peribahasa tersebut tidak terbukti padaku. Aku gelundung terlalu jauh dari pohon nan subur itu. Padahal, ketiga buah lain yang ranum berguguran persis di bawahnya. Berbeda denganku, sudah jatuh puluhan hasta, kadung busuk pula. 

Konon, entah dari mana pernah kudengar, anak pertama biasanya terlahir istimewa. Yah, kata orang, sih, sebab pengantinnya masih gres, maka benih yang dihasilkan pun berkualitas. Namun, rupanya tak jua berlaku bagi kelahiranku. Dua adik laki-laki serta si bungsu perempuan, bernasib lebih baik ketimbang kakaknya. Secara kasat mata saja, warga sekampung bisa menilai, aku ini buah yang gagal.

***

Siapa pun mesti kenal empunya rumah gedong di seberang balai desa. Beruntung, aku termasuk penghuni di dalamnya. Meski dijuluki orang terkaya sekecamatan, keluargaku juga beroleh cibiran. Aku ibarat benalu. Bapakku lurah, ibuku guru madrasah. Semua saudaraku memiliki masa depan cerah. Andai diriku mumpuni layaknya mereka, pastilah hidup kami sempurna.

Singgih lahir setelahku, mewarisi wajah ganteng bapak berikut gayanya yang supel. Di samping bakat, tampang rupawan tentu modal utama menggeluti dunia pertelevisian. Adikku yang kedua, Galang, cerdas seperti ibu, kodratnya mujur juga. Kuliah dapat beasiswa, lulus sarjana langsung jadi pengacara. Belum lagi si ragil Wati. Sikap konservatif ibu dan kakek temurun padanya. Kariernya lumayanlah, pegawai kantoran. Mereka memang kebanggaan orang tua, kecuali si sulung yang apes. Jauh-jauh merantau, paling mentok jadi buruh pabrik, itupun pakai sogokan. Berharap unggul dalam pelbagai hal, kiranya angan belaka.

Demikian belum seberapa, ada lagi yang lebih kentara. Famili bapak-ibu, mulai buyut hingga cucu, tak seorang pun berkulit segelap dahan bacang, minimal sawo matang. Bahkan, kakekku yang amat sepuh, daging keriputnya sepucat kencur. Fisikku paling kontras. Dari ujung rambut sampai kaki, kemiripanku ditaksir hanya sekitar lima belas persen.

Ketika usiaku masih belasan, aku pernah iseng bertanya, ”Bu, Yoga ini anak pungut, ya?“

”Hush!“ Ibu mendelik. ”Ngawur! Ayo ke rumah Bidan Sur, biar tahu bagaimana susahnya Ibu waktu lahiran kamu.“

”Kok aku nggak mirip Ibu, ya? Apalagi bapak.“

”Kata siapa, Le?“

”Anak Ibu yang jelek kan aku, yang bodoh  cuma aku, mana sampai dua kali tinggal kelas.“

Selanjutnya, ibu mendengus. Ia bungkam beberapa saat. Tangannya mungkin sibuk menumis kembang durian, namun otaknya memilah jawaban untuk anak kritis semacamku.

Tahu-tahu ibu sudah berdendang sembari menjawil hidungku.

Hitam manis hitam manis

Yang hitam manis

Pandang tak jemu pandang tak jemu

Yang hitam manis pandang tak jemu [1]

”Rajin belajar, Yoga, supaya tidak kebalap adik-adikmu. Kamu kan hobi nonton wayang, siapa tahu nanti jadi dalang.“

Jawaban ibu membuatku makin tidak puas. Seakan aku ini bocah ingusan, padahal anak tertua. Jadi dalang? Bukan cita-cita. Aku memang gemar nonton acara begituan. Wayang, ketoprak, jaran kepang, namun tak lantas kugeluti sebagai profesi.

Tetapi, kalau dipikir-pikir masuk akal juga. Pekerjaan yang cocok untukku memang tak harus menguras otak. Aku putus sekolah saat berseragam putih-abu. Bukan lantaran malas, melainkan dasarnya aku terlampau bebal. Singgih sukses mendahului kakaknya yang dungu ini, Galang pun hampir menyusulku. Daripada menanggung malu lebih parah lagi, akhirnya kutinggalkan bangku pendidikan.

Adu jotos, itulah bakatku. Aku kerap berbuat onar. Kesenggol sedikit bakal kuajak tawuran. Hidupku luntang-lantung. Biarlah, aku anggap sebagai proses pengukuhan jati diri.

Aku terus menyelidiki, barangkali ada sesuatu yang sengaja disembunyikan bapak-ibu. Bukannya sibuk menyejahterakan orang tua, malah sebaliknya. Aku pernah mencurigai ibu berselingkuh, sebelum atau sesudah menikah. Mungkin dengan mantan kekasihnya yang seorang pedagang buah itu. Tapi lagi-lagi terpatahkan sewaktu aku tertabrak angkutan umum karena memata-matainya. Bapak mendonorkan sebagian darahnya padaku. Lagipula, pedagang buah tersebut tak bisa dikategorikan jelek, biarpun tak setampan bapak. Kulitnya langsat, rambutnya tidak berombak. Semua nihil. Tiada satu petunjuk pun yang mengarah bahwa aku bukan anak kandung Bu Guru dan Pak Lurah.

***

Sekalinya untung, aku pernah memiliki seorang kekasih. Ia perempuan yang tak sengaja kujumpai saat nonton jaran kepang. Ah, tampang sepertiku ada yang mau saja sudah syukur. Persetan orang berkomentar, ”Wanita itu cuma menjadikanmu pelarian semata, bukan betul-betul berlandaskan cinta.“

Betapa bangga menggoreskan tinta merah jambu dalam riwayatku. Ternyata aku masih laku, terlebih gadisku berparas ayu. Pada waktu kepayang itu, aku benar-benar lupa segala kemalangan. Sejatinya, kisah asmaraku dengannya terbilang picisan. Ia mengaku sayang, aku keluar uang. Ia dicegat preman, aku pasang badan. Ia kesepian, aku ruahkan perhatian. Sumpah, aku rela habis-habisan.

Nasib… nasib.

Ia yang mengajari kencan, ia pula yang menghadiahi tamparan. Saking aku muak mengingat namanya, kuberi julukan Rangkap Tiga; cinta, pacar, sekaligus mantan pertama. Ia mencampakkanku usai dilamar lelaki gagah dan kaya. Secara blak-blakan ia bilang menyesal pernah berhubungan denganku. Aku sangat sakit hati. Ia menudingku menggunakan ilmu pelet, hanya demi menyakinkan calonnya bahwa ia tiada rasa terhadapku.

Sinting!

Kalau mau tega, kukirimkan guna-guna sekalian, seperti fitnah yang seenaknya ia lontarkan. Tapi, aku lebih senang mengandalkan otot. Hatiku yang terluka, kesumatku yang membara, kemudian takluk jua oleh air mata. Baru kali itu kulihat Rangkap Tiga sedemikian histeria. Ia terus menangisi tunangannya yang terkulai pasca duel denganku.

Aku merasa kalah.

Laraku kian teruk, manakala tersiar selentingan Rangkap Tiga lekas diperistri si hartawan. Batinku tak bakal kuat menerima undangan pernikahannya. Aku minggat.

***

Sebulan lamanya aku menginap di tempat Paklik Nas, adik kandung bapak. Satu-satunya kawan setiaku di waktu senggang yang nyaris tiap hari. Ia menetap di dusun pinggiran sungai yang hanya berjarak sepuluh kilometer dari alun-alun. Gubuk sederhananya sangat nyaman untuk menenangkan pikiran. Terutama bagi orang patah hati sepertiku.

Sepulang merumput, Paklik Nas tampak kesal. Ia mondar-mandir sembari menggerutu. Sempat jua bergaduh di dapur sebelum menemuiku di ruang tengah.

”Kenapa, Paklik?” selidikku.

Mulutnya silih berganti antara cakap, rokok, kopi. ”Ndari itu nggak berubah. Ketemu di jalan, masih sinis sama aku.”

”Ndari? Siapa?”

”Istrinya pengurus pondok di samping alun-alun.”

Aku merengut, pasang roman penuh tanda tanya.

”Ndari…” Paklik Nas berdeham, kemudian mengepulkan lagi asap rokoknya. ”Dulu incaran bapakmu, tapi ditolak terus, akhirnya kawin sama ibumu.“

”Oh…,“ lirihku sedikit kecewa. Kesannya ibuku sekadar pelampiasan. Iparnya ini bicara enteng sekali, seolah bukan sedang berhadapan dengan darah daging ibu.

”Bapakmu sampai dendam sama Ndari.“ Ia memancingku kembali.

”Ah, masa?“

Lho…? Yakin.” Ia membenahi posisi duduk, lantas berjagang. Aku paham, obrolan ini bakal merembet ke mana-mana. Dua pengangguran asyik melantur sepanjang masa. ”Waktu bapakmu masih jadi carik di kampung sini, sempat heboh kasusnya.“

”Kasus apa?“

”Zaman muda dulu, bapakmu sombong, mentang-mentang ganteng. Maunya, semua perempuan itu manut sama dia. Giliran ditolak, bencinya setengah mati.“

”Ah, perempuannya saja yang sok jual mahal.“

”Wajarlah… Santri. Mana mau dinikahi bapakmu yang genit itu.“

”O… pantas. Cantik mana sama ibu?“

”Hmm… Beda tipis, tapi Ndari bikin lebih penasaran.”

Paklik Nas melanjutkan kisah perempuan bernama lengkap Sundari. Mulanya aku heran alasan Ndari lebih memilih dinikahi siri oleh seorang kiai ketimbang menerima pinangan bapak. Padahal, suaminya nomad lantaran sibuk berdakwah di luar pulau. Warga mulai curiga saat memergokinya muntah tiap pagi. Perut makin melendung tapi suami belum kelihatan batang hidung. Surat nikah tiada, wali dan saksi tak cukup alibi, habislah ia jadi bulan-bulanan warga. Gosipnya tambah santer, warga sekampung menduga ia hamil tanpa suami.

Sejengkal melangkah dari pintu tetangga bersahutan mencaci. Rumahnya dilempari sayuran busuk. Posisi bapak yang kala itu menjabat sebagai carik tak berarti apa-apa. Bapak malah ikutan memprovokasi atas nasib yang menimpa Ndari. Ia dianggap telah mengotori kampung. Rasa cemas kian menghantui seisi desa bilamana Tuhan murka lalu menjatuhkan bala. Klimaksnya, warga berbondong-bondong mendatangi balai desa, mendesak lurah untuk mengusir Ndari. Belum sempat keluar kampung, rumor tersebut terbantahkan oleh kerabat suaminya dari Jambi. Nahas, si perempuan malang terlanjur keguguran karena depresi.

***

”Yoga, kamu jangan bilang bapakmu, lho, aku cerita begini.“

”Kenapa?“

Pamanku yang kelewat serampangan itu tiba-tiba terkekeh.

”Apanya yang lucu, Paklik?“

”Pokoknya, kalau sampai ketahuan ibumu…“ Paklik Nas memberi isyarat tebasan pada lehernya. ”Modar!“

”Ibu belum tahu?“

”Tentang Ndari, tahu. Tapi masih ada rahasia lain.“

Aku mulai tegang. Tidak biasanya seantusias ini menyimak omongan si gondrong.

”Bapakmu sempat jenguk Ndari di puskesmas. Waktu sadar ibumu ternyata hamil muda, bapakmu takut kualat. Walau sudah minta maaf, nyembah berkali-kali, Ndari tetap tidak sudi mengampuni. Parahnya, sambil sesenggukan dia malah menyumpahi.“

”Menyumpahi apa?!“ Dadaku bergemuruh.

Anak mbarepmu sesuk mesti elek, ireng, bodo!“ [2]

Paklik Nas membenamkan puntung rokok ke dalam asbak. Sementara ia merasa cerita barusan patut untuk ditertawai, aku hanya melongo. Tak habis pikir, serapah itu meluncur dari perempuan alim yang baru kehilangan janinnya.  ***

 

Wi Noya, bermukim di pinggiran Jakarta. Salah satu penulis antologi cerpen Banten; Suatu Ketika (2012) dan Suki Desu (2013)

Catatan :

[1] Petikan lirik lagu Hitam Manis  yang hit pada era ’80-an dipopulerkan oleh pedangdut berdarah Minang, Irni Yusnita. Dilantunkan kembali oleh Emilia Contessa.

[2] Anak sulungmu nanti pasti jelek, hitam, bodoh!


Filed under: Wi Noya Tagged: Jawa Pos

Enam Cerita

$
0
0

Cerpen Agus Noor (Koran Tempo, 23 Februari 2014)

Enam Cerita ilustrasi Edward Richardo

SENJA DI MATA YANG BUTA

BILA ada yang menceritakan padamu senja terindah yang pernah dilihatnya, dengan langit yang selalu kemerahan, dia pasti belum datang ke tempat kami. Senja terindah hanya ada di sini. Senja yang kuning keemasan, seolah madu lembut dan bening yang ditumpahkan ke langit hingga segala yang mengapung di permukaan air menjadi tampak kuning berkilauan. Senja yang tak hanya bening, tapi begitu hening. Selembar daun yang jatuh tak akan mengusik keheningannya. Angin sejuk selalu membiarkan daun-daun kelapa setenang bayang-bayang. 

Waname mengatakan pada saya, bahkan Tuhan pun selalu memilih tempat ini saat ingin menenangkan diri. Sejak kanak-kanak kami suka duduk berdua menikmati senja. “Keindahan tak pernah abadi,” kata Waname. “Ketidakabadiannya itulah yang membuatnya begitu berharga. Tataplah senja itu, Tikami. Rekam baik-baik, dan simpan dalam matamu.” Waname suka sekali berenang. Suara kecipak airnya terdengar begitu jerning hingga ke kejauhan teluk. Suatu hari Waname bersampan, dan tak pernah kembali. Padahal seminggu lagi ia akan melamarku dengan 50 ekor babi.

Di gereja, penduduk Otikara mendoakan arwahnya sembari berbisik-bisik tentang orang-orang yang menculik Waname. Pastilah mereka pasukan terlatih, yang menganggap Waname harus dilenyapkan karena selalu menghasut penduduk. Segalanya memang berubah sejak pabrik tambang berdiri tak jauh dari teluk. Keindahan memang tak pernah abadi. Bila suatu hari kau datang ke tempat kami, kau tak akan melihat senja yang kuning berkilauan itu lagi.

Tapi jangan kecewa. Bila beruntung, kau masih bisa melihat senja kuning berkilauan itu di mata seorang gadis buta yang setiap senja berdiri di tepi teluk. Namanya Tikami. Ia terus menyimpan senja itu dalam matanya. Ia satu-satunya yang melihat ketika Waname dihabisi. Pasukan terlatih itu telah merusak matanya.

 

Epicentrum, 2 Februari 2014

PENIUP SERULING GAIB

INGATLAH Peniup Seruling Gaib bila suatu malam kau mendengar suara seruling mengalun penuh kepedihan. Bisa jadi seorang yang paling kau cintai akan mati. Atau kau akan menderita selamanya karena kehilangan telinga.

Tak pernah ada yang melihat langsung Peniup Seruling Gaib itu. Orang-orang hanya menduga sosoknya yang serupa bayang-bayang api berkobar, yang meninggalkan jerit tangis berkepanjangan begitu suara seruling itu lenyap di kejauhan. “Tutup telingamu rapat-rapat, pegang daun telingamu kuat-kuat, bila kau tak ingin tersayat,” ibu-ibu langsung berkata pada anak-anak mereka setiap si Peniup Seruling Gaib lewat. Siapa pun yang tak tahan mendengar suara seruling itu akan mati mengenaskan. Bila pun hidup akan kehilangan telinga.

Ada cerita yang dipercaya: ia dulu seorang peniup seruling paling hebat di kota ini. Ia berhasil memikat semua perempuan dengan tiupan serulingnya. Siapa pun yang mendengar alunan serulingnya, akan jatuh cinta dan terus-menerus disesah kerinduan yang tak tertanggungkan. Termasuk Putri Raja yang jelita. Sudah pasti Raja murka mengetahui anaknya jatuh cinta pada seorang peniup seruling yang tak jelas kerjaannya selain sepanjang hari sepanjang malam berjalan keliling meniup seruling. Ia perintahkan prajurit menangkapnya.

Algojo punya gagasan brilian: cara terbaik menyiksa peniup seruling ialah dengan membuat tuli telinganya. “Dia memang akan masih bisa meniup seruling, tapi tak bisa lagi mendengar suara serulingnya sendiri. Pastilah peniup seruling akan menderita bila tak bisa mendengar suara seruling yang ditiupnya.” Algojo pun merusak telinga si Peniup Seruling. Mengiris dan memotong daun telinganya.

Mungkin Peniup Seruling Gaib itu muncul agar kau bisa memahami kemalangannya. Mungkin juga ia hanya ingin sekadar meminjam telinga; dengan memotong telingamu, supaya ia bisa mendengar lagi suara serulingnya.

Bila kau mendengar suara seruling tengah malam, peganglah telingamu erat-erat.

 

Jakarta, 22 Januari 2014

KISAH DUA BOCAH

BOCAH itu ingin sekali menuruni tangga yang seolah terus menerus melambai padanya. Bocah itu ingin sekali naik tangga yang bagai menyimpan langit luas di ujungnya. Tapi tak bisa.

“Jangan pernah turun ke tangga itu,” kata ibunya. “Kau hanya akan menjumpai kegelapan. Tempat hidup makhluk busuk yang akan menghisap kebahagiaanmu. Kau dengar suara-suara yang merayap di bawah itu?” Lalu bocah itu kembali mendengar jerit seorang anak yang disiksa sepanjang hari. “Kau akan dicabik-cabik seperti itu!”

“Jangan pernah berpikir untuk naik tangga itu,” kata ayahnya. “Di atas sana kau hanya akan merasakan kehampaan. Jiwamu akan dimangsa makhluk terkutuk yang tak pernah mengenal kegembiraan. Kau dengar suara yang melayang di loteng itu?” Bocah itu memang selalu mendengar suara ganjil yang menakutkan berjalan di atas kepalanya. “Iblis-iblis di atas sana akan mencacah-cacah kakimu.”

Ibu menatap bocah itu, yang menunduk ketakutan. Sebelum pergi dan menutup pintu kamar, ia pastikan kembali rantai yang mengikat tubuh anaknya telah terkunci kuat. Sebelum keluar kamar, ayah mengelus kepala bocah itu, yang diam bersandar memandangi kedua kakinya yang terpasung.

Terdengar langkah kaki menuruni tangga. Terdengar langkah kaki menaiki tangga. Sebentar tangga itu terlihat terang, seperti ada cahaya lampu dari pintu kamar yang perlahan terbuka. Kemudian kembali gelap. Kedua bocah itu mendengar dengus nafas busuk. Suara mengeram dalam kegelapan. Seperti ada iblis bersenggama.

 

Yogyakarta, 30 Januari 2014

 
PERMAINAN ANAK-ANAK

APA permainan paling menyenangkan semasa kanak-kanakmu? Ada permainan masa kecil yang kami sukai. Bukan gobak sodor, congklak, bola bekel atau petak umpet. Tapi memotong jari kelingking.

Ini permainan sederhana. Kami berkumpul, dan setiap anak harus bicara jujur. Bila kami menganggapnya berbohong, maka anak itu harus membuktikan bahwa ia tidak berbohong dengan memotong jari kelingkingnya. Dan memang, setiap kali kami memotong jari kami, jari itu tetap utuh. Hidup tanpa kebohongan memang menyenangkan. Percayalah, kebohongan jauh lebih menakutkan dari kematian.

Biarkan mereka menganggap kita hina, terbuang dan hidup sebagai budak kegelapan, tapi jangan pernah sekali-kali berbohong. Nasihat seperti itu membuat kami bahagia, meski dikucilkan. Ada tembok mengelilingi tempat tinggal kami, yang tak boleh kami melewatinya. Kami hanya berani muncul malam hari ketika kegelapan membuat lembah ini menjadi semakin menakutkan: pohon-pohon tua dan angker, dengan sulur seperti usus berjuntaian, bayangan nisan dan pekuburan yang terlihat pucat. Hanya iblis dan orang-orang bermasalah yang nekat ke sini. Mereka mengendap-endap membuang mayat atau janin, lalu segera bergegas.

Maka kami heran ketika melihat ada gadis kecil berjalan sendirian. Ia mungkin anak kampung seberang sungai yang tersesat. Atau mungkin ia mau mencuri buah mangga di pohon dekat gerbang pemakaman. Buahnya memang dikenal sangat manis. Ia tak kaget ketika kamu memergokinya. Ia bilang tak hendak mencuri mangga. Kami tak percaya. “Berani potong jari kalau saya bohong!” katanya.

Kami pun mengajaknya bermain. Kami duduk melingkar. Ia mengulurkan tangannya, terus meyakinkan kami bahwa ia tak berbohong. Begitu tenang ia memotong kelingkingnya. Kami menjerit melihat jari itu berdarah, dan langsung lari ketakutan.

Aku, yang sejak tadi sembunyi di pohon besar, memperhatikan anak itu. Aku mengenalnya. Ia anak tukang sulap yang tinggal di desa sebelah. Pastilah ia telah diajari trik kecil itu. Ia memungut jarinya yang putus.

Pelan-pelan dari belakang kujulurkan tanganku yang rusak dan hitam, ke lehernya.

 

VIN+ Jakarta, 31 Januari 2014

INSOMNIA

KANTUK adalah kutukan. Tidur adalah ancaman. Ia tak pernah lagi merasa tenang setiap matanya hendak terpejam sejak istri dan dua anaknya mati mengenaskan digorok dan dibacok rampok. Ia yang sedang di luar kota ditelepon tetangga, dan dalam bus matanya terus terjaga selama enam belas jam perjalanan pulang. Kepalanya penuh jeritan anaknya. Bahkan setelah dua hari penguburan masih saja ia mendengar jeritan itu. Ia terus melihat darah menggenangi lantai rumah. Sepanjang malam ia terus berjaga, duduk di kursi menatap pintu rumah, karena yakin para perampok itu akan datang lagi untuk membunuhnya. Pisau belati selalu tak jauh dari jangkauannya.

Kawan dan rekan sekantor menasihatinya untuk istirahat. Kamu sudah seperti mayat hidup, kata mereka. Tidurlah.

Tapi ia tak mau menyerah, meski tubuh telah begitu lelah. Tetap tak mau takluk oleh kantuk. Bergelas-gelas kopi. Segala obat yang bisa membuatnya tetap terjaga. Lampu selalu ia nyalakan. Atau ia pergi keluyuran menyusuri jalanan agar tak bosan. Belati terselip di pinggang. Di ujung gang seseorang terlihat berdiri menghadang. Ia bersiap menyerang. Ternyata itu sebuah tiang. Kota telah penuh bandit. Setiap saat para pembunuh itu akan menyerangnya. Sebelum bandit-bandit itu lenyap, tidur adalah neraka. Sebuah bayangan berkelebat. Ia segera mengejarnya. Tak ada siapa-siapa.

Berminggu-minggu tak tidur telah membuatnya menjadi makhluk kumal dengan mata merah cekung, hingga siapa pun tak merasa nyaman di dekatnya. Tapi ia sudah mulai terbiasa sendirian. Mengurung diri dalam kamar bersama kecemasannya. Berbulan-bulan. Bertahun-tahun. Dan para kenalan mulai melupakannya. Sampai tetangga yang mencium bau busuk segera menelepon polisi.

Ia ditemukan mati meringkuk dalam kelopak matanya.

 

Hotel Haris, 4 Februari 2014

PENARI SENJA

IBUKU seorang penari, ia bercerita. Aku ingat, saat aku berusia 5 tahun, ibu mulai mengajariku menari, di pendopo rumah. Aku selalu tak pernah merasa mampu menari sebagus ibu. Tubuhnya mengalir lembut, begitu halus, seakan bergerak mengikuti angin. Aku selalu merasakan jiwa ibulah yang menari. Bahkan ketika tubuh ibu hanya berdiri dengan selendang di tangan, ia seperti tengah menarikan yang tak bisa kulihat: semesta seakan mengitarinya. Aku seperti mendengar gesekan bintang-bintang nun jauh di kegelapan.

Tak ada penari sebaik ibu. Setidaknya di kampungku. Ibu satu-satunya penari yang paling dikagumi. Ia diundang menari di banyak acara. Bahkan ketika Presiden Sukarno datang ke kota kabupaten, ibu menari di hadapannya. Sebulan setelah itu ibu ditangkap. Ia sedang mengajariku menari, bersama puluhan anak lain, ketika empat tentara datang, dan langsung menyeretnya.Ibu orang yang berbahaya begitu kudengar kemudian setelah aku dewasa. Aku sama sekali tak mengerti, kenapa seorang penari seperti ibu yang begitu lembut bisa dianggap membahayakan negara.

Aku tak pernah bertemu ibu lagi. Mungkin ia mati disiksa di penjara. Tapi aku merasakan ibu dalam jiwa dan tubuhku. Ibu seolah ada dalam diriku: menuntunku untuk menari. Sering tengah malam aku tiba-tiba terbangun dan menari begitu saja. Tubuhku menari meski pun aku tak memaksudkannya menari. Kamu menari sebagus ibumu, kawan-kawan sering berkomentar. Padahal aku sendiri selalu merasa kalau aku tak pernah bisa menari sebagus ibu. Jangankan menari sebagus ibu, menari dangdut yang acak-adut pun rasanya aku tak bagus-bagus amat. Tapi hidup memaksaku terus menari.

Dan ia pun perlahan mulai menari di depanku. Telanjang.

Begitulah, setiap senja aku memandangi patung di depan gedung itu. Aku suka sekali menikmati tariannya yang begitu mempesona. Tentu saja, aku selalu diusir satpam setiap kali berlama-lama berdiri di dekat patung itu. Orang gila semacamku sudah pasti mengganggu pemandangan. Apalagi ketika patung itu menari setiap senja. Dan orang-orang kantoran yang lalu-lalang, berhenti sejenak memandanginya.

 

Jakarta, 21 Januari 2014

Buku-buku Agus Noor yang akan terbit adalah Kitab Ranjang (novel) danCerita buat Para Kekasih (kumpulan cerita pendek).

 

 


Filed under: Agus Noor Tagged: Koran Tempo

Pembuat Peta dan Penenun Kain

$
0
0

Cerpen Diani Savitri (Media Indonesia, 23 Februari 2014)

Pembuat Peta dan Penenun Kain ilustrasi Pata Areadi

DI Kota Tuamana yang pernah dialiri sungai purba, hiduplah seorang pembuat peta dengan istri dan putra semata wayang mereka.

Bakat dan keahlian orang memang berlainan. Si pembuat peta ini sedikit berbeda dari para pembuat peta lainnya.Sebetulnya ini biasa. Seperti sering kita lihat bagaimana seorang penari mengungguli penari-penari kebanyakan. Penari kebanyakan menjadikan gerakannya hiburan bagi kita, pemirsanya. Sebaliknya, ada seorang penari yang melenggang-lenggok seiring irama, seperti ia bernapas dengan udara. Menari ia dengan segenap jiwa. 

Terhisap kita ke dunianya saat menyaksikan lenggoknya, lupa akan kenyataan hidup kita sendiri. Pembuat peta kebanyakan sekadar merekam ulang jalur yang sudah ditapak orang ke selembar kertas. Sebaliknya, si pembuat peta yang sedang dikisahkan ini, menggores di lembaran kertas, apa yang digariskan alam, baik yang sudah mewujud maupun yang belum nyata adanya.

Praja tata kota adalah pelanggan tetapnya. Ini karena ada saja perubahan tata letak orang bermukim, berniaga, dan berkegiatan. Orang berpindah karena kebutuhan atau barangkali karena keterpaksaan. Karena mencari tempat yang lebih lapang atau justru ingin berjejalan. Orang berpindah juga karena mencari-cari jalan menuju apa yang dicitacitakan.

Menuju suatu titik yang menurutnya ia dapat meraih kebahagiaan di sana. Maka, ada saja orang yang minta digambarkan sketsa jalan hidupnya. Di kertas gambar putih selebar dada laki-laki dewasa, si pembuat peta meletakkan titik penanda lokasi terkini dari orang yang sedang mencari tujuannya, dan beberapa pilihan jalan yang mengarah pada titik yang diidam-idamkannya.

Setiap hari pembuat peta bekerja di kamarnya yang gelap. Bukan soal magis sebagaimana ritual dukun. Bukan pula karena hampir sepanjang usianya, pembuat peta merasa sendiri dan memilih mendengarkan suara sepi. Tapi karena daya lihat pembuat peta bekerja lebih baik saat ia tidak disilaukan oleh cahaya. Kalau ada tamu, maka istrinya, si penenun kain, akan mempersilakan tamu itu masuk ke kamar kerja suaminya.

Beberapa orang yang pernah bertamu akan bersumpah bahwa saat pintu terbuka, bukan cahaya dari luar yang memasuki kamar, tapi gelap dari kamar itu yang akan merembang ke luar.

Suatu hari, Srivati, yang sedang mencari jalan pulang, datang sebagai tamu keempat. Istri pembuat peta yang tadi menemani Srivati duduk menunggu di beranda sebelum tamu ketiga pulang, lalu mengantarkan Srivati memasuki kamar kerja pembuat peta. Setelah itu si penenun kain senantiasa menunggu di luar kamar, kembali menekuni alat tenun warisan keluarga. Mengikatkan pinggangnya pada pemintal untuk membuat alat itu menjadi bagian dari tubuhnya, dan bergerak bersamanya. Ia piawai menggunakan alat pemisah yang menjaga benang agar tidak kusut.

Perempuan yang percaya dan hormat mencari, sama saja seperti tidak ada yang mencintai. Lalu, bagaimana seorang perempuan bisa punya arti? Seingat penenun kain di kemudian hari, suaminya tidak menjawab pertanyaan itu. Namun karena diamnya pembuat peta bukan hal yang berbeda dari kebiasaan selama ini, kali itu pun tidak menjadi hal istimewa.

Selepas itu, pada suatu hari, telepon cerdas pembuat peta berbunyi dan layar lebarnya menampilkan sederetan nomor tanpa nama. Ia biasa dicari oleh orang yang tidak mengenal dirinya, tapi pada suami itu tidak pernah mencampuri pekerjaan suaminya. Dijunjungnya harkat menenun kain untuk mereka pakai secara turun-temurun.Demikianlah nenek moyang mereka menetapkan tugas seorang istri.

Setelah Srivati pulang, saat makan malam dengan putra mereka, si penenun kain mengutarakan keheranannya.

“Apakah tidak ada yang mencari perempuan tadi, dan menuntunnya menuju jalan pulang?” ia bertanya dengan nada suara bercampur iba.

Bagaimana bisa seorang perempuan bisa pergi, sendiri, dan tidak ada yang mencarinya? Kalau itu terjadi padanya, tentu ia akan sedih sekali dan memilih untuk tidak kembali. Bila tidak ada yang membutuhkannya. Lalu, pembuat peta menjawab panggilan telepon.

“Aku belum menemukan jalan pulang. Aku berputar-putar di jalan yang sepertinya harus kuhindari. Peta yang Anda buat sepertinya menyesatkan aku ke rute yang lebih rumit.“

Suara itu dikenalinya sebagai suara Srivati. Si pembuat peta tidak segera menjawab.

Lekat diingatnya Srivati sebagai perempuan pencari jalan pulang yang pada matanya ada sesuatu yang benderang. Petang itu di kamar kerjanya yang remang, pembuat peta jadi menghindari tatapan Srivati. Sudah begitu pun, pembuat peta masih merasa seperti tersihir. Tanpa peringatan atau tepukan di pundak macam pertunjukan di TV yang membuat orang kena hipnosis dan bisa disuruh-suruh untuk melakukan hal konyol agar penonton tertawa. Ia merasa tersihir, tapi sihir yang ini tidak memperbudaknya untuk melakukan hal yang tolol, tapi mendekatkannya ke sesuatu yang terasa niscaya dan benar. Garis pada peta yang digoreskannya di kertas terjejas dalam dan jelas. Setelah petang itu pembuat peta merasa diingatkan bahwa dirinya juga butuh arah.

“Anda di mana?“

“Entahlah. Tapi ini satu titik di alur yang Anda gariskan untukku.“

Jawaban pembuat peta kini lebih menyegera, “Berdiamlah di sana. Biar kutunjukkan jalan untuk Anda.“

***

Ini malam ketiga dari belum kembalinya si pembuat peta ke rumah. Penenun kain tanpa ratap atau prasangka mulai menanyakan ke kawan, kerabat, dan tetangga. Satu hal yang tidak mungkin dikhawatirkannya; bahwa pembuat peta akan tersesat dan tidak menemukan jalan pulang. Tapi yang ditanyakan, apakah mereka menyimpan dugaan, ke mana perginya si pembuat peta? Kapan kiranya ia kembali? Kini setiap siang, bertambahlah kegiatan penenun kain, selain menenun kain, mengantarkan putra mereka sekolah, dan kunjung-mengunjungi handai tolan sebagaimana yang moyang mereka ajarkan pada setiap istri untuk menjaga silaturahmi. Penenun kain bertanya di sana-sini, ia bersetia mencari tahu keberadaan suaminya.

Setiap petang pula, si penenun kain akan kembali duduk menunggu di dalam rumah, di luar kamar kerja pembuat peta. Kembali menekuni tenunan kainnya. Istri sejati sebagaimana ia, meyakini si pembuat peta suaminya akan kembali. Pikirnya, di mana lagi kehangatan bisa didapatkan, bila kain tenun penghangat tubuh warisan keluarga sudah ada di rumah?

Matahari tidak bisa diandalkan dan terbatas masa, terbit dan terbenam sesuai takdirnya. Api adalah moda zaman baheula. Lagi pula, bila ijuk mengikat pelepah pada batang, kain tenun keluarga adalah pengikat kasih sayang antarmereka. Demikian ia percaya, demikian yang disematkan oleh leluhur penenun kain pada garis hidupnya.

Tanpa peta, penenun kain menanti suami yang belum kembali. Ia memilih untuk percaya ada yang lebih tinggi dan bisa menggariskan jalan hidup. Lebih tinggi dari seorang pria yang dianugerahi kepekaan dan ketajaman pikiran untuk menuangkan garis alam dalam peta bagi orang lain, namun tidak bisa menemukan jalan pulangnya sendiri.

Dengar-dengar kabar yang samar dan belum tentu benar, pembuat peta dan Srivati kini bermukim di satu titik yang digariskan alam untuk mereka. Di tempat yang hanya sangat sedikit orang sanggup memetakannya dan pernah ke sana.

Konon, si pembuat peta menemukan Srivati dengan menyusuri alur sungai purba yang bagi orang kebanyakan cuma legenda. Di kediaman baru mereka, selamanya keduanya tidak pernah benar-benar pulang, juga tidak bisa beranjak pergi, meski kini mereka tak pernah sendiri dan merasa sepi lagi.

 

 

Diani Savitri, menekuni dunia kepengarangan, di sela-sela kesibukannya sebagai peneliti. Karya-karyanya tersebar di sejumlah media. Ia tinggal di Jakarta.

 


Filed under: Diani Savitri Tagged: Media Indonesia

Wanita dan Semut-Semut di Kepalanya

$
0
0

Cerpen Anggun Prameswari (Kompas, 2 Maret 2014)

Wanita dan Semut-Semut di Kepalanya ilustrasi Putri Fidhini

SUNGGUH, tidak ada yang paham rumitnya isi kepala wanita itu. Termasuk sang suami yang mengencaninya selama enam tahun, lalu menikahinya selama enam tahun pula. Konon, pria itu tak kuat lagi menghadapi pikiran istrinya yang selalu rumit. Ia angkat kaki setelah ribut besar dan berkata lantang sekali sampai sepenjuru gang mendengarnya, ”Otakmu yang rumit itu, suatu hari akan habis dimakan semut-semut.” 

Para tetangga pun mulai bertaruh, apakah wanita itu akan merutuki nasibnya, atau kalap mencari suaminya ke sepenjuru kota; jika perlu mengetuk tiap pintu, atau mulai bertingkah tak waras. Namun, ia tetap melanjutkan hidup seperti tak terjadi apa-apa. Ia berangkat sebelum matahari terbit dan pulang sebelum senja; bekerja sebagai pustakawati di universitas swasta. Setiba di rumah, ia menyeduh teh serai lalu duduk di beranda untuk membaca buku. Tepat jam sembilan malam, ia akan masuk, mengunci pintu, dan mematikan lampu-lampu. Di hari Minggu, ia pergi ke pasar membeli bahan makanan layaknya istri pada umumnya. Lelah menerka, akhirnya mereka pun berhenti bertaruh.

Sayangnya, semua berubah saat ia menemukan sepucuk surat yang lupa diambil dari kotak di dekat pagar. Pembantunya, yang memang cuma datang dua jam di pagi hari untuk cuci-seterika, mencuri pandang saat wanita itu membuka amplop dengan tangan bergetar hebat. Majikannya menatap kosong ke arah kertas, seakan matanya tengah mengunjungi tempat yang jauh.

”Bu, kok, pucat begitu?” dikumpulkannya nyali untuk bertanya.

”Bik, bagaimana caranya membunuh semut?”

”Hah?”

”Kudengar ada kapur ajaib yang bisa mengusir semut?”

Pembantu itu makin bingung.

”Belikan selusin. Ah jangan, dua lusin saja.”

”Banyak betul. Buat apa?”

”Mengusir semut, untuk apa lagi. Sebelum mereka makan habis otakku.”

Dengan bingung yang bertindihan, ia bergegas menuju warung. Dilihatnya sang majikan melipat surat itu kecil-kecil sembari menatap-jelajah seluruh sudut rumah; seakan ada yang dicari. Pembantu itu sontak teringat sesuatu saat menutup pintu pagar; kalimat penuh amarah suami majikannya selepas bertengkar, ”otakmu yang rumit itu, suatu hari akan habis dimakan semut-semut.”

***

Wanita itu baru sadar, ternyata di rumahnya ada semut. Awalnya satu. Esok jadi dua. Lusa jadi berlipat banyaknya. Ia lihat semut-semut itu berjajar beriringan dalam selengkung garis di dinding teras rumah. Novel Haruki Murakami di pangkuan tak lagi menggugah seleranya. Ia mendekatkan pandangan, mengamati benar-benar.

Semut-semut merah berpapasan, lalu kembali berjalan, berpapasan lagi, begitu seterusnya. Dari lubang kecil di batas taman dan lantai teras, barisan semut itu mengular sampai ke lubang kecil di dekat kusen.

Dalam hatinya bertanya, lubang sekecil itu, mana bisa menampung semut sebanyak itu. Apa pula yang mereka katakan saat berpapasan. Apa mereka bertukar kabar atau sedang membicarakan dirinya, yang terlampau khusyuk mengamati koloni semut. Wanita itu terus berjongkok bak profesor peneliti tingkah laku semut. Lupa pada senja yang beranjak. Tuli pada kasak-kusuk tetangganya yang keheranan.

Mendadak ia teringat murka suaminya yang membahana ke mana-mana saat itu. Ia berlari mengambil kapur ajaib. Digoreskannya melintang pukang di jalur masuk rumahnya. Semacam mantra ajaib yang Sri Rama guratkan mengelilingi tanah pijakan Dewi Shinta, agar tak ada yang bisa menculiknya.

Sekilas ia tersenyum lega. Malam ini tidurnya bisa nyenyak. Namun, tak lama ia sadar. Bukankah akhirnya Dasamuka berhasil menembus lingkaran perlindungan dan menculik Shinta? Kengerian menjalari tengkuk, seakan semut-semut merah itu mencari jalan menembus tengkoraknya. Bersiap memakan habis otaknya.

Semalaman, wanita itu tidak tidur. Dibeliakkannya mata lebar-lebar. Mencari lubang setusukan batang jarum di sudut tersembunyi rumahnya yang bisa dijadikan celah masuk semut.

Ia pun tak peduli lagi saat tetangganya bulat menyimpulkan; kesepian telah memakan habis kewarasannya.

Semut-semut itu terus berbaris entah mana ujung dan pangkalnya. beranda, dinding belakang rumah, dinding dapur, bahkan di dekat jendela kamarnya, sudah takluk dikepung semut.

Ia suruh pembantunya menyapu dua kali lebih sering. Tak lagi ia menyimpan kue untuk mengudap. Ia juga mulai makan di taman depan, agar tak ada sisa makanan berjatuhan di dalam rumah. Tak dipedulikannya tatap iba yang makin kentara, tiap kali ia suapkan makanan ke dalam mulut. Saat ditanya kenapa makan di luar, ia menjawab, ”Di dalam banyak semut.”

”Apa hubungannya?”

”Nanti aku dikerubungi semut.”

”Masa takut sama semut?”

”Pernah hitung berapa ekor semut di dalam sana? Mungkin ada lebih dari sejuta. Aku bisa dikerubungi! Bisa habis otakku dimakan,” bisiknya sambil melahap lauk terakhir. Sorot matanya tajam dan dalam. Tetangganya memilih pergi sambil menggelengkan kepala.

Ia pun balik melawan. Dikerahkan segala resep alami pengusir semut yang ditemukannya di internet. Ada larutan cuka, potongan mentimun, kantong teh mint bekas, jus lemon, air sabun, larutan garam, sampai taburan bubuk kopi dan bedak bayi. Sayang, semuanya berkhasiat sementara. Di ujung hari, iring-iringan semut bertambah panjang, semakin rapat.

Terlampau kesal, ia membeli sebotol obat serangga. Tanpa peduli lagi, diarahkan penyemprotnya, mirip bazooka membombardir ke segala arah. Titik-titik cairan menghujani dinding-dinding, meninggalkan pola basah. Semut-semut itu akhirnya menempel tak bergerak di dinding. Melihat itu, ia makin kalap menggerakkan tangan, menyemprot seisi rumah. Aroma obat membubung, membekap jalur udara. Ia tak peduli. Yang penting mereka mati, tak bersisa lagi.

Tak dinyana, tepat tengah malam, garis-garis yang dibentuk dari barisan semut muncul kembali. Seakan mereka bangkit dari kematian, membawa pasukan lebih banyak. Setengah tercekik aroma obat serangga, wanita itu terkulai lemas. Terduduk dengan mata yang panas. Lelehlah segala kelelahan yang ia simpan kuat-kuat di dada.

Andai suaminya ada di sini. Lelaki itu pasti tahu bagaimana mengatasi ini semua. Semut-semut ini, juga kesepiannya.

***

Akhirnya ia berhenti berperang. Ia biarkan semut-semut itu merambati dinding rumah. Makin banyak saja yang bertandang. Semut dari rumah sebelah, rumah sebelahnya lagi, dan taman depan kompleks. Bahkan, semut-semut di kantornya ikut datang ke rumah. Sengaja ia tebarkan butir-butir gula agar mereka betah, beranak pinak, menemaninya di rumah yang terasa makin sepi setelah pembantunya meminta berhenti karena tak tega melihat majikannya makin gila.

Ternyata semut-semut itu memahaminya. Mendengarkannya bercerita. Persis suaminya. Pria itu begitu perhatian, telaten mendengarkannya. Satu-satunya yang bertahan di sisinya, menghadapinya, meladeninya.

Pria itu lelaki sederhana. Ia wanita rumit yang jatuh cinta padanya. Tiap ia membuat isi kepalanya semrawut entah oleh apa, pria itu cepat-cepat menyederhanakannya. Dengan pelukan dan ciuman. Seakan bibir pria itu mengandung xanax yang segera mengurai kegelisahannya yang mirip buntal benang wol.

”Kalian tahu, aku mencintainya,” ujar wanita itu lirih serupa embus angin. Semut-semut itu hening mendengarkan. ”Aku merindukannya. Ia suka sekali memelukku dari belakang sampai aku jatuh tertidur.”

Tak ada jawaban. Hanya ada derap kaki-kaki semut.

”Suatu hari, ia bilang ia lelah. Katanya aku terlalu rumit. Padahal, aku cuma bertanya, apa jadinya kalau suatu hari ia bertemu wanita yang mirip dirinya. Sederhana. Tak banyak bertanya. Jarang mengkhayal. Tak gemar menumbuhkan cerita-cerita di kepala, tentang kemungkinan-kemungkinan, juga perkiraan. Apakah ia akan jatuh cinta pada wanita itu? Apa ia akan berpaling? Kalaupun meningggalkanku, apa ia masih akan merindukanku? Diam-diam membayangkanku saat bercinta dengan wanita itu.”

Kini dinding tak terlihat lagi warnanya. Rata dipenuhi semut-semut yang berdatangan dari pelosok negeri. Mendengarkan dongengnya sembari mengudap butir gula dan remah makanan yang sengaja ia tebarkan.

”Awalnya ia tak menjawab, tapi aku bersikeras. Bukankah wanita sederhana itu selalu ada? Mungkin lebih banyak di mana-mana. Aku bilang kepadanya, ia tampan dan pintar. Perempuan kelak mendatanginya, satu demi satu, lama-lama jadi seribu, mengerubunginya seperti semut mengepung gula-gula. Aku harus yakin bahwa ia akan tetap mencintaiku. Aku terus saja bertanya, sampai akhirnya ia lelah. Pergi dan menyumpahi otakku habis dimakan semut.”

Wanita itu terkekeh. Matanya nampak lelah. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju kamar dan merebahkan tubuh. Semut-semut itu mengikutinya, melapisi perabotan dan setiap permukaan rumah, seakan semua ditutup beledu merah kehitaman.

”Mungkin wanita sederhana itu benar-benar ada. Bisa jadi karena itulah ia pergi. Bukan karena ia lelah mencintaiku. Bagaimana menurut kalian?”

Semut-semut merangsek merambati ranjang.

”Atau mungkin ia bukannya menyumpahiku. Mungkin ia berdoa aku tak lagi rumit. Menjadi lebih sederhana agar lebih mudah dicintai. Kalian setuju?”

Mereka terus naik ke tubuhnya. Ujung kaki, ujung tangan, rambut, perut, entah bagian manalagi yang tersisa.

”Boleh kuminta tolong, maukah kalian habiskan isi otakku yang rumit?”

***

Esok hari, kompleks itu gempar. Tubuh seorang wanita kesepian ditemukan tak bernyawa. Aroma busuk makanan yang sengaja disebar berbaur dengan uap obat serangga yang memenuhi rumahnya.

Suara-suara tetangga yang membubung sekejap diam saat sesosok tiba di rumah berpenghuni malang itu. Entah sudah berapa bulan lelaki itu tak muncul. Sejak ribut besar dan menyumpahi istrinya dengan lantang.

Wajahnya pucat. Dalam hati ia mengumpat, andai waktu itu ia tak mengirimkan surat gugatan cerai. Andai ia tak menyumpahinya. Andai ia tak lelah mencintai wanita berpikiran rumit itu. Ah tidak, andai sejak awal ia tak jatuh cinta kepadanya.

Ia memeluk istrinya terakhir kali. Ujung jari wanita itu menggenggam surat gugatan cerai yang lusuh karena terlalu sering dipegang. Tertahan, isaknya menyayat hati. Saking merananya, lelaki itu tak menyadari tak ada seekor semut pun nampak di dinding rumah itu.


Filed under: Anggun Prameswari Tagged: Kompas

Ketika Rabbi Diturunkan

$
0
0

Cerpen Adi Zamzam (Republika, 2 Maret 2014)

Ketika Rabbi Diturunkan ilustrasi Rendra Purnama

SAAT mengambil jaket di lemari, wajah lelakiku kentara sekali tegangnya.

”Apa yang bisa Kang Noto lakukan di sana nanti?“ aku membuntuti dengan pertanyaan kecemasan.

”Tidak tahu,“ jawabnya pendek. ”Tapi yang pasti kami harus melindunginya,“ seperti ada nada sedih.

”Meskipun sudah jelas bahwa ia bersalah?“

”Kita harus ingat masa lalu,“ ujarnya. Aku seperti bisa melihat kegamangan di kedua matanya. 

”Tentu saja aku ingat, Kang. Bahwa ia pernah berlagak seperti Tuhan,“ ketusku.

Lelaki itu tak peduli. Bergegas keluar meninggalkan diriku yang mulai digulung kecemasan.

***

Pertemanan suamiku dengan Rabbi konon sudah sejak SMP. Mereka sama-sama bintang dalam satu tim basket dan voli yang hampir-hampir tak terkalahkan di sekolah. Mereka sahabat dekat. Tapi, mereka memiliki perbedaan yang jauh sekali.

Suamiku seorang yang susah bergaul, teman akrabnya sedikit, kutu buku, penyuka sastra, bahkan sampai sekarang sebagian penghasilannya merupakan imbas dari kiprahnya sebagai salah seorang sastrawan kecil di negeri ini.

Beda dengan Rabbi, yang katanya pandai bergaul dan punya banyak teman di sana-sini. Sejak SMP dia sudah dikenal suka dengan namanya organisasi. Dua kali dia menjadi ketua OSIS. Konon, sewaktu SMA kisahnya juga tak beda jauh dengan semasa SMP. Jadi, kalau kemudian dia cemerlang di sebuah partai politik, tentu itu bukanlah hal yang mengherankan.

Setelah 20 tahun lebih tak bersua, akhirnya suamiku dipertemukan dengannya dalam sebuah kejadian yang mengharukan.

Suamiku mencari kerja. Singkat cerita, dia pun mendapatkan pekerjaan sebagai kuli angkut. Jika saja saat itu dia tidak pingsan saat memindahkan benih-benih jati ke atas truk, mungkin pertemuan itu takkan terjadi. Saat itu, suamiku sedang puasa Senin-Kamis. Insiden itu menghentikan sejenak sebagian pekerja. Kebetulan, Rabbi sedang meninjau poryek kecilnya itu. Mendengar keriuhan kecil itu, dia pun langsung mendatangi. Takdir pun berjalan.

Suamiku bercerita, katanya Rabbi sudah tak seperti dulu lagi. Tentu saja, 20 tahun adalah waktu yang cukup untuk mengubah siapa pun. Lambat laun, dia pun menceritakan perihal semua perubahan yang semula hanya ia dengar dari teman-teman sepekerjaannya. Kata mereka, Rabbi itu pelit, perhitungan sekali, kadang-kadang jika sedang ”kumat“ suka menyunat upah, bahkan konon tak cuma sekali dua kali menendang pekerjanya yang berani mericuhinya.

”Tapi, aku masih belum percaya kalau dia seperti itu. Aku melihatnya masih seperti dulu. Dia baik kepadaku. Buktinya, sewaktu aku pingsan kemarin dia sendiri yang membawaku ke puskesmas dan menanggung semua biayanya,“ ceritanya dengan mata menerawang.

Aku hanya menjadi pendengar yang baik.

”Semasa sekolah dulu, dia anak yang baik,“ seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri.

Dan, hari-hari berikutnya suamiku pun mulai rekat dengan Rabbi. Mengerti bahwa suamiku punya kecerdasan, Rabbi pun perlahan memberinya kepercayaan dalam pekerjaan. Seiring berjalannya waktu, dia mulai berani memercayakan satu dua proyek yang berskala kecil. Aku sedikit bernapas lega ketika lelakiku perlahan mulai meninggalkan syair-syair omong kosongnya yang tak menjanjikan apa-apa itu. Tapi, justru sejak saat itulah suamiku mulai bisa melihat wajah asli Rabbi.

”Tadi siang aku bertengkar dengannya,” ujar suamiku di sebuah percakapan menjelang tidur.

Katanya, ia diserahi tugas penting pada sebuah proyek pembuatan jalan raya alternatif. ”Aku tidak bisa bohong. Aku tidak bisa memelintir ucapan,“ lanjutnya, setelah bercerita perihal tanah milik beberapa warga yang harus dibebaskan. Masalah penyunatan harga.

Hari-hari berikutnya kulihat suamiku jadi pendiam. Ia seperti sedang mengalami tekanan batin. Ia mau bercerita perihal masalah-masalah dalam pekerjaannya hanya jika aku bertanya saja. Bahwa, tadi ia baru saja mengantarkan uang pelicin proyek ke pegawai anu,bahwa kemarin ia telah memergoki penyunatan dana proyek anu, bahwa ia menyimpan banyak ketaksukaan yang ditekannya dalam hati.

Aku memergokinya lari ke puisi lagi. Tapi, ia tak berani mengirimkannya ke media cetak. Malu dengan teman-temannya, sewaktu kutanya mengapa. Ia hanya menumpahkan semua unek-uneknya itu di sebuah buku notes kecil, seperti kebiasannya dahulu.

”Kang Noto ingin pindah kerja?” tanyaku di suatu percakapan menjelang tidur.

”Tapi, sekolahnya anak-anak nanti bagaimana?”

Dan, aku mulai bisa memahami beban batinnya.

***

Hari-hari berjalan dengan banyak diam. Meski diam, tapi aku bisa merasakan gelisahnya yang tak juga mengendap. Aku pun ikut berpikir, mencari jalan keluar. Sampai akhirnya, kuputuskan rela berkorban.

”Jualan makan di pasar? Berapalah itu penghasilannya, Min?“ ujarnya saat kuceritakan penghasilanku yang sudah lumayan. Meski, hasilnya memang belum bisa diandalkan untuk memenuhi semua kebutuhan.

”Jadi, Kang Noto akan tetap menjadi juru kampanyenya meski tahu semua kelakukannya?”

Lelaki itu menarik napas berat ketika aku bercerita bahwa tadi siang di pasar beberapa pengikut Rabby telah bagi-bagi uang demi pencalonan dirinya sebagai orang nomor satu di kota kami. Tentu saja, kami tahu itu sesuatu yang salah. Bau busuk langsung menguar. Beberapa orang tetap saja menerimanya, entah dengan keriangan yang pura-pura ataukah karena benar-benar mendukungnya.

”Aku anak buahnya, Min. Lantas aku bagaimana?“ ujarnya kemudian yang terdengar seperti pengakuan atas ketakberdayaannya sendiri.

Kesedihan jadi bertambah. Bahkan, terkadang berubah benci. Sampai-sampai, kadang aku melihatnya seperti banci. Tak berani pergi dari tempat yang menguarkan aroma busuk hanya sebab di tempat itu ia bisa bernaung dan menyangka di luar tak ada tempat lain yang bisa membuatnya bertahan dari terpa ujian kehidupan. Sayangnya, dia tetap suamiku, seorang ayah yang begitu ingin anak-anaknya aman dari kekurangan.

Puisi-puisinya yang dulu kusukai menjadi terasa menyebalkan. Seperti rengekan anak kecil. Suka menyesali dan menyalahkan diri sendiri. Apalagi, ketika Rabbi akhirnya berhasil menjadi orang nomor satu di kota kami.

Cerita-cerita tentang buruknya kelakuan Rabbi sedikit demi sedikit terus bertambah dalam ingatanku. Tapi, cerita-cerita itu tidak kudapatkan dari lelakiku, melainkan dari desas-desus di pasar dan berita-berita koran yang kemudian menjadi gunjingan ringan para tetangga.

Tentang penggusuran PKL dengan semena-mena, penggerogotan dana bantuan pemerintah pusat, dan masih banyak lagi. Kupikir, lelakiku juga telah sama-sama mendengar semua itu. Tapi, entahlah dengan jalan pikirannya.

***

Sepertiga malam yang hening ketika kulihat dia begitu gelisah. Hatiku menerka. Hatiku mencatatnya. Sebelum pagi harinya kemudian terjadi kerusuhan itu. Orang-orang yang sudah muak dengan kelakuan Rabbi mulai bereaksi. Segala bukti kesalahan, baik yang tampak maupun yang masih terselubung diumbar di muka umum.

Saat mengambil jaketnya di lemari, wajah lelakiku kentara sekali tegangnya.

”Apa yang bisa Kang Noto lakukan di sana nanti?“ aku membuntuti dengan pertanyaan kecemasan.

”Tidak tahu,“ jawabnya pendek. ”Tapi, yang pasti kami harus melindunginya,“ seperti ada nada sedih.

”Meskipun sudah jelas bahwa dia bersalah?“

”Kita harus ingat masa lalu,“ ujarnya. Aku seperti bisa melihat kegamangan di kedua matanya.

”Tentu saja aku ingat, Kang. Bahwa dia pernah berlagak seperti Tuhan,“ ketusku.

Aku takkan pernah lupa dengan hari itu. Ketika lelakiku pulang dengan raut merah padam. Karena tak tahan, akhirnya dia pun cerita, ”Tadi siang kami bertengkar lagi. Aku tak bisa berbuat apa-apa karena memang dialah yang memberiku pekerjaan, yang memberi kita makan….“

Aku langsung mengurut dada, ”Benarkah dia bilang seperti itu?“

Lelakiku diam, tak berselera meneruskan ceritanya.

Rupanya, hari inilah keputusan itu ditetapkan. Siapakah yang sebenarnya Tuhan.

Sepeninggal lelakiku, aku terus berdoa dalam hati. Semoga Tuhan memberi ganti kepada kami, anugerah yang lebih baik dari sekarang. []

Kalinyamatan – Jepara, 2013

Adi Zamzam, memiliki nama asli Nurhadi. Pria kelahiran Jepara, 1 Januari 1982, ini pada 2002 beberapa cerpen dan puisinya dipublikasikan di Bahana Sastra RRI Pro II Semarang. Ia juga menyabet sejumlah penghargaan penulisan cerpen Islami. Seperti, pada 2009 dan 2010 dua buah cerpen menjadi karya favorit dalam LMCR memperebutkan LIP ICE Selsun Golden Award. Karya-karyanya juga banyak menghiasi surat kabar nasional ataupun lokal.


Filed under: Adi Zamzam Tagged: Republika
Viewing all 933 articles
Browse latest View live